Home / Thriller / Hippocampus / Bab 4 - Lusuh

Share

Bab 4 - Lusuh

last update Huling Na-update: 2021-09-03 12:26:17

Rahasia terbesar selalu disembunyikan di tempat yang paling tidak di sukai – Roald Dahl – 

Tangga ruang rahasia itu membawaku ke gang sebelah yang memiliki lebar sedikit lebih besar daripada gang rumah Pak Sugeng. Namun, tangga pintu rahasia itu berada cukup jauh dari rumah warga, meskipun berada di gang yang sama.

Gang sebelah ini jauh lebih kumuh daripada gang Pak Sugeng, sehingga adanya sebuah tangga yang mengarah ke tembok kosong itu tidak menarik perhatian. 

“Ruang rahasia itu adalah alasan lantai atas sangat berantakan,” ujar Gabe sambil mengelus kepala plontosnya yang masih kesakitan karena pukulanku.

“Ruangan yang berantakan untuk menyembunyikan pintu itu?” tanya Ibnu.

Gabe mengangguk. “Kamar pribadi Pak Sugeng menunjukkan bahwa dia adalah orang yang rapi, sedangkan kondisi di lantai dua menunjukkan sebaliknya.”

“Karena itu, saat aku kembali menyelidiki lantai atas, fokusku adalah mencari rahasia Pak Sugeng,” imbuhnya.

Gabe Sinaga kembali membuatku bersyukur karena dia ada di unitku, dan menjadi sahabatku. Jika dia memilih untuk menjadi musuhku, maka hidupku akan penuh dengan kesulitan. 

Di saat aku dan Ibnu mencari sesuatu yang akan menjadi petunjuk kasus, Gabe malah mencari ruang rahasia yang belum tentu ada. Setelah dia menemukan pintu rahasia itu, dia malah memeriksanya tanpa memberitahu kami, karena kemungkinan besar akan berbahaya. 

“Otniel masuk,” kataku setelah menyalakan radio. “Kami menemukan sebuah pintu rahasia di lantai atas, informasikan hal itu pada Forensik. Selain itu, kami juga membutuhkanmu di sini.”

“Baik Pak,” sahut Otniel dari seberang radio.

Sambil menunggu kedatangan Otniel, aku bertanya pada Gabe, “Kenapa seorang pria berumur 60 tahun sampai repot-repot membuat pintu rahasia?”

Gabe menimbang pertanyaanku sambil mengerutkan dahinya, hingga beberapa menit kemudian akhirnya dia menjawab, “Aku belum bisa memastikan, tetapi ada dua hipotesis di otakku.”

“Satu, Pak Sugeng membutuhkannya untuk keluar gang lebih cepat di malam hari,” ujarnya. “Kedua, Pak Sugeng memang menyembunyikan sesuatu.” 

Kali ini giliranku yang mengerutkan dahi. “Dua hipotesismu tetap mengarah ke kesimpulan bahwa pintu rahasia itu dibuat oleh Pak Sugeng, bukan orang lain.”

Gabe menunjuk tangga yang menuju pintu rahasia itu. “Tidak ada seorang pun yang bisa masuk ke rumah melalui sisi ini, karena di sisi ini pintu itu hanya tanpak seperti tembok biasa.”

Aku memusatkan penglihatanku ke arah yang ditunjukkan Gabe, dan ternyata memang tidak ada kenop pintu yang terlihat di sisi ini. Berarti, dua hipotesis Gabe memang masuk akal. 

“Tidak ada alasan bagi Pak Sugeng untuk keluar rumah pada malam hari,” kataku. “Tetapi, untuk mengatakan bahwa dia menyembunyikan sesuatu juga masih belum ada bukti.”

“Bagaimana dengan sampah pak?” tebak Ibnu. “Seingat saya, di depan rumah tidak terdapat tong sampah. Mungkin saja Pak Sugeng membuang sampah di salah satu tong sampah milik warga gang ini.”

Aku melirik Gabe untuk meminta bantuannya.

Gabe yang menyadari lirikanku langsung menggeleng cepat. “Untuk urusan sampah, menurutku kemungkinannya kecil. Kenop pintu rahasia itu sangat berdebu saat pertama kali aku menyentuhnya.”

“Pak Sugeng pasti menggunakan pintu rahasia itu sesekali untuk mengurus sesuatu,” imbuhnya.

Ditemukannya pintu rahasia di dalam rumah ini memang sebuah temuan yang hebat, namun masih belum membawa penyelidikan kami naik tingkat. Hal-hal penting yang ada di kasus ini, seperti motif, senjata pembunuhan, dan trik pelaku  masih belum menemui titik terang.

Kami membutuhkan saksi, dan kalau tidak ada saksi, maka kami harus berusaha mendapat saksi. Kemampuan istimewaku terpaksa harus digunakan, karena kasus ini bertemu jalan buntu.

