Nyawa Manusia itu berharga karena memiliki batas. Batasan itulah yang membuat manusia terus berjuang - Heiji Hattori -
Bruakkk!
"Pak Ian, ada kasus di daerah Genteng Kali!" Seseorang berteriak tepat di depan meja kerjaku.
Aku yang masih setengah tidur mencoba melihat wajah si berengsek yang berani membangunkanku.
Wajah bulat lucu dengan ekspresi panik, lengkap dengan kacamata dan kepala plontos, adalah sosok yang berani menggebrak mejaku sepagi ini.
Orang ini memang kelewat berani, karena dia juga sangat sering memintaku mentraktirnya makan siang. Tetapi, biasanya dia tidak sepanik ini akan apa pun.
"Pak, ayo kita ke TKP! Sebelum kasus ini diambil alih unit 1!" desaknya.
"Bukannya justru lebih enak kalau diambil unit sebelah?" kataku santai. "Jadi kita tidak perlu mengurusi kasus remeh."
Si kepala plontos mendengus kesal, "Ini kasus pembunuhan pak, dan korbannya kehilangan jari kelingking tangan kanannya."
Semua sel dalam tubuhku langsung meronta, seolah ingin aku berdiri dan berangkat langsung ke TKP.
Sekarang, sudah lima bulan sejak aku tertimpa tragedi kecelakaan yang membuatku memiliki kemampuan istimewa ini.
Dan hari yang kutunggu akhirnya tiba. Sebuah kasus yang mirip dengan kasusku terjadi hari ini. Seseorang dibunuh dan jari kelingking tangan kanannya hilang.
Lima bulan lalu, tidak ada satupun rekan polisi yang melihat kecelakaan yang menimpaku. Anggapan paling awal adalah aku menjadi korban tabrak lari, namun setelah diselidiki, tidak ada jejak ban sedikitpun di jalan tempatku tergeletak.
Terlebih, tidak ada kecelakaan apa pun yang merenggut hanya satu jari dari seluruh anggota tubuh yang ada. Sudah pasti jari kelingkingku dipotong oleh seseorang, dan orang itu tidak sempat membunuhku, atau malah gagal membunuhku.
Setelah vakum selama lima bulan, akhirnya pembunuh itu muncul kembali di wilayahku. Yang artinya, akan ada pertarungan berdarah di kota ini.
Aku mengambil jaketku, dan mengalungkan tanda namaku, lalu segera menyusul Gabe yang sudah lebih dulu ke tempat parkir.
Dan begitulah, kami berdua memulai perjalanan ke Tempat Kejadian Perkara.
****
"Kau masih belum bisa menelusuri ingatanku hingga saat kecelakaan itu terjadi?" tanya Gabe tanpa mengalihkan pandangannya ke jalan raya.
Beberapa hari terakhir, pertanyaan Gabe selalu sama untuk topik yang berhubungan dengan kemampuanku. Menurutnya, aku bisa menemukan alasan kecelakaanku, jika aku bisa mundur jauh ke lima bulan lalu saat membaca ingatannya.
Masalahnya, rekorku hanya dapat menyelam kurang lebih dua bulan di ingatan Gabe. Menelusuri lebih dari itu, malah membuatku langsung tidur di tempat dan bangun esok harinya dengan badan kelewat pegal.
Hari ini adalah contohnya, karena kemarin Gabe memaksaku menelusuri ingatannya lebih jauh, maka hari ini aku sangat tidak bertenaga.
Setiap kemampuan istimewa memang harus dibarengi dengan kelemahan yang juga istimewa, agar semua hal tetap berjalan seimbang.
"Kemarin, aku hanya bisa menelusuri sampai dua bulan tiga belas hari," jawabku, "dan aku langsung tidur hingga sepuluh jam."
Gabe mengangguk khidmat dari belakang kemudi, dia masih menilai apakah langkah selanjutnya untuk memaksa kemampuanku agar dapat mundur lebih jauh.
"Kita pikirkan itu nanti." Gabe menyimpulkan. "Karena akan sulit jika kau mengantuk saat sedang menyelidiki kasus kejahatan berat seperti sekarang."
Aku setuju dengannya. Kasus hari ini lebih penting dari peningkatan kemampuanku, karena hari ini nyawa seseorang sudah hilang.
