Share

Bab 4 - Lusuh

Rahasia terbesar selalu disembunyikan di tempat yang paling tidak di sukai – Roald Dahl – 

Tangga ruang rahasia itu membawaku ke gang sebelah yang memiliki lebar sedikit lebih besar daripada gang rumah Pak Sugeng. Namun, tangga pintu rahasia itu berada cukup jauh dari rumah warga, meskipun berada di gang yang sama.

Gang sebelah ini jauh lebih kumuh daripada gang Pak Sugeng, sehingga adanya sebuah tangga yang mengarah ke tembok kosong itu tidak menarik perhatian. 

“Ruang rahasia itu adalah alasan lantai atas sangat berantakan,” ujar Gabe sambil mengelus kepala plontosnya yang masih kesakitan karena pukulanku.

“Ruangan yang berantakan untuk menyembunyikan pintu itu?” tanya Ibnu.

Gabe mengangguk. “Kamar pribadi Pak Sugeng menunjukkan bahwa dia adalah orang yang rapi, sedangkan kondisi di lantai dua menunjukkan sebaliknya.”

“Karena itu, saat aku kembali menyelidiki lantai atas, fokusku adalah mencari rahasia Pak Sugeng,” imbuhnya.

Gabe Sinaga kembali membuatku bersyukur karena dia ada di unitku, dan menjadi sahabatku. Jika dia memilih untuk menjadi musuhku, maka hidupku akan penuh dengan kesulitan. 

Di saat aku dan Ibnu mencari sesuatu yang akan menjadi petunjuk kasus, Gabe malah mencari ruang rahasia yang belum tentu ada. Setelah dia menemukan pintu rahasia itu, dia malah memeriksanya tanpa memberitahu kami, karena kemungkinan besar akan berbahaya. 

“Otniel masuk,” kataku setelah menyalakan radio. “Kami menemukan sebuah pintu rahasia di lantai atas, informasikan hal itu pada Forensik. Selain itu, kami juga membutuhkanmu di sini.”

“Baik Pak,” sahut Otniel dari seberang radio.

Sambil menunggu kedatangan Otniel, aku bertanya pada Gabe, “Kenapa seorang pria berumur 60 tahun sampai repot-repot membuat pintu rahasia?”

Gabe menimbang pertanyaanku sambil mengerutkan dahinya, hingga beberapa menit kemudian akhirnya dia menjawab, “Aku belum bisa memastikan, tetapi ada dua hipotesis di otakku.”

“Satu, Pak Sugeng membutuhkannya untuk keluar gang lebih cepat di malam hari,” ujarnya. “Kedua, Pak Sugeng memang menyembunyikan sesuatu.” 

Kali ini giliranku yang mengerutkan dahi. “Dua hipotesismu tetap mengarah ke kesimpulan bahwa pintu rahasia itu dibuat oleh Pak Sugeng, bukan orang lain.”

Gabe menunjuk tangga yang menuju pintu rahasia itu. “Tidak ada seorang pun yang bisa masuk ke rumah melalui sisi ini, karena di sisi ini pintu itu hanya tanpak seperti tembok biasa.”

Aku memusatkan penglihatanku ke arah yang ditunjukkan Gabe, dan ternyata memang tidak ada kenop pintu yang terlihat di sisi ini. Berarti, dua hipotesis Gabe memang masuk akal. 

“Tidak ada alasan bagi Pak Sugeng untuk keluar rumah pada malam hari,” kataku. “Tetapi, untuk mengatakan bahwa dia menyembunyikan sesuatu juga masih belum ada bukti.”

“Bagaimana dengan sampah pak?” tebak Ibnu. “Seingat saya, di depan rumah tidak terdapat tong sampah. Mungkin saja Pak Sugeng membuang sampah di salah satu tong sampah milik warga gang ini.”

Aku melirik Gabe untuk meminta bantuannya.

Gabe yang menyadari lirikanku langsung menggeleng cepat. “Untuk urusan sampah, menurutku kemungkinannya kecil. Kenop pintu rahasia itu sangat berdebu saat pertama kali aku menyentuhnya.”

