Betapa pun sempurnanya rencana manusia, pasti akan ada kesalahan - Five Orange Pips -
Setelah pertanyaan itu dilontarkan, ada keheningan sejenak yang menguar di ruangan autopsi. Jawaban dari pertanyaan itu belum tentu 'iya', namun kemungkinan besar memang benar.
Aku mencoba menenangkan diriku, karena ada dua anak buahku dan Anugrah disini. Bagaimana pun juga, aku sudah mempersiapkan diri untuk bertarung dengan pembunuh keji itu.
"Jadi sampah itu menantang kita?" gumamku dengan suara yang cukup keras untuk bisa didengar oleh satu ruangan. "Kalau begitu, kita harus memberi dia pelajaran berharga, karena sudah berani bermain api dengan kita!”
Aku menunjuk Otniel, lalu memberinya perintah, "Cari informasi sebanyak mungkin tentang Pak Sugeng dan orang-orang yang mungkin bisa masuk ke rumahnya!"
Otniel mengangguk patuh, lalu bergegas keluar ruangan autopsi setelah mengangguk pelan pada kami semua. Lalu aku beralih ke Ibnu dan Gabe. "Kita bertiga susuri TKP dan sekitarnya, sambil berharap menemukan saksi!"
Perintahku dibalas dengan anggukan serius oleh dua orang itu. Kami berpamitan dengan Anugrah, dan bergegas untuk kembali ke TKP untuk menemukan petunjuk lain.
Kami sampai di TKP dengan cepat, karena Ibnu yang ada di belakang kemudi alih-alih Gabe. Si tukang tarung itu juga cukup handal mengemudi dengan cepat namun aman dan taat aturan.
"Gabe akan menyelidiki lantai atas, sedangkan aku dan Ibnu di lantai bawah yang memiliki lebih banyak ruangan," kataku, bahkan ketika kami baru di depan rumah TKP.
Mereka berdua langsung masuk ke TKP tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Tim yang kupimpin adalah tim yang sangat menakutkan bagi penjahat mana pun, terutama saat kami sedang sangat fokus.
Ibnu mengambil dapur dan kamar mandi untuk penyelidikannya, sedangkan aku akan menyelidiki ruangan sisa di lantai bawah, yaitu ruang tamu dan kamar Pak Sugeng.
Aku mulai memeriksa kamar Pak Sugeng yang sempat kuperiksa tadi pagi. Dugaan awalku adalah kamar ini yang menggambarkan kepribadian asli dari Pak Sugeng.
Namun itu hanya dugaan awal, karena bisa jadi ruangan atas memang sengaja dibiarkan berantakan oleh Pak Sugeng, atau malah kamar ini yang dipalsukan oleh si pembunuh.
Apa pun yang terjadi, aku harus menemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk untuk menemukan titik terang di kasus ini.
Benda pertama yang menjadi targetku adalah lemari pakaian Pak Sugeng. Bukan untuk memeriksa lipatan pakaian, tetapi untuk mencari sesuatu yang menandakan hubungan Pak Sugeng dengan orang lain.
Setelah sekitar dua puluh menit menggeledah isi lemari, akhirnya aku menemukan Kartu Keluarga dari Pak Sugeng yang terselip di salah satu pakaian.
Dokumen penting yang biasanya disimpan rapi oleh banyak orang, malah terlihat sangat lusuh, seolah Pak Sugeng memang tidak ingin melihat kertas itu lagi.
"Kalian dapat sesuatu?" tanyaku ke anggota timku melalui radio.
"Ibnu di sini...," suara Ibnu yang pertama menjawabku. "Hanya ada beberapa piring dan gelas yang ada di dapur, sehingga kemungkinan besar hanya Pak Sugeng yang tinggal di sini."
Piring dan gelas dengan jumlah terbatas mengindikasikan kalau Pak Sugeng memang tinggal sendirian. Namun, fakta itu belum membuktikan apapun.
"Ada hal yang aneh di dapur," katanya, tepat sebelum aku mengganti saluran. "Pak Sugeng memiliki mi instan sebanyak empat kardus, namun tidak ada satu pun bungkus kosong mi instan di tempat sampah."
Memiliki empat kardus mi instan, namun tidak ada sampah sama sekali? Apakah dia sudah membuang sampah bulanan, atau malah mi instan itu akan disumbangkan?
