Kenan Abhitama Aziel, pria berumur tiga puluh satu tahun itu tak habis pikir dengan tuduhan sang mama padanya. Wanita yang telah melahirkannya itu mengatakan, jika dia mengalami penyimpangan dalam hal orientasi seks. Entah dari mana mamanya mendengar gosip murahan itu. Sampai-sampai, Kenan harus bersumpah bahwa dia masih normal, tetapi tetap saja tak memuaskan hati wanita tersebut.
"Pokoknya Mama enggak mau tau! Nanti di pernikahan Salwa kamu harus bawa pacarmu, kalau enggak mau Mama mati berdiri. Ingat, pacar beneran. Jangan sewaan seperti yang sudah-sudah."Kenan mengusap wajahnya yang frustasi. Kata-kata Nuraida--mamanya--memantul-mantul di gendang telinga. Bahkan, peringatan itu sudah seperti minum obat, setiap bertemu atau menelepon, Nuraida selalu menyisipkan kalimat itu, sehingga Kenan hapal setiap kata, titik-koma, dan logat sang mama saat mengucapkan.Bukan tak memikirkan perasaan orang tuanya, Kenan belum siap membawa seorang wanita menghadap Nuraida. Banyak hal yang menjadi pertimbangan pria itu. Sejak sang papa meninggal tujuh tahun lalu, otomatis tanggung jawab menjaga, menafkahi, dan merawat mama dan Salwa jatuh ke pundaknya. Hanya mereka berdua harta berharga bagi Kenan. Sebisa mungkin sebagai seorang anak dan kakak, dia memprioritaskan keluarga. Jika keluarganya sudah tercukupi dan bahagia, sudah cukup baginya. Persoalan siapa yang akan menjadi pendamping hidup kelak, Kenan sangat percaya diri bisa menggaet siapa saja. Toh, wajahnya sangat tampan, ditunjang tubuh menjulang dan atletis, sudah mapan pula. Wanita mana yang akan menolak figur memesona sepertinya?Secuek apa pun Kenan pada ultimatum mamanya, dia luluh saat Salwa mengatakan wanita itu kolaps. Penyakit jantungnya kumat, hingga harus dibawa ke rumah sakit. Kenan yang baru saja sampai di Jakarta--karena mengurusi bisnis di luar kota--mengurungkan niat mengunjungi temannya di sebuah gang kecil di tengah-tengah ibukota. Kenan bertambah kalut saat Salwa mengatakan mama mereka meminta putranya itu datang membawa calon istri. Jika tidak, Kenan dilarang menjenguk.Baru saja mengakhiri pembicaraan dengan Salwa, mata Kenan tertumbuk pada sosok wanita yang duduk di bengkel motor, tepat di depannya. Kenan mengenal wanita itu sebagai photografer prewed Salwa. Bibir pria itu tersungging ke atas. Dia sangat ingat wanita itu pernah membuat drama, memaksa menjadi tukang ojek tanpa mendengarkan penjelasan terlebih dahulu. Sekarang waktunya pembalasan, pikir Kenan.Tanpa bicara, Kenan menarik tangan Hasna begitu saja. Terang wanita itu kaget. Namun, herannya dia sama sekali tidak berteriak, hanya memukul-mukul tangannya meminta dilepaskan. Mujur bagi Kenan, kalau Hasna berteriak kalau dia diculik, mungkin besok pagi wajahnya masuk headline surat kabar dengan tulisan, 'Seorang pengusaha ayam geprek, menculik seorang photografer'."Heh! Maksud kamu apa nyebut calon istri sambil liat aku?" Suara Hasna yang ketus membuat kronologi menggeret si wanita yang dirangkai otaknya, berantakan. Kenan sendiri juga bingung, kenapa dia menyeret wanita itu dalam masalahnya? Ditambah lagi ucapan spontannya, harusnya si mulut nyebut pacar saja, kenapa