“Pak Sugeng pasti menggunakan pintu rahasia itu sesekali untuk mengurus sesuatu,” imbuhnya.

Ditemukannya pintu rahasia di dalam rumah ini memang sebuah temuan yang hebat, namun masih belum membawa penyelidikan kami naik tingkat. Hal-hal penting yang ada di kasus ini, seperti motif, senjata pembunuhan, dan trik pelaku  masih belum menemui titik terang.

Kami membutuhkan saksi, dan kalau tidak ada saksi, maka kami harus berusaha mendapat saksi. Kemampuan istimewaku terpaksa harus digunakan, karena kasus ini bertemu jalan buntu.

"Jadi kita akan menginterogasi saksi Pak?" tanya Otniel yang baru saja bergabung dengan kami. Pertanyaan Otniel seolah membaca pikiranku tentang betapa pentingnya saksi.

Aku mengangguk. “Kita akan menanyai warga gang ini untuk mencari informasi tentang alasan Pak Sugeng membuat jalan rahasia menembus tembok gang. Tetapi sebelum itu, beri tahu kami informasi apa yang kau dapatkan?"

Otniel tersenyum kecil. "Saya menyelidiki Kartu Keluarga milik korban yang Bapak temukan, dan hasilnya nihil."

Aku sedikit berharap kalau dia akan memberi informasi yang memajukan pencarian kami karena senyum kecilnya, namun yang dia laporkan malah nihil. Jadi apa alasan dibalik senyumnya?

"Dukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) tidak memiliki data apa pun tentang Kartu Keluarga Pak Sugeng," ujar Otniel. "Namun, ada hal mengejutkan yang saya temukan berdasarkan NIK (Nomor Induk Kependudukan) setiap orang di Kartu Keluarga itu." 

Rasa penasaran yang aku, Ibnu, dan Gabe memiliki membuat kami hanya diam untuk menunggu Otniel kembali berbicara.

"NIK dari dua orang di Kartu Keluarga Pak Sugeng adalah NIK milik Sri Martini dan Yusril Dikar," kata Otniel.

Aku melirik Gabe, dan bocah itu hanya manggut-manggut dengan wajah serius. Informasi Otniel ini membuktikan bahwa dua orang dari panti itu bukan hanya berhubungan dengan Pak Sugeng karena sumbangan, tapi juga karena mereka adalah keluarga Pak Sugeng.

"Apa status dua orang itu di Kartu Keluarga Pak Sugeng?" tanyaku.

Otniel menggelengkan kepalanya. "Hanya kolom 'status hubungan keluarga' yang tidak bisa terbaca dari foto yang Bapak kirimkan."

Mendengar hal itu, membuatku langsung bergegas mengambil Kartu Keluarga Pak Sugeng yang kuselipkan di kantong jaketku. Aku belum memeriksa dokumen itu sama sekali, meskipun aku yang menemukannya pertama kali, dan ternyata memang benar kata Otniel. Kartu Keluarga yang lusuh itu semua katanya masih dapat terbaca, kecuali data di kolom 'status dalam keluarga'. Setelah kuperiksa, aku memberikan dokumen itu kepada Gabe dan Ibnu yang penasaran.

"Bahkan kata yang tertulis di sini tidak bisa diterawang dari belakang," ujar Gabe yang mengarahkan dokumen itu di bawah cahaya bulan.

"Jadi sekarang kita memiliki tersangka, yaitu Sri Martini dan Yusril Dikar," kataku menyimpulkan. "Sesuai kesepakatan awal, kita akan mencari saksi lebih dahulu di gang ini, dan selanjutnya kita akan memanggil dua orang itu untuk meminta penjelasan mereka tentang alasan keduanya mengganti nama."

Aku merangkul leher Gabe. “Aku akan mencari saksi bersama Gabe.”

Ibnu dan Otniel mengangguk padaku dan Gabe. "Kita akan menginterogasi dari ujung gang terjauh, sehingga Bapak berdua bisa mulai menginterogasi dari rumah terdekat," ujar Otniel.

