Home / Romansa / Hidup di Dua Hati / Ojek, Laut Mati, dan Venus

Share

Ojek, Laut Mati, dan Venus

Author: Maheera
last update Last Updated: 2022-11-24 16:50:23

Mentari sudah terlihat gagah di langit. Teriknya tak membuat semangat orang-orang luntur untuk keluar rumah. Entah untuk mencari rezeki, menuntut ilmu, ke pasar, atau sekadar berjalan-jalan mencari sarapan. Jalanan masih terlihat basah sisa hujan deras semalam, genangan air di jalan berlubang membuat banyak pengendara memperlambat laju kendaraannya jika tak ingin terjatuh, paling penting untuk menghindari kecelakaan.

Hasna juga tak mau ketinggalan. Pagi-pagi sekali, wanita itu sudah bangun dan mempersiapkan diri. Mengenakan celana jeans dan kemeja longgar, serta mengikat rambutnya tinggi seperti ekor kuda, membuat gerakannya menjadi lebih luwes. Sepatu kets putih dipilih menjadi alas kaki. Wanita tiga puluh tahun itu memang lebih nyaman dengan gaya kasual. Pekerjaannya di bidang fotografi membuatnya dituntut harus bergerak aktif dan kreatif. Oleh karena itu, gaun, rok, dan tetek bengek pakaian khas wanita, menjadi pilihan terakhirnya.

Hasna melirik jam yang tergantung di dinding, sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dia  berdecak keras, harusnya tak meladeni telepon dari Azka, mantan suaminya. Pria itu masih saja mengejar meski mereka telah satu tahun bercerai. Entah apa yang ada di pikiran pria tersebut. Dulu, dia menyia-nyiakan kepercayaan yang Hasna beri. Bahkan, si wanita menghabiskan hampir seluruh tabungannya untuk memenuhi gaya hidup Azka yang tinggi. Pria itu bilang, teman-temannya sudah memiliki mobil setiap pergi ke kantor, sementara dia yang golongan tiga pegawai negeri sipil masih saja memakai sepeda motor, itu pun Hasna yang membelikan pada ulang tahun Azka. Bagai kerbau dicocok hidungnya, wanita itu mau saja mengikuti kemauan sang mantan suami. Parahnya, mobil itu justru digunakan si pria untuk melagak gadis-gadis muda yang silau melihat tampang dan harta.

Dulu, Hasna sama sekali tak mengindahkan nasehat teman-teman dekatnya. Matanya dibutakan oleh cinta. Menerima lamaran Azka, tanpa mengenal siapa pria itu. Padahal, mereka bertemu di aplikasi f******k, saling sapa, dan bertukar cerita. Rasa nyaman langsung hadir di dada Hasna, hingga saat Azka meminta bertemu, dia mengiyakan.

Debar-debar yang hadir saat bersama Azka, membuat Hasna tak berpikir panjang. Dia juga takut dikatakan perawan tua karena umur yang sudah sangat matang, teman-teman sepantarannya bahkan sudah memiliki dua anak. Jadi, saat seorang pria yang dia kira baik, sopan, dan sangat tampan melamar, dia langsung merasa seperti kejatuhan durian. Hasna memang bangga bersuamikan Azka yang kalau diumpamakan seperti Dewa Eros, dewa tertampan di mitologi Yunani. Namun, kebahagiaan itu harus dia bayar mahal. Sang Eros gadungan itu hanya bermodal cinta saja. Untuk urusan nafkah lahir, dia hanya memberi sekadarnya. Alasan pria itu, dia mempunyai banyak tanggungan sebelum menikah. Entah tanggungan apa, Hasna tak pernah bertanya.

Melihat tak ada protes dari Hasna, pria itu mulai 'ngelunjak'. Dia jarang memberikan gajinya. Azka mengatakan, pendapatan sang istri jauh lebih besar, jadi tak berpengaruh dia beri atau tidak. Dan dengan bodohnya, Hasna mengiyakan saja karena memang si wanita terbiasa mandiri sejak dulu. Lagi pula, Hasna sudah memiliki segalanya. Rumah, kendaraan, dan studio foto sendiri. Lalu, pria itu mulai menghisap tabungan sang istri. Masih, atas nama cinta, sang wanita menurut saja.