malah kepleset calon istri? Kan, jadi runyam nanti."Emang napa?" Kenan balik bertanya dengan wajah datar tanpa dosa.Jawaban singkat, padat, tapi bikin Hasna sesak napas."Kamu itu normal enggak, sih? Enggak kenal, enggak pernah ketemu, ujug-ujug ngakuin calon istri? Emang sinting!""Pernah ketemu, lupa, ya?" bantah Kenan.Hasna melengos. Iya, pernah ketemu dan wanita itu nyesal ke ubun-ubun kenal pria model Kenan. Sudahlah datar, sok cool, main paksa lagi."Pokoknya aku enggak mau tau. Brenti enggak, atau aku lompat!" Hasna mulai mengancam.Kenan bergeming, membuat kekesalan Hasna rasanya hendak menembus tempurung kepalanya. Tangan wanita itu bergerak hendak membuka pintu mobil, tapi dia lupa jika pintu mobil terkunci otomatis.Melihat tampang kusut Hasna, lagi-lagi Kenan tersenyum. Baru kali ini dia bertemu seseorang yang bisa membuatnya tertawa terus-menerus. Omongan Hasna yang blak-blakan, lirikan mata yang sinis, juga tuduhan-tuduhan aneh, membuat wanita itu tak seperti penampilannya kalau sedang serius. Kenapa Kenan tahu? Karena diam-diam dia memperhatikan Hasna saat pemotretan prewed Salwa. Wanita tersebut hanya fokus pada pekerjaannya, sangat totalitas."Aku mau minta tolong sama kamu." Akhirnya Kenan mulai berbicara, setelah berhasil menyurutkan tawanya."Apa?!" jawab Hasna dengan wajah cemberut, dia tak sudi menatap Kenan yang membuat paginya kacau-balau."Mamaku sakit. Dia maksa aku harus bawa calon istri.""Lah, kamu bisa bawa pacarmulah, kenapa aku?" Hasna melipat tangannya di dada."Enggak bisa, aku belum punya."Pengakuan Kenan membuat Hasna menatap si pria dengan kedua alis terangkat naik dan sorot mata tak percaya, seolah-olah meragukan ujarannya."Benar, aku terlalu sibuk ngurusin usaha. Jadi, enggak mikir masalah itu." Demi apa Kenan menjelaskan, mungkin melihat ekspresi Hasna yang seakan berkata, 'boong banget'."O." Singkat jawaban Hasna, lalu menatap jalan raya lagi lewat kaca jendela mobil."Tolongin aku, ya. Sekali ini aja. Aku enggak mau Mamaku kecewa," pinta Kenan, kali ini suaranya melembut membuat hati Hasna tersentuh.Benar apa yang Hasna pikirkan. Kenan adalah pria baik. Pria itu melakukan apa saja demi menyenangkan hati sang mama, mengingatkan Hasna pada Ibunya. Bila Kenan melakukan hal seekstrem ini, lalu apa yang bisa wanita itu lakukan untuk menenangkan kegundahan di hati ibunya? sementara dia masih saja keukeh dengan pendiriannya, tak akan menikah sampai menemukan pria yang cocok. Akan tetapi, gimana bisa menemukan? Baru ada yang pedekate, dia jutekin habis-habisan. Akhirnya calon gebetan udah illfell duluan. Bahkan, sindiran Refan yang mengatakan dia wanita paling sadis di dunia, Hasna acuhkan. Bodo amat!