Share

Bab 5 Tak Sejalan

Rencana memang tak sesuai harapan. Aku sudah berusaha mencari. Nyatanya tak kudapatkan. Mungkin Allah belum memberikanku jalan. Apa niatku salah terlalu memikirkan jodoh?

Mungkin ini peringatan dari Allah. Aku harus ikhlas menuntut ilmu. Bukan untuk meredam hawa nafsu. Menjadikan semua ini pelampiasan. Keinginan untuk mencari jodoh. Hingga kuputuskan mencari lewat biro ta'aruf. Aku selalu berdoa di sepertiga malam. Semoga mendapatkan imam yang rajin salat. Hanya itulah impianku. Jika salat tak ditinggalkan, ia takkan meninggalkanku. Aku tak mau mengalami luka yang sama.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Hatiku terenyuh, saat bekernalan. Pertama kalin aku mengenalinya. Ia yang pertama mengajakku berkenalan. Kutatap kedua bola matanya yang bening. Postur tubuhnya yang menawan. Kesannya begitu sangat berkarisma.

"Perkenalkan, Nama saya Tazkiyah."

"Nama saya Hakim. Senang berkenalan denganmu."

"Saya niat ikut ajang ini untuk ta'aruf."

"Kapan bisa bertemu?"

"Terserah kapan bisa. Kamu asal mana?"

"Saya dari Jakarta."

"Aku asalnya dari Sulawesi."

Kami saling bertukar cerita lewat video call. Dia bekerja sebagai seorang guru. Hakim merupakan seorang duda tanpa anak. Kami telah berkenalan dengan masing-masing keluarga. Hakim pun akhirnya rela menemuiku ke Sulawesi. Saat tiba, ia langsung menyukaiku. Aku sempat heran, secepat itu dia suka. Aku hanya diam saat dia mengatakannya. Bukankah harus mengenal lebih dalam agar ia menyukaiku.

Ta'aruf kami tak berjalan lancar. Kelurga Hakim memutuskan satu tahun lagi. Teramat lama bagiku untuk ta'aruf. Setahuku proses ta'aruf tidak selama ini. Mereka menginginkan kami setahun menanti. Sedangkan aku tak ingin pacaran lagi. Aku tak mau tenggelam dengan dosa. Keputusan ini membuatku mengulangi kembali kesalahan. Sehingga hijrahku seakan hanya semu.

"Masih lama lagi kita menikah?"

"Yah, keluargaku menginginkan setahun lagi."

"Jadi kita terus berhubungan seperti ini?"

"Yah."

"Tapi aku sudah hijrah. Pakaianku pun syar'i. Aku takut akan timbul fitnah. Jujur, aku tak mau lagi pacaran."

"Hanya waktu satu tahun. Bersabarlah Tazkiyah. Aku juga akan bersabar."

Kuturutkan saja kemauan keluarganya. Akhirnya aku kembali tenggelam dalam dosa. Meskipun kami tak lantas berhubungan intim. Ia masih taat ibadah salat lima waktu. Itulah yang membuatku bertahan dengannya. Namun, hubungan pacaran pasti diwarnai dosa. Kami masih bersentuhan dan bercumbu. Ini kebodohan yang kulakukan lagi. Begitu gampangnya aku terikut arus. Inikah cara pandang aqidahnya?

"Keluargaku seperti kurang suka kamu pakai syar'i."

"Kenapa?"

"Aqidahmu dianggap seperti radikal."

"Memang apa salahnya aku pakai begini? Setidaknya kututup aurat dan tidak berpakaian seksi. Temanku malah lebih tertutup lagi. Dia pakai cadar loh."

"Itu hanya pendapat mereka saja. Kalau kamu masih mau pakai, tak apa."

"Benar? kamu tak turuti kata keluargamu?"

"Tak apa, aku tak masalah."

"Ya, makasih Mas Hakim."

Walaupun begitu, aku masih ragu. Aku takut tak bisa bahagia nantinya. Tapi mas Hakim selalu meyakinkanku. Aku hanya takut. Jika tak direstui, keluarganya akan ikut campur. Mas Hakim bisa berubah nantinya. Sudah pasti ia akan lebih percaya keluarganya. Sedangkan aku hanya orang baru. Orang yang masuk ke keluarga mereka.

Akhirnya setelah setahun, kami menikah. Acara itu tak dihadiri banyak keluarga mas Hakim. Namun pernikahan berjalan lancar. Akhirnya kami menjalani pernikahan ini. Saat awal tampak biasa saja. Tak ada yang janggal. Namun lama kelamaan, mulai ada masalah. Adanya perbedaan prinsip dan cara pandang. Hingga kami tak dapat mengontrolnya.