Dering telepon membuyarkan lamunan Hasna. Dia berdecih, bisa-bisanya mengingat pria tak berguna itu lagi. Sekarang, dia malah menertawakan dirinya, betapa bodohnya dulu.

"Hallo." Hasna menempelkan telepon genggam ke telinga, sementara tangannya sibuk memasukan perlengkapan ke dalam ransel kecilnya.

"Kamu di mana? Ini calon manten udah dateng, lho. Masak photografernya masih tiduran." Suara Refan menembus gendang telinga Hasna, membuat wanita itu sedikit berjengit.

"Aku enggak budek. Ngomongnya bisa pelan enggak, sih!" balas Hasna ketus. Dia menyandang tas ransel ke punggung setelah semua barang penting masuk.

"Sorry, aku pikir kamu masih tidur."

"Ya, kali aku masih tidur. Ini udah siap-siap. Lokasinya di Anyer, kan?" Hasna menuruni anak tangga perlahan, menuju ruang makan.

Di atas meja telah tersedia segelas susu, tiga tangkup roti bakar, dan kotak bekal yang berisi mie goreng seafood favoritnya. Hasna sengaja minta dibuatkan menu itu semalam kepada asisten rumah tangganya. Dia memang terbiasa sarapan dan membawa bekal. Selain hemat, dia juga terlalu sibuk untuk mampir di restoran atau kafe-kafe. Untuk makan biasanya dia memesan lewat aplikasi online saja.

"Iya, perlu aku jemput enggak?" Refan menawarkan, terdengar suara debur ombak, pertanda pria itu berdiri di pinggir pantai.

Hasna meneguk susunya terlebih dahulu, sebelum menjawab. "Enggak usah. Aku pake motor. Perlengkapan udah semua, kan. Jangan sampai aku di sana masih ada yang belum beres."

"Tenang aja, Buk bos, semua rebes!" sahut Refan percaya diri.

Hasna memutus saluran telepon setelah mendengar perkataan Refan. Dia memasukkan kotak bekal ke dalam ransel, lalu meraih kunci motor di atas kulkas.

"Non!" Bi Asih, asisten rumah tangga Hasna yang baru kembali dari pasar pagi, menyapa di teras. "Tiga hari yang lalu, Nyonya sama Tuan telepon. Katanya, mereka mau ke sini hari ini."

"Apa?!" Mata Hasna membulat. Dia mendesah keras, seketika wajah wanita itu langsung kusut. "Napa enggak bilang dari kemarin-kemarin, Bi. Hari ini jadwalku penuh."

"Maaf, Non. Bibi lupa. Lagian Non Hasna jarang di rumah. Pulang juga baru kemarin."

Hasna tak menjawab lagi. Salahnya. Seminggu kemarin dia memang disibukkan dengan proyek iklan kecantikan di Bali. Harusnya pekerjaan itu kelar dua hari yang lalu, tetapi cuaca yang ekstrem, plus sang model yang keracunan makanan, membuat pengerjaan iklan tersebut seperti sinetron. Bersambung-sambung.

"Ya udah, Bi. Aku pamit dulu. Nanti kalau Ibu sama Ayah dateng, bilang aja aku ada kerjaan di Anyer. Jangan lupa, tolong masakin makanan favorit Mama, ya," pinta Hasna sambil berjalan ke sepeda motor yang terparkir di garasi yang sudah terbuka.

*

Hasna berkali-kali melirik pergelangan tangannya, sudah setengah jam lewat dia di perjalanan. Harusnya, dari rumah menuju Anyer hanya makan waktu dua puluh menit menggunakan sepeda motor, tetapi sebuah kecelakaan beruntun membuat jalan menuju lokasi macet mengular hingga lima kilo meter. Wanita itu memilih lewat jalan alternatif, jalan tikus bahasa kerennya. Alih-alih sampai lebih cepat, dia malah terjebak di bengkel karena ban sepeda motornya kempes mendadak.

"Gimana, Pak? Bisa dibenerin?" tanya Hasna dengan wajah berkeringat.

"Bannya ketembus paku dua, Neng. Panjang-panjang lagi. Apes banget Neng ini."

Jawaban bapak yang punya bengkel membuat lutut Hasna melemah. Bisa-bisa dia diomelin klien-nya. Paling buruk minta panjar dikembalikan.