"Jadi kita akan menginterogasi saksi Pak?" tanya Otniel yang baru saja bergabung dengan kami. Pertanyaan Otniel seolah membaca pikiranku tentang betapa pentingnya saksi.

Aku mengangguk. “Kita akan menanyai warga gang ini untuk mencari informasi tentang alasan Pak Sugeng membuat jalan rahasia menembus tembok gang. Tetapi sebelum itu, beri tahu kami informasi apa yang kau dapatkan?"

Otniel tersenyum kecil. "Saya menyelidiki Kartu Keluarga milik korban yang Bapak temukan, dan hasilnya nihil."

Aku sedikit berharap kalau dia akan memberi informasi yang memajukan pencarian kami karena senyum kecilnya, namun yang dia laporkan malah nihil. Jadi apa alasan dibalik senyumnya?

"Dukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) tidak memiliki data apa pun tentang Kartu Keluarga Pak Sugeng," ujar Otniel. "Namun, ada hal mengejutkan yang saya temukan berdasarkan NIK (Nomor Induk Kependudukan) setiap orang di Kartu Keluarga itu." 

Rasa penasaran yang aku, Ibnu, dan Gabe memiliki membuat kami hanya diam untuk menunggu Otniel kembali berbicara.

"NIK dari dua orang di Kartu Keluarga Pak Sugeng adalah NIK milik Sri Martini dan Yusril Dikar," kata Otniel.

Aku melirik Gabe, dan bocah itu hanya manggut-manggut dengan wajah serius. Informasi Otniel ini membuktikan bahwa dua orang dari panti itu bukan hanya berhubungan dengan Pak Sugeng karena sumbangan, tapi juga karena mereka adalah keluarga Pak Sugeng.

"Apa status dua orang itu di Kartu Keluarga Pak Sugeng?" tanyaku.

Otniel menggelengkan kepalanya. "Hanya kolom 'status hubungan keluarga' yang tidak bisa terbaca dari foto yang Bapak kirimkan."

Mendengar hal itu, membuatku langsung bergegas mengambil Kartu Keluarga Pak Sugeng yang kuselipkan di kantong jaketku. Aku belum memeriksa dokumen itu sama sekali, meskipun aku yang menemukannya pertama kali, dan ternyata memang benar kata Otniel. Kartu Keluarga yang lusuh itu semua katanya masih dapat terbaca, kecuali data di kolom 'status dalam keluarga'. Setelah kuperiksa, aku memberikan dokumen itu kepada Gabe dan Ibnu yang penasaran.

"Bahkan kata yang tertulis di sini tidak bisa diterawang dari belakang," ujar Gabe yang mengarahkan dokumen itu di bawah cahaya bulan.

"Jadi sekarang kita memiliki tersangka, yaitu Sri Martini dan Yusril Dikar," kataku menyimpulkan. "Sesuai kesepakatan awal, kita akan mencari saksi lebih dahulu di gang ini, dan selanjutnya kita akan memanggil dua orang itu untuk meminta penjelasan mereka tentang alasan keduanya mengganti nama."

Aku merangkul leher Gabe. “Aku akan mencari saksi bersama Gabe.”

Ibnu dan Otniel mengangguk padaku dan Gabe. "Kita akan menginterogasi dari ujung gang terjauh, sehingga Bapak berdua bisa mulai menginterogasi dari rumah terdekat," ujar Otniel.

Setelah memberi tahu kami tentang target interogasi, mereka langsung bergegas ke tujuan mereka. Otniel si pencari informasi ulung bersama Ibnu sang petarung handal adalah kombinasi mematikan untuk interogasi dadakan seperti sekarang ini.

“Kau sudah bersiap menggunakannya?” tanya Gabe.

Aku memasang muka polos. “Apa ada pilihan lain?”

Gabe menggelengkan kepalanya. “Satu-satunya yang kita butuhkan sekarang adalah saksi, dan kemampuanmu akan membuat kita lebih cepat mendapatkannya.”

Aku tidak mengira kalau Gabe akan langsung setuju dengan usulku. Rumitnya kasus ini bahkan membuat Gabe si ahli deduksi harus meminta bantuanku.

Gabe memimpin jalan untuk menuju rumah terdekat, karena duo Ibnu dan Otniel memulai pencarian saksi mata dari sisi terjauh gang. Jalanan gang ini semakin kotor saat kami terus mendekat ke rumah terdekat. Surabaya adalah kota besar yang indah, namun juga memiliki sisi kumuh di beberapa sudut.

Rumah pertama yang kami mintai informasi adalah sebuah rumah kecil dengan banyak tanaman dalam pot di depan rumah itu, sehingga membuat kesan rumah itu lumayan angker, alih-alih tampak asri.

