Share

Pagi yang Aneh

Bagi anak perempuan, ayah adalah cinta pertama mereka. Hanya ayah satu-satunya pria yang tak akan pernah menyakiti, mengkhianati, dan menduakan. Seorang ayah adalah 'role mode' bagi putri mereka dalam mencari pasangan hidup. Seperti itu yang dirasakan Hasna. Hasan adalah satu-satunya orang yang mengerti suasana hatinya. Bukan menepikan keberadaan Indah, tetapi ada hal-hal yang tak bisa dia katakan kepada ibunya.

Peran sang ayah di mata Hasna sangat luar biasa. Sesibuk apa pun pria itu, selalu menyempatkan waktu menelepon, sekadar menanyakan bagaimana sekolahnya hari ini? Sudah makan atau belum? Dan bila pulang bekerja pasti tak pernah lupa membawakan makanan kesukaan putrinya. Hasan bagi Hasna bukan sekadar ayah, tetapi juga panutan dalam hidupnya. Apalagi setelah perceraian dengan Azka, ayahnyalah yang paling sering membesarkan hatinya. Menguatkan sang putri bahwa semua akan baik-baik saja. Semua air mata, rasa sakit, juga kecewa adalah cara Tuhan memisahkan dirinya dari orang yang tidak baik.

Sang ayah juga mensugesti Hasna, bahwa rasa sakit harusnya menjadi pelecut semangat agar bisa bertumbuh lebih baik. Dianalogikan pada tulang yang patah, pasti akan lebih kuat setelah mengalami proses penyembuhan. Memang makan waktu lama, tetapi bukankah waktu adalah penyembuh terbaik?

Dulu, saat Hasna memilih ikut olah raga karate, Indah tegas melarang, katanya, tidak cocok untuk anak perempuan, kemudian membawa sang putri ke sanggar tari dan model. Wanita itu sangat ingin melihat putrinya menjadi orang terkenal seperti artis-artis di layar televisi yang sering ditontonnya. Terang saja Hasna menolak keinginan sang ibu. Lalu, dia mengadukan masalah itu kepada Hasan. Akhirnya, setelah diskusi meja makan yang berjalan alot karena Indah teguh dengan keinginannya, diputuskan jika Hasna diperbolehkan mengikuti kedua kegiatan itu. Tentu saja kesepakatan tersebut membuat Hasna gembira. Dia pun menobatkan, ayahku pahlawanku. Berbeda dengan Indah yang langsung mencap sang suami, sudah berpaling hati.

"Udah tidur?" Hasan membuka pintu kamar setelah beberapa kali mengetuk, tapi tak ada jawaban.

Hasna menoleh dan melihat sang ayah sedang berjalan mendekatinya.

"Belum ngatuk, Yah," jawab Hasna singkat. Dia menumpukan dagunya ke lutut, sementara kedua tangan memeluk kaki yang dinaikan ke atas kursi. Pandangan wanita itu menerawang jauh menatap hamparan rumput dari balik kaca kamarnya.

Hasan menyeret kursi ke samping Hasna.

"Napa? Mikirin ucapan Ibu?"

Hasna melipat bibirnya ke dalam, dia berpikir sejenak. "Napa, sih, Yah. Umur selalu jadi alasan buat wanita didesak menikah?"

Ternyata benar apa yang disangkakan Hasan. Meski terlihat tak peduli dengan perkataan sang ibu, sebenarnya Hasna sangat meresapi perkatan Indah hingga mengena ke hatinya.

"Nak, bagi wanita umur sangat berpengaruh untuk mendapatkan keturunan. Emang enggak mutlak, tapi jadi bahan pertimbangan. Semakin tua umur seorang wanita, maka akan susah untuk mendapatkan anak. Bukan cuma itu, bayangin seandai kamu nikah umur tiga puluh lima, hamil umur tiga puluh enam. Anak umur sepuluh tahun, kamu udah umur berapa?"

Hasna diam, seraya menghitung dalam hati, membenarkan asumsi ayahnya.

"Lagi pula, Ibu ngomong gitu buat kebaikan kamu. Ibu cemas mikirin, seandainya kamu belum nikah, siapa nanti yang bakal jagain kamu?"