"Oke, Ibnu, lanjutkan pencarianmu!" kataku. "Bagaimana dengan yang lain? Gabe? Otniel?"
"Tidak ada yang menarik untuk informasi soal kehidupan pribadi korban," sahut Otniel. “Tetapi saya menemukan sesuatu yang menarik soal ke mana perginya mi instan sebanyak itu.”
"Pak Sugeng memberi sumbangan rutin pada sebuah panti di Surabaya Pusat," ujar Otniel. "Di data yang saya temukan, Pak Sugeng memberi sumbangan dalam rentang waktu dua atau tiga bulan sekali."
"Apakah dia memiliki hubungan dengan orang di panti itu?" tanyaku.
"Ada dua orang yang mungkin terkait dengan korban...," jawab Otniel. "Pertama adalah Sri Martini, 57 tahun, Kepala Panti, sekaligus teman sekolah korban di SMP."
"Kedua, Yusril Dikar, 28 tahun, admin Panti Asuhan, dia adalah orang yang selalu dihubungi korban jika akan menyumbang sesuatu," sambung Otiniel.
Seorang kuli yang tidak memiliki keluarga, namun memiliki rumah dua lantai, dan bahkan masih menyumbang rutin ke panti asuhan. Aku ingat Kartu Keluarga korban yang kutemukan beberapa saat lalu.
"Niel!" seruku sebelum dia mematikan radionya. "Aku mendapat Kartu Keluarga korban yang terselip di tumpukan baju korban dalam lemari, aku kirimkan fotonya dan selidiki nama-nama yang tertera di situ!"
"Oke, Pak" jawab Otniel cepat.
Setelah suara Otniel menghilang dari radio, maka tersisa satu orang yang belum melaporkan keadaannya. Dan aku tahu, kalau orang ini tidak akan melapor padaku.
Karena aku malas berdebat dengan makhluk itu, maka aku memaksa kedua kakiku untuk menaiki tangga yang menuju ke lantai atas, tempat di mana Gabe Sinaga berada.
Seseorang sudah ada di ujung tangga, dan orang itu adalah Ibnu yang menungguku. Kebiasaan Gabe yang malas melapor dan menunggu jemputan, adalah rahasia umum bagi tim kami. Intinya, tempat di mana Gabe berada adalah titik kumpul akhir dari penyelidikan tim kami.
Lantai dua pada malam hari sangat berbeda dengan saat kami ke sini tadi pagi, apalagi Gabe selalu melakukan penyelidikan dengan mematikan lampu.
Tetapi aku merasa ada yang janggal dengan situasi sekarang ini. Karena meskipun dalam kegelapan, biasanya Gabe selalu memanggil kami untuk menghampirinya, dan kali ini tidak.
Aku dan Ibnu langsung berpencar untuk mencari Gabe di ruangan kecil itu, tetapi tetap hasilnya nihil. Tidak ada tanda kehidupan yang menguar dari ruangan ini.
Beberapa pikiran negatif muncul di otakku. Apakah Gabe diculik oleh si pembunuh?
"Pak Ian!" seru Ibnu, yang langsung membuyarkan dugaan mengerikan di otakku. Dia memberi isyarat padaku untuk menghampirinya ke sebuah ruangan kecil di sebelah sofa.
Tadi pagi aku sudah memeriksa ruangan itu, dan di ruang itu hanya terdapat sebuah rak kecil dengan vas bunga di atasnya, yang kusimpulkan sebagai sudut seni untuk rumah ini.
"Pak, biasanya ada ruang rahasia jika terdapat sesuatu yang aneh seperti rak ini," ujar Ibnu dengan mengerutkan dahinya, yang menunjukkan dia sedang berpikir.
Meskipun dugaan itu cukup konyol untuk dipercaya, namun aku harus menerima semua saran. Kami harus menemukan Gabe terlebih dahulu, sebelum kembali melanjutkan penyelidikan.
Aku berjongkok di depan rak itu untuk mulai mencari tombol tersembunyi yang mungkin dapat membawa kami ke ruang rahasia. Ibnu yang memberi ide itu juga akhirnya mencari di tembok sekitar.