Bagiku, tidak ada kasus lain yang harus ditangani lebih serius daripada pembunuhan. Menghilangkan nyawa seseorang dengan alasan apa pun, adalah sebuah hal yang tidak bisa kuterima dari sisi mana pun.
Surabaya yang merupakan kota terbesar kedua di Indonesia, memiliki banyak sekali gang-gang kelinci, karena kota ini memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Dan Tempat Kejadian Perkara untuk pembunuhan kali ini terletak di sebuah rumah yang berada di gang kecil. Apalagi Kecamatan Genteng Kali yang dekat dengan bantaran sungai, malah semakin membuat banyak gang kecil bertebaran di Kecamatan ini.
Aku dan Gabe memaksa menyeruak di antara para warga yang sedang melihat TKP di belakang garis kuning milik polisi. Kedatanganku dan Gabe membuat beberapa polisi yang berjaga langsung memberi salam padaku dengan hanya mengangguk pelan.
Salah satu polisi lalu lintas menggiring kami ke TKP yang sebenarnya. "Pagi Pak Ian dan Pak Gabe!" sapa seorang polisi yang berada di sebelah mayat. Dia memberikan sebuah dompet padaku. "Korban bernama Sugeng Srianto, umurnya 59 tahun dan bekerja sebagai kuli bangunan. Orang yang pertama kali menemukannya adalah petugas listrik yang akan memeriksa pemakaian bulanan rumah ini."
"Bagaimana dengan saksi?" tanyaku.
Polisi itu menggeleng khidmat. "Tidak ada saksi satu pun, bahkan para warga juga sangat yakin tidak ada seorang pun yang keluar dari rumah itu kemarin malam."
Tidak ada saksi dan TKP di gang kecil ini hanya permulaan dari sebuah kasus paling aneh yang pernah kutemukan selama karirku sebagai polisi. Di dalam rumah sempit di ujung gang ini, tergolek lemas tubuh manusia dengan luka menganga di bagian perut. Dari bekasnya, maka sudah pasti sebuah pisau besar yang digunakan oleh tersangka. Namun, hanya fakta itu saja yang paling normal di kasus ini, karena selebihnya adalah kejanggalan.
Kejanggalan pertama adalah tidak ada genangan darah segar, meskipun terdapat luka sebesar itu di tubuh mayat. Kedua, tusukan di perut mayat yang awalnya kuanggap memakai pisau besar ternyata harus direvisi. Bekas luka itu menunjukkan bahwa tersangka sepertinya menusuk korban dengan pisau ukuran sedang, dengan terus memutar pisau itu selagi masih menancap di perut korban. Aku menyadarinya karena bekas luka itu berbentuk bulat, bukan sebuah garis.
Terakhir, adalah lokasi ditemukannya mayat ini adalah di loteng rumah yang berada di ujung gang buntu. Tim Forensik belum datang untuk memperkirakan waktu pembunuhan, tetapi dari tingkat kekakuan mayat, maka aku bisa memperkirakan bahwa orang ini dibunuh tengah malam.
"Pembunuhnya pasti pernah memenangkan medali olahraga lompat jauh," gumam Gabe di sebelahku.
Gabe sedang tidak melawak, karena TKP yang ada di depan kami, mengharuskan tersangka untuk melompat jauh ke gang sebelah untuk bisa lolos. Karena meskipun aksi dilakukan tengah malam, tetap mustahil untuk tidak menemukan satu orang pun saksi yang melihat orang mencurigakan muncul dari rumah itu.
Satu-satunya jalan untuk pembunuh dapat pergi dengan tenang, adalah melompati tembok setinggi lantai dua rumah ini untuk ke gang sebelah.
Suara langkah kaki beberapa orang mendekat ke arah kami. Forensik datang saat aku sedang tenggelam dalam rangkaian hipotesis di otakku.
"Seperti biasa, kau masih susah tidur, ya?" Sindiran itu keluar dari mulut pemimpin tim Forensik yang datang ke TKP.
Orang ini bernama Anugrah Nugraha, direktur Kepala Forensik Nasional Surabaya. Si tukang sindir ini adalah orang kepercayaanku selain Gabe, namun dia hanya khusus kuhubungi saat ada kasus besar seperti sekarang.
Tetapi hari ini Nugrah datang tanpa harus kupanggil, yang artinya kasus ini memang kasus besar.
