Home / Thriller / Hippocampus / Bab 2 - Kasus yang Aneh

Share

Bab 2 - Kasus yang Aneh

last update Last Updated: 2021-09-01 11:06:09

Aku percaya bahwa satu-satunya cara membebaskan orang dari penderitaan adalah dengan membunuhnya - Carl Panzram –

Aku masih ingin sedikit lebih lama di TKP untuk menyelidiki kasus ini, namun paksaan Gabe yang kelaparan membuatku harus mengalah.

Akhirnya tim kami memutuskan untuk mengisi perut di restoran cepat saji di dekat TKP, sambil menunggu hasil autopsi dari Nugrah yang seharusnya keluar beberapa jam ke depan.

"Jangan terlalu keras pada dirimu Pak, kita harus makan agar tetap bisa berpikir," kata Ibnu. 

Aneh sekali mendengar kata 'berpikir' dari mulut orang yang tidak pernah berpikir. Meskipun aku mengoceh dalam hati, tetapi akhirnya ayam goreng yang ada di depanku kulahap juga.

"Tetapi Pak, bukannya aneh, ya?" tanya Otniel dengan mulut masih penuh nasi. "Seorang pria berumur 60 tahun, namun tidak memiliki seorang pun keluarga."

"Menurutku...," sergah Ibnu. "TKP pembunuhan yang tidak memiliki reaksi luminol sama sekali adalah yang lebih aneh."

Jika aku harus memilih fakta paling aneh di kasus ini, maka aku akan memilih perkataan Ibnu. Karena ketiadaan keluarga di usia tua masih lebih masuk akal, daripada TKP yang tidak memiliki jejak darah.

"Ah!" seru Gabe. 

Kami bertiga langsung menoleh kepadanya karena penasaran dengan alasannya mengagetkan kami. 

"Kita ke Forensik sekarang!"seru Gabe. Dia mengambil sepotong ayam goreng, lalu meninggalkan kami untuk segera berlari keluar restoran.

Aku dan dua bawahanku bergegas menyusul Gabe, karena apa yang kami tunggu akhirnya keluar juga.

Perjalanan kami terasa sangat cepat, karena kami semua hanya diam di dalam mobil. Sekarang, timku sedang fokus untuk secepatnya menyelesaikan kasus ini.

Setibanya di depan kantor Forensik, kami langsung bergegas ke ruangan autopsi mayat, selagi Gabe masih memarkir mobil.

Anugrah menyambutku dengan senyuman mengerikan, saat aku membuka pintu ruangan autopsi cukup keras. Aku terlalu bersemangat untuk mengetahui hasil autopsi darinya.

"Santai dong," gerutu si Kepala Forensik, "kau bisa kutuntut jika pintu itu rusak."

Aku mengibaskan tanganku cepat, agar kami bisa beralih ke topik yang lebih penting.

"Jadi bagaimana hasilnya?" tanyaku.

Anugrah terlihat menimbang sejenak, mungkin dia masih dilema untuk melanjutkan gerutuannya soal pintu, atau menjawab pertanyaanku yang lebih mendesak.

"Hasilnya menarik," jawab Anugrah, yang ternyata memilih meninggalkan topik soal pintu rusak.

Ahli Forensik itu memberi isyarat pada kami berempat - Gabe menyusul dengan cepat meskipun sambil kehabisan nafas - untuk mendekat ke mayat korban.

"Pertama...," Anugrah menunjuk dengan jarinya ke leher mayat untuk memperlihatkan bekas tipis yang melingkar. "Sesuai dugaan saya, korban meninggal tercekik sebelum perutnya dilubangi dengan pisau."

Jika korban dibunuh dengan cara dicekik, lalu mengapa si pembunuh melubangi perut korban, yang malah beresiko mengeluarkan banyak darah?

"Kedua...," Nugrah melanjutkan laporan hasil autopsinya. "Perkiraan waktu kematian korban adalah jam sebelas malam hingga jam satu malam." 

