"Oh, jadi gitu alasannya. Kalau bekas Aa' sendiri bagaimana?'' tanya Dina to the point membuat Al memandangnya penuh makna.
" Tergantung." Al menjawab setelah berpikir beberapa saat."Tergantung apa, A'?""Tergantung apa kata nanti, bakal ketagihan atau nggak," jawab Al asal.Dina tersipu mendengar jawaban suaminya."Dina berharap Aa' selalu ketagihan," ungkapnya malu-malu, yang hanya dibalas dengan pandangan lekat oleh Al."A' boleh aku tanya satu hal lagi?""Boleh.""Apa benar Aa' membeliku dari tante Merry?""Ya," jawab Al singkat."Kenapa Aa' lakukan itu?" tanya Dina penasaran."Lantas saya harus bagaimana? Saya tidak bisa membawa kamu begitu saja dari tempat itu. Ibarat kata kalau si Merry itu pedagang, maka kamu adalah barang dagangannya. Mana mungkin saya bisa membawa barang dagangannya cuma-cuma?" jelas Al panjang.Dina tertegun, karena apa yang suaminya katakan memanglah benar dan masuk akal. Tapi, ia tak menyangka bahwa suaminya harus membayar semahal itu untuk membawanya pergi dari neraka itu."Dah nggak usah dipikirkan, hal itu sudah saya perkirakan," lanjut Al santai."Tapi Aa' harus membayar begitu mahal untuk membawaku pergi, kenapa Aa' lakukan hal itu?" tanya Dina tak enak."Saya akan lakukan apa saja untuk mewujudkan apa yang saya inginkan, Din," lanjut Al penuh penekanan.Dina manggut-manggut paham. "Apapun alasan Aa' yang jelas Dina berhutang budi sama Aa', Dina janji akan berusaha untuk menebusnya." Dina menyatakan tekadnya di depan Alfaro."Sudahlah, tak perlu terlalu mempermasalahkan hal itu. Bukankah itu sudah masuk di perjanjian kita? Saya bawa kamu keluar dari tempat Merry dan kamu bersedia melayani saya kapanpun kamu mau." Al kembali mengingatkan perjanjian di antara merekaDina mengangguk paham."Ya sudah, hari sudah malam. Saya ngantuk." Al membalikkan badannya memunggungi Dina."Selamat malam A'.""Hemm.""Maaf kalau hari ini Dina ada salah, ya."Mendengar ucapan Dina, Al kembali membalikkan tubuhnya."Kamu kenapa bicara seperti itu? Kamu nggak ada berbuat kesalahan pada saya." Heran Al dengan sikap Dina.Dina tersenyum, "Syukurlah kalau nggak ada kesalahan yang aku perbuat hari ini. Tapi nggak ada salahnya meminta maaf, kan? Aku pernah dengar, kalau sebaiknya sebelum mengakhiri hari, suami dan istri terlebih dulu saling memaafkan dan ridho satu sama lain, supaya hati menjadi tentram dan bisa menyambut hari esok dengan penuh semangat," jelas Dina menyampaikan alasannya."Tapi kan saya sudah katakan sama kamu, nggak perlu terlalu berlaku sebagaimana suami istri pada umumnya?""Dan Aku juga sudah katakan pada Aa' 'kan? bahwa aku akan berusaha menjadi istri yang baik untuk Aa'," jawab Dina."Terserah kamu lah," sahut Al seraya menghela nafasnya, kemudian kembali berbalik memunggungi Dina dan memejamkan matanya.Sedangkan Dina masih terus memandangi punggung suaminya."Ya Allah, jadikanlah pernikahan ini pernikahan yang bisa membawa kebaikan untuk hamba dan suami hamba," harap Dina sebelum memejamkan matanya.****Dina mengerjapkan matanya kala telinga mendengar ayat-ayat Al Qur'an dilantunkan dari speaker-speaker Masjid. Pertanda waktu shubuh akan segera tiba.Saat matanya mulai terbuka, Dina terlonjat kaget mendapati seorang lelaki tengah tertidur di sisinya. Ia lupa, bahwa kini statusnya tak lagi jomblo merana, melainkan seorang istri dari Alfaro sang sultan dengan rumah bak istana."Astaghfirullah, ingat, Dina. Kamu udah nikah," batinnya sembari mengelus dada.Dina beranjak dari posisinya, namun ia merasakan sesuatu yang perih di bawah sana."Awwww!" pekiknya tertahan, membuat Al yang tengah berkelana di alam mimpinya menjadi terusik.Al mencoba membuka