"Pantas saja mukamu sangat masam," kata Nugrah sambil mengeluarkan peralatan Forensik dari tasnya. "Darah sebanyak itu hilang dari TKP, artinya pembunuh kali ini sangat bersih dalam melakukan aksinya."
"Sekecil apa pun pasti ada jejak luminol di ruangan ini," kataku tegas.
"Harusnya begitu," balas Nugrah. Dia mengeluarkan sebuah senter biru dari tasnya, beserta semprotan luminol. "Tetapi aku tidak yakin akan menemukan jejak darah, karena keseluruhan TKP ini harus kuakui sangat bersih dan rapi."
Saat kepala Forensik memuji seorang pembunuh, maka mau tidak mau aku ikut memandang sekeliling ruangan ini. Lantai dua rumah ini adalah ruangan yang berisi sofa panjang, TV, lemari es dan banyak benda lain yang berhubungan dengan ruang santai. Bahkan di atas sofa tergeletak bungkus makanan ringan yang membuat TKP ini menjadi semakin rapi.
Selagi Forensik mulai memeriksa jejak darah di TKP, aku turun ke lantai bawah untuk memeriksa lantai bawah, namun di ujung tangga sudah terpampang wajah lempeng Gabe Sinaga.
"Lantai dua terlalu rapi, namun lantai ini tidak begitu rapi," katanya polos.
"Kau sudah memeriksa semuanya?" tanyaku. Aku sedikit kesal karena pemikiran Gabe selalu selangkah di depanku, namun aku juga bersyukur memiliki dia sebagai sahabatku. Dia adalah alasan instingku sebagai detektif polisi semakin tajam dari hari ke hari.
Gabe mengangguk pelan, lalu dia memberi isyarat padaku untuk mengikutinya masuk ke sebuah ruangan yang tampaknya adalah kamar Pak Sugeng.
Kamar ini malah lebih janggal daripada TKP di lantai dua, karena kamar ini sangat rapi. Bahkan aku tidak menemukan sedikit pun debu di perabot yang ada di kamar ini. Jadi sebenarnya ruangan mana yang dipalsukan? Kamar tidur rapi di lantai bawah, atau ruang santai yang berantakan di lantai atas?
"Ada dua hal yang aneh, dan harus kita berikan pada Forensik untuk memeriksanya," kata Gabe.
Dia memegang bungkus makanan ringan ukuran besar di tangan kanannya, dan sebuah baju kusut di tangan satunya. Barang pertama yang dia lempar padaku ada baju kusut di tangan kirinya.
Aku membolak-balik baju itu untuk mencoba memahami maksud dari sahabatku.
"Aku beri petunjuk...," kata Gabe, yang mungkin juga bosan menungguku mengerti maksudnya. "Lihat baik-baik lipatan baju itu, dan coba hubungkan dengan selimut tebal yang ada di atas sofa lantai dua.”
Aku membalik baju itu untuk melihat lipatannya. Baju kusut ini memiliki lipatan-lipatan tak beraturan yang merupakan bukti bahwa si pemilik tidak pernah melipat baju dengan baik.
Namun setelah aku melihat lebih detail, maka terlihat bekas lipatan rapi yang ditengah bekas lipatan tak beraturan yang tampak masih baru.
Apa maksudnya ini? Apakah seseorang mencoba menyembunyikan bekas lipatan rapi dengan cara membuat baju ini sekusut mungkin?
"Bagaimana menurutmu Pak?" Gabe meminta pendapatku.
Belum ada kesimpulan di otakku, karena aku harus memastikan sesuatu. Aku berjalan ke lemari milik korban untuk memastikan hipotesisku. Aku mengambil baju paling atas di tumpukan baju miliknya, dan memeriksa lipatan baju itu.
Lipatan baju itu sangat rapi selayaknya lipatan awal baju kusut yang dilemparkan Gabe padaku, yang berarti kamar ini mungkin menggambarkan karakter asli Pak Sugeng.
"Kita butuh seorang saksi," kataku menyimpulkan.
"Jangan bilang kalau kau akan menggunakan kemampuan anehmu?" tanya Gabe curiga.
Aku menggeleng cepat. "Tidak akan kugunakan, jika menurutmu kita masih memiliki pilihan lain."