"Tidak bisa lebih dipersempit?" tanya Gabe yang masih terengah-engah.

Anugrah menggeleng pelan. "Aku juga ingin mempersempit waktu kematian, namun hasil autopsi hanya sampai pada kesimpulan itu."

Berarti kami memang butuh saksi untuk bisa mempersempit waktu kematian. Selain itu, masih belum ditemukan motif yang menjadi dasar pembunuhan Pak Sugeng.

"Terakhir...," Anugrah melanjutkan informasi hasil autopsinya. "Jari kelingking yang ditemukan di lemari es tidak cocok dengan tangan korban."

Fakta terakhir membuat kedua bola mataku membelalak. Dengan rasa penasaran tinggi, aku bertanya pada Nugrah, "Lalu jari itu milik siapa?"

Anugrah menarik napas panjang, lalu akhirnya dia menjawab dengan setengah berbisik, "Tingkat kecocokan sidik jari untuk jari kelingking itu cocok dengan milikmu, Pak Ian."

Informasi dari Anugrah masuk ke dalam otakku dengan cepat, dan reaksi yang bisa kuberikan adalah mematung karena fakta mengejutkan itu.

"Artinya...," Otniel menyimpulkan dengan hati-hati. "Pelaku yang membunuh Pak Sugeng adalah penyebab kecelakaan Pak Ian lima bulan lalu, sekaligus orang yang memotong jari kelingking Pak Ian?"

Kasus ini adalah alasanku mendapat kutukan sekaligus berkah di hari sialku 5 bulan lalu. Kasus yang akan menjadi tujuan hidupku untuk memecahkannya.

Saat itu aku sedang mengepung geng motor kriminal yang meresahkan warga Surabaya Timur. Saat aku dan timku sudah berhasil memojokkan mereka, tiba-tiba tubuhku melayang.

Aku seolah bergerak dengan efek lambat, bersama dengan semua ingatan indah yang ada di kepalaku yang membentuk sebuah film singkat selama aku terlempar ke udara.

Setelah itu semua menjadi gelap.

Tujuh hari kemudian, aku bangun di ICU rumah sakit polisi Surabaya dengan tubuh yang hampir delapan puluh persen tertutup perban.

Namun anehnya, aku tidak mengingat rasa sakit yang kualami. Beberapa rekan polisi menceritakan bahwa aku tergeletak di jalan raya dengan tubuh penuh luka dan darah.

Banyak yang mengatakan bahwa sebuah mukjizat jika aku masih bisa sadar dari koma, namun bagiku malah adalah kutukan.

Kutukan pertama yang aku sadari adalah aku kehilangan jari kelingking tangan kananku. Entah kecelakaan macam apa yang membuat sekujur tubuhku penuh luka, tetapi jari kelingkingku hilang.

Kutukan keduaku baru saja kusadari setelah aku pulang ke rumah setelah diijinkan oleh dokter. Korban pertama kutukanku adalah seorang kurir ojek online yang mengantar makanan yang kupesan.

Di saat aku membayar biaya pengantaran makanan, aku tidak sengaja menyentuh jarinya, dan tiba-tiba sebuah film seolah diputar diotakku. Film itu berisi adegan-adegan yang terpotong, namun aku sadar bahwa itu bukan hanya kumpulan adegan-adegan tidak penting. Film itu adalah daftar ingatan si kurir makanan.

Karena aku hanya bersentuhan sejenak, maka ingatan yang tampil di otakku hanya momen saat dia mengantri di resto tempatku memesan makanan, dan beberapa kejadian yang dia lalui di perjalanan.

Untuk memastikan apakah aku memiliki kekuatan seperti itu, maka aku mencari target lain. Target tersebut tidak lain adalah rekan seunitku sekaligus bawahanku si kepala plontos, yaitu Gabe Sinaga.