Setelah memberi tahu kami tentang target interogasi, mereka langsung bergegas ke tujuan mereka. Otniel si pencari informasi ulung bersama Ibnu sang petarung handal adalah kombinasi mematikan untuk interogasi dadakan seperti sekarang ini.

“Kau sudah bersiap menggunakannya?” tanya Gabe.

Aku memasang muka polos. “Apa ada pilihan lain?”

Gabe menggelengkan kepalanya. “Satu-satunya yang kita butuhkan sekarang adalah saksi, dan kemampuanmu akan membuat kita lebih cepat mendapatkannya.”

Aku tidak mengira kalau Gabe akan langsung setuju dengan usulku. Rumitnya kasus ini bahkan membuat Gabe si ahli deduksi harus meminta bantuanku.

Gabe memimpin jalan untuk menuju rumah terdekat, karena duo Ibnu dan Otniel memulai pencarian saksi mata dari sisi terjauh gang. Jalanan gang ini semakin kotor saat kami terus mendekat ke rumah terdekat. Surabaya adalah kota besar yang indah, namun juga memiliki sisi kumuh di beberapa sudut.

Rumah pertama yang kami mintai informasi adalah sebuah rumah kecil dengan banyak tanaman dalam pot di depan rumah itu, sehingga membuat kesan rumah itu lumayan angker, alih-alih tampak asri.

Gabe berjalan ke arah pintu rumah itu, lalu mulai mengetuk pelan. “Permisi, Ada orang di dalam?”

Setelah beberapa menit tanpa jawaban, akhirnya pintu perlahan terbuka. Dibalik pintu itu adalah wajah seorang wanita dewasa dengan riasan yang baru setengah dihapus. Wajah wanita itu menunjukkan ekspresi kesal. “Onok opo iki? (ada apa ini?)” tanya wanita itu ketus.

“Selamat malam Bu,” kataku sopan, sambil sedikit membungkuk. Aku melepaskan ID polisi yang tergantung di leherku, lalu menunjukkannya ke si pemilik rumah. “Saya Sebastian Dream, dan pria ini Gabe Sinaga. Kami adalah polisi dari Divisi Kejahatan Berat dan Kekerasan Kepolisian Pusat Surabaya, ingin meminta beberapa keterangan.”

Wanita itu langsung buru-buru menutup pintunya dengan kasar sambil berteriak, “Saya tidak tahu apa pun!”

Karena kondisi gang yang kecil, maka teriakan wanita itu mungkin didengar oleh pemilik rumah yang lain, sehingga rumah-rumah lain juga memiliki respon yang tidak jauh berbeda dengan respon wanita itu. Beberapa rumah tidak menjawab salam kami, beberapa yang lain mengunci pintunya rapat, dan rumah yang lain memilih untuk mematikan lampu depannya.

Bahkan ada seorang wanita yang keluar rumah dengan kedua tangannya berada di balik punggungnya. Wanita itu hanya menatap kosong kepadaku saat aku mulai menjelaskan maksud kedatangan kami. Dan setelah beberapa menit yang terasa panjang, akhirnya kami berpamitan dengan wanita itu tanpa mendengar sepatah kata keluar dari mulutnya.

Hal yang membuatku bergidik adalah saat wanita itu berbalik, akhirnya terlihat kalau kedua tangannya memegang sebuah pisau dapur cukup besar dibalik punggungnya. Bahkan saat mengetahui kami adalah polisi, dia tetap tidak bergeming dengan pisau itu.

Respon para warga di gang ini membuatku semakin curiga dengan alasan Pak Sugeng membuat sebuah jalan rahasia yang langsung mengarah ke gang ini.

Gabe menepuk pundakku pelan, lalu dia menunjuk ke arah ujung gang ini. “Ibnu dan Otniel berhasil mememukan saksi.”

Aku memincingkan mataku untuk melihat kejauhan. Tampak dua orang bawahanku sedang berbincang serius dengan seorang pria dewasa. Ternyata kegagalan kami tidak menular pada dua orang itu.

“Sudah menyiapkan alasan untuk menyentuhnya agak lama?” tanya Gabe sambil tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status