*Mobil Kenan berhenti di pelataran parkir sebuah rumah sakit. Setelah dia mematikan mesin, Hasna masih diam. Dia tak tahu harus melakukan apa nanti bila bertemu Mama Kenan. Haruskah melakukan kebohongan agar wanita itu baik-baik saja."Kamu mau, kan, bantu aku?" Kenan memastikan.Hasna menunduk, memainkan jemarinya di atas pangkuan. "Apa enggak sebaiknya kamu jujur? Justru kayak gini kamu seperti ngasih harapan kosong ke Mama kamu. Gimana nanti kalau beliau nanya-nanya, aku mesti jawab apa?""Bilang aja kita udah pacaran setahun."Hasna mencibir. "Niat banget boongnya. Kamu udah ahli sepertinya.""Bukan gitu, enggak mungkin, kan, bilang kita baru ketemu, trus aku paksa kamu ngaku jadi calon istri gadungan.""Emang aslinya gitu!" Hasna ngegas dengan mata dan bibir membulat."Ck! Kamu ini. Ayolah, tolongin aku. Ntar aku beliin laptop terbaru, paling canggih buat kamu," bujuk Kenan dengan wajah memelas.Hasna tersenyum tipis melihat ekspresi Kenan. Lucu juga pria itu, kadang seperti pria dewasa yang sulit didekati, tetapi sekarang lebih mirip anak kecil yang meminta sesuatu pada ibunya."Oke, tapi sekali ini aja, ya. Aku enggak mau boong lagi. Dosa lho."Wajah Kenan berubah cerah. "Iya, sekali ini aja. Nanti kalau Mama nanya lagi, aku bilang aja kamu selingkuh trus ninggalin aku."Tangan Hasna yang siap membuka pintu, mendadak berhenti. Dia memelotot ke arah Kenan. "Kagak ada alasan yang lebih sopan? Kok, kesannya mendeskreditkan aku banget?"Kenan mengangkat bahunya tak peduli. "Itu alasan yang paling logis. Dah, ayuk, kelamaan di mobil. Ntar orang mikirnya aneh-aneh."Hasna mengembuskan napas mendengar jawaban Kenan. Harusnya dia bisa bersikap tak peduli, tetapi membayangkan seorang wanita sedang terbaring sakit dan menunggu putranya membawa calon istri, membuatnya tak tega. Hasna memang begitu, meski sikapnya terlihat garang, tetapi hatinya sangat lembut. Apalagi kalau dia lagi mode murah senyum. Beuh! Raisa, lewat.*"Ma ...." Kenan mendekati mamanya yang sedang terbaring di atas brankar rumah sakit. Wajah wanita itu terlihat pucat dengan selang infus menancap di tangannya.Nuraida tersenyum. Membiarkan Kenan mencium tangannya."Mama baik-baik aja, kan?" Kenan menarik kursi dan duduk di sebelah brankar sang mama."Mama enggak pa-pa. Cuma semalam dada sesak banget. Tau-tau semua gelap," jelas Nuraida terbata.Kenan menggenggam tangan mamanya. "Maafin Kenan, Ma. Gara-gara mikirin Kenan, Mama jadi gini.""Mama cuma cemas mikirin masa depan kamu, itu aja.""Ma, Kenan normal, masih suka perempuan." Pria itu menekankan kata normal, tetapi sorot mata Reina menunjukkan ketidakpercayaan.Kenan berdiri, seraya meminta Nuraida menunggu. Tak lama dia kembali sambil menggandeng Hasna. Melihat putrannya datang bersama seorang wanita, mata Nuraida seketika berbinar, senyumnya mengembang sangat lebar."Ini siapa?" Nuraida bertanya saat Hasna mencium tangannya takzim.Kenan melingkarkan tangannya di pinggang Hasna, membuat tubuh si wanita menegang. "Kan, udah bilang Kenan punya calon istri. Ya, ini, cantik, kan, Ma?""Cantik banget. Kenapa baru sekarang dibawa ke hadapan Mama?""Hasna malu, Ma. Dia bilang takut Mama enggak setuju.""Kok, gitu, sayang? Mama malah udah lama pengen ketemu sama calon istri anak Mama yang bandel ini." Nuraida menatap hangat ke arah Hasna yang masih diam, dia bingung harus menjawab apa."Kan--" Kenan urung bicara saat sang mama memberi isyarat untuk diam."Mama ngomong sama calon istrimu. Napa kamu terus yang jawab. Sana, keluar, cariin minuman untuk ....""Hasna, Tante," jawab Hasna sigap."Tapi, aku masih mau--""Kenan!"Kenan berdiri setelah mendapatkan