Pria ini adalah sahabatku sejak SMP, padahal dia adalah adik tingkat dibawahku 2 tahun. Persahabatan kami terus berlanjut di SMA, Akademi Kepolisian, hingga unit 2 Kejahatan Kekerasan.

Namun, karena Gabe tidak pernah mau untuk berbeda tim denganku, maka dia tidak bisa menjadi Kepala Unit sepertiku. Padahal si botak ini adalah yang terbaik dalam hal meretas dan apa pun yang berhubungan dengan internet atau komputer, belum lagi kemampuan deduksinya yang cemerlang.

Yep, Gabe adalah orang pertama yang terlintas di pikiranku saat aku mulai menyadari kemampuanku pasca kecelakaan.

Gabe adalah pemilik semua rahasiaku, begitupun aku sebagai pemilik rahasianya. Apalagi semenjak ibuku meninggal empat tahun lalu, maka hanya dia orang yang bisa kupercaya.

Sebelum eksperimen rahasiaku terhadap Gabe, aku menyuruh anak itu untuk makan malam tanpa memberitahuku menu yang dia santap.

Saat dia sampai ke rumahku, dia hanya menatapku kosong, karena tidak terbersit pikiran apa pun di otaknya soal apa yang akan kami lakukan hanya berdua di rumahku.

"Dream, kau jangan aneh -aneh ya!" Gabe memperingatkanku sambil menutup pintu rumahku.

"Kau sudah makan?" tanyaku.

 Dia mengangguk polos, ciri khasnya sejak SMP yang paling kubenci. Padahal anak ini sangat pintar, namun sikapnya malah membuat dia tampak bego.

Aku sudah menyiapkan alasan untuk dapat menyentuh dia agak lama, jadi aku bisa membaca ingatan Gabe setidaknya selama seharian penuh.

"Geib" Aku memanggilnya, sambil memberi isyarat untuk mendekat ke arahku.

Gabe si polos yang tidak pernah berpikiran negatif, hanya mendekatiku dengan santai. Karakternya yang santai ini juga menjadikannya target utamaku untuk eksperimen pribadi.

Si kepala plontos duduk di sebelahku, sambil menatapku dengan tatatapan kosong. 

Tanpa basa-basi, aku langsung menaruh tanganku ke pundaknya lalu mengelus perlahan. "Thanks ya, sudah jadi sahabatku selama ini."

Benar saja! Potongan-potongan adegan langsung muncul di otakku tepat setelah tanganku menyentuh pundak Gabe. Adegan pertama adalah momen saat dia sedang makan sate dirumahnya pada sore hari, yang kemungkinan adalah adegan beberapa jam lalu.

Selanjutnya, adalah sebuah adegan yang berisi dia yang sedang menunggu seseorang keluar dari kantor polisi pada pagi hari. Dan adegan terakhir menunjukkan Gabe yang sedang menangkap pencuri motor untuk menyelesaikan kasus sekitar seminggu lalu.

Saat akhirnya aku melepaskan tanganku dari pundak Gabe, semua adegan itu berhenti. Gabe tetap memandangiku tanpa meresponi perkataanku. Padahal aku sudah mencoba untuk terdengar setulus mungkin, agar dia tidak curiga.

"Kau sedang apa?” tanyanya sinis.

"Apanya yang ngapain?" balasku.

"Kau sedang menerawangku?" tebak Gabe.

Ternyata rumor bahwa dibalik wajah polos Gabe Sinaga tersimpan otak cemerlang, memang benar. Sebenarnya aku sudah sadar akan kepintaran Gabe, namun aku tidak berekspetasi kalau dia akan langsung menebak dengan cepat.

"Kau tadi makan sate sebelum kesini kan?" tebakku.

Aku sedikit berharap kalau Gabe akan kaget mendengar tebakanku yang tepat sasaran. Namun, yang kudapat hanya wajah lempengnya.

"Ternyata ada yang terjadi di kecelakaan kemarin" gumamnya. Lalu dia bertanya, "Sampai sejauh mana kau bisa menerawang?"

