Home / Romansa / Hidup di Dua Hati / Pagi yang Aneh

Share

Pagi yang Aneh

Author: Maheera
last update Last Updated: 2022-11-24 16:55:51

Bagi anak perempuan, ayah adalah cinta pertama mereka. Hanya ayah satu-satunya pria yang tak akan pernah menyakiti, mengkhianati, dan menduakan. Seorang ayah adalah 'role mode' bagi putri mereka dalam mencari pasangan hidup. Seperti itu yang dirasakan Hasna. Hasan adalah satu-satunya orang yang mengerti suasana hatinya. Bukan menepikan keberadaan Indah, tetapi ada hal-hal yang tak bisa dia katakan kepada ibunya.

Peran sang ayah di mata Hasna sangat luar biasa. Sesibuk apa pun pria itu, selalu menyempatkan waktu menelepon, sekadar menanyakan bagaimana sekolahnya hari ini? Sudah makan atau belum? Dan bila pulang bekerja pasti tak pernah lupa membawakan makanan kesukaan putrinya. Hasan bagi Hasna bukan sekadar ayah, tetapi juga panutan dalam hidupnya. Apalagi setelah perceraian dengan Azka, ayahnyalah yang paling sering membesarkan hatinya. Menguatkan sang putri bahwa semua akan baik-baik saja. Semua air mata, rasa sakit, juga kecewa adalah cara Tuhan memisahkan dirinya dari orang yang tidak baik.

Sang ayah juga mensugesti Hasna, bahwa rasa sakit harusnya menjadi pelecut semangat agar bisa bertumbuh lebih baik. Dianalogikan pada tulang yang patah, pasti akan lebih kuat setelah mengalami proses penyembuhan. Memang makan waktu lama, tetapi bukankah waktu adalah penyembuh terbaik?

Dulu, saat Hasna memilih ikut olah raga karate, Indah tegas melarang, katanya, tidak cocok untuk anak perempuan, kemudian membawa sang putri ke sanggar tari dan model. Wanita itu sangat ingin melihat putrinya menjadi orang terkenal seperti artis-artis di layar televisi yang sering ditontonnya. Terang saja Hasna menolak keinginan sang ibu. Lalu, dia mengadukan masalah itu kepada Hasan. Akhirnya, setelah diskusi meja makan yang berjalan alot karena Indah teguh dengan keinginannya, diputuskan jika Hasna diperbolehkan mengikuti kedua kegiatan itu. Tentu saja kesepakatan tersebut membuat Hasna gembira. Dia pun menobatkan, ayahku pahlawanku. Berbeda dengan Indah yang langsung mencap sang suami, sudah berpaling hati.

"Udah tidur?" Hasan membuka pintu kamar setelah beberapa kali mengetuk, tapi tak ada jawaban.

Hasna menoleh dan melihat sang ayah sedang berjalan mendekatinya.

"Belum ngatuk, Yah," jawab Hasna singkat. Dia menumpukan dagunya ke lutut, sementara kedua tangan memeluk kaki yang dinaikan ke atas kursi. Pandangan wanita itu menerawang jauh menatap hamparan rumput dari balik kaca kamarnya.

Hasan menyeret kursi ke samping Hasna.

"Napa? Mikirin ucapan Ibu?"

Hasna melipat bibirnya ke dalam, dia berpikir sejenak. "Napa, sih, Yah. Umur selalu jadi alasan buat wanita didesak menikah?"

Ternyata benar apa yang disangkakan Hasan. Meski terlihat tak peduli dengan perkataan sang ibu, sebenarnya Hasna sangat meresapi perkatan Indah hingga mengena ke hatinya.

"Nak, bagi wanita umur sangat berpengaruh untuk mendapatkan keturunan. Emang enggak mutlak, tapi jadi bahan pertimbangan. Semakin tua umur seorang wanita, maka akan susah untuk mendapatkan anak. Bukan cuma itu, bayangin seandai kamu nikah umur tiga puluh lima, hamil umur tiga puluh enam. Anak umur sepuluh tahun, kamu udah umur berapa?"