Ternyata bakat Ibnu tidak hanya bertarung, dia juga bisa menebak dengan hasil yang baik. Di bagian langit-langit laci kedua terdapat sebuah tombol yang setelah aku tekan langsung berfungsi.
Efek tombol itu adalah mengeluarkan sebuah kenop pintu di tembok belakang rak, disertai bunyi kunci yang dibuka. Aku beradu pandang dengan Ibnu sejenak, sebelum akhirnya aku memimpin jalan untuk masuk ke pintu itu.
Di balik pintu itu tidak ada ruang rahasia, melainkan sebuah tangga turun untuk ke gang sebelah. Ruang rahasia ini jelas dibuat Pak Sugeng untuk mempercepat aksesnya ke gang sebelah, tanpa perlu mengambil jalan memutar.
Aku bergegas menuruni tangga, dengan Ibnu yang mengekor di belakangku. Dan di ujung bawah tangga ini, sudah ada Gabe yang sedang fokus memeriksa tanah.
Mendengar suara berisik dari langkah kami, membuat si botak itu akhirnya menoleh dengan wajah khasnya, lalu berkata, "Kalian sudah bisa menemukan tombol itu?"
Kekhawatiranku padanya berubah menjadi sebuah pukulan kasih sayang tepat di kepalanya.
Kebohongan bisa berlari cepat, sedangkan kebenaran hanya bisa berlari marathon - Michael Jackson Anugrah adalah orang pertama yang menyambut kedatanganku dan Gabe di kantor polisi. "Kalian menemukan alat pembunuhan?" tanyanya tanpa berbasa-basi. Gabe mengeluarkan novel yang kami temukan di rumah Adi dari tasnya. Novel yang dapat menjadi bukti tak terbantah itu dibungkus plastik dengan rapi, agar tidak menghilangkan jejak sidik jari, maupun sianida. Sahabatku itu memberikan novel itu kepada Anugrah. "Bagian samping yang dipakai untuk membalik ke halaman selanjutnya." Dia menunjuk bagian yang dia maksud, dengan nada tegas dan cepat. "Sianida kemungkinan besar dioleskan ke bagian itu." Kepala Departemen Forensik mengambil barang bukti tersebut dari tangan Gabe. "Kalian memiliki tersangka?" Aku mengangguk muram. "Kau hanya perlu memastikan kalau ada sidik jari tersangka, di novel itu, karena sang tersangka sudah ada di kantor ini sejak tadi pagi." "Sejak tadi pagi?" tanya Anugrah k
Kejahatan adalah nafsu yang terdidik. Kepandaian, seringkali adalah kelicikan yang menyamar. Adapun kebodohan, acapkali, adalah kebaikan yang yang bernasib buruk. Kelalaian adalah itikad baik yang terlalu polos. Dan kelemahan adalah kemuliaan hati yang terlalu berlebihan - Emha Ainun Nadjib - Aku dan Gabe langsung menuju rumah Adi, setelah aku menelepon Ibnu agar segera menyusul ke sana. Kami bertiga akan menggeledah rumah Adi untuk membuktikan dugaan Gabe tentang novel Agatha Christie yang menjadi alat pembunuhan. "Mengapa harus novel?" tanyaku. Gabe mengangkat bahunya. "Mungkin karena Flo dan Adi adalah anggota komunitas pecinta misteri?" Dugaan yang terdengar konyol, namun bisa jadi juga adalah sebuah fakta. Namun, hubungan Flo dan Adi tidak tampak seperti hubungan yang baik, karena Flo selalu menyebut Adi dengan sebutan 'sampah'. Jika benar novel milik Flo ada di rumah Adi, maka seluruh kesaksian wanita itu memang adalah kebohongan. "Aku menemukan semua data tentang Flo," ujar