"Ya, sudah, Pak. Gimana caranya saya bisa jalan lagi. Udah mepet ini, Pak," ujar Hasna dengan wajah gelisah, sambil melihat jam tangan berkali-kali.

"Enggak janji, ya. Neng. Ini bocornya gede. Mesti ganti benennya. Saya kagak ada, tuh, ukuran segini," balas sesebapak dengan logat Betawi.

'Aduh! Mati aku.' Hasna membatin sambil menepuk jidatnya. Mau nekat dibawa jalan, roda motor sudah dipreteli. Wanita itu memutuskan meninggalkan sepeda motornya dan memesan goride lewat aplikasi, gojek. Sayang seribu kali sayang, sepertinya Hasna melangkah keluar rumah dengan kaki kiri tadi pagi. Dia baru 'ngeh' kuotanya habis semalam, sementara M-bankingnya dari dua minggu yang lalu tidak juga diurus, gegara lupa password.

Akhirnya, Hasna berjalan menuju jalan raya yang jaraknya sekitar satu kilo dari bengkel tadi. Setelah berpeluh ria disengat matahari, bibir Hasna mengulas senyum. Dia melihat seorang pria sedang menggunakan jaket dan helm bertuliskan, gojek. Tanpa basa-basi wanita itu mendekat, lalu menepuk bahu sang pria.

"Mas, antar aku ke Anyer, ya. Enggak usah pake aplikasi, aku bayar seratus ribu. Enggak boleh nolak, ini darurat antara hidup dan mati."

Hasna nyerocos tanpa memberi kesempatan sang pria berbicara. Langsung saja dia meraih helm di tangan si pria dan duduk di jok belakang.

"Mas, hayuk! Kalau kurang saya tambah lima puluh ribu," ujar Hasna melihat pria itu hanya diam menatapnya.

"Saya bukan--"

"Aduh, Mas, cepetan. Nanti ada yang sekarat," sela Hasna, dia terpaksa drama karena gemas melihat si pria masih saja bengong melihatnya. "Atau Mas mau tanggung jawab kalau nanti ada apa-apa?" Dia mulai mengintimidasi.

Pria tersebut akhirnya mendekati seorang pemilik warung, lalu memberikan sebuah kartu nama. Entah apa yang keduanya bicarakan, Hasna tak peduli. Yang dia pikirkan saat ini adalah nasib Refan yang pasti sudah diomeli oleh klien mereka.

"Hayuk, tujuan ke mana?" Pria itu akhirnya menstarter motor, lalu mulai menjalankan kuda besi itu.

"Ke  Anyer, Mas, tadi, kan, udah dibilang. Kalau bisa ngebut, ya, saya buru-buru."

Pria itu hanya mengangguk, sambil menambah laju kendaraannya. Sesekali Hasna menepuk bahu pria itu karena terlalu cepat, tetapi tak lama menyuruh menambah kecepatan saat terlalu pelan.

'Merepotkan!' Si pria mengeluh dalam hati.

Lima belas menit perjalanan, akhirnya sampai juga di tempat yang di tuju. Refan segera menyongsong Hasna yang baru saja membuka helmnya.

"Katanya mau jalan, udah sejam enggak sampe-sampe. Rumahmu di Ujung Kulon?"

Hasna meringis. Dia tahu dia salah, tapi  bicaranya jangan di depan tukang ojek online juga, membuat Husna ingin mengirim Refan ke Saturnus.

"Ni, ya, Mas, seratus lima puluh. Hari ini Mas untung gede dapat penumpang saya. Enggak pake aplikasi lagi," ucap Hasna sambil menyerahkan lembaran seratus dan lima puluh ke tangan pria tadi.

Tanpa menunggu jawaban dari pria itu, Hasna bergegas menuju lokasi pemotretan diikuti Refan yang masih nyerocos seperti emak-emak yang sedang PMS. Sesampai di sana, Hasna malah melihat sepasang calon pengantin  sedang asyik menikmati kelapa muda, membuatnya menoleh cepat ke arah Refan, tetapi yang dilihat malah menatap ke arah laut.

Hasna gemas, melihat ekspresi Refan tadi, dia mengira klien mereka sudah mengamuk, tetapi yang tampak mereka malah santai melambai di tepi pantai. Akan tetapi, sebagai seorang photografer profesional, Hasna tetap harus meminta maaf.

