"Mama mau tanya sesuatu sama kamu, tapi kamu harus jawab jujur." Nuraida menatap lekat ke retina mata Hasna, dia ingin memastikan wanita itu tidak berbohong.
Hasna tersenyum kaku, mencoba terlihat tenang, meski keringat dingin keluar dari pelipisnya."Tanya apa, Tante?""Kamu beneran, kan, pacarnya Kenan? Bukan sewaan?"Mata Hasna membulat, 'pacar sewaaan?' Dia membatin. Andai saja tak ada Mamanya Kenan, tawa Hasna mungkin sudah tersembur keluar. Ya, kali pria setampan Kenan butuh pacar sewaan? Seperti tidak laku saja."Emang Mr. Frezer, eh ... maksudnya Mas Kenan sering seperti itu, Tante?" Hasna malah tergelitik ingin tahu. Sepertinya ini senjata bagus untuk membalas si tuan pemaksa itu."Sering, yang dibawa itu aneh-aneh. Ada yang SPG, ada anak SMA, bahkan yang terakhir itu, waria. Yang bikin Tante senewen, Kenan enggak tau kalau pacar sewaannya itu perempuan berjakun."Seketika tawa Hasna pecah, wanita itu tertawa sampai air matanya keluar. Dia membayangkan bagaimana pria yang terlihat cerdas itu, tidak bisa membedakan perempuan beneran atau abal-abal?"Aduh, Tante, lucu banget, perut Hasna sampe kejang."Tawa Hasna ikut menular ke Nuraida Wanita itu langsung cocok saat melihat perempuan yang diaku Kenan sebagai calon istrinya itu. Hasna terlihat begitu natural. Pakaiannya sopan meski terlihat jauh dari kata feminim. Perilakunya juga tak dibuat-buat. Tertawa pun tak ditahan-tahan. Benar-benar apa adanya."Makanya Tante itu sempat kepikiran kalau Kenan itu, gay.""A-apa?" Hasna kembali dibuat kaget dengan pernyataan Mama Kenan tersebut. "Napa Tante ngomong seperti itu?"Nuraida melengos. "Usia Kenan itu sudah tiga puluh satu tahun. Sejak dia tamat SMA sampe sekarang, Tante enggak pernah lihat dia bawa perempuan. Asistennya laki-laki, pegawainya laki-laki, bahkan semua pekerja di setiap outletnya laki-laki semua. Gimana Tante enggak takut kalau Kenan beraliran sesat.""Tante, itu enggak bisa dijadiin patokan. Bisa aja memang Kenan menerapkan peraturan seperti itu untuk menjaga hal yang tidak-tidak." Hasna mencoba berasumsi."Maksudnya?"Hasna berpikir sejenak, dia tak mungkin tahu apa alasan Kenan melakukan itu, ketemunya saja baru dua kali. "Gini, Tante. Kan, biasanya kalau ada karyawan laki-laki sama perempuan rawan cinta-cintaan. Nah, kalau misalnya mereka berantem? Trus keganggu sama kinerja mereka, yang rugi siapa?" Wanita itu membayangkan Refan dan Juleha. Setiap kedua orang itu lagi berantem, pasti ada aja kerjaan mereka yang tidak beres."Wah, benar juga." Nuraida manggut-manggut. "Calon mantu Tante cerdas. Mulai sekarang panggil Mama, ya? Mama sangat berharap kamu dan Kenan bisa segera menikah." Sorot mata Nuraida berbinar bahagia. Dia yakin jika kali ini, wanita yang dibawa Kenan benar-benar kekasihnya.Hati Hasna menghangat mendengar permintaan Mama Kenan, terdengar sangat tulus. Sebuah doa yang keluar dari mulut seorang ibu. Sayangnya, apa yang dia lakukan sekarang malah membohongi wanita tersebut.Sementara dari balik pintu kamar ruang rawat Nuraida, Kenan mengintip melalui kaca yang terpasang di pintu. Dahinya berkerut, bukannya kesal, wajah mamanya malah terlihat sangat bahagia. Kedua wanita itu malah kompak saling