Tak semudah membalikan telapak tangan. Keputusan hati harus dipikir matang-matang. Rumah tangga yang belum berjalan empat tahun, tapi sudah dibumbui masalah. Masalah kami tak banyak. Selama ini yang dominan masalah hinaan keluarga suami. Namun, semakin aku bertahan, masalah lain muncul dan masih ulah keluarga suami.Kepala Raka yang ada benjolan, kuoles obat dari dokter, pun pinggangnya yang membiru. Melihat kondisi Raka, air mata berjatuhan. Daripada anakku yang sakit, biarlah aku yang menanggungnya."Biar kubantu, Mbak," ucap Yana mengambil obat dari tanganku. Lalu mengoleskannya ke kepala Raka."Seharusnya kita tidak menunggu berjam. Maaf ya, Mbak, ideku membuat Raka seperti ini." Yana tetlihat merasa bersalah."Bukan salahmu, Yan. Tapi ini salah Mas Bayu karna menitipkan Raka ke Inur. Dulu juga pernah terja
Pov Bu Ida(Ibu Mertua Rina)Syukurlah warungku ramai lagi. Semenjak kejadian aku dan Inur memfitnah Rina, tiga hari sepi. Tapi mau ke mana lagi ibu-ibu itu berhutang, tentu di warungku ini lah. Harga pun lebih murah dari warung lain. Untung sedikit tapi lancar, itulah politik berdagang."Bu Ida sendirian aja? Jaka mana?" Tiba-tiba si Leha datang.Tumben Leha kesiangan ke sini, biasanya jam tujuh pagi sudah pesan cabe dan ikan asin. Tentu berhutang. Padahal ia punya gelang emas. Lagian tidak mungkin ia tak punya simpanan. Waktu aku pinjam uang untuk Inur, ia bisa pinjamkan. Biasa saja sih aku potong dengan hutangnya padaku, tapi tidak kulakukan agar ia tak belanja ke warung lain."Jaka lagi urusin anaknya, Leha," jawabku. "Oh ya, mau pesan cabe berapa?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Berlarut dalam masalah membuatku tak mengetik cerbung beberapa hari. Saat buka messenger, beberapa penerbit meminang karyaku untuk dijadikan buku. Alhamdulillah, meskipun dilanda masalah, pintu untuk maju berkarya terus terbuka lebar."Rina." Ibu menghampiriku, lalu duduk di tepi ranjang."Ya, Bu," jawabku sambil menggusuk punggung Raka, menidurkannya."Kami sudah dengar semuanya. Bayu minta maaf dan apa keputusanmu."Aku tahu, ibu merasa khawatir dengan kondisi rumah tanggaku. Khawatir seorang ibu pada anak."Entahlah, Bu."Tentu semua orang dengar. Rumah ini kecil dan berbicara sedikit lantang, pasti terdengar. Apalagi teriak yang dilakukan mas Bayu mengedor pintu kamar."Rumah
"Ada apa, Mbak?" tanya Yana. Aku masih terpaku dengan pemikiran bimbang. Ini bukan karena rasa. Tapi lebih kekhawatiran dengan bayangan, tentang dampak yang akan terjadi.Bagaimana kalau seandainya mas Bayu mati karena aksi kenekatannya? Bagaimana kalau aku ke sana, sementara Jaka sudah mengancam agar aku tak menginjakkan kaki di rumah itu. Aku tahu, ibu mertua selalu membela Jaka meskipun ia sudah terbukti salah.Ya Tuhan, sulit sekali memutuskannya. Apa yang harus kuperbuat?"Mbak!" Suara Yana lebih keras hingga aku tersentak."Mas Bayu ngancam gantung diri, jika aku tidak ke sana, Yan," jawabku."Apa?" Yana terkejut dengan mata membulat."Siapa yang gantung diri?" Tiba-tiba ibu mendongakkan kepala di pintu.
Pergulatan antara Stela dan bu Yus makin panas. Ibu mertua dan Jaka berusaha melerai mereka. Namun Stela maupun lawannya tak mau kalah hingga berusaha melepaskan diri dan ingin melanjutkan. Sebuah pemandangan malukan karena Stela seorang gadis berpendidikan."Berhenti, Yus! Jangan bikin aku malu!" teriak bapaknya Inur."Biar ia tau rasa! Ia yang cakar muka anak kita ya harus dibalas dong!" Geram bu Yus. Jaka menahan ibu mertuanya itu."Biar sekalian mukamu kucakar!" Stela tak mau diam. Padahal tangan dipegang ibunya."Cukup!" Teriakan bapak mertua, hingga membuat suasana hening sesaat. Tentu semua terkejut karena suaranya sangat lantang. Namun berhasil membuat bu Yus menjauhi Stela seakan takut.Bapak itu mendekati ibu mertua dan Stela. Sementara Jaka terlihat takut karena p
Tidak ada tanggapan dari ucapan ibu. Aku menikmati kesendirian ini. Bahkan hidupku lebih terasa nyaman tanpa beban karena ulah keluarga suami. Hari-hariku lebih fokus mencari uang hanya untuk kebutuhan anak, orang tua dan membantu biaya kuliah Yana. Satu hal yang aku sadari, tempat akhir tujuan jika berpisah dari suami adalah orang tua. Susah senang hanya orang tuaku yang mengerti."Ada apa sih, Bu?" Bapak datang dan ikut duduk gabung dengan kami."Ini, Pak. Sudah tiga hari Rina berpisah dengan Bayu. Tapi Ibu lihat ia seolah ...." Ucapan ibu tak dilanjut. Hanya menghela napas besar seperti khawatir."Seolah apa, Bu? Ngomong yang jelas. Jangan bikin penasaran.""Ibu takut Rina tak butuh pendamping," lirih ibu."Astagfirullah'alaziim, Ibu kok ngomong gitu? Jangan mikir yang ma
"Cerai?" Mas Bayu mengulangi perkataan, yang kuminta darinya."Ya! Aku sudah cukup muak dengan tingkahmu, Mas. Ini untuk kebaikan kita berdua agar tidak ada yang tersakiti lagi.""Tidak, aku tidak ingin bercerai," tolak mas Bayu.Aku melanjutkan langkah. Rasa kesal ini makin bertambah mendengar penolakannya, setelah apa yang terjadi. Dasar egois!Saat kata cerai kuminta darinya, saat itu tanganku langsung terlepas. Sulit sekali menahan kesal. Lagi dan lagi, aku dituduh tanpa ia bertanya dulu. Ini tepatnya masalah kepercayaan. Jika ia tidak percaya aku, maka hubungan ini akan bermasalah disekitar itu lagi. Kapan aku bisa tenang menjalani hidup?"Tunggu, Rina! Rina!"Kupalingkan sekilas ke belakang, ia berusaha m
Dalam hati bimbang, aku tidak menjawab atau menerima kartu ATM-nya. Bukan karena merasa aku juga punya uang, tapi aku takut memberi kesempatan. Seandainya perkataan mas Bayu tidak terbukti, masalah lain akan muncul lagi."Rina, cobalah ingat kembali. Dulu kita bahagia sebelum aku kehilangan satu kaki."Aku tetap diam."Raka butuh kedua orang tuanya.""Sudahlah, Mas. Aku banyak kerjaan." Kuambil Raka dari gendongannya."Rina, tolong pikirkan lagi.""Kamu ngerti nggak dengan kata lelah? Kalian sekeluarga lengkap menyakitiku. Jadi buat apa kesempatan yang akan mengembalikanku ke masalah itu lagi." Lalu aku ingin menyeberang jalan."Tunggu, Rin! Ini ATM gajiku."&