Rahasia hanya untuk pecundang. Untuk orang-orang yang tidak mengerti betapa pentingnya informasi – Daniel Patrick Moynihan –
Rumah tempat Ibnu dan Otniel menemukan orang yang mau dimintai keterangan adalah sebuah rumah yang hampir berada di ujung gang. Jadi, setiap kali aku melangkah mendekati rumah itu, aku memikirkan berbagai macam alasan untuk menyentuh si calon saksi ini.
"Kau bisa menjabat tangannya sambil memperkenalkan asal divisi kita," usul Gabe.
Sebuah usul yang logis, dan sempat aku pikirkan, tapi kelemahannya adalah waktu yang terlalu pendek. Aku pesimis kalau dapat menemukan informasi soal Pak Sugeng di ingatan orang itu, jika hanya menjabat tangannya sebentar. Aku perlu sebuah alasan yang kuat dan logis untuk menyentuhnya agak lama.
Pikiranku mulai bergerak cepat untuk mencari alasan itu, bersamaan dengan kakiku yang terus melangkah untuk mendekati target. Semakin mendekati target, malah membuat otakku tidak bisa berpikir jernih, hingga akhirnya terbersit sebuah cara di otakku.
"Selamat malam Pak, saya Sebastian Dream, Ketua Unit 2 Divisi Kejahatan Berat dan Kekerasan Kepolisian Surabaya," kataku sambil menjabat tangan orang itu.
Pria itu lumayan kaget dengan perkenalan tiba-tiba yang kulakukan, untungnya dia tetap menyambut jabatan tanganku. "Adi Nugroho, saya adalah salah satu warga terlama di gang ini."
"Terimakasih atas kerjasamanya," ujarku sambil memberi sebuah senyuman palsu padanya. "Jika Anda berkenan, bolehkah saya meminta Anda menjawab beberapa pertanyaan?"
Adi mengangguk lirih dengan tangannya yang masih berjabat tangan denganku. "Tetapi, baru saja saya sudah ditanyai oleh para anak buah Bapak."
"Selain itu...," ujarnya sambil menarik tangannya dariku. "Saya harus ke kantor, karena hari ini adalah jadwal masuk malam bagi saya."
Akhir dari jabatan tangan Adi membuat adegan yang muncul di otakku berhenti pada kejadian yang Adi alami sekitar satu minggu kemarin. Namun, aku masih memiliki rencana cadangan untuk kembali menyentuhnya, dan setidaknya mendapat ingatan satu bulan lalu.
"Kalau begitu, saya akan meminta informasi dari mereka," kataku sambil melirik ke arah Ibnu dan Otniel.
Selanjutnya, giliranku mengeksekusi rencana cadanganku.
Dengan gerakan yang luwes, aku berdiri di sebelah Pak Adi dengan satu tanganku yang melingkari lehernya. "Gabe, tolong fotokan saya dengan warga baik hati yang mau membantu tugas polisi."
Tindakan yang mendadak dariku membuat tiga detektif di timku melongo, ditambah mulut mereka yang sedikit menganga. Sedangkan Adi hanya diam saja meskipun aku merangkul lehernya.
Gabe yang akhirnya sadar dengan rencanaku, mulai merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponselnya.
Aku terus meminta Gabe memotret kami beberapa kali, hingga aku juga mengajak Ibnu dan Otniel ikut berfoto denganku dan Adi. Selama tanganku menyentuh Adi, maka ingatan Adi terus mengalir ke otakku dalam bentuk potongan-potongan adegan tak beraturan. Namun, aku harus mencari adegan yang penting seperti yang telah kupelajari dengan ingatan Gabe selama beberapa bulan terakhir.
Ingatan Adi didominasi oleh adegan dia berangkat dan pulang dari kantornya, juga kebiasaan buruknya, yaitu minum di warung kopi depan gang hingga larut malam. Setidaknya itulah potongan ingatan Adi di seminggu terakhir.
