Rencana memang tak sesuai harapan. Aku sudah berusaha mencari. Nyatanya tak kudapatkan. Mungkin Allah belum memberikanku jalan. Apa niatku salah terlalu memikirkan jodoh?
Mungkin ini peringatan dari Allah. Aku harus ikhlas menuntut ilmu. Bukan untuk meredam hawa nafsu. Menjadikan semua ini pelampiasan. Keinginan untuk mencari jodoh. Hingga kuputuskan mencari lewat biro ta'aruf. Aku selalu berdoa di sepertiga malam. Semoga mendapatkan imam yang rajin salat. Hanya itulah impianku. Jika salat tak ditinggalkan, ia takkan meninggalkanku. Aku tak mau mengalami luka yang sama."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Hatiku terenyuh, saat bekernalan. Pertama kalin aku mengenalinya. Ia yang pertama mengajakku berkenalan. Kutatap kedua bola matanya yang bening. Postur tubuhnya yang menawan. Kesannya begitu sangat berkarisma."Perkenalkan, Nama saya Tazkiyah.""Nama saya Hakim. Senang berkenalan denganmu.""Saya niat ikut ajang ini untuk ta'aruf.""Kapan bisa bertemu?""Terserah kapan bisa. Kamu asal mana?""Saya dari Jakarta.""Aku asalnya dari Sulawesi."Kami saling bertukar cerita lewat video call. Dia bekerja sebagai seorang guru. Hakim merupakan seorang duda tanpa anak. Kami telah berkenalan dengan masing-masing keluarga. Hakim pun akhirnya rela menemuiku ke Sulawesi. Saat tiba, ia langsung menyukaiku. Aku sempat heran, secepat itu dia suka. Aku hanya diam saat dia mengatakannya. Bukankah harus mengenal lebih dalam agar ia menyukaiku.Ta'aruf kami tak berjalan lancar. Kelurga Hakim memutuskan satu tahun lagi. Teramat lama bagiku untuk ta'aruf. Setahuku proses ta'aruf tidak selama ini. Mereka menginginkan kami setahun menanti. Sedangkan aku tak ingin pacaran lagi. Aku tak mau tenggelam dengan dosa. Keputusan ini membuatku mengulangi kembali kesalahan. Sehingga hijrahku seakan hanya semu."Masih lama lagi kita menikah?""Yah, keluargaku menginginkan setahun lagi.""Jadi kita terus berhubungan seperti ini?""Yah.""Tapi aku sudah hijrah. Pakaianku pun syar'i. Aku takut akan timbul fitnah. Jujur, aku tak mau lagi pacaran.""Hanya waktu satu tahun. Bersabarlah Tazkiyah. Aku juga akan bersabar."Kuturutkan saja kemauan keluarganya. Akhirnya aku kembali tenggelam dalam dosa. Meskipun kami tak lantas berhubungan intim. Ia masih taat ibadah salat lima waktu. Itulah yang membuatku bertahan dengannya. Namun, hubungan pacaran pasti diwarnai dosa. Kami masih bersentuhan dan bercumbu. Ini kebodohan yang kulakukan lagi. Begitu gampangnya aku terikut arus. Inikah cara pandang aqidahnya?"Keluargaku seperti kurang suka kamu pakai syar'i.""Kenapa?""Aqidahmu dianggap seperti radikal.""Memang apa salahnya aku pakai begini? Setidaknya kututup aurat dan tidak berpakaian seksi. Temanku malah lebih tertutup lagi. Dia pakai cadar loh.""Itu hanya pendapat mereka saja. Kalau kamu masih mau pakai, tak apa.""Benar? kamu tak turuti kata keluargamu?""Tak apa, aku tak masalah.""Ya, makasih Mas Hakim."Walaupun begitu, aku masih ragu. Aku takut tak bisa bahagia