pelototan sang mama. Dia mengedipkan mata kepada Hasna, seolah-olah mengatakan, 'jangan salah bicara'. Namun, justru dibalas si wanita dengan senyum lebar dan sorot mata mencurigakan, dia yakin wanita itu akan membuat kekacauan. Kenan pasrah bila nanti dinyinyirin lagi oleh mamanya.Hasna membekap mulut agar isaknya tak terdengar keluar. Hati wanita itu lelah terus berharap agar manik matanya melihat dua garis merah. Namun, hampir dua tahun pernikahan dan menghabiskan banyak tespack, lagi-lagi dia harus menelan kecewa. Dia selalu berdebar saat jadwal menstruasi datang. Berharap siklus bulanan itu berhenti dan memberikan kabar baik. Namun, sepertinya Hasna harus memupus harapan memiliki anak."Sayang, buka pintunya." Suara Kenan terdengar dari balik pintu kamar mandi. Panggilan sang suami tak membuat Hasna bergeming. Dia masih sibuk mengemasi rasa kecewa yang kembali berhamburan ke dadanya. Dia menatap pantulan wajah yang terlihat kacau di dalam cermin. Pikiran-pikiran buruk bertandang ke tempurung kepalanya. Bagaimana jika dia tak bisa memiliki anak? Bagaimana jika Kenan menggantikan posisinya dengan wanita lain? Lalu, jawaban apa yang akan diberikan kepada sang ibu yang sangat berharap menimang cucu?Bila pertanyaan-pertanyaan itu mendesak kepalanya, Hasna kemb
Harusnya Hasna menahan diri lebih lama tinggal di rumah, tetapi tiga hari menghabiskan waktu melepas kerinduan, berbincang pengalamannya selama dua tahun dengan ayah serta ibunya, dia tak tahan untuk tidak menemui Refan. Dia penasaran, bagaimana temannya itu mengelola studio foto yang dia titipkan. Apakah berkembang? atau malah berantakan?Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, Hasna meraih kunci dan mengemudikan mobil menuju studio foto. Di sepanjang perjalanan hatinya menghangat melihat tempat-tempat yang pernah dikunjungi bersama Kenan. Sosok pria itu selalu mengikuti ke mana saja dia pergi, seakan tak bosan menghadirkan ke dalam ruang imaji. Sekuat apa pun Hasna mencoba mengusir, bayang-bayang pria tersebut selalu datang. Namun, sosok Kenan yang dia lihat beberapa hari yang lalu, menghantarkan perih ke dadanya. Apakah pria itu telah melupakannya? Mengapa Refan tak mengatakan apa pun? Hal ini juga yang membuatnya ingin segera bertemu.Dering telepon membuyarkan ingatan Hasn
Rumah berlantai dua di hadapan Kenan masih sama. Hamparan rumput jepang, bunga-bunga hias, dan riuh kicau burung perkutut milik Ayah Hasna. Pria itu tak melihat perubahan apa pun meski putri sang empunya rumah melanglang buana entah ke mana. Hanya saja saat bertamu, ada kekosongan di mata renta Hasan, setiap kali nama putrinya disebut."Hasna paling tidak suka suara burung perkutut," celutuk Hasan. Saat ini keduanya duduk di teras, seraya menikmati mentari yang mulai lingsir ke barat.Kenan tersenyum tipis. Dia ingat omelan Hasna saat hendak membawa salah satu burung perkutut milik Hasan. Wanita itu bilang, suara perkutut itu tidak merdu, membuat telinganya pekak. Dia pikir alasan yang dikatakan si wanita sangat mengada-ngada, tetapi Kenan tak berani memprotes. Bila satu pertanyaan mengandung protes saja keluar dari bibirnya, Hasna dengan senang hati membawakan bantal dan selimut ke sofa. Tak lupa mengatakan bahwa dia ingin tidur sendirian."Dia pasti mengatakan kalau suara perkutut i