Saat aku menyelami ingatannya lebih jauh, akhirnya ada hal menarik yang kutemukan. Sore hari pada sembilan hari lalu, Adi bertemu dengan Pak Sugeng di bawah tangga rahasia milik Pak Sugeng. Potongan Adegan itulah yang membuatku akhirnya melakukan rencana cadangan yang konyol, namun efektif.
Di momen kedua aku menyentuh Adi, aku langsung menuju ke ingatan sembilan hari lalu saat dia bertemu Pak Sugeng. Sambil tetap berusaha mengulur waktu agar dapat menyentuhnya lebih lama, aku juga memusatkan konsentrasiku untuk mengeluarkan suara dan suasana dalam ingatan itu. Karena saat aku bersentuhan dengan orang lain, maka yang muncul di otakku hanyalah adegan tanpa suara seperti film bisu.
Perlahan namun pasti, ingatan Adi akhirnya mulai mengeluarkan suara di otakku. Berawal dari suara samar Adi yang ternyata adalah sebuah bisikan kepada Pak Sugeng, "Pak, Anda terlalu sering memakai tangga itu."
"Tidak ada orang di gangmu yang peduli," jawab Pak Sugeng sambil menuruni tangga rahasia. "Lagipula aku membawa sampah sebagai alasan yang cukup untuk memakai tangga ini."
Adi masih tetap mengawasi sekitar dengan tatapan tajam. "Kita berunding di rumahku."
"Aku sedang tidak ingin menghirup bau menjijikkan dari rumahmu," ujar Pak Sugeng santai. "Kita selesaikan perjanjian disini, kau sudah bawa uang pas?"
"Kalau begitu, kita cari tem–"
"Aku ingin melakukannya disini," potong Pak Sugeng dengan nada dingin.
Perubahan suasana yang tiba-tiba itu membuat Adi akhirnya terdiam. Lalu perlahan dia memasukkan tangannya ke saku kemejanya dan mengeluarkan secarik kertas. Dengan masih sedikit takut, Adi memberikan kertas itu kepada Pak Sugeng.
Aku mencoba menghentikan adegan ini untuk dapat melihat dengan jelas isi kertas itu, tetapi adegan tersebut terus berlanjut. Aku masih perlu belajar lebih giat dengan Gabe agar dapat mengontrol kekuatan ini lebih baik lagi.
Adegan selanjutnya adalah Pak Sugeng memberikan serbuk putih di dalam plastik kecil kepada Adi. "Bulan depan akan aku beri lagi dengan harga yang sama, tetapi jika kau meminta lebih cepat, maka biayanya dua kali lipat."
Adi mengangguk cepat, lalu membungkuk sebentar sebelum akhirnya dia meninggalkan Pak Sugeng. Untungnya, aku tidak cepat-cepat melepaskan sentuhanku dari Adi, karena adegan selanjutnya adalah momen yang tidak kalah penting.
Karena aku sudah belajar untuk menempatkan diriku sebagai orang ketiga ditengah ingatan orang lain, maka aku bisa memilih untuk mengikuti Adi pulang ke rumahnya, atau tetap di bawah tangga rahasia ini hingga Pak Sugeng kembali masuk ke dalam rumahnya.
Aku mengikuti instingku untuk memilih melihat Pak Sugeng, dan ternyata pilihanku mengantarkanku ke sebuah adegan aneh.
Adegan itu berisi sebuah momen saat Pak Sugeng bergumam cukup keras setelah Adi sudah cukup jauh darinya. "Adi Nugroho, mungkin itu adalah yang terakhir untukmu, karena sebentar lagi kau akan mendekam selamanya di balik jeruji."
****
"Kau mendapat sesuatu?" tanya Gabe dengan raut wajah mendesak.
Setelah sesi foto dadakan dengan Adi, aku langsung membubarkan tim karena ingin waktu berdua dengan Gabe. Sebagian dari diriku ingin menceritakan isi ingatan Adi kepada Ibnu dan Otniel, namun aku memilih untuk menyimpan rapat rahasia itu, karena rahasiaku bukan sebuah hal yang bisa diceritakan ke banyak orang.