Hasna diam, seraya menghitung dalam hati, membenarkan asumsi ayahnya.

"Lagi pula, Ibu ngomong gitu buat kebaikan kamu. Ibu cemas mikirin, seandainya kamu belum nikah, siapa nanti yang bakal jagain kamu?"

"Kan, ada Ayah sama Ibu," jawab Hasna singkat, menatap Hasan.

"Ayah sama Ibu semakin tua. Enggak mungkin selamanya ada buat kamu."

"Ayah sama Ibu pasti akan sehat-sehat terus." Suara Hasna mulai terdengar lirih, ucapan sang ayah meresap ke dalam hatinya.

Hasan mengembuskan napas panjang, tangannya mengelus rambut panjang Hasna yang tergerai. "Nak, kami pasti akan selalu ada untukmu. Tapi, kita enggak tau takdir Tuhan. Ayah sama Ibu berharap, kamu menikah agar kami tenang, itu saja."

Hasna menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah menahan tangis. Dia juga ingin menikah, menemukan seseorang yang mau menerima keadaan, sifat, dan juga berkomitmen penuh pada pernikahan. Seperti yang ayahnya bilang, menikah tak cukup hanya bermodal cinta, karena bisa hilang. Namun, kemauan untuk berpegang teguh pada komitmen adalah hal utama. Akan tetapi, sangat sulit mencari pria yang benar-benar tulus mencintai. Apalagi dia bukan gadis lagi, umur pun sudah kepala tiga. Sejak mendengar cercaan Azka saat dia menolak bermediasi di pengadilan agama, Hasna pesimis perkara jodoh.

"Ayah berharap, kamu memikirkan ucapan Ayah. Cobalah membuka hati. Enggak semua pria itu seperti Azka."

Air mata Hasna berderai di pipinya. Dia menangis tanpa suara, wajahnya semakin dibenamkan ke lututnya. Akan tetapi, Hasan tahu putrinya itu sedang menahan sedih, bahu Hasna bergetar menahan isak.

Sunyi menelan keduanya. Sementara di luar sana, angin berembus kencang, udara pun terasa semakin dingin. Sepertinya malam ini hujan akan turun dengan deras.

*

Pagi ini masih saja mendung. Gerimis turun tipis-tipis sisa hujan semalam, semilir angin berembus membuat Hasna menaikkan resleting jaket kulitnya. Setelah tadi sarapan sambil mendengarkan nasehat Indah, Hasna memesan sepeda motor dari aplikasi online. Helm yang dia pakai ampuh melindungi telinga dari serbuan dingin.

Sesampai di depan bengkel, Hasna kembali kecewa. Bapak pemilik bengkel belum datang, sementara jam sudah menunjukkan pukul delapan. Sebagai pemilik studio, tak masalah jika dia datang kapan saja. Bahkan, tak datang pun tidak apa-apa, tetapi ruang kerjanya di studio foto, adalah tempat favorit bagi Hasna selain kamar. Lagi pula, tak mungkin, kan, dia membawa semua peralatan ke rumah?

Sembari menunggu, Hasna memeriksa beberapa email yang masuk ke teleponnya. Tak ada yang penting, dia beralih ke aplikasi W******p. Ada sepuluh pesan tak terbaca serta lima panggilan tak terjawab dari Azka. Hasna berdecak kesal. Semalam dia memang sengaja mematikan nada dering telepon. Suasana hatinya sedang tidak baik semalam. Lagi pula, apa yang dinginkan mantan suaminya itu? Padahal Hasna sudah dengan sangat jelas berkata tidak mau rujuk lagi. Pantang baginya mengulang cerita lama yang endingnya sudah dia tahu. Sakit yang ditorehkan Azka, masih basah. Setiap membenak pengkhianatan pria itu, dadanya akan terasa sesak, nyeri seakan menusuk-nusuk jantung.

Hasna memilih memblokir Azka, lalu keluar dari aplikasi W******p. Keadaan sekeliling sudah ramai, tetapi bapak yang punya bengkel belum juga datang. Bosan menunggu, wanita itu kembali membuka aplikasi untuk memesan ojek. Baru saja hendak mencari lokasi di mana dia berada, seseorang menarik tangannya hingga teleponnya nyaris terjatuh.