matanya yang masih sangat mengantuk, mata itu begitu berat untuk terbuka, bagai ada lem di setiap sisinya."Kamu kenapa teriak-teriak sih, Din?" protes Al kesal."Maaf Aa', tadi reflek soalnya ini sakit," jelas Dina sembari meletakkan kedua tangannya di bawah perut."Lagian kamu mau ngapain sih?" tanya Al masih enggan bangkit dari posisi semula."Mau mandi, A'," jawab Dina apa adanya."Ini masih gelap, Din. Nggak bisa apa mandinya tunggu pagi aja!" protes Al merasa geram sebab tidurnya terganggu."Ini dah hampir shubuh, A', aku mau sholat.'' Dina menjelaskan alasannya. " Maaf ya, kalau aku dah ganggu tidur Aa'," lanjutnya lagi."Hadeeh, ribet amat hidupmu," gerutu Al sembari kembali memeluk gulingnya. Sedangkan Dina, kini ia berjalan perlahan sembari menahan rasa sakit di area kewanitaannya. Mahkota kegadisannya yang baru saja dikoyak membuat ia merasakan sensasi pedih dan panas di area itu.Melihat Dina yang tertatih berjalan ke arah kamar mandi membuat Al merasa tak tega, pasalnya, baru kali ini ia menyaksikan sendiri bagaimana perjuangan seorang wanita menahan rasa sakit akibat malam pertamanya. Biasanya, setelah ia menuntaskan kebutuhannya, ia segera pergi meninggalkan wanita-wanita yang melayaninya dengan sejumlah uang yang telah disepakati sebelumnya.Al segera beranjak dari ranjangnya, berjalan cepat ke arah istrinya, lalu,Hap!"Aaaaaaaa...." teriak Dina yang terkejut karena Al yang tiba-tiba menggendongnya."Ssssttt, ngapain teriak-teriak sih? Ini masih pagi. Nanti dikira orang saya ngapain kamu lagi," protes Al."Habisnya Aa' ngagetin aja sih," keluh Dina."Sakit mata saya lihat kamu jalan dah kaya buronan polisi, masih gelap dah bikin orang repot aja kamu," gerutu Al membuat Dina tersenyum haru.Kini langkah Al sudah sampai di kamar mandi, ia segera menurunkan Dina."Jangan lupa pakai air hangat, biar lebih rilex dan nggak semakin sakit," pesan Al sebelum berlalu meninggalkan Dina.Namun baru saja Al sampai di pintu kamar mandi, suara Dina kembali menginterupsi,"Oppa ..." panggilnya dengan nada manja khas cewek-cewek korea."Hem?" Al menoleh sekilas, takut kalau saja istrinya itu membutuhkan sesuatu."Sarangheo," lanjut Dina lagi dengan membentuk love dengan jarinya ala-ala pemeran wanita di drama korea favoritnya."Saya ngantuk, mau tidur!" balas Al ketus kemudian berlalu, namun diam-diam ia tersenyum melihat tingkah lucu bocah tengil yang kini berstatus sebagai istrinya itu.****Waktu menunjukkan pukul 7 pagi saat Al mengerjapkan matanya, ia mengedarkan pandangan mencari keberadaan Dina, tapi ia tak kunjung mendapatinya."Kemana bocah itu? pagi-pagi dah ngilang aja, padahal si junior lagi morning wood–gini, harusnya kan enak kalau ada dia yang service gue," batinnya menggerutu, ia baru menyadari, bahwa pelayanan istri kecilnya itu benar-benar nagih.Al tersenyum tipis menyadari kondisinya saat ini, "biasanya bangun tidur gue langsung disambut oleh pikiran tentang pekerjaan dan kehidupan yang runyam, tapi pagi ini? Bisa-bisanya gue malah mikirin mau mengulang kejadian semalam," batinnya seraya menggelengkan kepala merasa heran dengan dirinya sendiri, kemudian ia memutuskan untuk mandi dan bersiap bekerja.Setelah siap, Al segera berjalan ke arah meja makan untuk sarapan, biasanya Bi Ina sudah menyiapkan beberapa lembar roti tawar dengan selai coklat favoritnya sebagai menu sarapan, selain itu juga ada segelas susu sebagai penunjang staminanya dalam menghadapi kehidupan. Memang Al sendiri yang meminta agar setiap sarapan selalu disediakan menu tersebut.Tapi pagi ini ia dibuat heran dengan pemandangan di meja makan yang tersaji makanan dengan banyak variasi. Ada