nantinya. Tapi mas Hakim selalu meyakinkanku. Aku hanya takut. Jika tak direstui, keluarganya akan ikut campur. Mas Hakim bisa berubah nantinya. Sudah pasti ia akan lebih percaya keluarganya. Sedangkan aku hanya orang baru. Orang yang masuk ke keluarga mereka.Akhirnya setelah setahun, kami menikah. Acara itu tak dihadiri banyak keluarga mas Hakim. Namun pernikahan berjalan lancar. Akhirnya kami menjalani pernikahan ini. Saat awal tampak biasa saja. Tak ada yang janggal. Namun lama kelamaan, mulai ada masalah. Adanya perbedaan prinsip dan cara pandang. Hingga kami tak dapat mengontrolnya.***Laksana bunga yang layu. Setelah bersemi, kini gugur lagi. Segala yang kutakutkan akhirnya terjadi. Mas Hakim lebih menuruti keluarganya. Sedangkan aku tak dipandangnya. Aku ikut mas Alan ke Jakarta. Bagaimanapun dia bekerja disini. Aku pindah ke Jakarta bersamanya.Suatu ketika, aku berniat mengajak mas Hakim pergi. Kebetulan aku mendapat info kajian."Mas, ayo kita ikut kajian hari ini!" Ajakku."Aku lagi banyak kerjaan. Sibuk, lain kali saja.""Kapan Mas?""Kamu ini gak sabaran.""Yah sudah aku pergi sendiri. Kamu bisa antarkan gak?""Kamu tahu gak aku lagi sibuk?""Yah, maaf."Aku hanya terdiam saat dia membentakku. Padahal untuk ikut kegiatan religius. Ternyata jadi kesalahanku. Aku tak menyangka ia semarah itu. Keesokan harinya, mas Hakim hendak pergi. Aku tak diajaknya sama sekali. Aku pun langsung menanyakan padanya."Mas mau kemana?""Keluargaku ada acara.""Acara apa, Mas?""Sepupuku mau lamaran.""Aku gak diajak?"Mas Hakim terdiam. Ia terasa berat untuk bicara."Kamu masih penampilan begitu?""Maksud Mas?""Aku akan ajak kamu ke acara keluargaku. Tapi kamu tahu sendiri keluargaku gimana?""Masalah pakaian?""Yah, bisa tidak kalau kesana jangan pakai syar'i?""Aku akan usahakan Mas. Gak enak juga kalau tak kesana. Aku kan istrimu. Memang siapa yang menikah?""Sepupuku Bilal.""Aku siap-siap dulu yah, Mas.""Jangan lama-lama. Nanti bisa kutinggal kamu!""Yah."Aku seolah sedih. Mau ikut ke acara keluarga pun, harus mengemis. Sebenarnya serumit itukah? Hanya karena penampilan syar'i, mereka tidak menyukainya. Akhirnya aku memilih gamis dengan warna cerah. Kemudian kukenakan jilbab segi empat. Kusiasati dengan menutup dada. Bukan acara ini saja. Setiap acara keluarganya, penampilan harus kusiasati. Sekiranya aku terlihat syar'i. Biasanya aku memakai warna serba gelap. Khusus di acara mereka, aku begini. Semua kusesuaikan untuk masuk ke lingkungan keluarganya."Tazkiyah, mau kemana?"Saat keluar rumah, mbak Rumaisya memanggilku. Dia tetanggaku sekaligus teman. Dialah yang sering mengajakku ikut kajian."Mbak Rumaisya. Aku mau ke acara keluarga suamiku.""Kok tidak pakai hijab syar'i?""Aku ingin menyesuaikan keluarga suamiku.""Mereka masih belum berubah yah? Padahal mertuamu itu keluarga kyai. Katanya juga religius. Cuma penampilan syar'i dibilang radikal."Tiba-tiba mas Hakim memanggilku. Ia sepertinya sudah mau berangkat."Tazkiyah, ayo cepat!""Yah, Mas.""Mbak, maaf