"Apa-apaan, sih?! Kamu ...." Hasna baru ingin memaki si pelaku, tetapi urung saat matanya bersitatap dengan netra milik Mr. Frezer.

"Pagi-pagi udah nongkrong di bengkel orang. Kayak enggak ada kerjaan aja." Kenan berkomentar.

"Ya bodo amat, mau nongkrong di mana, enggak ada urusan sama kamu!" jawab Hasna ketus.

"Ikut aku!" Kenan menarik paksa lengan Hasna, membuat wanita itu memelotot. Dia menepuk-nepuk tangan Kenan di lengannya.

"Eh, lepasin! Main tarik-tarik aja, dikira aku apaaan. Lepasin!"

Alih-alih melepaskan, Kenan semakin mempererat pegangannya. Terpaksa Hasna mengimbangi langkah Kenan yang cepat. Sampai di sebuah gang, seseorang menyapa pria itu.

"Eh, Mas Kenan, mau ke mana?" Seorang pemuda yang wajahnya mengingatkan Hasna pada artis Raditya Dika melirik padanya dan Kenan bergantian.

"Enggak ke mana-mana. Oh, iya. Motor sama jaket kemarin udah saya tarok di teras rumah, permisi," jawab Kenan dengan wajah datar, membuat Hasna menyadari bahwa pria itu pengemudi ojek sebenarnya.

Hasna mengulas senyum tipis saat pemuda tersebut menggangguk kepadanya. Lalu kembali mengikuti langkah Kenan menuju jalan raya, tempat di mana dia pertama kali bertemu si Mr. Frezer.

"Masuk!" perintah Kenan, sambil membuka pintu. Dia mendorong tubuh Hasna masuk, lalu mengunci otomatis agar si wanita tidak kabur.

"Apa-apan, sih, kamu?!" sembur Hasna begitu Kenan sudah duduk di belakang kemudi. "Buka enggak pintunya, kalau enggak aku teriak!"

Alih-alih mendengarkan, Kenan malah menstarter mobil, lalu melaju membelah jalan raya.

"Eh, ini bisa masuk pasal penculikan, tau!" Hasna kembali meracau.

"Mana mungkin penculikan, kamunya mau aja diajak."

'Dasar gila!' Hasna mengumpat dalam hati.

"Dari sisi mana pun, kamu yang geret-geret aku sepanjang jalan. Enggak pake permisi, malah bawa aku entah ke mana." Hasna kemudian menyilangkan kedua tangan di depan dada sambil menatap curiga ke arah Kenan. "Atau jangan-jangan kamu sindikat perdagangan manusia, perkosa aku dulu, baru kamu jual."

Mendengar ocehan Hasna, spontan tawa Kenan tersembur. Wanita itu terpana melihat wajah si pria yang memerah. Sepertinya kegantengan Kenan dari rentang satu sampai sepuluh, Hasna memberi point delapan.

'Aduh! Masih sempat-sempatnya ngasih nilai!' Hasna menepuk kepalanya.

"Kamu itu, selain telmi juga percaya diri banget. Aku enggak doyan badan tipis seperti triplek itu." Kenan akhirnya bersuara, tetapi jawabannya itu justru membuat darah Hasna mendidih. Sudahlah main paksa, body shaming lagi. Terlalu!

"Ih, ini seksi namanya. Lagian, selera aku juga bukan seperti kamu." Hasna membalas.

Bukannya marah, tawa Kenan malah semakin keras. "Kamu lucu, beneran."

Hasna melengos. Baru kali ini dia ketemu pria aneh. Andai saja dia tak mengenal baik teman yang memberi job foto untuk  prewed Salwa, mungkin dia sudah menghadiahi Mr. Frezer, si tukang paksa orang, tendangan memutar. Dia yakin, Kenan bukan orang jahat, lagian kalau macam-macam, tinggal lapor polisi.