Memang begitulah janji yang kubuat untuk penggunaan kemampuan aneh milikku. Selama sebuah kasus masih bisa diselesaikan dengan cara normal, maka kemampuan itu tidak perlu digunakan.
"Kalau begitu, kita tunggu hasil penyelidikan pihak Forensik," usul Gabe, lalu dia memelankan suaranya dan berkata, "Jika hasil dari mereka tidak memuaskan, maka kita terpaksa harus mencari saksi."
Aku mengangguk setuju akan usul Gabe, karena Anugrah Nugraha si Kepala Forensik Surabaya kemungkinan akan menemukan sesuatu dalam penyelidikannya.
"Oh, Bapak berdua disini!" seru seseorang di depan kamar.
Aku menoleh ke sumber suara, yang ternyata adalah dua detektif lain di timku yang segera menyusul setelah kutelepon.
Detektif pertama memiliki hidung mancung dan mata hampir sipit, khas keturunan oriental. Melihat wajahnya saja, akan membuat hati siapa pun menjadi tenang. Detektif sopan dan pemalu ini bernama Otniel Indra, dan di timku tugasnya ada pencari informasi.
"Maaf Pak, Unit 1 meminta kami untuk membantu mereka menyelesaikan berkas kasus kemarin," kata Otniel sambil sedikit membungkukkan badannya.
"Maklum Pak, unit kita dikenal sebagai unit yang mengatasi kejahatan yang berat dan rumit, jadi sudah pasti mereka akan meminta bantuan kami untuk menyelesaikan berkas kasus," sambung pria di sebelahnya, yang bernama Ibnu Fathurohman.
Ibnu memiliki sikap yang cukup jauh berbeda ketimbang Otniel. Jika Otniel lebih kalem dan sopan, maka Ibnu adalah pribadi yang ceria dan serampangan. Bahkan aku berani mengatakan bahwa Ibnu adalah petarung terbaik yang dimiliki Kepolisian Surabaya.
Kami berempat tergabung di Unit 2 divisi Kejahatan Berat dan Kekerasan Kepolisian Pusat Surabaya. Dan selama tujuh tahun terakhir, tim terbaik untuk menyelesaikan kasus di kota Surabaya adalah tim kami.
"Niel, sudah dapat semua data kasus ini?" tanya Gabe.
Otniel langsung mengambil ponsel di kantongnya dengan cepat, dan beberapa detik kemudian dia berkata, "Sudah Pak, saya akan mempelajari detail kasusnya."
Kedatangan Otniel dan Ibnu membuatku semakin yakin kalau tim kami mampu menyelesaikan kasus ini, bahkan menguak dalang di balik kecelakaan yang menimpaku lima bulan lalu. Beberapa saat setelah Otniel yang keluar rumah sambil mengotak-atik ponselnya, Anugrah turun dengan santai sambil melepas sarung tangannya.
Raut wajah Kepala Forensik ini cukup membuatku agak takut menanyakan hasil penyelidikan. Namun, kami butuh hal itu untuk menemukan pembunuh Pak Sugeng.
"Pertama...," Nugrah memulai penjelasannya. "penyebab kematiannya kemungkinan bukan karena kehabisan darah yang keluar dari lubang di perut, melainkan karena tercekik."
"Tercekik?" tanyaku.
Anugrah mengangguk pelan. "Tidak ada bekas jeratan di leher korban, namun lidah korban seakan menjulur keluar saat kami membuka mulut korban."
"Kedua, jari kelingking korban yang hilang ditemukan di lemari es korban di lantai dua." Anugrah melanjutkan. "Jadi kami akan melakukan autopsi, setelah keluarga korban menyetujui."
"Korban tidak memiliki keluarga," sahut Otniel yang baru masuk.
Anugrah melihat si pemberi informasi sejenak, lalu dia kembali beralih padaku. "Tiga, kami tidak menemukan jejak darah maupun kekerasan di lantai atas."
"Tiga hal itu mungkin cukup untuk membuat Forensik sibuk," kata Nugrah untuk menutup pembicaraan kami.
Forensik memang memiliki alasan kuat untuk mengeluh, karena kasus kali ini adalah kasus yang sangat aneh. Aku tidak memiliki petunjuk apa pun, selain dugaan bahwa ruangan di lantai atas dipalsukan.