nasi dengan aroma yang begitu menggugah selera, juga perkedel, ayam goreng, tempe orek dan telur dadar sebagai lauk pendampingnya.Merasa heran, Al segera berteriak memanggil bi Ina."Bi Inaaaa!!""Dalem, Tuan Muda, ada apa?" sahut Bi Ina yang datang tergopoh dari arah dapur. Saat sang tuan muda memanggil, maka ia harus dengan sigap segera menghadap, karena kalau tidak, sudah pasti tuannya itu akan rusak mood sehari semalam."Ini kenapa meja makan isinya warna-warni begini? Mana sarapan saya?" tanya Al pada bi Ina."Ehm, itu, anu, Tuan ...." belum selesai Bi Ina berbicara, Dina datang dari arah belakang dengan membawa nampan berisi roti tawar, sekai coklat dan segelas susu sebagai menu sarapan Al."Ini sarapan Aa'," ujar Dina sembari meletakkan nampan yang ia bawa di meja.Al segera duduk di kursinya, kemudian Dina memberi kode pada bi Ina agar ia segera pergi dari hadapan tuannya."Jadi dari tadi kamu di sini?" tanya Al pada Dina yang sudah duduk di sisinya."Iya A', kenapa? Aa' nyariin aku, ya?""Hem, kamu ngapain di sini?" sahut Al sembari bersiap sarapan."Bantu Bi Ina siapin sarapan buat Aa','' jawab Dina apa adanya."Lain kali nggak perlu, saya memang sengaja bayar bi Ina buat ini semua," sahut Al."Iya, aku tau A', tapi aku pengen aja masakin sarapan buat Aa'," sanggah Dina."Nggak usah masak untuk sarapan saya, karena saya biasa makam roti dan susu aja untuk sarapan," ucap Al sembari membuka selai hendak mengoleskannya ke roti."Sini A' biar aku bantu," ucap Dina sembari mengambil alih pisau dan roti dari tangan Al.Al tak menolak."Ini semua kamu yang masak?""Iya, A', cobain deh, enak, lho!""Masakan apa ini?" tanya Al mulai penasaran."Nasi uduk, A'," sahut Dina."Dari namanya aja udah nggak menarik," sahut Al meremehkan."Cobain dulu A' baru berkomentar, aku ambilin ya?" tawar Dina pada Al."Dikit aja. Saya nggak biasa makan nasi di pagi hari.'' Al mencoba menghargai jerih payah Dina, walau sejujurnya ia tidak tertarik.Dengan penuh semangat Dina mengambil nasi dan beberapa lauk untuk suaminya, kemudian mempersilakan Al untuk mencicipinya.Di luar dugaan, ternyata Al makan dengan begitu lahap. Bahkan sampai nambah-nambah karena merasa ketagihan dengan masakan Dina."Enak ya A'?'' tanya Dina meminta penilaian."Hem," sahut Al singkat yang masih sibuk mengunyah.Dina tersenyum penuh kepuasan."Terus ini rotinya gimana , A'?" tanya Dina meminta kepastian untuk nasib roti di tangannya."Buat kamu aja," jawab Al asal sembari mencomot perkedel di hadapannya.Dina berucap syukur menyaksikan suaminya begitu menikmati sajian yang disiapkannya."Kamu mau kemana? Kok udah rapi gitu?" tanya Al setelah menyelesaikan sarapannya."Aku mau kuliah A' boleh, kan?" tanya Dina meminta izin."Boleh, terserah kamu aja,'' jawab Al santai."Makasih A', boleh nebeng nggak?" tanya Dina lagi."Memangnya di mana kamu kuliah?""Universitas Airlangga," jawab Dina."Ya udah nggak apa-apa, searah juga dengan kantor saya. Kebetulan saya juga berencana mengajak kamu ke rumah sakit," jelas Al sembari membersihkan mulutnya dengan tissue."Ke rumah sakit? Mau ngapain A'?""Ke rumah sakit? Mau ngapain A'?""Saya mau ajak kamu ke dokter kandungan," jawab Al singkat.Dina menahan tawa, "Ngapain ke dokter kandungan A'? Kan aku nggak hamil? nggak mungkin, kan, A' bikin se3malem paginya langsung jadi, emang adonan donat?" lawak Dina di sertai tawanya merasa aneh dengan suaminya."Kita ke dokter kandungan mau konsultasi KB untuk kamu.'' Al menyampaikan rencananya dengan lugas, membuat Dina seketika menghentikan tawanya."KB, A'? Aa' ingin aku KB?" tanya Dina tak memahami maksud keinginan suaminya."Iya.""Tapi kenapa A'? Aa' pengen kita pacaran dulu ya?'' goda Dina dengan gaya riang khasnya."Saya tidak ingin punya anak!" jawab Al datar."Deg!"Bagai disayat belati, mendengar itu Dina hanya terdiam, tak lagi berucap sepatah katapun. Rasanya begitu sakit mendengar ucapan suaminya yang tak ingin memiliki anak darinya."Ya sudah, kamu siap-siap, saya tunggu di depan," lanjut Al lagi yang tak menyadari perubahan sikap Dina."Iya A'." Al berlalu meninggalkan Dina