Tawa Kenan berhenti ketika telepon di atas dashboard mobil berdering, tepat saat mereka berada di lampu merah. Kenan meraih telepon itu, melirik ke arah Hasna sebentar sebelum menekan icon hijau.

"Assalamualaikum, Ma. Iya, Kenan mau ke sana."

" ...."

"Iya, tenang aja." Kenan kembali menatap Hasna lekat, "aku datang bareng calon istriku."

Mendadak Hasna merasa telinga berdenging. Dia menatap Kenan dengan mulut terbuka, sambil membatin, 'calon istri? Tolong otak, katakan, maksudnya bukan aku, kan?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hidup di Dua Hati   Bertahun Kemudian

    Hasna membekap mulut agar isaknya tak terdengar keluar. Hati wanita itu lelah terus berharap agar manik matanya melihat dua garis merah. Namun, hampir dua tahun pernikahan dan menghabiskan banyak tespack, lagi-lagi dia harus menelan kecewa. Dia selalu berdebar saat jadwal menstruasi datang. Berharap siklus bulanan itu berhenti dan memberikan kabar baik. Namun, sepertinya Hasna harus memupus harapan memiliki anak."Sayang, buka pintunya." Suara Kenan terdengar dari balik pintu kamar mandi. Panggilan sang suami tak membuat Hasna bergeming. Dia masih sibuk mengemasi rasa kecewa yang kembali berhamburan ke dadanya. Dia menatap pantulan wajah yang terlihat kacau di dalam cermin. Pikiran-pikiran buruk bertandang ke tempurung kepalanya. Bagaimana jika dia tak bisa memiliki anak? Bagaimana jika Kenan menggantikan posisinya dengan wanita lain? Lalu, jawaban apa yang akan diberikan kepada sang ibu yang sangat berharap menimang cucu?Bila pertanyaan-pertanyaan itu mendesak kepalanya, Hasna kemb

  • Hidup di Dua Hati   Cinta Akan Membawamu Kembali

    Harusnya Hasna menahan diri lebih lama tinggal di rumah, tetapi tiga hari menghabiskan waktu melepas kerinduan, berbincang pengalamannya selama dua tahun dengan ayah serta ibunya, dia tak tahan untuk tidak menemui Refan. Dia penasaran, bagaimana temannya itu mengelola studio foto yang dia titipkan. Apakah berkembang? atau malah berantakan?Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, Hasna meraih kunci dan mengemudikan mobil menuju studio foto. Di sepanjang perjalanan hatinya menghangat melihat tempat-tempat yang pernah dikunjungi bersama Kenan. Sosok pria itu selalu mengikuti ke mana saja dia pergi, seakan tak bosan menghadirkan ke dalam ruang imaji. Sekuat apa pun Hasna mencoba mengusir, bayang-bayang pria tersebut selalu datang. Namun, sosok Kenan yang dia lihat beberapa hari yang lalu, menghantarkan perih ke dadanya. Apakah pria itu telah melupakannya? Mengapa Refan tak mengatakan apa pun? Hal ini juga yang membuatnya ingin segera bertemu.Dering telepon membuyarkan ingatan Hasn

  • Hidup di Dua Hati   Masih Adakah Cinta Untukku?

    Rumah berlantai dua di hadapan Kenan masih sama. Hamparan rumput jepang, bunga-bunga hias, dan riuh kicau burung perkutut milik Ayah Hasna. Pria itu tak melihat perubahan apa pun meski putri sang empunya rumah melanglang buana entah ke mana. Hanya saja saat bertamu, ada kekosongan di mata renta Hasan, setiap kali nama putrinya disebut."Hasna paling tidak suka suara burung perkutut," celutuk Hasan. Saat ini keduanya duduk di teras, seraya menikmati mentari yang mulai lingsir ke barat.Kenan tersenyum tipis. Dia ingat omelan Hasna saat hendak membawa salah satu burung perkutut milik Hasan. Wanita itu bilang, suara perkutut itu tidak merdu, membuat telinganya pekak. Dia pikir alasan yang dikatakan si wanita sangat mengada-ngada, tetapi Kenan tak berani memprotes. Bila satu pertanyaan mengandung protes saja keluar dari bibirnya, Hasna dengan senang hati membawakan bantal dan selimut ke sofa. Tak lupa mengatakan bahwa dia ingin tidur sendirian."Dia pasti mengatakan kalau suara perkutut i