tertawa, membuatnya penasaran apa yang keduanya bicarakan.Namun, senyum juga terbit di bibir Kenan. Sudah lama sang mama tidak tertawa selepas itu. Tepatnya, setelah ayahnya meninggal dunia. Nuraida memang terlihat bahagia, tetapi sorot matanya tampak kosong. Hasna, wanita itu memang memiliki aura positif. Dia saja yang jarang tersenyum, malah dibuat terbahak oleh sikap blak-blakkan si wanita. Kenan bersyukur, telah menemukan wanita yang cocok dengan sang mama, tetapi senyum itu surut saat menyadari bahwa semua hanya untuk hari ini."Kak! Ngintipin apa, sih?" Kenan berjengit saat sebuah tepukan mendarat di bahunya."Kamu ini, bikin kaget saja!" Kenan mendengkus setelah melihat Salwa pelakunya. "Dari mana? Mama, kok, ditinggal sendirian?""Nganter orang tua Mas Andri, tadi ke sini jenguk Mama. Mereka bilang, sebaiknya pernikahan diundur sampai Mama baikan. Mumpung undangan belum dicetak."Kenan mengusap kepala Salwa sekilas, seraya tersenyum tipis. "Maafin Kakak, ya. Gegara Kakak, Mama jadi seperti ini, pernikahan kamu pun diundur.""Bukan karna Kakak, emang baiknya gitu. Salwa juga enggak mau nikah kalau Mama enggak datang. Mending diundur.""Iya." Kenan melirik tangan Salwa, "itu apa?"Salwa mengangkat kantong kresek putih bertuliskan alfamart'. "Laper, Kak, jadi sekalian beli makanan." Gadis itu celingukkan mengintip lewat kaca. "Lah, itu, kan, Mbak Hasna. Ngapain di sini?"Kenan mengusap wajahnya, dia tidak memperhitungkan Salwa. Pasti drama ini terbongkar kalau adiknya itu berada di ruangan sang mama tadi."Kak, kamu enggak aneh-aneh, kan?" Salwa menyipitkan matanya, menatap dengan sorot curiga ke arah Kenan."Kamu jangan bilang apa-apa sama, Mama. Hasna Kakak minta buat--""Jangan bilang jadi pacar gadungan?!"Kenan membekap mulut Salwa cepat. "Kamu ini, napa enggak pake toa sekalian!""Ih, jadi bener, ya, Kakak boongin Mama lagi?"Kenan benar-benar kesal melihat ekspresi Salwa. Bibir mengerucut, mata menyipit, dan ekspresinya itu, seolah-olah dia tersangka penipuan kelas berat."Pokoknya kamu jangan bilang-bilang.""Iya, iya." Salwa mengintip lagi, matanya menangkap tangan sang mama menggenggam tangan Hasna, entah apa yang keduanya bicarakan, tetap senyum tak luntur dari wajah mamanya. "Tapi, kok, Kakak kenal Mbak Hasna, ya? Apa setelah di Anyer kalian kontak-kontakan?"Kenan memutar bola mata dengan malas. Bila sudah begini, Salwa akan terus mencecarnya dengan banyak pertanyaan, saking keponya. Sepertinya, hari ini akan jadi hari yang panjang bagi Kenan.*"Mama ngomongin apa tadi?" tanya Kenan.Setelah satu jam menceritakan kronologi kejadian kenapa Hasna bisa ada di rumah sakit kepada Salwa, gadis itu malah tertawa sampai perutnya kejang. Bukannya menolong mencari alasan kalau mamanya nanti bertanya di mana Hasna, gadis itu malah menyarankan untuk memacari Hasna sekalian, menurutnya, mereka jodoh. Alih-alih mendengarkan, Kenan sama sekali tak tertarik menikah dalam waktu cepat."Enggak ada. Mama cuma cerita kalau anaknya enggak bisa bedain mana wanita beneran, mana yang abal-abal," jawab Hasna acuh tak acuh sambil menahan senyum.Kesan mendesis mendengar sindiran Hasna. Kejadian itu memalukan sekali."Bukan seperti itu, kejadiannya cepat