yah. Aku harus pergi.""Yah, hati-hati. Cepat, nanti marah suamimu!""Yah Mbak."Sambil berlari dengan tergopoh kumenghampirinya. Mas Hakim tampak sangat kesal karena menungguku lama."Lama banget sih kamu. Kalau besok-besok begini, tak segan kutinggalkan!""Maaf Mas. Tadi aku sudah berusaha cepat.""Bisanya ngebantah terus. Aku kan sudah bilang, tak usah ikut!""Mas tidak mau mengajakku? Kalau tak mau, aku tinggal saja.""Maumu ini apa sih? Jangan membuatku bingung.""Yah sudah, ayo jalan!""Keterlaluan!"Begitulah yang kualami sekarang. Terkadang aku merasa putus asa. Tak sanggup menjalani hubungan ini. Namun aku tak bisa membuat kecewa ayahku. Dia pasti akan sangat malu. Dia tak mau kalau aku sampai bercerai.Tekanan berat ini membuatku ingin berubah. Aku merasa kekuatanku ada pada Tuhan. Sehingga muncullah niatku. Aku sangat ingin berubah jadi lebih baik. Namun, aku takut jika suamiku tak setuju. Akhirnya kuutarakan niatku untuk bercadar. Bismillah, semoga diizinkan.Ketika waktu senggang, aku berencana mengutarakannya. Sengaja kuutarakan saat mas Hakim tenang. Kulihat ia sedang tidak ada beban. Jika pikirannya tenang, aku bisa bicara. Mas Hakim tampak sangat bahagia. Aku tak tahu apa yang membuat ia senang. Ia sedang bermain ponsel. Tampak serius sekali dan kadang tersenyum. Kutunggu ia selesai mengetik ponselnya. Lalu kudekati ia. Bismillah, coba kuutarakan hasrat ini."Mas Hakim." Sapaku."Yah?""Aku mau bicara sama Mas." Kucoba berkata dengan nada lembut. Supaya ia tidak marah. Aku perlahan ingin melunakkan hatinya. Maka kubuat ia sedikit nyaman denganku. Sebelumnya kusuguhkan ia kopi jahe kesukaannya."Ini aku buatkan kopi. Mas minum dulu!" Ujarku seraya tersenyum. "Yah, terima kasih."Mas Hakim usai juga minum kopi. Aku langsung mengatakannya. Keinginanku yang ingin bercadar. "Mas. Aku boleh tidak menutup diriku lagi?" Tanyaku."Menutup apa?""Ada hubungannya dengan penampilan."Aku berkata sangat ragu. Perasaan ini sangat takut. Tak ingi
Hampir sering aku bercadar. Sangat nyaman memakainya. Aku sampai tak ingin berhenti. Hasrat ini ingin terus tetap bertahan. Hingga pada akhirnya, aku terlena. Tanpa kusadari, mas Hakim mengetahuinya. Lambat laun sesuatu yang ditutupi akan terbuka."Kau pakai cadar?"Aku saat di rumah terkaget. Ketika ia pulang, tiba-tiba bicara demikian. "Apa Mas?""Aku melihatmu dengan Rumaisya tadi siang.""Mas tahu darimana itu kami?""Jelas-jelas dia bawa anaknya.""Mas lihat kami. Benar yang dilihat itu Fatih?""Iya. Fatih dan Rumaisya. Juga termasuk kamu. Kau pakai cadar juga?""Aku tak pernah minta uang buat beli cadar. Mas tahu pengeluaranku kan? Uang yang Mas beri juga..""Hey, aku tanya kau pakai cadar gak?""Iya, Mas. Itu aku."Rasa menyesalku tak jujur pada mas Hakim. Ia sangat marah padaku. Aku pun menangis."Kamu harus tahu. Aku tak suka kamu tanpa seizinku. Seenaknya pakai cadar!""Maaf, Mas."Aku memegang tangan mas Hakim. Ia langsung menangkisnya."Sudahlah! Capek aku dengar alasanmu