"Mbak, Mas, maaf, ya, saya telat. Tadi ada sedikit masalah."

Kedua kliennya itu tersenyum.

"Enggak pa-pa, Mbak. Santai aja. Orang Kakak saya juga belum datang. Dia wanti-wanti foto prewed-nya jangan dimulai dulu tanpa dia," jawab calon pengantin wanita.

Hasna tertawa kaku, memberikan tatapan membunuh ke arah Refan yang pura-pura sibuk dengan kameranya. Hasna berjanji, akan menguliti pria itu sampai ke tulang.

"Nah, Itu Mas Kenan dateng!" Pengantin pria menunjuk ke arah belakang Hasna, membuat wanita tersebut ikut menoleh. Mata Hasna melebar melihat sosok yang mendekat, berkali-kali mengucek mata, memastikan yang mendekat bukan pria pengendara ojek tadi. Namun, saat calon pengantin wanita menyongsong pria tersebut dan memanggil, Kakak, Hasna berniat berimigrasi ke laut mati detik ini juga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hidup di Dua Hati   Bertahun Kemudian

    Hasna membekap mulut agar isaknya tak terdengar keluar. Hati wanita itu lelah terus berharap agar manik matanya melihat dua garis merah. Namun, hampir dua tahun pernikahan dan menghabiskan banyak tespack, lagi-lagi dia harus menelan kecewa. Dia selalu berdebar saat jadwal menstruasi datang. Berharap siklus bulanan itu berhenti dan memberikan kabar baik. Namun, sepertinya Hasna harus memupus harapan memiliki anak."Sayang, buka pintunya." Suara Kenan terdengar dari balik pintu kamar mandi. Panggilan sang suami tak membuat Hasna bergeming. Dia masih sibuk mengemasi rasa kecewa yang kembali berhamburan ke dadanya. Dia menatap pantulan wajah yang terlihat kacau di dalam cermin. Pikiran-pikiran buruk bertandang ke tempurung kepalanya. Bagaimana jika dia tak bisa memiliki anak? Bagaimana jika Kenan menggantikan posisinya dengan wanita lain? Lalu, jawaban apa yang akan diberikan kepada sang ibu yang sangat berharap menimang cucu?Bila pertanyaan-pertanyaan itu mendesak kepalanya, Hasna kemb

  • Hidup di Dua Hati   Cinta Akan Membawamu Kembali

    Harusnya Hasna menahan diri lebih lama tinggal di rumah, tetapi tiga hari menghabiskan waktu melepas kerinduan, berbincang pengalamannya selama dua tahun dengan ayah serta ibunya, dia tak tahan untuk tidak menemui Refan. Dia penasaran, bagaimana temannya itu mengelola studio foto yang dia titipkan. Apakah berkembang? atau malah berantakan?Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, Hasna meraih kunci dan mengemudikan mobil menuju studio foto. Di sepanjang perjalanan hatinya menghangat melihat tempat-tempat yang pernah dikunjungi bersama Kenan. Sosok pria itu selalu mengikuti ke mana saja dia pergi, seakan tak bosan menghadirkan ke dalam ruang imaji. Sekuat apa pun Hasna mencoba mengusir, bayang-bayang pria tersebut selalu datang. Namun, sosok Kenan yang dia lihat beberapa hari yang lalu, menghantarkan perih ke dadanya. Apakah pria itu telah melupakannya? Mengapa Refan tak mengatakan apa pun? Hal ini juga yang membuatnya ingin segera bertemu.Dering telepon membuyarkan ingatan Hasn

  • Hidup di Dua Hati   Masih Adakah Cinta Untukku?

    Rumah berlantai dua di hadapan Kenan masih sama. Hamparan rumput jepang, bunga-bunga hias, dan riuh kicau burung perkutut milik Ayah Hasna. Pria itu tak melihat perubahan apa pun meski putri sang empunya rumah melanglang buana entah ke mana. Hanya saja saat bertamu, ada kekosongan di mata renta Hasan, setiap kali nama putrinya disebut."Hasna paling tidak suka suara burung perkutut," celutuk Hasan. Saat ini keduanya duduk di teras, seraya menikmati mentari yang mulai lingsir ke barat.Kenan tersenyum tipis. Dia ingat omelan Hasna saat hendak membawa salah satu burung perkutut milik Hasan. Wanita itu bilang, suara perkutut itu tidak merdu, membuat telinganya pekak. Dia pikir alasan yang dikatakan si wanita sangat mengada-ngada, tetapi Kenan tak berani memprotes. Bila satu pertanyaan mengandung protes saja keluar dari bibirnya, Hasna dengan senang hati membawakan bantal dan selimut ke sofa. Tak lupa mengatakan bahwa dia ingin tidur sendirian."Dia pasti mengatakan kalau suara perkutut i