banget, mana sempat periksa 'aksesorisnya' dulu, bisa ditabok aku."Tawa Hasna lepas mendengar jawaban Kenan. Pria itu benar-benar tak bisa ditebak. Pertama kali bertemu dia terlihat sangat datar dan membosankan, tetapi sekarang Hasna melihat ketengilan ada pada si pria."Eh, kok, udah manggil Mama aja?" tanya Kenan, mata pria itu masih fokus ke jalan raya."Mama yang minta, lagian bagus juga. Aku punya Mama, Ibu, siapa tau nanti ada yang ngakuin aku jadi pacarnya lagi, aku punya Mami."Kenan geleng-geleng kepala mendengar jawaban asal-asalan Hasna. Kalau dilihat-lihat wanita itu bukan tipenya sama sekali. Hasna terlalu 'nyablak'. Sementara dia lebih suka wanita feminim yang lemah-lembut dan manja. Sepertinya Salwa harus belajar menjadi mak comblang.*"Turunin sini aja." Hasna meminta Kenan menghentikan mobilnya di depan sebuah mini market, tidak terlalu jauh dari studio foto miliknya."Mau belanja?" Kenan melihat ke arah mini market."Iya, kamu terus aja. Aku drop di sini." Hasna hendak turun dari mobil, tetapi Kenan menahan dengan suaranya."Gimana kalau kita buat kesepakatan." Entah dari mana ide gila timbul di benak Kenan. Jika dalam hitungan jam saja, kedatangan Hasna bisa membuat mamanya bahagia, mengapa tak memberikan untuk waktu yang lama.Dahi Hasna berkerut. "Kesepakatan apa?""Kita pura-pura pacaran, nanti aku akan kasih kamu kompensasi. Kamu bilang aja mau berapa?"Terang saja penawaran Kenan membuat Amarah Hasna tersulut. Refleks dia memukulkan ranselnya ke tubuh si pria."Eh, kamu pikir aku apa?! Udah untung aku nolongin kamu tadi, bukannya terima kasih, malah ngelunjak. Aku enggak butuh duit kamu, duitku udah banyak. Dasar enggak ada akhlak!" Hasna meracau dengan suara keras, yang mungkin terdengar hingga keluar mobil."Bukan gitu." Kenan berusaha menghindari sambitan Hasna. "Aku enggak mau kamu dirugikan sama kesepakatan kita.""Wew! Kita? Kesepakatan?" Hasna mencibir, "aku malah berdoa kita enggak ketemu lagi. Aku ketemu kamu sial melulu, kamu ketemu aku berkah. Ogah!"Hasna membuka pintu mobil, lalu bergegas ke luar. Akan tetapi, bukan Kenan nama pria itu, jika tak bisa mendapatkan keinginannya. Dia ikut keluar mobil, menyamai langkah dengan Hasna."Ayolah, tolongin aku. Kayaknya enggak logis kalau aku bilang ke Mama kita udah putus, baru juga ketemu. Kamu enggak kasian sama Mama.""Kamu, tu, yang enggak kasian sama Mama kamu. Kenapa mesti bawa pacar sewaan segala? Emang enggak mampu cari pacar sendiri?" Hasna mulai meradang. Pria di depannya ini benar-benar keras kepala dan muka balok. "Atau jangan-jangan kamu beneran--""Aku masih suka perempuan!" Kenan memotong. Dia sudah bisa menebak apa yang hendak dikatakan Hasna, pasti berita aktual yang sama sekali tidak valid itu sumbernya, Mama."Ya, sudah, kalau masih normal cari pacar, jangan nyusahin aku!" balas Hasna ketus. Dia bermaksud meninggalkan Kenan masuk ke dalam mini market, tetapi matanya bersitatap dengan mata seorang wanita, yang entah sejak kapan berdiri di sana."I-ibu ...." Hasna menyapa, sembari mengulas senyum kaku. Tangan wanita itu berkeringat dingin saat Indah berjalan mendekat dengan kantong belanjaan di tangan."Berantem, kok, di jalan. Bikin malu