Jika situasinya sangat mendesak dan aku tidak memiliki pilihan lain, maka aku baru akan menceritakan rahasiaku kepada Ibnu dan Otniel. Tetapi tidak hari ini.
"Bapak Ian," bisik Gabe dengan mata yang fokus ke jalan raya. "Kau mendapat sesuatu?"
Ternyata aku melamun cukup lama, sehingga Gabe yang tidak sabaran ini tidak dapat menahan rasa penasarannya.
Aku mulai menceritakan kepada Gabe tentang semua yang kulihat di ingatan Adi. Dimulai dari hal paling biasa, seperti Adi yang memiliki rutinitas begadang di warung hingga larut malam, sampai ke adegan pertukaran serbuk putih dan secarik kertas, antara Pak Sugeng dan Adi.
Menceritakan isi ingatan Adi tidak perlu waktu yang panjang, tetapi menganalisa daftar adegan itu yang membutuhkan waktu lama.
"Pak Sugeng memasok narkoba kepada Adi?" gumam Gabe. "Atau serbuk putih itu bukan narkoba, melainkan sesuatu yang lain?"
Tebakan pertamaku untuk identitas serbuk putih yang diberikan Pak Sugeng kepada Adi memang narkoba, tetapi aku masih belum bisa menyimpulkan kertas yang dipegang Adi. Terakhir, perkataan Pak Sugeng tentang Adi yang sebentar lagi akan masuk penjara juga aneh.
Melalui potongan ingatan Adi, malah semakin banyak yang perlu dipastikan untuk menguak kebenaran kasus ini. Jika benar serbuk putih itu adalah narkoba, maka kami perlu bukti kuat jika memaksa menggeledah rumah Adi.
"Mau memakai cara yang menjijikkan?" tanya Gabe sambil mengerutkan keningnya. "Kita tidak bisa menggeledah rumah Adi tanpa surat perintah, tapi kita bisa memakai cara lain untuk mengetahui apakah orang itu menggunakan narkoba."
"Urin, darah, dan air liur!" seruku.
Gabe mengangguk sambil tersenyum tipis. "Jadi, sekarang kita perlu alasan untuk dapat masuk ru–"
"Tidak perlu," sahutku cepat. "Ingat kebiasaan Adi di malam hari?"
Gabe mencoba mengingat ceritaku soal potongan ingatan Adi, hingga akhinya dia menggebuk setir mobilnya. "Pulang larut malam karena begadang di warung?"
Aku mengangguk puas. "Sekarang, kita tinggal berharap dia sedang memesan secangkir kopi."
Narkoba adalah musuh dari ambisi dan harapan– dan saat kita berjuang melawan narkoba, maka kita sedang berjuang untuk masa depan - Bob Riley - Antusiasme Gabe membuat dia salah mengambil jalan, sehingga mobil kami salah masuk tol. Aku takut kalau Adi sudah kembali pulang kerumahnya, karena jam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih dua puluh menit tengah malam. Saat ini, aku hanya memiliki satu pilihan bantuan. Aku terpaksa menelepon Ibnu dan Otniel untuk menyuruh mereka mencari Adi di salah satu warung dekat rumahnya. Untungnya, dua anak itu mau kembali berangkat kerja, meskipun sudah kuusir setelah sukses dengan ingatan Adi. Dua anggota timku itu adalah yang paling bisa diandalkan untuk mencari orang, jadi aku sudah lega saat mereka menyetujui permintaanku. "Kalau benar air liur Adi mengandung narkoba, maka Pak Sugeng adalah pemasoknya untuk waktu yang lama," ujar Gabe memecah keheningan di tengah jalan tol yang sepi. "Dan hal itu akan membuat tersangka pembunuhan Pak Sugeng s
Kami selalu dibayar berdasarkan kecurigaan kami, dengan menemukan apa yang kami curigai - Henry David Thoreau - Aku langsung memacu mobil Gabe, setelah surat perintah sudah dikeluarkan oleh Kantor Pusat. Untungnya surat perintah untuk penangkapan Adi cepat dikeluarkan, karena kami memiliki bukti tak terbantah. Otakku memikirkan Anugrah selama perjalanan dari Departemen Forensik ke rumah Adi. Aku sangat yakin kalau orang yang cerewet dan mudah penasaran seperti Anugrah bakal langsung melepaskan kecurigaannya padaku. Aku harus sangat berhati-hati dalam memakai kemampuanku setelah kasus ini selesai. Selain Anugrah, ada hal lain yang mengganjal di pikiranku. Hal itu adalah tentang cara Pak Sugeng mendapatkan obat itu, dan bagaimana aku bisa mendapatkan bukti keterlibatan Pak Sugeng dengan adiksi Adi. Pikiranku yang berkelana itu membuat perjalanan terasa singkat. Aku memarkir mobilku di depan gang rumah Pak Sugeng, dan bergegas ke gang sebelah lewat jalan rahasia di rumah Pak Sugeng.