  • Hidup di Dua Hati   Ruang Hampa

    Kenan membuka jendela kamar untuk melihat bulan sabit yang tergantung di langit malam. Angin sedikit berisik, entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Mungkin sedang membicarakan pria yang terlihat hidup, tetapi mati. Seseorang pecundang yang kini hidup dari sisa kenangan yang dikais dari masa lalu.Pandangan Kenan jatuh pada bunga-bunga hias di samping rumahnya. Bunga lili beraneka warna memenuhi rak-rak besi yang dicat merah menyala. Dia ingat, dulu Hasna merengek padanya agar dibuatkan rak-rak tersebut. Kesukaan pada bunga lili, sama persis seperti almarhumah sang mama. Hampir setiap sore, wanita itu berada di sana. Memberikan kasih sayang seperti seorang ibu kepada anaknya. Sering Kenan meledek, mengapa Hasna bicara pada bunga yang jelas tak bisa mendengar atau merespon ucapannya. Wanita itu menjawab, bunga-bunga itu seperti anak baginya. Bila dirawat dengan segenap kasih sayang, dia akan tumbuh subuh. Mereka memang tak bisa mendengar, melihat, tetapi bisa merasakan kasih s

  • Hidup di Dua Hati   Waktu yang Tepat Untuk Berpisah

    Kenan menatap pintu bercat putih di hadapan dengan sorot entah ... seperti pintu, hati Hasna juga tertutup untuknya. Kata-kata wanita yang pernah mengisi hatinya itu, teramat tajam menikam jantung. Meski tak berkata kasar, tetapi mampu menebas semua harapan yang dia bangun sejak beberapa hari yang lalu. Setelah mengantar jenazah almarhum Naya ke kampung halaman dan memakamkannya di sana, Kenan kembali ke Jakarta dengan seribu doa yang selalu dia langitkan. Semoga Hasna mau memperbaiki dan mengarungi kembali samudera rumah tangga bersamanya. Dia yakin, tak mudah cinta pupus dari hati wanita tersebut. Apalagi mereka nyaris memiliki seorang anak. Oleh karena itu, dengan keyakinan penuh dia mendatangi Hasna. Meminta maaf dan berharap sang wanita mau kembali padanya. Namun, dia lupa sesuatu. Hati yang tersakiti tidak mudah melupakan siapa penggores luka begitu saja.Raut datar dan dingin Hasna masih terbayang di pelupuk mata saat tadi keduanya berbicara di teras rumah. Tatapan sang wanita

  • Hidup di Dua Hati   Hati yang Masih Bersiteru

    Kata ikhlas mungkin sangat mudah untuk diucapkan, tetapi sulit diaplikasikan. Bisa saja bibir mengatakan ratusan kali. Namun, bagaimana dengan hati yang telanjur tersakiti? Tidak mudah luka yang bersarang di dada sembuh begitu saja. Bagi sebagian orang butuh waktu yang sangat lama, tapi bagi sebagian lagi mungkin bisa sangat cepat, tergantung sedalam apa perih terhunjam ke kalbu dan sebesar apa benak mengingat rasa kecewa.Seperti Hasna, dia mungkin memaafkan almarhumah Naya. Dia mencoba mengerti alasan yang melatarbelakangi gadis tersebut berbuat keji padanya. Harapan terlalu besar, tetapi sama sekali tak sesuai kenyataan, membuat gadis itu depresi. Membiarkan pikiran-pikiran buruk menguasai dirinya, hingga terjebak dalam ilusi yang diciptakan sendiri. Pola salah asuhan juga memicu kepribadian yang tak menerima penolakan dari siapa pun. Doktrin sejak kecil bahwa dia adalah seorang ratu, putri kesayangan almarhum Mak Rusli, bisa memiliki apa saja, boleh meminta apa pun, membuat Naya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status