Share

Bab 5 - Rahasia

Rahasia hanya untuk pecundang. Untuk orang-orang yang tidak mengerti betapa pentingnya informasi – Daniel Patrick Moynihan –

Rumah tempat Ibnu dan Otniel menemukan orang yang mau dimintai keterangan adalah sebuah rumah yang hampir berada di ujung gang. Jadi, setiap kali aku melangkah mendekati rumah itu, aku memikirkan berbagai macam alasan untuk menyentuh si calon saksi ini.

"Kau bisa menjabat tangannya sambil memperkenalkan asal divisi kita," usul Gabe.

Sebuah usul yang logis, dan sempat aku pikirkan, tapi kelemahannya adalah waktu yang terlalu pendek. Aku pesimis kalau dapat menemukan informasi soal Pak Sugeng di ingatan orang itu, jika hanya menjabat tangannya sebentar. Aku perlu sebuah alasan yang kuat dan logis untuk menyentuhnya agak lama.

Pikiranku mulai bergerak cepat untuk mencari alasan itu, bersamaan dengan kakiku yang terus melangkah untuk mendekati target. Semakin mendekati target, malah membuat otakku tidak bisa berpikir jernih, hingga akhirnya terbersit sebuah cara di otakku.

"Selamat malam Pak, saya Sebastian Dream, Ketua Unit 2 Divisi Kejahatan Berat dan Kekerasan Kepolisian Surabaya," kataku sambil menjabat tangan orang itu.

Pria itu lumayan kaget dengan perkenalan tiba-tiba yang kulakukan, untungnya dia tetap menyambut jabatan tanganku. "Adi Nugroho, saya adalah salah satu warga terlama di gang ini."

"Terimakasih atas kerjasamanya," ujarku sambil memberi sebuah senyuman palsu padanya. "Jika Anda berkenan, bolehkah saya meminta Anda menjawab beberapa pertanyaan?"

Adi mengangguk lirih dengan tangannya yang masih berjabat tangan denganku. "Tetapi, baru saja saya sudah ditanyai oleh para anak buah Bapak."

"Selain itu...," ujarnya sambil menarik tangannya dariku. "Saya harus ke kantor, karena hari ini adalah jadwal masuk malam bagi saya."

Akhir dari jabatan tangan Adi membuat adegan yang muncul di otakku berhenti pada kejadian yang Adi alami sekitar satu minggu kemarin. Namun, aku masih memiliki rencana cadangan untuk kembali menyentuhnya, dan setidaknya mendapat ingatan satu bulan lalu.

"Kalau begitu, saya akan meminta informasi dari mereka," kataku sambil melirik ke arah Ibnu dan Otniel.

Selanjutnya, giliranku mengeksekusi rencana cadanganku.

Dengan gerakan yang luwes, aku berdiri di sebelah Pak Adi dengan satu tanganku yang melingkari lehernya. "Gabe, tolong fotokan saya dengan warga baik hati yang mau membantu tugas polisi."

Tindakan yang mendadak dariku membuat tiga detektif di timku melongo, ditambah mulut mereka yang sedikit menganga. Sedangkan Adi hanya diam saja meskipun aku merangkul lehernya.

Gabe yang akhirnya sadar dengan rencanaku, mulai merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponselnya.

Aku terus meminta Gabe memotret kami beberapa kali, hingga aku juga mengajak Ibnu dan Otniel ikut berfoto denganku dan Adi. Selama tanganku menyentuh Adi, maka ingatan Adi terus mengalir ke otakku dalam bentuk potongan-potongan adegan tak beraturan. Namun, aku harus mencari adegan yang penting seperti yang telah kupelajari dengan ingatan Gabe selama beberapa bulan terakhir.

Ingatan Adi didominasi oleh adegan dia berangkat dan pulang dari kantornya, juga kebiasaan buruknya, yaitu minum di warung kopi depan gang hingga larut malam. Setidaknya itulah potongan ingatan Adi di seminggu terakhir.

Saat aku menyelami ingatannya lebih jauh, akhirnya ada hal menarik yang kutemukan. Sore hari pada sembilan hari lalu, Adi bertemu dengan Pak Sugeng di bawah tangga rahasia milik Pak Sugeng. Potongan Adegan itulah yang membuatku akhirnya melakukan rencana cadangan yang konyol, namun efektif.

Di momen kedua aku menyentuh Adi, aku langsung menuju ke ingatan sembilan hari lalu saat dia bertemu Pak Sugeng. Sambil tetap berusaha mengulur waktu agar dapat menyentuhnya lebih lama, aku juga memusatkan konsentrasiku untuk mengeluarkan suara dan suasana dalam ingatan itu. Karena saat aku bersentuhan dengan orang lain, maka yang muncul di otakku hanyalah adegan tanpa suara seperti film bisu.

Perlahan namun pasti, ingatan Adi akhirnya mulai mengeluarkan suara di otakku. Berawal dari suara samar Adi yang ternyata adalah sebuah bisikan kepada Pak Sugeng, "Pak, Anda terlalu sering memakai tangga itu."

"Tidak ada orang di gangmu yang peduli," jawab Pak Sugeng sambil menuruni tangga rahasia. "Lagipula aku membawa sampah sebagai alasan yang cukup untuk memakai tangga ini."