***

Laksana bunga yang layu. Setelah bersemi, kini gugur lagi. Segala yang kutakutkan akhirnya terjadi. Mas Hakim lebih menuruti keluarganya. Sedangkan aku tak dipandangnya. Aku ikut mas Alan ke Jakarta. Bagaimanapun dia bekerja disini. Aku pindah ke Jakarta bersamanya.

Suatu ketika, aku berniat mengajak mas Hakim pergi. Kebetulan aku mendapat info kajian.

"Mas, ayo kita ikut kajian hari ini!" Ajakku.

"Aku lagi banyak kerjaan. Sibuk, lain kali saja."

"Kapan Mas?"

"Kamu ini gak sabaran."

"Yah sudah aku pergi sendiri. Kamu bisa antarkan gak?"

"Kamu tahu gak aku lagi sibuk?"

"Yah, maaf."

Aku hanya terdiam saat dia membentakku. Padahal untuk ikut kegiatan religius. Ternyata jadi kesalahanku. Aku tak menyangka ia semarah itu. Keesokan harinya, mas Hakim hendak pergi. Aku tak diajaknya sama sekali. Aku pun langsung menanyakan padanya.

"Mas mau kemana?"

"Keluargaku ada acara."

"Acara apa, Mas?"

"Sepupuku mau lamaran."

"Aku gak diajak?"

Mas Hakim terdiam. Ia terasa berat untuk bicara.

"Kamu masih penampilan begitu?"

"Maksud Mas?"

"Aku akan ajak kamu ke acara keluargaku. Tapi kamu tahu sendiri keluargaku gimana?"

"Masalah pakaian?"

"Yah, bisa tidak kalau kesana jangan pakai syar'i?"

"Aku akan usahakan Mas. Gak enak juga kalau tak kesana. Aku kan istrimu. Memang siapa yang menikah?"

"Sepupuku Bilal."

"Aku siap-siap dulu yah, Mas."

"Jangan lama-lama. Nanti bisa kutinggal kamu!"

"Yah."

Aku seolah sedih. Mau ikut ke acara keluarga pun, harus mengemis. Sebenarnya serumit itukah? Hanya karena penampilan syar'i, mereka tidak menyukainya. Akhirnya aku memilih gamis dengan warna cerah. Kemudian kukenakan jilbab segi empat. Kusiasati dengan menutup dada. Bukan acara ini saja. Setiap acara keluarganya, penampilan harus kusiasati. Sekiranya aku terlihat syar'i. Biasanya aku memakai warna serba gelap. Khusus di acara mereka, aku begini. Semua kusesuaikan untuk masuk ke lingkungan keluarganya.

"Tazkiyah, mau kemana?"

Saat keluar rumah, mbak Rumaisya memanggilku. Dia tetanggaku sekaligus teman. Dialah yang sering mengajakku ikut kajian.

"Mbak Rumaisya. Aku mau ke acara keluarga suamiku."

"Kok tidak pakai hijab syar'i?"

"Aku ingin menyesuaikan keluarga suamiku."

"Mereka masih belum berubah yah? Padahal mertuamu itu keluarga kyai. Katanya juga religius. Cuma penampilan syar'i dibilang radikal."

Tiba-tiba mas Hakim memanggilku. Ia sepertinya sudah mau berangkat.

"Tazkiyah, ayo cepat!"

"Yah, Mas."

"Mbak, maaf yah. Aku harus pergi."

"Yah, hati-hati. Cepat, nanti marah suamimu!"

"Yah Mbak."

Sambil berlari dengan tergopoh kumenghampirinya. Mas Hakim tampak sangat kesal karena menungguku lama.

"Lama banget sih kamu. Kalau besok-besok begini, tak segan kutinggalkan!"

"Maaf Mas. Tadi aku sudah berusaha cepat."

"Bisanya ngebantah terus. Aku kan sudah bilang, tak usah ikut!"

"Mas tidak mau mengajakku? Kalau tak mau, aku tinggal saja."

"Maumu ini apa sih? Jangan membuatku bingung."

"Yah sudah, ayo jalan!"

"Keterlaluan!"

Begitulah yang kualami sekarang. Terkadang aku merasa putus asa. Tak sanggup menjalani hubungan ini. Namun aku tak bisa membuat kecewa ayahku. Dia pasti akan sangat malu. Dia tak mau kalau aku sampai bercerai.

Tekanan berat ini membuatku ingin berubah. Aku merasa kekuatanku ada pada Tuhan. Sehingga muncullah niatku. Aku sangat ingin berubah jadi lebih baik. Namun, aku takut jika suamiku tak setuju. Akhirnya kuutarakan niatku untuk bercadar. Bismillah, semoga diizinkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status