Share

Ojek, Laut Mati, dan Venus

Mentari sudah terlihat gagah di langit. Teriknya tak membuat semangat orang-orang luntur untuk keluar rumah. Entah untuk mencari rezeki, menuntut ilmu, ke pasar, atau sekadar berjalan-jalan mencari sarapan. Jalanan masih terlihat basah sisa hujan deras semalam, genangan air di jalan berlubang membuat banyak pengendara memperlambat laju kendaraannya jika tak ingin terjatuh, paling penting untuk menghindari kecelakaan.

Hasna juga tak mau ketinggalan. Pagi-pagi sekali, wanita itu sudah bangun dan mempersiapkan diri. Mengenakan celana jeans dan kemeja longgar, serta mengikat rambutnya tinggi seperti ekor kuda, membuat gerakannya menjadi lebih luwes. Sepatu kets putih dipilih menjadi alas kaki. Wanita tiga puluh tahun itu memang lebih nyaman dengan gaya kasual. Pekerjaannya di bidang fotografi membuatnya dituntut harus bergerak aktif dan kreatif. Oleh karena itu, gaun, rok, dan tetek bengek pakaian khas wanita, menjadi pilihan terakhirnya.

Hasna melirik jam yang tergantung di dinding, sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dia  berdecak keras, harusnya tak meladeni telepon dari Azka, mantan suaminya. Pria itu masih saja mengejar meski mereka telah satu tahun bercerai. Entah apa yang ada di pikiran pria tersebut. Dulu, dia menyia-nyiakan kepercayaan yang Hasna beri. Bahkan, si wanita menghabiskan hampir seluruh tabungannya untuk memenuhi gaya hidup Azka yang tinggi. Pria itu bilang, teman-temannya sudah memiliki mobil setiap pergi ke kantor, sementara dia yang golongan tiga pegawai negeri sipil masih saja memakai sepeda motor, itu pun Hasna yang membelikan pada ulang tahun Azka. Bagai kerbau dicocok hidungnya, wanita itu mau saja mengikuti kemauan sang mantan suami. Parahnya, mobil itu justru digunakan si pria untuk melagak gadis-gadis muda yang silau melihat tampang dan harta.

Dulu, Hasna sama sekali tak mengindahkan nasehat teman-teman dekatnya. Matanya dibutakan oleh cinta. Menerima lamaran Azka, tanpa mengenal siapa pria itu. Padahal, mereka bertemu di aplikasi f******k, saling sapa, dan bertukar cerita. Rasa nyaman langsung hadir di dada Hasna, hingga saat Azka meminta bertemu, dia mengiyakan.

Debar-debar yang hadir saat bersama Azka, membuat Hasna tak berpikir panjang. Dia juga takut dikatakan perawan tua karena umur yang sudah sangat matang, teman-teman sepantarannya bahkan sudah memiliki dua anak. Jadi, saat seorang pria yang dia kira baik, sopan, dan sangat tampan melamar, dia langsung merasa seperti kejatuhan durian. Hasna memang bangga bersuamikan Azka yang kalau diumpamakan seperti Dewa Eros, dewa tertampan di mitologi Yunani. Namun, kebahagiaan itu harus dia bayar mahal. Sang Eros gadungan itu hanya bermodal cinta saja. Untuk urusan nafkah lahir, dia hanya memberi sekadarnya. Alasan pria itu, dia mempunyai banyak tanggungan sebelum menikah. Entah tanggungan apa, Hasna tak pernah bertanya.

Melihat tak ada protes dari Hasna, pria itu mulai 'ngelunjak'. Dia jarang memberikan gajinya. Azka mengatakan, pendapatan sang istri jauh lebih besar, jadi tak berpengaruh dia beri atau tidak. Dan dengan bodohnya, Hasna mengiyakan saja karena memang si wanita terbiasa mandiri sejak dulu. Lagi pula, Hasna sudah memiliki segalanya. Rumah, kendaraan, dan studio foto sendiri. Lalu, pria itu mulai menghisap tabungan sang istri. Masih, atas nama cinta, sang wanita menurut saja.

Dering telepon membuyarkan lamunan Hasna. Dia berdecih, bisa-bisanya mengingat pria tak berguna itu lagi. Sekarang, dia malah menertawakan dirinya, betapa bodohnya dulu.

"Hallo." Hasna menempelkan telepon genggam ke telinga, sementara tangannya sibuk memasukan perlengkapan ke dalam ransel kecilnya.

"Kamu di mana? Ini calon manten udah dateng, lho. Masak photografernya masih tiduran." Suara Refan menembus gendang telinga Hasna, membuat wanita itu sedikit berjengit.