Banyak orang seringkali menggunakan psikologi terbalik untuk menutupi reaksi sesungguhnya. Jadi, di saat mereka mengatakan sesuatu, artinya adalah sebaliknya - Peter Moore - Aku tidak sedang berhalusinasi, karena temuan Anugrah soal potongan kuku Adi yang mengandung sianida membuatku sangat percaya kalau pembunuhnya akan segera terkuak. Kami hanya harus membuat benang merah yang sedikit kusut ini kembali terurai. "Apa yang kau lihat di ingatan Raden?" tanya Gabe. "Hanya sebuah adegan yang menegaskan alibinya saat pembunuhan Adi terjadi," jawabku. "Dia memang berada di pusat kebugaran itu saat Adi dibunuh di meja interogasi." Gabe merenung sejenak. Sahabatku itu sudah melepaskan kacamatanya saat dia sedang menyetir, karena dia berpikir bahwa menyetir bukanlah sebuah tindakan serius. Kacamatanya hanya terpasang di wajahnya kala dia sudah menentukan target. Kebiasaan itu sudah lama mengakar dalam dirinya, bahkan sejak kami masih ada di sekolah kepolisian. Gabe tidak memiliki kelainan
Dunia adalah tragedi bagi yang memakai perasaannya, namun dunia adalah komedi bagi yang memakai otaknya - Horace Walpole Kedua mataku langsung membelalak, karena respon otomatis atas jawaban pria ini. Di sebelahku, Gabe bahkan langsung terbatuk hingga menyemburkan air putih yang sedang dia minum. "Anda tidak apa-apa Pak?" tanya Raden dengan raut wajah khawatir. Dia menyobek tiga kertas tisu dari kotak tisu di depannya, dan memberikan benda itu kepada Gabe. "Tidak apa-apa," jawab Gabe, sambil meraih tisu dari tangan Raden, dan segera menyeka tumpahan air yang baru saja dia semburkan. Setelah memastikan semua percikan air sudah berhasil dia bersihkan, Gabe mendongak ke pria yang baru saja memberinya tisu. "Nama Anda sungguh Raden Mas Adinata?" Raden mengangguk dengan tenang untuk menjawab pertanyaan konfirmasi dari Gabe. "Ada apa Pak, Anda mencari saya?" Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak merasa emosional di hadapan orang yang sangat aku yakini sebagai tersangka. Sesuatu
Iblis itu selayaknya anjing yang setia, dia akan datang saat kau memanggilnya - Remy de Gourmont - "Apa hasil autopsi mayat Adi?" tanyaku pada Otniel lewat panggilan telepon. "Adi meninggal setelah mengonsumsi racun sianida," jawab Otniel. "Namun, di bagian tubuhnya tidak ditemukan jejak sianida sama sekali." Sianida? Mengapa si pelaku tiba-tiba mengganti metode pembunuhannya? Apakah pelaku pembunuhan Pak Sugeng dan Adi adalah orang yang berbeda? "Bagaimana dengan jari kelingking Adi? Masih utuh?" tanya Gabe yang sedang menyetir. "Benar sekali Pak," sahut Otniel. "Sepertinya, pembunuh Adi adalah orang yang berbeda dengan kasus sebelumnya." "Selain itu, Pak Anugrah juga meminta ijin untuk menyelidiki TKP pembunuhan Adi sekali lagi," papar Otniel. Anugrah meminta penyelidikan ulang, berarti dia mencurigai ada sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat pembunuhan Adi, yang tertinggal di ruang interogasi. Aku harus tahu dasar kecurigaan Anugrah. "Berikan ponselmu ke Anugrah, aku i
Seorang kriminal pasti akan kembali ke Tempat Kejadian Perkara - H. G. Wells - "Aku dan Gabe akan menginterogasi Florence Geraldine," kataku kepada Otniel dan Ibnu lewat radio. "Kalian berusahalah untuk mencari petunjuk dari rekaman kamera pengawas, atau kesaksian petugas polisi lain tentang orang yang masuk atau keluar dari ruangan interogasi." Aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul delapan malam. "Kita akan berkumpul di ruang autopsi sekitar jam sembilan malam ini, aku sudah meminta Forensik untuk membiarkan Anugrah melakukan autopsi kepada mayat Adi." Radioku kumatikan sebelum mereka berdua menjawab perintahku. "Kau berniat menginterogasinya atau membaca ingatannya?" sindir Gabe. "Menurutmu, pilihan mana yang membuat kita selesai hanya dalam satu jam?" balasku. "Kita akan memakai metode interogasi biasa, dan jika kita kehabisan waktu, maka aku akan menggunakan kemampuanku," "Kalau begitu, aku yang melakukan interogasi lebih dahulu?" usul Gabe. Aku menyetujui usulnya,