Ingat kan? Bahwa aku tidak akan pernah menyembunyikan rahasia apa pun dari makhluk ini. Jadi, aku akan tetap menepati janji itu hari ini.

"Kemampuan ini tidak bisa disebut menerawang, karena yang muncul di otakku adalah potongan adegan dari orang yang bersentuhan denganku," jawabku, "Dan ingatan yang bisa kubaca bergantung pada berapa lama aku menyentuh target.”

Gabe menelengkan kepalanya seolah sedang menimbang apakah aku sedang berkata jujur atau bercanda. Lalu dia memasang wajah serius, yang artinya dia percaya bahwa aku berkata benar.

"Barusan...," katanya, "Sejauh mana kau bisa melihat ingatanku?"

"Saat kau menangkap pencuri minggu lalu, dan sebuah adegan saat kau menunggu seseorang di luar kantor pada pagi hari," jawabku.

Gabe mencoba mengingat momen itu, hingga ekspresi wajahnya berubah. Dia berseru, "Ah! Itu bulan lalu! Aku menunggu kau pulang karena kau berjanji akan mentraktir makan malam."

Bulan lalu... Aku tidak ingat dengan momen itu. Jadi aku balik bertanya, "Kau tidak pernah menunggu seseorang selain aku diluar kantor?"

Gabe menggeleng cepat. "Aku selalu pulang tanpa menunggu siapa pun, toh orang yang paling sering kutemui selalu pulang lebih dulu. Jadi kalau aku sedang menunggu di luar kantor, artinya adalah traktiran makan malam."

Alasan Gabe masuk akal, karena orang yang dia maksud adalah aku. Jabatanku yang lebih tinggi dari padanya membuatku lebih sering pulang lebih dulu daripada dia. Apalagi setelah kecelakaan yang menimpaku, tidak ada kasus besar yang terjadi di area yurisdiksi kami. Alhasil, aku selalu memilih pulang awal daripada tidak ada yang kulakukan di kantor. 

Bermula dari hari saat aku menceritakan soal kemampuanku, maka Gabe menjadi sukarelawan untuk target uji coba eksperimenku. Karena tidak ada tembok bernama rahasia diantara kami, jadi Gabe sangat santai meskipun aku sedang mengobrak-abrik ingatannya. 

Perlahan namun pasti, aku mulai bisa mengendalikan kekuatan istimewaku setelah berbulan-bulan mencoba menguasainya, meskipun targetnya hanya Gabe.

Dari yang awalnya hanya dapat membaca ingatan Gabe selama beberapa hari kebelakang, lalu bertahap menjadi minggu, hingga aku bisa melihat ingatan Gabe selama beberapa bulan kebelakang.

Aku tidak tahu, kenapa aku bisa membaca ingatan Gabe dibulan lalu saat pertama kali menyentuhnya. Namun, saat aku mulai mempelajari kekuatanku, maka yang muncul adalah adegan mundur teratur. Untuk lompat dan membaca ingatan bulan lalu harus melewati banyak ingatan.

Saran - saran yang diberikan Gabe juga sangat membantuku, agar kemampuan ini dapat digunakan untuk mencari bukti tak terbantah dikasus-kasus rumit yang gagal dipecahkan oleh kepolisian.

Saran pertamanya adalah memintaku agar bisa menghentikan rentetan adegan, bahkan memilih adegan tertentu yang diperlukan untuk penyelidikan.

Selanjutnya, dia memintaku untuk dapat memperlambat adegan itu, bahkan mengulangi adegan itu agar semua hal penting tidak terlewati.

Dan yang paling penting baginya adalah aku bisa keluar dari sudut pandang pemilik ingatan, sehingga aku bisa leluasa melihat sekitarku tanpa halangan apa pun.

Tiga saran itu membantuku untuk terus belajar dengan giat, karena tujuan utama tetap adalah membantu penyelidikan, bahkan menyelesaikan kasus penting.