Aku berencana untuk ikut pengajian. Kebetulan di grup sedang ada jadwal kajian. Aku mengirim chat pada mbak Rumaisya. Jadi nanti bisa ketemu di mesjid. Setelah mempersiapkan diri, aku telah siap untuk pergi. Terpaksa sebelum pergi, kukenakan jaket. Ini kulakukan untuk menutupi jilbab besarku. Aku juga sudah mengirim chat pada mas Hakim. Sebelum pergi, aku menanti balasan darinya. Aku memutuskan meneleponnya karena terlalu lama. Mas Hakim tak mengangkatnya. Tak lama, ia mengirimkanku chat. Ia mengizinkanku pergi. Sebelum pergi, aku pamit pada mertuaku.Aku naik angkot saat pergi.Ketika pulang, mbak Rumaisya mengantarku. Ia sekalian ingin tahu rumah mertuaku. "Mampir dulu, Mbak Rum!" Ajakku."Kapan-kapan aja.""Ya.""Mbak pulang dulu yah.""Ya, hati-hati, Mbak. Makasih sudah anter!""Yah, sama-sama. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Aku masuk ke dalam rumah. Hari sudah hampir maghrib. Mas Hakim juga sudah pulang. Kukenakan kembali jaket untuk menutupi. "Sudah pulang kamu?" "Yah,
Di rumah, aku menghabiskan waktu sendiri. Aku tak mau jadi keluhan orang. Kegiatanku hanya berdiam diri di rumah. Apalagi mbak Namira akan mengiraku hanya makan tidur saja. Kuputuskan untuk mencari pekerjaan. Sebelumnya aku sudah minta izin pada mas Hakim. Ia mengantarku ke tempat lowongan kerja. Setelah interview, aku pulang. Aku sendirian menyusuri jalan pulang. Ketika menanti bis di halte, ada yang kukenal. Namun, wajahnya tak begitu kuingat. Lalu, aku ke arah orang itu. "Zaky ya?"Orang itu tak mempedulikan panggilanku. Kemudian aku berjalan ke arahnya. Dia sedang duduk di pinggir trotoar. Sambil mendengar earphone yang dikenakannya. "Zaky!"Suaraku terdengar keras. Ia menoleh ke arahku. Kemudian ia menatapku. Seolah ia ingin mengingatku kembali. "Ya?" Ia pun melepas earphone dari telinganya. "Kau masih ingat aku?""Kamu.. Tazkiyah!""Zaky. Aku tak menyangka ini kamu. Ternyata penampilanmu banyak berubah.""Apa yang berubah, aku tetap sama.""Pakaian dan rambutmu sangat rapi
Aku tak ingin berhenti. Namun perjalananku selalu dihalaunya. Mas Hakim tak ingin aku melanjutkan hijrahku. Keinginanku pun harus pupus. Aku terpaksa menurutinya. Ia tak memberikanku izin. Jika aku memohon, ia akan terus memarahiku. Aku tak mau ribut terus dengannya. Ia akan terus marah. Aku tak enak bila kedengaran keluarganya. Apalagi kalau ibunya sampai tahu. Jika mereka bertanya, pasti aku yang salah. Sudah pasti keluarganya akan membela dia. Aku heran melihat sikap mas Hakim. Ia semakin berubah. Tambah lagi ia selalu sibuk. Sedikit sekali waktunya untukku. Setiap di rumah dia hanya bermain ponsel. Sedangkan waktu untukku saat tidur saja. Sekali pun bersamaku, dia hanya sebentar. Entah pikiran buruk apa yang terlintas. Aku malah ingin memeriksa ponsel mas Hakim. Saat kuperiksa, aku melihat foto mas Hakim bersama wanita. Aku tak tahu itu siapa. Saat itu muncul mas Hakim. Aku langsung menanyakannya."Mas, ini foto siapa?" Tanyaku sambil memperlihatkan ponsel."Itu muridku. Memang ke