  • Hidup di Dua Hati   Ruang Hampa

    Kenan membuka jendela kamar untuk melihat bulan sabit yang tergantung di langit malam. Angin sedikit berisik, entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Mungkin sedang membicarakan pria yang terlihat hidup, tetapi mati. Seseorang pecundang yang kini hidup dari sisa kenangan yang dikais dari masa lalu.Pandangan Kenan jatuh pada bunga-bunga hias di samping rumahnya. Bunga lili beraneka warna memenuhi rak-rak besi yang dicat merah menyala. Dia ingat, dulu Hasna merengek padanya agar dibuatkan rak-rak tersebut. Kesukaan pada bunga lili, sama persis seperti almarhumah sang mama. Hampir setiap sore, wanita itu berada di sana. Memberikan kasih sayang seperti seorang ibu kepada anaknya. Sering Kenan meledek, mengapa Hasna bicara pada bunga yang jelas tak bisa mendengar atau merespon ucapannya. Wanita itu menjawab, bunga-bunga itu seperti anak baginya. Bila dirawat dengan segenap kasih sayang, dia akan tumbuh subuh. Mereka memang tak bisa mendengar, melihat, tetapi bisa merasakan kasih s

  • Hidup di Dua Hati   Waktu yang Tepat Untuk Berpisah

    Kenan menatap pintu bercat putih di hadapan dengan sorot entah ... seperti pintu, hati Hasna juga tertutup untuknya. Kata-kata wanita yang pernah mengisi hatinya itu, teramat tajam menikam jantung. Meski tak berkata kasar, tetapi mampu menebas semua harapan yang dia bangun sejak beberapa hari yang lalu. Setelah mengantar jenazah almarhum Naya ke kampung halaman dan memakamkannya di sana, Kenan kembali ke Jakarta dengan seribu doa yang selalu dia langitkan. Semoga Hasna mau memperbaiki dan mengarungi kembali samudera rumah tangga bersamanya. Dia yakin, tak mudah cinta pupus dari hati wanita tersebut. Apalagi mereka nyaris memiliki seorang anak. Oleh karena itu, dengan keyakinan penuh dia mendatangi Hasna. Meminta maaf dan berharap sang wanita mau kembali padanya. Namun, dia lupa sesuatu. Hati yang tersakiti tidak mudah melupakan siapa penggores luka begitu saja.Raut datar dan dingin Hasna masih terbayang di pelupuk mata saat tadi keduanya berbicara di teras rumah. Tatapan sang wanita

  • Hidup di Dua Hati   Hati yang Masih Bersiteru

    Kata ikhlas mungkin sangat mudah untuk diucapkan, tetapi sulit diaplikasikan. Bisa saja bibir mengatakan ratusan kali. Namun, bagaimana dengan hati yang telanjur tersakiti? Tidak mudah luka yang bersarang di dada sembuh begitu saja. Bagi sebagian orang butuh waktu yang sangat lama, tapi bagi sebagian lagi mungkin bisa sangat cepat, tergantung sedalam apa perih terhunjam ke kalbu dan sebesar apa benak mengingat rasa kecewa.Seperti Hasna, dia mungkin memaafkan almarhumah Naya. Dia mencoba mengerti alasan yang melatarbelakangi gadis tersebut berbuat keji padanya. Harapan terlalu besar, tetapi sama sekali tak sesuai kenyataan, membuat gadis itu depresi. Membiarkan pikiran-pikiran buruk menguasai dirinya, hingga terjebak dalam ilusi yang diciptakan sendiri. Pola salah asuhan juga memicu kepribadian yang tak menerima penolakan dari siapa pun. Doktrin sejak kecil bahwa dia adalah seorang ratu, putri kesayangan almarhum Mak Rusli, bisa memiliki apa saja, boleh meminta apa pun, membuat Naya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status