"Kan, ada Ayah sama Ibu," jawab Hasna singkat, menatap Hasan.

"Ayah sama Ibu semakin tua. Enggak mungkin selamanya ada buat kamu."

"Ayah sama Ibu pasti akan sehat-sehat terus." Suara Hasna mulai terdengar lirih, ucapan sang ayah meresap ke dalam hatinya.

Hasan mengembuskan napas panjang, tangannya mengelus rambut panjang Hasna yang tergerai. "Nak, kami pasti akan selalu ada untukmu. Tapi, kita enggak tau takdir Tuhan. Ayah sama Ibu berharap, kamu menikah agar kami tenang, itu saja."

Hasna menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah menahan tangis. Dia juga ingin menikah, menemukan seseorang yang mau menerima keadaan, sifat, dan juga berkomitmen penuh pada pernikahan. Seperti yang ayahnya bilang, menikah tak cukup hanya bermodal cinta, karena bisa hilang. Namun, kemauan untuk berpegang teguh pada komitmen adalah hal utama. Akan tetapi, sangat sulit mencari pria yang benar-benar tulus mencintai. Apalagi dia bukan gadis lagi, umur pun sudah kepala tiga. Sejak mendengar cercaan Azka saat dia menolak bermediasi di pengadilan agama, Hasna pesimis perkara jodoh.

"Ayah berharap, kamu memikirkan ucapan Ayah. Cobalah membuka hati. Enggak semua pria itu seperti Azka."

Air mata Hasna berderai di pipinya. Dia menangis tanpa suara, wajahnya semakin dibenamkan ke lututnya. Akan tetapi, Hasan tahu putrinya itu sedang menahan sedih, bahu Hasna bergetar menahan isak.

Sunyi menelan keduanya. Sementara di luar sana, angin berembus kencang, udara pun terasa semakin dingin. Sepertinya malam ini hujan akan turun dengan deras.

*

Pagi ini masih saja mendung. Gerimis turun tipis-tipis sisa hujan semalam, semilir angin berembus membuat Hasna menaikkan resleting jaket kulitnya. Setelah tadi sarapan sambil mendengarkan nasehat Indah, Hasna memesan sepeda motor dari aplikasi online. Helm yang dia pakai ampuh melindungi telinga dari serbuan dingin.

Sesampai di depan bengkel, Hasna kembali kecewa. Bapak pemilik bengkel belum datang, sementara jam sudah menunjukkan pukul delapan. Sebagai pemilik studio, tak masalah jika dia datang kapan saja. Bahkan, tak datang pun tidak apa-apa, tetapi ruang kerjanya di studio foto, adalah tempat favorit bagi Hasna selain kamar. Lagi pula, tak mungkin, kan, dia membawa semua peralatan ke rumah?

Sembari menunggu, Hasna memeriksa beberapa email yang masuk ke teleponnya. Tak ada yang penting, dia beralih ke aplikasi W******p. Ada sepuluh pesan tak terbaca serta lima panggilan tak terjawab dari Azka. Hasna berdecak kesal. Semalam dia memang sengaja mematikan nada dering telepon. Suasana hatinya sedang tidak baik semalam. Lagi pula, apa yang dinginkan mantan suaminya itu? Padahal Hasna sudah dengan sangat jelas berkata tidak mau rujuk lagi. Pantang baginya mengulang cerita lama yang endingnya sudah dia tahu. Sakit yang ditorehkan Azka, masih basah. Setiap membenak pengkhianatan pria itu, dadanya akan terasa sesak, nyeri seakan menusuk-nusuk jantung.

Hasna memilih memblokir Azka, lalu keluar dari aplikasi W******p. Keadaan sekeliling sudah ramai, tetapi bapak yang punya bengkel belum juga datang. Bosan menunggu, wanita itu kembali membuka aplikasi untuk memesan ojek. Baru saja hendak mencari lokasi di mana dia berada, seseorang menarik tangannya hingga teleponnya nyaris terjatuh.

"Apa-apaan, sih?! Kamu ...." Hasna baru ingin memaki si pelaku, tetapi urung saat matanya bersitatap dengan netra milik Mr. Frezer.

"Pagi-pagi udah nongkrong di bengkel orang. Kayak enggak ada kerjaan aja." Kenan berkomentar.