Kenan membuka jendela kamar untuk melihat bulan sabit yang tergantung di langit malam. Angin sedikit berisik, entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Mungkin sedang membicarakan pria yang terlihat hidup, tetapi mati. Seseorang pecundang yang kini hidup dari sisa kenangan yang dikais dari masa lalu.Pandangan Kenan jatuh pada bunga-bunga hias di samping rumahnya. Bunga lili beraneka warna memenuhi rak-rak besi yang dicat merah menyala. Dia ingat, dulu Hasna merengek padanya agar dibuatkan rak-rak tersebut. Kesukaan pada bunga lili, sama persis seperti almarhumah sang mama. Hampir setiap sore, wanita itu berada di sana. Memberikan kasih sayang seperti seorang ibu kepada anaknya. Sering Kenan meledek, mengapa Hasna bicara pada bunga yang jelas tak bisa mendengar atau merespon ucapannya. Wanita itu menjawab, bunga-bunga itu seperti anak baginya. Bila dirawat dengan segenap kasih sayang, dia akan tumbuh subuh. Mereka memang tak bisa mendengar, melihat, tetapi bisa merasakan kasih s
Kenan menatap pintu bercat putih di hadapan dengan sorot entah ... seperti pintu, hati Hasna juga tertutup untuknya. Kata-kata wanita yang pernah mengisi hatinya itu, teramat tajam menikam jantung. Meski tak berkata kasar, tetapi mampu menebas semua harapan yang dia bangun sejak beberapa hari yang lalu. Setelah mengantar jenazah almarhum Naya ke kampung halaman dan memakamkannya di sana, Kenan kembali ke Jakarta dengan seribu doa yang selalu dia langitkan. Semoga Hasna mau memperbaiki dan mengarungi kembali samudera rumah tangga bersamanya. Dia yakin, tak mudah cinta pupus dari hati wanita tersebut. Apalagi mereka nyaris memiliki seorang anak. Oleh karena itu, dengan keyakinan penuh dia mendatangi Hasna. Meminta maaf dan berharap sang wanita mau kembali padanya. Namun, dia lupa sesuatu. Hati yang tersakiti tidak mudah melupakan siapa penggores luka begitu saja.Raut datar dan dingin Hasna masih terbayang di pelupuk mata saat tadi keduanya berbicara di teras rumah. Tatapan sang wanita
Kata ikhlas mungkin sangat mudah untuk diucapkan, tetapi sulit diaplikasikan. Bisa saja bibir mengatakan ratusan kali. Namun, bagaimana dengan hati yang telanjur tersakiti? Tidak mudah luka yang bersarang di dada sembuh begitu saja. Bagi sebagian orang butuh waktu yang sangat lama, tapi bagi sebagian lagi mungkin bisa sangat cepat, tergantung sedalam apa perih terhunjam ke kalbu dan sebesar apa benak mengingat rasa kecewa.Seperti Hasna, dia mungkin memaafkan almarhumah Naya. Dia mencoba mengerti alasan yang melatarbelakangi gadis tersebut berbuat keji padanya. Harapan terlalu besar, tetapi sama sekali tak sesuai kenyataan, membuat gadis itu depresi. Membiarkan pikiran-pikiran buruk menguasai dirinya, hingga terjebak dalam ilusi yang diciptakan sendiri. Pola salah asuhan juga memicu kepribadian yang tak menerima penolakan dari siapa pun. Doktrin sejak kecil bahwa dia adalah seorang ratu, putri kesayangan almarhum Mak Rusli, bisa memiliki apa saja, boleh meminta apa pun, membuat Naya