"Siapa lelaki itu? Kenapa Dina kelihatan happy banget ngobrol sama dia?" batinnya bertanya-tanya."Supri!" panggil Al pada sopir pribadinya dengan pandangan masih melekat pada istrinya yang tengah asyik bercengkrama dengan lelaki lain."Ya, Pak?""Kamu lihat lelaki yang bersama istri saya itu, perhatikan wajahnya baik-baik!" titah lelaki dengan mata elang itu penuh emosi."Sudah?""Sudah, Pak.""Setelah kamu antar saya ke kantor, segera kamu kembali ke sini. Saya ingin kamu pantau terus gerak-gerik Dina, siapa saja orang-orang yang dekat dengannya. Cari tahu siapa lelaki itu, lalu informasikan pada saya!" Al kembali memberi perintah pada Supri."Siap, Pak.""Jangan lupa ganti baju kamu, ya, jangan pakai baju sopir, karena Dina akan mengenali. Belilah kaos dan celana juga topi seperti yang kebanyakan mahasiswa itu kenakan, untuk penyamaran kamu selama penyelidikan,"Al memperingati lagi."Baik, Pak!''Kemudian Al tampak mengutak-atik ponsel di tanganya,"Sudah saya transfer 1 juta untuk
"Lu apaan sih, Al? Main lempar bolpoin sembarangan!" keluh Reno–asisten pribadi Al sembari menggosok-gosok keningnya.Reno merupakan sahabat karib Al saat kuliah di Amerika, dia sosok yang cerdas juga mumpuni di bidang arsitektur, sehingga Al merekrutnya sebagai tangan kanannya di perusahaan propertinya."Ren? Sejak kapan lu di sana?" tanya Al yang baru menyadari kehadiran Reno."Sejak lu kesambet terus main lempar bolpoin sembarangan," sindir Reno sembari berjalan dan duduk di hadapan Al."Sorry, sorry, Bro. Gue nggak sengaja," sesal Al."Kesambet apa sih Lu, Al? Emosian aja? Ada masalah lu?" tanya Reno tetap perhatian."Nggak pa-pa, nothing problem. Lu ada perlu apa datang kemari? Kita nggak ada meeting kan hari ini?" tanya Al berusaha mengalihkan pembicaraan."Gua emang sengaja datang kemari buat nengokin keadaan, Lu. Si Alice cerita katanya lu lagi banyak pikiran, ampe nggak fokus kerja. Kenapa sih? Nggak biasanya deh seorang Alfaro yang terkenal workaholic ini sampai nggak fokus
Al berjalan cepat memasuki rumahnya yang bak istana, di depan ia bertemu Bi Ina yang sedang membereskan ruang tamu."Bi, Dina sudah datang?""Sudah, Tuan muda."Setelah itu ia segera bergegas menuju kamarnya.Braaak! Al membuka pintu dengan kasar."Astaghfirullah Aa', pelan-pelan dong, buka pintunya, ngagetin aja," protes Dina yang sedang membereskan baju kotornya."Suka-suka saya lah, kamar, kamar saya," jawab Al kesal."Iya iya, maaf," ucap Dina kemudian mendekat ke arah suaminya, mencium punggung tangannya penuh hormat, kemudian mengambil alih tas kerja di tangannya, juga membantunya melepas jas yang dikenakannya. Membuat Al sejenak membisu, merasa tertampar dengan sikap manis istrinya, padahal baru saja ia berlaku kasar padanya."Kok Aa' pulang cepat? Ini baru selesai Ashar, lho! Belum juga jam 4, kirain aku kalau kerja kantoran tuh pulangnya jam limaan," celetuk Dina sembari membereskan barang bawaan A