Dalam mempelajari setiap saran dari Gabe, aku tidak pernah memakai objek lain. Karena ingatan orang lain adalah rahasia yang tidak boleh kubuka tanpa seizin mereka.

Tetapi jika mereka adalah penjahat, maka aku tidak peduli. Bagiku, Hak Asasi Manusia tidak berlaku untuk sampah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hippocampus   Bab 21 - Pengakuan

    Kebohongan bisa berlari cepat, sedangkan kebenaran hanya bisa berlari marathon - Michael Jackson Anugrah adalah orang pertama yang menyambut kedatanganku dan Gabe di kantor polisi. "Kalian menemukan alat pembunuhan?" tanyanya tanpa berbasa-basi. Gabe mengeluarkan novel yang kami temukan di rumah Adi dari tasnya. Novel yang dapat menjadi bukti tak terbantah itu dibungkus plastik dengan rapi, agar tidak menghilangkan jejak sidik jari, maupun sianida. Sahabatku itu memberikan novel itu kepada Anugrah. "Bagian samping yang dipakai untuk membalik ke halaman selanjutnya." Dia menunjuk bagian yang dia maksud, dengan nada tegas dan cepat. "Sianida kemungkinan besar dioleskan ke bagian itu." Kepala Departemen Forensik mengambil barang bukti tersebut dari tangan Gabe. "Kalian memiliki tersangka?" Aku mengangguk muram. "Kau hanya perlu memastikan kalau ada sidik jari tersangka, di novel itu, karena sang tersangka sudah ada di kantor ini sejak tadi pagi." "Sejak tadi pagi?" tanya Anugrah k

  • Hippocampus   Bab 20 - Bukti

    Kejahatan adalah nafsu yang terdidik. Kepandaian, seringkali adalah kelicikan yang menyamar. Adapun kebodohan, acapkali, adalah kebaikan yang yang bernasib buruk. Kelalaian adalah itikad baik yang terlalu polos. Dan kelemahan adalah kemuliaan hati yang terlalu berlebihan - Emha Ainun Nadjib - Aku dan Gabe langsung menuju rumah Adi, setelah aku menelepon Ibnu agar segera menyusul ke sana. Kami bertiga akan menggeledah rumah Adi untuk membuktikan dugaan Gabe tentang novel Agatha Christie yang menjadi alat pembunuhan. "Mengapa harus novel?" tanyaku. Gabe mengangkat bahunya. "Mungkin karena Flo dan Adi adalah anggota komunitas pecinta misteri?" Dugaan yang terdengar konyol, namun bisa jadi juga adalah sebuah fakta. Namun, hubungan Flo dan Adi tidak tampak seperti hubungan yang baik, karena Flo selalu menyebut Adi dengan sebutan 'sampah'. Jika benar novel milik Flo ada di rumah Adi, maka seluruh kesaksian wanita itu memang adalah kebohongan. "Aku menemukan semua data tentang Flo," ujar

  • Hippocampus   Bab 19 - Alat

    Banyak orang seringkali menggunakan psikologi terbalik untuk menutupi reaksi sesungguhnya. Jadi, di saat mereka mengatakan sesuatu, artinya adalah sebaliknya - Peter Moore - Aku tidak sedang berhalusinasi, karena temuan Anugrah soal potongan kuku Adi yang mengandung sianida membuatku sangat percaya kalau pembunuhnya akan segera terkuak. Kami hanya harus membuat benang merah yang sedikit kusut ini kembali terurai. "Apa yang kau lihat di ingatan Raden?" tanya Gabe. "Hanya sebuah adegan yang menegaskan alibinya saat pembunuhan Adi terjadi," jawabku. "Dia memang berada di pusat kebugaran itu saat Adi dibunuh di meja interogasi." Gabe merenung sejenak. Sahabatku itu sudah melepaskan kacamatanya saat dia sedang menyetir, karena dia berpikir bahwa menyetir bukanlah sebuah tindakan serius. Kacamatanya hanya terpasang di wajahnya kala dia sudah menentukan target. Kebiasaan itu sudah lama mengakar dalam dirinya, bahkan sejak kami masih ada di sekolah kepolisian. Gabe tidak memiliki kelainan