"Aku enggak budek. Ngomongnya bisa pelan enggak, sih!" balas Hasna ketus. Dia menyandang tas ransel ke punggung setelah semua barang penting masuk.

"Sorry, aku pikir kamu masih tidur."

"Ya, kali aku masih tidur. Ini udah siap-siap. Lokasinya di Anyer, kan?" Hasna menuruni anak tangga perlahan, menuju ruang makan.

Di atas meja telah tersedia segelas susu, tiga tangkup roti bakar, dan kotak bekal yang berisi mie goreng seafood favoritnya. Hasna sengaja minta dibuatkan menu itu semalam kepada asisten rumah tangganya. Dia memang terbiasa sarapan dan membawa bekal. Selain hemat, dia juga terlalu sibuk untuk mampir di restoran atau kafe-kafe. Untuk makan biasanya dia memesan lewat aplikasi online saja.

"Iya, perlu aku jemput enggak?" Refan menawarkan, terdengar suara debur ombak, pertanda pria itu berdiri di pinggir pantai.

Hasna meneguk susunya terlebih dahulu, sebelum menjawab. "Enggak usah. Aku pake motor. Perlengkapan udah semua, kan. Jangan sampai aku di sana masih ada yang belum beres."

"Tenang aja, Buk bos, semua rebes!" sahut Refan percaya diri.

Hasna memutus saluran telepon setelah mendengar perkataan Refan. Dia memasukkan kotak bekal ke dalam ransel, lalu meraih kunci motor di atas kulkas.

"Non!" Bi Asih, asisten rumah tangga Hasna yang baru kembali dari pasar pagi, menyapa di teras. "Tiga hari yang lalu, Nyonya sama Tuan telepon. Katanya, mereka mau ke sini hari ini."

"Apa?!" Mata Hasna membulat. Dia mendesah keras, seketika wajah wanita itu langsung kusut. "Napa enggak bilang dari kemarin-kemarin, Bi. Hari ini jadwalku penuh."

"Maaf, Non. Bibi lupa. Lagian Non Hasna jarang di rumah. Pulang juga baru kemarin."

Hasna tak menjawab lagi. Salahnya. Seminggu kemarin dia memang disibukkan dengan proyek iklan kecantikan di Bali. Harusnya pekerjaan itu kelar dua hari yang lalu, tetapi cuaca yang ekstrem, plus sang model yang keracunan makanan, membuat pengerjaan iklan tersebut seperti sinetron. Bersambung-sambung.

"Ya udah, Bi. Aku pamit dulu. Nanti kalau Ibu sama Ayah dateng, bilang aja aku ada kerjaan di Anyer. Jangan lupa, tolong masakin makanan favorit Mama, ya," pinta Hasna sambil berjalan ke sepeda motor yang terparkir di garasi yang sudah terbuka.

*

Hasna berkali-kali melirik pergelangan tangannya, sudah setengah jam lewat dia di perjalanan. Harusnya, dari rumah menuju Anyer hanya makan waktu dua puluh menit menggunakan sepeda motor, tetapi sebuah kecelakaan beruntun membuat jalan menuju lokasi macet mengular hingga lima kilo meter. Wanita itu memilih lewat jalan alternatif, jalan tikus bahasa kerennya. Alih-alih sampai lebih cepat, dia malah terjebak di bengkel karena ban sepeda motornya kempes mendadak.

"Gimana, Pak? Bisa dibenerin?" tanya Hasna dengan wajah berkeringat.

"Bannya ketembus paku dua, Neng. Panjang-panjang lagi. Apes banget Neng ini."

Jawaban bapak yang punya bengkel membuat lutut Hasna melemah. Bisa-bisa dia diomelin klien-nya. Paling buruk minta panjar dikembalikan.

"Ya, sudah, Pak. Gimana caranya saya bisa jalan lagi. Udah mepet ini, Pak," ujar Hasna dengan wajah gelisah, sambil melihat jam tangan berkali-kali.

"Enggak janji, ya. Neng. Ini bocornya gede. Mesti ganti benennya. Saya kagak ada, tuh, ukuran segini," balas sesebapak dengan logat Betawi.

'Aduh! Mati aku.' Hasna membatin sambil menepuk jidatnya. Mau nekat dibawa jalan, roda motor sudah dipreteli. Wanita itu memutuskan meninggalkan sepeda motornya dan memesan goride lewat aplikasi, gojek. Sayang seribu kali sayang, sepertinya Hasna melangkah keluar rumah dengan kaki kiri tadi pagi. Dia baru 'ngeh' kuotanya habis semalam, sementara M-bankingnya dari dua minggu yang lalu tidak juga diurus, gegara lupa password.