Tante Merry?" batin Dina terkejut saat melihat nama yang tertera di hp suaminya. Dina memandang suami di sisinya, begitupun dengan Al yang membalas tatapan Dina. Mereka saling tatap dalam beberapa saat."Angkat aja, A', nggak apa-apa," ucap Dina berusaha tetap tersenyum. Ia harus sadar dan terus ingat akan perjanjian pra nikahnya dengan Al, bahwa ia tak akan menuntut kesetiaan. Bahwa ia tak akan mengekang hidup Alfaro dengan pernikahannya."Kenapa dia sama sekali tak merasa berat ya mengizinkan gue mengangkat telepon tante Merry? Apa sebegitu tidak berartinya gue sebagai suaminya? Apa dia sama sekali tidak takut kalau gue akan berpaling darinya dan bermain-main dengan wanita lain?" batin Al yang justru merasa jengkel melihat respon Dina yang biasa-biasa saja.Al yang semula enggan mengangkat telepon Merry kini berbalik menjadi antusias, ia berpikir inilah saatnya ia melakukan pembalasan pada Dina."Memangnya dia pikir hanya dia yang bisa bermain-main dengan lelaki lain?" batin Al kesa
Dina masih terdiam merenungkan ucapan suaminya saat punggung Al menghilang di balik pintu kamar mandi."Kenapa dia bilang begitu? Bukannya memang benar apa yang kukatakan?" batinnya merasa aneh dengan jawaban Al, kemudian memutuskan untuk tak ambil pusing, lalu membaringkan dirinya sejenak di ranjang.Sepuluh menit berlalu, saat Al terlihat keluar dari kamar mandi, lelaki dewasa itu hanya mengenakan handuk yang melilit di perutnya, menampilkan tubuh bagian atasnya yang begitu indah.Ia berjalan ke arah lemari untuk memilih pakaian yang akan dikenakannya, sedangkan Dina, matanya terus melekat memandangi suami tampannya. Ingin rasanya ia menyentuh dada bidang yang masih setengah basah itu, memberinya kecupan penuh cinta di sana. Namun, rasa malu dan tak percaya diri menghalanginya untuk melakukan itu.Rasanya ia tak rela, jika tubuh itu nantinya akan mendapatkan sentuhan dari wanita selain dirinya. Mungkin dulu hal itu memang menjadi kebiasaan bagi
Sesaat setelah mobil suaminya berlalu, Dina segera mengetikkan pesan pada seseorang yang sudah dihubunginya lima belas menit yang lalu.Setelah itu, ia bergegas menemui Bi Ina, berniat meminta nomor ponsel suaminya dari ART yang diperkerjakannya."Bi Ina!""Ya, Non?""Bi Ina simpan nomor hp Aa' Al, kan?""Iya, simpan, Non. Kenapa memangnya?" tanya Bi Ina heran, merasa aneh dengan pertanyaan Dina."Boleh aku minta?""Loh, kok malah minta sama Bi Ina? Kan Non Dina istrinya tuan muda, masa nggak simpan nomornya?" tanya wanita paruh baya itu seraya terkekeh."Panjang ceritanya, Bi. Kita belum sempat tukar nomor hp sih, boleh ya, Bi?" jelas Dina."Owalah, gitu toh? ada-ada aja ya pasangan jaman now ini," celetuk Bi Ina mengomentari. Namun tak urung dia segera merogoh sakunya untuk mengambil ponsel miliknya, mencari kontak dengan nama 'Tuan Muda' lalu menyerahkannya pada Dina. Segera Dina menerimanya lalu dengan cepat menyalin di layar benda pipihnya."Makasih, ya, Bi. Aku mau mandi dulu, s
"Dina ngirim gambar apa, ya?" batinnya penasaran kemudian segera membuka pesan dari istrinya.Sejenak Al dibuat terkejut melihat gambar yang dikirimkan oleh Dina, bahkan kedua matanya sampai membulat sempurna, cukup lama Al memandangi gambar di layarnya tampa berkedip, sesekali ia menelan kasar salivanya, merasakan tenggorokannya tiba-tiba tercekat."Ini beneran Dina?" gumamnya merasa takjub dalam hati, melihat Dina dengan penampilan yang sangat berbeda di layar pipihnya. Istrinya itu tengah berpose miring di atas ranjang, dengan tangan sebagai penyangga kepalanya. Dina yang biasa tampil dengan busana muslimnya kini tampak lebih menggoda dengan lingerie merah yang dikenakannya.Lingerie merah itu begitu pas membalut tubuh sexynya, juga begitu kontras dengan kulit putihnya, membuat pesona Dina semakin terpancar berkali-kali lipat.Tidak hanya lingerie merah yang membuatnya tampil berbeda, tapi, riasan tipis di wajahnya yang polos membuatnya tampak