Jangan percaya dengan apa yang kamu dengar. Percayalah setengah dari yang kamu lihat - Edgar Allan Poe - Harapanku untuk menginterogasi Adi secepatnya runtuh, karena Adi lebih teler daripada yang terlihat. Dokter di Rumah Sakit Polisi mengatakan kalau Adi mengonsumsi dosis dua kali lipat dari biasanya, dan obat itu hampir merenggut nyawanya hari ini. Untungnya, Ibnu dan Otniel membawa Adi ke Rumah Sakit, alih-alih ke kantor seperti perintahku. Kadangkala, kita harus melangkahi perintah atasan jika sudah menyangkut nyawa. "Petugas Forensik sedang memeriksa secara menyeluruh rumah Adi Nugroho," ujar Otniel sambil mengunyah roti isi cokelat yang baru saja dia beli di kantin rumah sakit. "Kita hanya perlu menunggu sebentar, untuk ditemukannya barang bukti." Perkataan Otniel seharusnya benar, namun aku sedikit ragu kalau akan ditemukan barang bukti di rumah Adi. Selain itu, timku juga perlu bukti yang menunjukkan hubungan Pak Sugeng dan Adi lewat barang terlarang itu. Kasus pembunuhan
Dalam proses interogasi, semua orang menginginkan jawaban-jawaban yang belum siap kuberikan - Lucy Christopher - "Bapak masih sakit?" tanya Otniel begitu aku turun dari mobil. Kabar soal aku yang tidur di tempat parkir bahkan sudah menyebar di kantorku. "Adi Nugroho ada di mana?" tanyaku mengubah topik pembicaraan ke hal yang lebih penting. Untungnya, Otniel bukan pribadi yang mudah penasaran. Anak itu langsung memandu jalan kami melewati berbagai lorong yang sangat kukenal, ke ruang interogasi tempat Adi menunggu. Aku memilih untuk masuk ke ruang kontrol terlebih dahulu, dan ternyata sudah ada Ibnu di dalam ruang gelap yang tepat berada berhadapan dengan ruang interogasi. Aku menyuruh Gabe untuk mengambil alih proses interogasi pertama, sambil memantau gerak-gerik Adi untuk bisa menentukan langkah selanjutnya. "Sudah berapa lama dia dibawa ke sini?" tanyaku. "Sekitar setengah jam yang lalu," jawab Ibnu. "Namun, dia hanya menatap lurus ke ruangan ini sejak tadi." Sesuai perkataa
Semua manusia adalah bulan dan memiliki sisi gelap, yang tidak akan mereka tunjukkan kepada semua orang - Mark Twain -Setelah menunggu para perawat menyuntikkan obat penenang kepada Adi, akhirnya dia bisa kembali tenang seperti sebelumnya.Aku menyuruh Otniel untuk ke Departemen Forensik demi mengumpulkan bukti-bukti yang belum dimiliki polisi, sedangkan Ibnu cukup kuperintahkan untuk menjaga pintu ruang interogasi agar tidak ada siapa pun yang masuk ditengah interogasi.Gabe memastikan persiapan interogasi akan berjalan tanpa gangguan, sebelum akhirnya kembali membawa Adi yang sudah terlihat letih, kembali ke ruang interogasi.Sejak dibawa dari sel ke ruang interogasi, Adi hanya melihat ke bawah, entah karena efek obat penenang, atau karena Adi sudah sangat kelelahan. Aku sebenarnya merasa kasihan padanya, namun aku tetap harus menggali informasi identitas orang yang memasok uang kepadanya.Karena aku sudah membulatkan tekad, maka aku la