Akhirnya, Hasna berjalan menuju jalan raya yang jaraknya sekitar satu kilo dari bengkel tadi. Setelah berpeluh ria disengat matahari, bibir Hasna mengulas senyum. Dia melihat seorang pria sedang menggunakan jaket dan helm bertuliskan, gojek. Tanpa basa-basi wanita itu mendekat, lalu menepuk bahu sang pria.

"Mas, antar aku ke Anyer, ya. Enggak usah pake aplikasi, aku bayar seratus ribu. Enggak boleh nolak, ini darurat antara hidup dan mati."

Hasna nyerocos tanpa memberi kesempatan sang pria berbicara. Langsung saja dia meraih helm di tangan si pria dan duduk di jok belakang.

"Mas, hayuk! Kalau kurang saya tambah lima puluh ribu," ujar Hasna melihat pria itu hanya diam menatapnya.

"Saya bukan--"

"Aduh, Mas, cepetan. Nanti ada yang sekarat," sela Hasna, dia terpaksa drama karena gemas melihat si pria masih saja bengong melihatnya. "Atau Mas mau tanggung jawab kalau nanti ada apa-apa?" Dia mulai mengintimidasi.

Pria tersebut akhirnya mendekati seorang pemilik warung, lalu memberikan sebuah kartu nama. Entah apa yang keduanya bicarakan, Hasna tak peduli. Yang dia pikirkan saat ini adalah nasib Refan yang pasti sudah diomeli oleh klien mereka.

"Hayuk, tujuan ke mana?" Pria itu akhirnya menstarter motor, lalu mulai menjalankan kuda besi itu.

"Ke  Anyer, Mas, tadi, kan, udah dibilang. Kalau bisa ngebut, ya, saya buru-buru."

Pria itu hanya mengangguk, sambil menambah laju kendaraannya. Sesekali Hasna menepuk bahu pria itu karena terlalu cepat, tetapi tak lama menyuruh menambah kecepatan saat terlalu pelan.

'Merepotkan!' Si pria mengeluh dalam hati.

Lima belas menit perjalanan, akhirnya sampai juga di tempat yang di tuju. Refan segera menyongsong Hasna yang baru saja membuka helmnya.

"Katanya mau jalan, udah sejam enggak sampe-sampe. Rumahmu di Ujung Kulon?"

Hasna meringis. Dia tahu dia salah, tapi  bicaranya jangan di depan tukang ojek online juga, membuat Husna ingin mengirim Refan ke Saturnus.

"Ni, ya, Mas, seratus lima puluh. Hari ini Mas untung gede dapat penumpang saya. Enggak pake aplikasi lagi," ucap Hasna sambil menyerahkan lembaran seratus dan lima puluh ke tangan pria tadi.

Tanpa menunggu jawaban dari pria itu, Hasna bergegas menuju lokasi pemotretan diikuti Refan yang masih nyerocos seperti emak-emak yang sedang PMS. Sesampai di sana, Hasna malah melihat sepasang calon pengantin  sedang asyik menikmati kelapa muda, membuatnya menoleh cepat ke arah Refan, tetapi yang dilihat malah menatap ke arah laut.

Hasna gemas, melihat ekspresi Refan tadi, dia mengira klien mereka sudah mengamuk, tetapi yang tampak mereka malah santai melambai di tepi pantai. Akan tetapi, sebagai seorang photografer profesional, Hasna tetap harus meminta maaf.

"Mbak, Mas, maaf, ya, saya telat. Tadi ada sedikit masalah."

Kedua kliennya itu tersenyum.

"Enggak pa-pa, Mbak. Santai aja. Orang Kakak saya juga belum datang. Dia wanti-wanti foto prewed-nya jangan dimulai dulu tanpa dia," jawab calon pengantin wanita.

Hasna tertawa kaku, memberikan tatapan membunuh ke arah Refan yang pura-pura sibuk dengan kameranya. Hasna berjanji, akan menguliti pria itu sampai ke tulang.

"Nah, Itu Mas Kenan dateng!" Pengantin pria menunjuk ke arah belakang Hasna, membuat wanita tersebut ikut menoleh. Mata Hasna melebar melihat sosok yang mendekat, berkali-kali mengucek mata, memastikan yang mendekat bukan pria pengendara ojek tadi. Namun, saat calon pengantin wanita menyongsong pria tersebut dan memanggil, Kakak, Hasna berniat berimigrasi ke laut mati detik ini juga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status