Hilangnya jejak darah, jari yang dipotong namun malah disimpan di lemari es oleh si pembunuh, dan terakhir adalah lidah korban yang menjulur keluar. Kasus aneh ini adalah awal mula perjalananku sebagai detektif polisi yang melanggar aturan Hak Asasi Manusia, untuk menyelesaikan berbagai kasus rumit.
Aku percaya bahwa satu-satunya cara membebaskan orang dari penderitaan adalah dengan membunuhnya - Carl Panzram –Aku masih ingin sedikit lebih lama di TKP untuk menyelidiki kasus ini, namun paksaan Gabe yang kelaparan membuatku harus mengalah.Akhirnya tim kami memutuskan untuk mengisi perut di restoran cepat saji di dekat TKP, sambil menunggu hasil autopsi dari Nugrah yang seharusnya keluar beberapa jam ke depan."Jangan terlalu keras pada dirimu Pak, kita harus makan agar tetap bisa berpikir," kata Ibnu.Aneh sekali mendengar kata 'berpikir' dari mulut orang yang tidak pernah berpikir. Meskipun aku mengoceh dalam hati, tetapi akhirnya ayam goreng yang ada di depanku kulahap juga."Tetapi Pak, bukannya
Betapa pun sempurnanya rencana manusia, pasti akan ada kesalahan - Five Orange Pips -Setelah pertanyaan itu dilontarkan, ada keheningan sejenak yang menguar di ruangan autopsi. Jawaban dari pertanyaan itu belum tentu 'iya', namun kemungkinan besar memang benar.Aku mencoba menenangkan diriku, karena ada dua anak buahku dan Anugrah disini. Bagaimana pun juga, aku sudah mempersiapkan diri untuk bertarung dengan pembunuh keji itu."Jadi sampah itu menantang kita?" gumamku dengan suara yang cukup keras untuk bisa didengar oleh satu ruangan. "Kalau begitu, kita harus memberi dia pelajaran berharga, karena sudah berani bermain api dengan kita!”Aku menunjuk Otniel, lalu memberinya perintah, "Cari informasi sebanyak mungkin tentang Pak Sugeng dan orang-orang yan
Rahasia terbesar selalu disembunyikan di tempat yang paling tidak di sukai – Roald Dahl –Tangga ruang rahasia itu membawaku ke gang sebelah yang memiliki lebar sedikit lebih besar daripada gang rumah Pak Sugeng. Namun, tangga pintu rahasia itu berada cukup jauh dari rumah warga, meskipun berada di gang yang sama.Gang sebelah ini jauh lebih kumuh daripada gang Pak Sugeng, sehingga adanya sebuah tangga yang mengarah ke tembok kosong itu tidak menarik perhatian.“Ruang rahasia itu adalah alasan lantai atas sangat berantakan,” ujar Gabe sambil mengelus kepala plontosnya yang masih kesakitan karena pukulanku.“Ruangan yang berantakan untuk menyembunyikan pintu itu?” tanya Ibnu.
Rahasia hanya untuk pecundang. Untuk orang-orang yang tidak mengerti betapa pentingnya informasi – Daniel Patrick Moynihan –Rumah tempat Ibnu dan Otniel menemukan orang yang mau dimintai keterangan adalah sebuah rumah yang hampir berada di ujung gang. Jadi, setiap kali aku melangkah mendekati rumah itu, aku memikirkan berbagai macam alasan untuk menyentuh si calon saksi ini."Kau bisa menjabat tangannya sambil memperkenalkan asal divisi kita," usul Gabe.Sebuah usul yang logis, dan sempat aku pikirkan, tapi kelemahannya adalah waktu yang terlalu pendek. Aku pesimis kalau dapat menemukan informasi soal Pak Sugeng di ingatan orang itu, jika hanya menjabat tangannya sebentar. Aku perlu sebuah alasan yang kuat dan logis untuk menyentuhnya agak lama.Pik