Gabe berjalan ke arah pintu rumah itu, lalu mulai mengetuk pelan. “Permisi, Ada orang di dalam?”

Setelah beberapa menit tanpa jawaban, akhirnya pintu perlahan terbuka. Dibalik pintu itu adalah wajah seorang wanita dewasa dengan riasan yang baru setengah dihapus. Wajah wanita itu menunjukkan ekspresi kesal. “Onok opo iki? (ada apa ini?)” tanya wanita itu ketus.

“Selamat malam Bu,” kataku sopan, sambil sedikit membungkuk. Aku melepaskan ID polisi yang tergantung di leherku, lalu menunjukkannya ke si pemilik rumah. “Saya Sebastian Dream, dan pria ini Gabe Sinaga. Kami adalah polisi dari Divisi Kejahatan Berat dan Kekerasan Kepolisian Pusat Surabaya, ingin meminta beberapa keterangan.”

Wanita itu langsung buru-buru menutup pintunya dengan kasar sambil berteriak, “Saya tidak tahu apa pun!”

Karena kondisi gang yang kecil, maka teriakan wanita itu mungkin didengar oleh pemilik rumah yang lain, sehingga rumah-rumah lain juga memiliki respon yang tidak jauh berbeda dengan respon wanita itu. Beberapa rumah tidak menjawab salam kami, beberapa yang lain mengunci pintunya rapat, dan rumah yang lain memilih untuk mematikan lampu depannya.

Bahkan ada seorang wanita yang keluar rumah dengan kedua tangannya berada di balik punggungnya. Wanita itu hanya menatap kosong kepadaku saat aku mulai menjelaskan maksud kedatangan kami. Dan setelah beberapa menit yang terasa panjang, akhirnya kami berpamitan dengan wanita itu tanpa mendengar sepatah kata keluar dari mulutnya.

Hal yang membuatku bergidik adalah saat wanita itu berbalik, akhirnya terlihat kalau kedua tangannya memegang sebuah pisau dapur cukup besar dibalik punggungnya. Bahkan saat mengetahui kami adalah polisi, dia tetap tidak bergeming dengan pisau itu.

Respon para warga di gang ini membuatku semakin curiga dengan alasan Pak Sugeng membuat sebuah jalan rahasia yang langsung mengarah ke gang ini.

Gabe menepuk pundakku pelan, lalu dia menunjuk ke arah ujung gang ini. “Ibnu dan Otniel berhasil mememukan saksi.”

Aku memincingkan mataku untuk melihat kejauhan. Tampak dua orang bawahanku sedang berbincang serius dengan seorang pria dewasa. Ternyata kegagalan kami tidak menular pada dua orang itu.

“Sudah menyiapkan alasan untuk menyentuhnya agak lama?” tanya Gabe sambil tersenyum.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Hippocampus   Bab 21 - Pengakuan

    Kebohongan bisa berlari cepat, sedangkan kebenaran hanya bisa berlari marathon - Michael Jackson Anugrah adalah orang pertama yang menyambut kedatanganku dan Gabe di kantor polisi. "Kalian menemukan alat pembunuhan?" tanyanya tanpa berbasa-basi. Gabe mengeluarkan novel yang kami temukan di rumah Adi dari tasnya. Novel yang dapat menjadi bukti tak terbantah itu dibungkus plastik dengan rapi, agar tidak menghilangkan jejak sidik jari, maupun sianida. Sahabatku itu memberikan novel itu kepada Anugrah. "Bagian samping yang dipakai untuk membalik ke halaman selanjutnya." Dia menunjuk bagian yang dia maksud, dengan nada tegas dan cepat. "Sianida kemungkinan besar dioleskan ke bagian itu." Kepala Departemen Forensik mengambil barang bukti tersebut dari tangan Gabe. "Kalian memiliki tersangka?" Aku mengangguk muram. "Kau hanya perlu memastikan kalau ada sidik jari tersangka, di novel itu, karena sang tersangka sudah ada di kantor ini sejak tadi pagi." "Sejak tadi pagi?" tanya Anugrah k

  • Hippocampus   Bab 20 - Bukti

    Kejahatan adalah nafsu yang terdidik. Kepandaian, seringkali adalah kelicikan yang menyamar. Adapun kebodohan, acapkali, adalah kebaikan yang yang bernasib buruk. Kelalaian adalah itikad baik yang terlalu polos. Dan kelemahan adalah kemuliaan hati yang terlalu berlebihan - Emha Ainun Nadjib - Aku dan Gabe langsung menuju rumah Adi, setelah aku menelepon Ibnu agar segera menyusul ke sana. Kami bertiga akan menggeledah rumah Adi untuk membuktikan dugaan Gabe tentang novel Agatha Christie yang menjadi alat pembunuhan. "Mengapa harus novel?" tanyaku. Gabe mengangkat bahunya. "Mungkin karena Flo dan Adi adalah anggota komunitas pecinta misteri?" Dugaan yang terdengar konyol, namun bisa jadi juga adalah sebuah fakta. Namun, hubungan Flo dan Adi tidak tampak seperti hubungan yang baik, karena Flo selalu menyebut Adi dengan sebutan 'sampah'. Jika benar novel milik Flo ada di rumah Adi, maka seluruh kesaksian wanita itu memang adalah kebohongan. "Aku menemukan semua data tentang Flo," ujar