  • Hippocampus   Bab 18 - Alibi

    Dunia adalah tragedi bagi yang memakai perasaannya, namun dunia adalah komedi bagi yang memakai otaknya - Horace Walpole Kedua mataku langsung membelalak, karena respon otomatis atas jawaban pria ini. Di sebelahku, Gabe bahkan langsung terbatuk hingga menyemburkan air putih yang sedang dia minum. "Anda tidak apa-apa Pak?" tanya Raden dengan raut wajah khawatir. Dia menyobek tiga kertas tisu dari kotak tisu di depannya, dan memberikan benda itu kepada Gabe. "Tidak apa-apa," jawab Gabe, sambil meraih tisu dari tangan Raden, dan segera menyeka tumpahan air yang baru saja dia semburkan. Setelah memastikan semua percikan air sudah berhasil dia bersihkan, Gabe mendongak ke pria yang baru saja memberinya tisu. "Nama Anda sungguh Raden Mas Adinata?" Raden mengangguk dengan tenang untuk menjawab pertanyaan konfirmasi dari Gabe. "Ada apa Pak, Anda mencari saya?" Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak merasa emosional di hadapan orang yang sangat aku yakini sebagai tersangka. Sesuatu

  • Hippocampus   Bab 17 - Prasangka

    Iblis itu selayaknya anjing yang setia, dia akan datang saat kau memanggilnya - Remy de Gourmont - "Apa hasil autopsi mayat Adi?" tanyaku pada Otniel lewat panggilan telepon. "Adi meninggal setelah mengonsumsi racun sianida," jawab Otniel. "Namun, di bagian tubuhnya tidak ditemukan jejak sianida sama sekali." Sianida? Mengapa si pelaku tiba-tiba mengganti metode pembunuhannya? Apakah pelaku pembunuhan Pak Sugeng dan Adi adalah orang yang berbeda? "Bagaimana dengan jari kelingking Adi? Masih utuh?" tanya Gabe yang sedang menyetir. "Benar sekali Pak," sahut Otniel. "Sepertinya, pembunuh Adi adalah orang yang berbeda dengan kasus sebelumnya." "Selain itu, Pak Anugrah juga meminta ijin untuk menyelidiki TKP pembunuhan Adi sekali lagi," papar Otniel. Anugrah meminta penyelidikan ulang, berarti dia mencurigai ada sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat pembunuhan Adi, yang tertinggal di ruang interogasi. Aku harus tahu dasar kecurigaan Anugrah. "Berikan ponselmu ke Anugrah, aku i

  • Hippocampus   Bab 16 - Batas

    Seorang kriminal pasti akan kembali ke Tempat Kejadian Perkara - H. G. Wells - "Aku dan Gabe akan menginterogasi Florence Geraldine," kataku kepada Otniel dan Ibnu lewat radio. "Kalian berusahalah untuk mencari petunjuk dari rekaman kamera pengawas, atau kesaksian petugas polisi lain tentang orang yang masuk atau keluar dari ruangan interogasi." Aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul delapan malam. "Kita akan berkumpul di ruang autopsi sekitar jam sembilan malam ini, aku sudah meminta Forensik untuk membiarkan Anugrah melakukan autopsi kepada mayat Adi." Radioku kumatikan sebelum mereka berdua menjawab perintahku. "Kau berniat menginterogasinya atau membaca ingatannya?" sindir Gabe. "Menurutmu, pilihan mana yang membuat kita selesai hanya dalam satu jam?" balasku. "Kita akan memakai metode interogasi biasa, dan jika kita kehabisan waktu, maka aku akan menggunakan kemampuanku," "Kalau begitu, aku yang melakukan interogasi lebih dahulu?" usul Gabe. Aku menyetujui usulnya,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status