Pergulatan antara Stela dan bu Yus makin panas. Ibu mertua dan Jaka berusaha melerai mereka. Namun Stela maupun lawannya tak mau kalah hingga berusaha melepaskan diri dan ingin melanjutkan. Sebuah pemandangan malukan karena Stela seorang gadis berpendidikan."Berhenti, Yus! Jangan bikin aku malu!" teriak bapaknya Inur."Biar ia tau rasa! Ia yang cakar muka anak kita ya harus dibalas dong!" Geram bu Yus. Jaka menahan ibu mertuanya itu."Biar sekalian mukamu kucakar!" Stela tak mau diam. Padahal tangan dipegang ibunya."Cukup!" Teriakan bapak mertua, hingga membuat suasana hening sesaat. Tentu semua terkejut karena suaranya sangat lantang. Namun berhasil membuat bu Yus menjauhi Stela seakan takut.Bapak itu mendekati ibu mertua dan Stela. Sementara Jaka terlihat takut karena p
Tidak ada tanggapan dari ucapan ibu. Aku menikmati kesendirian ini. Bahkan hidupku lebih terasa nyaman tanpa beban karena ulah keluarga suami. Hari-hariku lebih fokus mencari uang hanya untuk kebutuhan anak, orang tua dan membantu biaya kuliah Yana. Satu hal yang aku sadari, tempat akhir tujuan jika berpisah dari suami adalah orang tua. Susah senang hanya orang tuaku yang mengerti."Ada apa sih, Bu?" Bapak datang dan ikut duduk gabung dengan kami."Ini, Pak. Sudah tiga hari Rina berpisah dengan Bayu. Tapi Ibu lihat ia seolah ...." Ucapan ibu tak dilanjut. Hanya menghela napas besar seperti khawatir."Seolah apa, Bu? Ngomong yang jelas. Jangan bikin penasaran.""Ibu takut Rina tak butuh pendamping," lirih ibu."Astagfirullah'alaziim, Ibu kok ngomong gitu? Jangan mikir yang ma
"Cerai?" Mas Bayu mengulangi perkataan, yang kuminta darinya."Ya! Aku sudah cukup muak dengan tingkahmu, Mas. Ini untuk kebaikan kita berdua agar tidak ada yang tersakiti lagi.""Tidak, aku tidak ingin bercerai," tolak mas Bayu.Aku melanjutkan langkah. Rasa kesal ini makin bertambah mendengar penolakannya, setelah apa yang terjadi. Dasar egois!Saat kata cerai kuminta darinya, saat itu tanganku langsung terlepas. Sulit sekali menahan kesal. Lagi dan lagi, aku dituduh tanpa ia bertanya dulu. Ini tepatnya masalah kepercayaan. Jika ia tidak percaya aku, maka hubungan ini akan bermasalah disekitar itu lagi. Kapan aku bisa tenang menjalani hidup?"Tunggu, Rina! Rina!"Kupalingkan sekilas ke belakang, ia berusaha m
Dalam hati bimbang, aku tidak menjawab atau menerima kartu ATM-nya. Bukan karena merasa aku juga punya uang, tapi aku takut memberi kesempatan. Seandainya perkataan mas Bayu tidak terbukti, masalah lain akan muncul lagi."Rina, cobalah ingat kembali. Dulu kita bahagia sebelum aku kehilangan satu kaki."Aku tetap diam."Raka butuh kedua orang tuanya.""Sudahlah, Mas. Aku banyak kerjaan." Kuambil Raka dari gendongannya."Rina, tolong pikirkan lagi.""Kamu ngerti nggak dengan kata lelah? Kalian sekeluarga lengkap menyakitiku. Jadi buat apa kesempatan yang akan mengembalikanku ke masalah itu lagi." Lalu aku ingin menyeberang jalan."Tunggu, Rin! Ini ATM gajiku."&
Pov BayuHari-hariku terasa ada yang kurang, semenjak konflik rumahtangga belum selesai. Rina seperti enggan memaafkan. Ini masih kesalahan yangsama. Aku menuduhnya tanpa bertanya dulu. Apakah salah jika rasa cemburuhinggap dan tidak terima ia bersama lelaki lain. Jangankan terlihat, mendengarsaja hati ini sakit.Pulang kerja ada yang berbeda. Biasanya secangkir kopihangat dan handuk sudah tersedia. Tawa ceria Raka juga menyambut. Namunsekarang? Jangankan disambut, justru pulang kerja, Ibu bertanya kapan akugajian. Apalagi kalau bukan minta bantuan buat biaya kuliah Stela. Jika kuingatperlakukan Stela dulunya, tak sudi membantu. Hinaan bahkan ia tidak mengakuiakukakaknya belum bisa terlupakan.“Sok sekali ia melagak minta kita menyuruh Bayu buatceraikan dia. Merasa sudah jadi orang tuh, bar
Pov Bayu (2)Jika semua anak harus mengalah meskipun orang tua salah.Apakah seperti ini bentuk baktiku sebagai anak? Sudah dua kali ibu bicaratentang hutang dilahirkan, tapi kenapa hanya denganku saja? Berkorban demikakak dan adik sudah dilakukan, tapi apa yang kudapat? Kebahagiaanku hancurbersama hancurnya rumah tanggaku. Ibu, aku tahu jasamu tak kan bisa terbalaskan,tapi bisakah ibu merasakan apa yang kurasakan. Aku bukan patung yang terimajika kepala diinjank atau seluruh tubuh dipatahkan hingga tak berguna lagi. Akuanakmu, Bu ....“Apakah Ibu bahagia?” tanyaku menahan hati.“Yaa, Ibu bahagia jika tak ada masalah. Terutama masalahkeuangan, Bay.” Tanpa rasa bersalah ibu menjawab. Bahkan tak terlihat rasaprihatin dengan apa yang kualami.&ld
Pov Bayu(3)“Cepat jawab! Kamu hamil?” Ibu mendesak Stela meskipun iatetap menangis dalam diam. Bahkan air matanya semakin deras berjatuhan meskipunsudah diseka beberpa kali.“Kamu tidak mau jawab? Berati perkataan Ibu benar, Stela?” Akupun tak sabar ingin tahu tentang jawaban Stela.“Aku, aku nggak tau, Mas,” jawab Stela sambil terisak.Plak!Seketika ibu langsung menampar Stela. Pandangan marahmeskipun mata berkaca. Bahkan kulihat tangan ibu gemetar mengepal seolahberusaha menahan emosi.“I-Ibu, kenapa menamparku?” Stela tergagap sambil memegangpipinya yang bekas tamparan.“Kamu aku sekolahkan tinggi-t
Siang ini susana rumah makan sedang ramai. Seperti biasasudah jam makan siang. Ada yang duduk di sini dan ada juga yang memesan nasibungkus. Kesibukanku yang utama hanya mengontrol pekerja, sambil menjaga Raka.Sementara bapak duduk di kasir. “Tambuah ciek! (tambah satu),” teriak seorang bapak darimejanya sambil mengacungkan tangan.“Di meja tiga tambah satu, Don!”sahutku pada Doni salah satuyang bertugas menghidangkan.“Ya, Mbak,” jawabnya segera melaksanakan perintahku.“Pak, nasi lima bungkus pake rendang,” ucap seorang ibu-ibubaru datang. Ia salah satu pelanggan tetap karena karena bekerja di kantorlurah yang tak jauh dari sini.“Ditungguya, Bu,” jawab bapak ke