Adi masih tetap mengawasi sekitar dengan tatapan tajam. "Kita berunding di rumahku."

"Aku sedang tidak ingin menghirup bau menjijikkan dari rumahmu," ujar Pak Sugeng santai. "Kita selesaikan perjanjian disini, kau sudah bawa uang pas?"

"Kalau begitu, kita cari tem–"

"Aku ingin melakukannya disini," potong Pak Sugeng dengan nada dingin.

Perubahan suasana yang tiba-tiba itu membuat Adi akhirnya terdiam. Lalu perlahan dia memasukkan tangannya ke saku kemejanya dan mengeluarkan secarik kertas. Dengan masih sedikit takut, Adi memberikan kertas itu kepada Pak Sugeng.

Aku mencoba menghentikan adegan ini untuk dapat melihat dengan jelas isi kertas itu, tetapi adegan tersebut terus berlanjut. Aku masih perlu belajar lebih giat dengan Gabe agar dapat mengontrol kekuatan ini lebih baik lagi.

Adegan selanjutnya adalah Pak Sugeng memberikan serbuk putih di dalam plastik kecil kepada Adi. "Bulan depan akan aku beri lagi dengan harga yang sama, tetapi jika kau meminta lebih cepat, maka biayanya dua kali lipat."

Adi mengangguk cepat, lalu membungkuk sebentar sebelum akhirnya dia meninggalkan Pak Sugeng. Untungnya, aku tidak cepat-cepat melepaskan sentuhanku dari Adi, karena adegan selanjutnya adalah momen yang tidak kalah penting.

Karena aku sudah belajar untuk menempatkan diriku sebagai orang ketiga ditengah ingatan orang lain, maka aku bisa memilih untuk mengikuti Adi pulang ke rumahnya, atau tetap di bawah tangga rahasia ini hingga Pak Sugeng kembali masuk ke dalam rumahnya.

Aku mengikuti instingku untuk memilih melihat Pak Sugeng, dan ternyata pilihanku mengantarkanku ke sebuah adegan aneh.

Adegan itu berisi sebuah momen saat Pak Sugeng bergumam cukup keras setelah Adi sudah cukup jauh darinya. "Adi Nugroho, mungkin itu adalah yang terakhir untukmu, karena sebentar lagi kau akan mendekam selamanya di balik jeruji."

****

"Kau mendapat sesuatu?" tanya Gabe dengan raut wajah mendesak.

Setelah sesi foto dadakan dengan Adi, aku langsung membubarkan tim karena ingin waktu berdua dengan Gabe. Sebagian dari diriku ingin menceritakan isi ingatan Adi kepada Ibnu dan Otniel, namun aku memilih untuk menyimpan rapat rahasia itu, karena rahasiaku bukan sebuah hal yang bisa diceritakan ke banyak orang.

Jika situasinya sangat mendesak dan aku tidak memiliki pilihan lain, maka aku baru akan menceritakan rahasiaku kepada Ibnu dan Otniel. Tetapi tidak hari ini.

"Bapak Ian," bisik Gabe dengan mata yang fokus ke jalan raya. "Kau mendapat sesuatu?"

Ternyata aku melamun cukup lama, sehingga Gabe yang tidak sabaran ini tidak dapat menahan rasa penasarannya.

Aku mulai menceritakan kepada Gabe tentang semua yang kulihat di ingatan Adi. Dimulai dari hal paling biasa, seperti Adi yang memiliki rutinitas begadang di warung hingga larut malam, sampai ke adegan pertukaran serbuk putih dan secarik kertas, antara Pak Sugeng dan Adi.

Menceritakan isi ingatan Adi tidak perlu waktu yang panjang, tetapi menganalisa daftar adegan itu yang membutuhkan waktu lama.

"Pak Sugeng memasok narkoba kepada Adi?" gumam Gabe. "Atau serbuk putih itu bukan narkoba, melainkan sesuatu yang lain?"

Tebakan pertamaku untuk identitas serbuk putih yang diberikan Pak Sugeng kepada Adi memang narkoba, tetapi aku masih belum bisa menyimpulkan kertas yang dipegang Adi. Terakhir, perkataan Pak Sugeng tentang Adi yang sebentar lagi akan masuk penjara juga aneh.

Melalui potongan ingatan Adi, malah semakin banyak yang perlu dipastikan untuk menguak kebenaran kasus ini. Jika benar serbuk putih itu adalah narkoba, maka kami perlu bukti kuat jika memaksa menggeledah rumah Adi. 

"Mau memakai cara yang menjijikkan?" tanya Gabe sambil mengerutkan keningnya. "Kita tidak bisa menggeledah rumah Adi tanpa surat perintah, tapi kita bisa memakai cara lain untuk mengetahui apakah orang itu menggunakan narkoba."

"Urin, darah, dan air liur!" seruku.

Gabe mengangguk sambil tersenyum tipis. "Jadi, sekarang kita perlu alasan untuk dapat masuk ru"

"Tidak perlu," sahutku cepat. "Ingat kebiasaan Adi di malam hari?"

Gabe mencoba mengingat ceritaku soal potongan ingatan Adi, hingga akhinya dia menggebuk setir mobilnya. "Pulang larut malam karena begadang di warung?"

Aku mengangguk puas. "Sekarang, kita tinggal berharap dia sedang memesan secangkir kopi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status