aja." Indah menatap keduanya bergantian, agak lama saat melihat Kenan.Kenan yang tahu diperhatikan, mengulas senyum paling manis. Dia menebak kalau wanita di hadapannya adalah Ibu Hasna. Sadar angin baik mengarah padanya, Kenan mengulurkan tangan kepada Indah, seraya berkata."Perkenalkan, Tante, saya pacar Hasna."Seketika Hasna ingin jadi ubur-ubur saja.Hasna membekap mulut agar isaknya tak terdengar keluar. Hati wanita itu lelah terus berharap agar manik matanya melihat dua garis merah. Namun, hampir dua tahun pernikahan dan menghabiskan banyak tespack, lagi-lagi dia harus menelan kecewa. Dia selalu berdebar saat jadwal menstruasi datang. Berharap siklus bulanan itu berhenti dan memberikan kabar baik. Namun, sepertinya Hasna harus memupus harapan memiliki anak."Sayang, buka pintunya." Suara Kenan terdengar dari balik pintu kamar mandi. Panggilan sang suami tak membuat Hasna bergeming. Dia masih sibuk mengemasi rasa kecewa yang kembali berhamburan ke dadanya. Dia menatap pantulan wajah yang terlihat kacau di dalam cermin. Pikiran-pikiran buruk bertandang ke tempurung kepalanya. Bagaimana jika dia tak bisa memiliki anak? Bagaimana jika Kenan menggantikan posisinya dengan wanita lain? Lalu, jawaban apa yang akan diberikan kepada sang ibu yang sangat berharap menimang cucu?Bila pertanyaan-pertanyaan itu mendesak kepalanya, Hasna kemb
Harusnya Hasna menahan diri lebih lama tinggal di rumah, tetapi tiga hari menghabiskan waktu melepas kerinduan, berbincang pengalamannya selama dua tahun dengan ayah serta ibunya, dia tak tahan untuk tidak menemui Refan. Dia penasaran, bagaimana temannya itu mengelola studio foto yang dia titipkan. Apakah berkembang? atau malah berantakan?Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, Hasna meraih kunci dan mengemudikan mobil menuju studio foto. Di sepanjang perjalanan hatinya menghangat melihat tempat-tempat yang pernah dikunjungi bersama Kenan. Sosok pria itu selalu mengikuti ke mana saja dia pergi, seakan tak bosan menghadirkan ke dalam ruang imaji. Sekuat apa pun Hasna mencoba mengusir, bayang-bayang pria tersebut selalu datang. Namun, sosok Kenan yang dia lihat beberapa hari yang lalu, menghantarkan perih ke dadanya. Apakah pria itu telah melupakannya? Mengapa Refan tak mengatakan apa pun? Hal ini juga yang membuatnya ingin segera bertemu.Dering telepon membuyarkan ingatan Hasn
Rumah berlantai dua di hadapan Kenan masih sama. Hamparan rumput jepang, bunga-bunga hias, dan riuh kicau burung perkutut milik Ayah Hasna. Pria itu tak melihat perubahan apa pun meski putri sang empunya rumah melanglang buana entah ke mana. Hanya saja saat bertamu, ada kekosongan di mata renta Hasan, setiap kali nama putrinya disebut."Hasna paling tidak suka suara burung perkutut," celutuk Hasan. Saat ini keduanya duduk di teras, seraya menikmati mentari yang mulai lingsir ke barat.Kenan tersenyum tipis. Dia ingat omelan Hasna saat hendak membawa salah satu burung perkutut milik Hasan. Wanita itu bilang, suara perkutut itu tidak merdu, membuat telinganya pekak. Dia pikir alasan yang dikatakan si wanita sangat mengada-ngada, tetapi Kenan tak berani memprotes. Bila satu pertanyaan mengandung protes saja keluar dari bibirnya, Hasna dengan senang hati membawakan bantal dan selimut ke sofa. Tak lupa mengatakan bahwa dia ingin tidur sendirian."Dia pasti mengatakan kalau suara perkutut i