Di rumah aku menjadi sasaran mbak Namira. Selalu ada yang diributkannya. Ia selalu mencari masalah denganku. Itu hanya masalah sepele."Bu. Ada lihat ayam gorengku?""Memang ada apa?""Lauk makan siangku hilang, Bu. Siapa yang makan?""Mungkin tikus. Banyak tikus disini ngambil makanan.""Heran kok bisa? Siang gini ada tikus!""Jangan taruh sembarangan makanannya.""Biasanya gak hilang kok. Baru kali ini lauk makan bisa hilang. Siapa sih yah ngambil?""Jangan marah gitu. Mungkin memang dimakan tikus.""Aneh."Orang di rumah diam saja. Tak ada yang berani melawan iparku. Dia terus menggerutu. Mengeluh dan menyalahkan orang sekitar. "Sudah, Namira. makan saja yang ada.""Anakku, mana mau makan itu, Bu. Aku sudah belikan ayam goreng malah hilang!"Aku di rumah merasa tak enak hati. Ingin pergi saja rasanya. Seolah aku juga bersalah dengan ini. Padahal aku tidak tahu apa-apa."Kamu masih saja pakai kerudung di dalam rumah." Ucap Mbak Namira."Aku nyaman kayak gini, Mbak.""Panas-panas gi
Lama kelamaan disini aku makin tak nyaman. Seolah akan diusir oleh mereka. Bukan di rumah saja. Tetangga dan orang sekitar sini juga demikian. Sebaiknya apa yang harus kulakukan?Aku coba menenangkan hatiku yang kacau. Kuambil air wudhu saat sepertiga malam. Aku ingin salat tahajud. Mudah-mudahan Allah memberiku petunjuk. Andai ada tempat yang nyaman buatku. Tapi tak ada. Aku masih belum menemukannya sekarang. Aku masih nyaman di tempat kemarin. Ada mbak Rumaisya disana. Pindah kesini malah membuatku tak tenang. Aku ingin pindah. Namun mas Hakim tak ingin mencari tempat lain. Aku pasrah tinggal disini. Sakitnya hati membuatku menangis."Kenapa kamu?"Mas Hakim muncul di hadapanku. Ia melihat aku yang menangis sesenggukan."Ada masalah apa?""Aku tak bisa lagi disini, Mas.""Kamu ini seharusnya jadi istri itu harus bersyukur. Tinggal di rumah ibuku malah tak betah.""Bagaimana bisa betah, Mas? Orang banyak menaruh curiga padaku. Padahal aku tak pernah sedikitpun melukainya.""Mangkany
Hari ini aku bisa jalan bersama mbak Rumaisya. Bahkan aku telah ke rumahnya. Sangat bahagia sekali. Pulangnya aku dijemput mas Hakim. Kami pun pulang ke rumah. Seperti biasa, setiap pulang disambut muka masam mbak Namira. Ia masih belum pulang ke rumahnya. Suaminya pergi keluar kota. Ia memutuskan menginap di rumah mertuaku. Apalagi kabarnya mbak Rumaisya tengah hamil muda. Dia tidak bisa pulang sendirian.Aku tambah tersudut. Mbak Namira saja yang sudah punya anak, kini hamil lagi. Sementara aku satupun belum ada. Aku tetap sabar. Namun, menyakitkannya, bila ada yang menyinggungku. Bukan hanya keluarga mas Hakim. Tetangga pun bicara demikian. "Bu, aku mau beli makanan manis ini. Kayaknya aku ngidam." Ungkap Mbak Namira."Kamu mau apa?""Mau makan buah, Bu.""Besok minta belikan suamimu.""Aku maunya sekarang.""Buah apa pinginnya?""Buah apel." "Aku mau belikan ke pasar. Tapi lagi sibuk jahit.""Aku kepingin sekarang, Bu.""Sebentar, Ibu panggil Tazkiyah dulu. Minta tolong belikan