Kadangkala, beberapa hal yang muncul di kepala kita lebih buruk daripada segala hal yang dapat mereka tampilkan di buku atau film - C. K. Webb - Aku tertidur lebih lama daripada yang aku bayangkan. Saat akhirnya aku mulai terbangun, aku memeriksa sekitarku. Aku terbangun di ruanganku sendiri, alih-alih di meja interogasi. Hal pertama yang kuperiksa adalah waktu saat ini, dan ternyata jam di ponselku menunjukkan pukul tujuh malam. Artinya, aku tertidur hampir dua belas jam. Meskipun aku memperoleh banyak informasi dari ingatan Adi, tetapi aku tidak yakin apakah informasi itu layak ditukar dengan waktu yang terbuang karena aku harus jatuh tertidur setelahnya. Kemampuan anehku ini memiliki efek samping yang cukup merepotkan. Aku langsung memberi pesan singkat kepada Gabe, untuk memberi kabar kalau aku sudah sadar. Kemungkinan besar, pasti dia adalah orang yang membawaku dari ruang interogasi ke ruangan pribadiku. Beberapa menit kemudian, Gabe sudah masuk ke ruanganku dan langsung dud
Saat seekor rubah mendengar jeritan kelinci, dia akan berlari ke arahnya. Tetapi, kita semua tahu kalau dia tidak berniat menolong - Thomas Harris - Menyusuri jalan yang kulalui saat berada di ingatan Adi, jauh berbeda dengan menyusuri jalan di kehidupan nyata. Setiap jengkal dari jalan yang kulihat di ingatan Adi memiliki nuansa suram dengan warna hitam yang memperjelas bagaimana Adi mengingat momen itu. Sedangkan jalan yang sekarang kususuri bersama Gabe diterangi lampu yang terang benderang ditengah malam kota Surabaya. Aku semakin bersimpati kepada Adi, karena di ingatannya pun, semua lampu ini dapat mati total karena kecanduannya akan narkoba. "Kau yakin ini jalannya?" keluh Gabe. "Kenapa kita tidak menunggu informasi dari Otniel, lalu baru mulai mencari satu per satu?" Logika Gabe memang lebih masuk akal, namun aku merasa kalau tubuhku tidak akan sanggup untuk kembali menunggu. Tidur lebih dari dua belas jam membuatku ingin terus bergerak, dengan harapan menemukan sesuatu yan
Misteri dari eksistensi manusia bukan hanya tentang bertahan hidup, namun juga tentang apa arti dari hidup - Fyodor Dostoevsky - "Kau yakin ini jalannya?" tanya Gabe dengan ragu. Aku tidak menjawab pertanyaannya, karena aku sedang mencoba untuk memusatkan ingatanku saat mengikuti Adi berjalan ke rumah besar itu. Jalan yang sekarang sedang kulalui bersama Gabe memiliki pola identik yang sama dengan yang Adi lalui tiga bulan lalu. Beberapa hal memang sudah berubah, namun aku sangat yakin kalau lokasi rumah kedua yang dikirimkan Otniel padaku adalah rumah yang kami cari. Rumah kedua yang kami datangi hanya berjarak sekitar tiga ratus meter dari rumah pertama, namun ada suasana berbeda yang menguar dari masing-masing rumah itu. Perbedaan paling jelas adalah rumah pertama memiliki suasana kehidupan, sedangkan rumah kedua yang sekarang ada dihadapanku memiliki suasana yang hampir sama dengan pemakaman. "Dua kantor yang berdekatan, namun memiliki suasana yang berbeda jauh bak bumi dan la