Narkoba adalah musuh dari ambisi dan harapan– dan saat kita berjuang melawan narkoba, maka kita sedang berjuang untuk masa depan - Bob Riley - Antusiasme Gabe membuat dia salah mengambil jalan, sehingga mobil kami salah masuk tol. Aku takut kalau Adi sudah kembali pulang kerumahnya, karena jam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih dua puluh menit tengah malam. Saat ini, aku hanya memiliki satu pilihan bantuan. Aku terpaksa menelepon Ibnu dan Otniel untuk menyuruh mereka mencari Adi di salah satu warung dekat rumahnya. Untungnya, dua anak itu mau kembali berangkat kerja, meskipun sudah kuusir setelah sukses dengan ingatan Adi. Dua anggota timku itu adalah yang paling bisa diandalkan untuk mencari orang, jadi aku sudah lega saat mereka menyetujui permintaanku. "Kalau benar air liur Adi mengandung narkoba, maka Pak Sugeng adalah pemasoknya untuk waktu yang lama," ujar Gabe memecah keheningan di tengah jalan tol yang sepi. "Dan hal itu akan membuat tersangka pembunuhan Pak Sugeng s
Kami selalu dibayar berdasarkan kecurigaan kami, dengan menemukan apa yang kami curigai - Henry David Thoreau - Aku langsung memacu mobil Gabe, setelah surat perintah sudah dikeluarkan oleh Kantor Pusat. Untungnya surat perintah untuk penangkapan Adi cepat dikeluarkan, karena kami memiliki bukti tak terbantah. Otakku memikirkan Anugrah selama perjalanan dari Departemen Forensik ke rumah Adi. Aku sangat yakin kalau orang yang cerewet dan mudah penasaran seperti Anugrah bakal langsung melepaskan kecurigaannya padaku. Aku harus sangat berhati-hati dalam memakai kemampuanku setelah kasus ini selesai. Selain Anugrah, ada hal lain yang mengganjal di pikiranku. Hal itu adalah tentang cara Pak Sugeng mendapatkan obat itu, dan bagaimana aku bisa mendapatkan bukti keterlibatan Pak Sugeng dengan adiksi Adi. Pikiranku yang berkelana itu membuat perjalanan terasa singkat. Aku memarkir mobilku di depan gang rumah Pak Sugeng, dan bergegas ke gang sebelah lewat jalan rahasia di rumah Pak Sugeng.
Jangan percaya dengan apa yang kamu dengar. Percayalah setengah dari yang kamu lihat - Edgar Allan Poe - Harapanku untuk menginterogasi Adi secepatnya runtuh, karena Adi lebih teler daripada yang terlihat. Dokter di Rumah Sakit Polisi mengatakan kalau Adi mengonsumsi dosis dua kali lipat dari biasanya, dan obat itu hampir merenggut nyawanya hari ini. Untungnya, Ibnu dan Otniel membawa Adi ke Rumah Sakit, alih-alih ke kantor seperti perintahku. Kadangkala, kita harus melangkahi perintah atasan jika sudah menyangkut nyawa. "Petugas Forensik sedang memeriksa secara menyeluruh rumah Adi Nugroho," ujar Otniel sambil mengunyah roti isi cokelat yang baru saja dia beli di kantin rumah sakit. "Kita hanya perlu menunggu sebentar, untuk ditemukannya barang bukti." Perkataan Otniel seharusnya benar, namun aku sedikit ragu kalau akan ditemukan barang bukti di rumah Adi. Selain itu, timku juga perlu bukti yang menunjukkan hubungan Pak Sugeng dan Adi lewat barang terlarang itu. Kasus pembunuhan
Dalam proses interogasi, semua orang menginginkan jawaban-jawaban yang belum siap kuberikan - Lucy Christopher - "Bapak masih sakit?" tanya Otniel begitu aku turun dari mobil. Kabar soal aku yang tidur di tempat parkir bahkan sudah menyebar di kantorku. "Adi Nugroho ada di mana?" tanyaku mengubah topik pembicaraan ke hal yang lebih penting. Untungnya, Otniel bukan pribadi yang mudah penasaran. Anak itu langsung memandu jalan kami melewati berbagai lorong yang sangat kukenal, ke ruang interogasi tempat Adi menunggu. Aku memilih untuk masuk ke ruang kontrol terlebih dahulu, dan ternyata sudah ada Ibnu di dalam ruang gelap yang tepat berada berhadapan dengan ruang interogasi. Aku menyuruh Gabe untuk mengambil alih proses interogasi pertama, sambil memantau gerak-gerik Adi untuk bisa menentukan langkah selanjutnya. "Sudah berapa lama dia dibawa ke sini?" tanyaku. "Sekitar setengah jam yang lalu," jawab Ibnu. "Namun, dia hanya menatap lurus ke ruangan ini sejak tadi." Sesuai perkataa