"Ya bodo amat, mau nongkrong di mana, enggak ada urusan sama kamu!" jawab Hasna ketus.

"Ikut aku!" Kenan menarik paksa lengan Hasna, membuat wanita itu memelotot. Dia menepuk-nepuk tangan Kenan di lengannya.

"Eh, lepasin! Main tarik-tarik aja, dikira aku apaaan. Lepasin!"

Alih-alih melepaskan, Kenan semakin mempererat pegangannya. Terpaksa Hasna mengimbangi langkah Kenan yang cepat. Sampai di sebuah gang, seseorang menyapa pria itu.

"Eh, Mas Kenan, mau ke mana?" Seorang pemuda yang wajahnya mengingatkan Hasna pada artis Raditya Dika melirik padanya dan Kenan bergantian.

"Enggak ke mana-mana. Oh, iya. Motor sama jaket kemarin udah saya tarok di teras rumah, permisi," jawab Kenan dengan wajah datar, membuat Hasna menyadari bahwa pria itu pengemudi ojek sebenarnya.

Hasna mengulas senyum tipis saat pemuda tersebut menggangguk kepadanya. Lalu kembali mengikuti langkah Kenan menuju jalan raya, tempat di mana dia pertama kali bertemu si Mr. Frezer.

"Masuk!" perintah Kenan, sambil membuka pintu. Dia mendorong tubuh Hasna masuk, lalu mengunci otomatis agar si wanita tidak kabur.

"Apa-apan, sih, kamu?!" sembur Hasna begitu Kenan sudah duduk di belakang kemudi. "Buka enggak pintunya, kalau enggak aku teriak!"

Alih-alih mendengarkan, Kenan malah menstarter mobil, lalu melaju membelah jalan raya.

"Eh, ini bisa masuk pasal penculikan, tau!" Hasna kembali meracau.

"Mana mungkin penculikan, kamunya mau aja diajak."

'Dasar gila!' Hasna mengumpat dalam hati.

"Dari sisi mana pun, kamu yang geret-geret aku sepanjang jalan. Enggak pake permisi, malah bawa aku entah ke mana." Hasna kemudian menyilangkan kedua tangan di depan dada sambil menatap curiga ke arah Kenan. "Atau jangan-jangan kamu sindikat perdagangan manusia, perkosa aku dulu, baru kamu jual."

Mendengar ocehan Hasna, spontan tawa Kenan tersembur. Wanita itu terpana melihat wajah si pria yang memerah. Sepertinya kegantengan Kenan dari rentang satu sampai sepuluh, Hasna memberi point delapan.

'Aduh! Masih sempat-sempatnya ngasih nilai!' Hasna menepuk kepalanya.

"Kamu itu, selain telmi juga percaya diri banget. Aku enggak doyan badan tipis seperti triplek itu." Kenan akhirnya bersuara, tetapi jawabannya itu justru membuat darah Hasna mendidih. Sudahlah main paksa, body shaming lagi. Terlalu!

"Ih, ini seksi namanya. Lagian, selera aku juga bukan seperti kamu." Hasna membalas.

Bukannya marah, tawa Kenan malah semakin keras. "Kamu lucu, beneran."

Hasna melengos. Baru kali ini dia ketemu pria aneh. Andai saja dia tak mengenal baik teman yang memberi job foto untuk  prewed Salwa, mungkin dia sudah menghadiahi Mr. Frezer, si tukang paksa orang, tendangan memutar. Dia yakin, Kenan bukan orang jahat, lagian kalau macam-macam, tinggal lapor polisi.

Tawa Kenan berhenti ketika telepon di atas dashboard mobil berdering, tepat saat mereka berada di lampu merah. Kenan meraih telepon itu, melirik ke arah Hasna sebentar sebelum menekan icon hijau.

"Assalamualaikum, Ma. Iya, Kenan mau ke sana."

" ...."

"Iya, tenang aja." Kenan kembali menatap Hasna lekat, "aku datang bareng calon istriku."

Mendadak Hasna merasa telinga berdenging. Dia menatap Kenan dengan mulut terbuka, sambil membatin, 'calon istri? Tolong otak, katakan, maksudnya bukan aku, kan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status