Kenan membuka jendela kamar untuk melihat bulan sabit yang tergantung di langit malam. Angin sedikit berisik, entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Mungkin sedang membicarakan pria yang terlihat hidup, tetapi mati. Seseorang pecundang yang kini hidup dari sisa kenangan yang dikais dari masa lalu.Pandangan Kenan jatuh pada bunga-bunga hias di samping rumahnya. Bunga lili beraneka warna memenuhi rak-rak besi yang dicat merah menyala. Dia ingat, dulu Hasna merengek padanya agar dibuatkan rak-rak tersebut. Kesukaan pada bunga lili, sama persis seperti almarhumah sang mama. Hampir setiap sore, wanita itu berada di sana. Memberikan kasih sayang seperti seorang ibu kepada anaknya. Sering Kenan meledek, mengapa Hasna bicara pada bunga yang jelas tak bisa mendengar atau merespon ucapannya. Wanita itu menjawab, bunga-bunga itu seperti anak baginya. Bila dirawat dengan segenap kasih sayang, dia akan tumbuh subuh. Mereka memang tak bisa mendengar, melihat, tetapi bisa merasakan kasih s
Kenan menatap pintu bercat putih di hadapan dengan sorot entah ... seperti pintu, hati Hasna juga tertutup untuknya. Kata-kata wanita yang pernah mengisi hatinya itu, teramat tajam menikam jantung. Meski tak berkata kasar, tetapi mampu menebas semua harapan yang dia bangun sejak beberapa hari yang lalu. Setelah mengantar jenazah almarhum Naya ke kampung halaman dan memakamkannya di sana, Kenan kembali ke Jakarta dengan seribu doa yang selalu dia langitkan. Semoga Hasna mau memperbaiki dan mengarungi kembali samudera rumah tangga bersamanya. Dia yakin, tak mudah cinta pupus dari hati wanita tersebut. Apalagi mereka nyaris memiliki seorang anak. Oleh karena itu, dengan keyakinan penuh dia mendatangi Hasna. Meminta maaf dan berharap sang wanita mau kembali padanya. Namun, dia lupa sesuatu. Hati yang tersakiti tidak mudah melupakan siapa penggores luka begitu saja.Raut datar dan dingin Hasna masih terbayang di pelupuk mata saat tadi keduanya berbicara di teras rumah. Tatapan sang wanita
Kata ikhlas mungkin sangat mudah untuk diucapkan, tetapi sulit diaplikasikan. Bisa saja bibir mengatakan ratusan kali. Namun, bagaimana dengan hati yang telanjur tersakiti? Tidak mudah luka yang bersarang di dada sembuh begitu saja. Bagi sebagian orang butuh waktu yang sangat lama, tapi bagi sebagian lagi mungkin bisa sangat cepat, tergantung sedalam apa perih terhunjam ke kalbu dan sebesar apa benak mengingat rasa kecewa.Seperti Hasna, dia mungkin memaafkan almarhumah Naya. Dia mencoba mengerti alasan yang melatarbelakangi gadis tersebut berbuat keji padanya. Harapan terlalu besar, tetapi sama sekali tak sesuai kenyataan, membuat gadis itu depresi. Membiarkan pikiran-pikiran buruk menguasai dirinya, hingga terjebak dalam ilusi yang diciptakan sendiri. Pola salah asuhan juga memicu kepribadian yang tak menerima penolakan dari siapa pun. Doktrin sejak kecil bahwa dia adalah seorang ratu, putri kesayangan almarhum Mak Rusli, bisa memiliki apa saja, boleh meminta apa pun, membuat Naya