  • Hippocampus   Bab 19 - Alat

    Banyak orang seringkali menggunakan psikologi terbalik untuk menutupi reaksi sesungguhnya. Jadi, di saat mereka mengatakan sesuatu, artinya adalah sebaliknya - Peter Moore - Aku tidak sedang berhalusinasi, karena temuan Anugrah soal potongan kuku Adi yang mengandung sianida membuatku sangat percaya kalau pembunuhnya akan segera terkuak. Kami hanya harus membuat benang merah yang sedikit kusut ini kembali terurai. "Apa yang kau lihat di ingatan Raden?" tanya Gabe. "Hanya sebuah adegan yang menegaskan alibinya saat pembunuhan Adi terjadi," jawabku. "Dia memang berada di pusat kebugaran itu saat Adi dibunuh di meja interogasi." Gabe merenung sejenak. Sahabatku itu sudah melepaskan kacamatanya saat dia sedang menyetir, karena dia berpikir bahwa menyetir bukanlah sebuah tindakan serius. Kacamatanya hanya terpasang di wajahnya kala dia sudah menentukan target. Kebiasaan itu sudah lama mengakar dalam dirinya, bahkan sejak kami masih ada di sekolah kepolisian. Gabe tidak memiliki kelainan

  • Hippocampus   Bab 18 - Alibi

    Dunia adalah tragedi bagi yang memakai perasaannya, namun dunia adalah komedi bagi yang memakai otaknya - Horace Walpole Kedua mataku langsung membelalak, karena respon otomatis atas jawaban pria ini. Di sebelahku, Gabe bahkan langsung terbatuk hingga menyemburkan air putih yang sedang dia minum. "Anda tidak apa-apa Pak?" tanya Raden dengan raut wajah khawatir. Dia menyobek tiga kertas tisu dari kotak tisu di depannya, dan memberikan benda itu kepada Gabe. "Tidak apa-apa," jawab Gabe, sambil meraih tisu dari tangan Raden, dan segera menyeka tumpahan air yang baru saja dia semburkan. Setelah memastikan semua percikan air sudah berhasil dia bersihkan, Gabe mendongak ke pria yang baru saja memberinya tisu. "Nama Anda sungguh Raden Mas Adinata?" Raden mengangguk dengan tenang untuk menjawab pertanyaan konfirmasi dari Gabe. "Ada apa Pak, Anda mencari saya?" Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak merasa emosional di hadapan orang yang sangat aku yakini sebagai tersangka. Sesuatu

  • Hippocampus   Bab 17 - Prasangka

    Iblis itu selayaknya anjing yang setia, dia akan datang saat kau memanggilnya - Remy de Gourmont - "Apa hasil autopsi mayat Adi?" tanyaku pada Otniel lewat panggilan telepon. "Adi meninggal setelah mengonsumsi racun sianida," jawab Otniel. "Namun, di bagian tubuhnya tidak ditemukan jejak sianida sama sekali." Sianida? Mengapa si pelaku tiba-tiba mengganti metode pembunuhannya? Apakah pelaku pembunuhan Pak Sugeng dan Adi adalah orang yang berbeda? "Bagaimana dengan jari kelingking Adi? Masih utuh?" tanya Gabe yang sedang menyetir. "Benar sekali Pak," sahut Otniel. "Sepertinya, pembunuh Adi adalah orang yang berbeda dengan kasus sebelumnya." "Selain itu, Pak Anugrah juga meminta ijin untuk menyelidiki TKP pembunuhan Adi sekali lagi," papar Otniel. Anugrah meminta penyelidikan ulang, berarti dia mencurigai ada sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat pembunuhan Adi, yang tertinggal di ruang interogasi. Aku harus tahu dasar kecurigaan Anugrah. "Berikan ponselmu ke Anugrah, aku i

  • Hippocampus   Bab 16 - Batas

    Seorang kriminal pasti akan kembali ke Tempat Kejadian Perkara - H. G. Wells - "Aku dan Gabe akan menginterogasi Florence Geraldine," kataku kepada Otniel dan Ibnu lewat radio. "Kalian berusahalah untuk mencari petunjuk dari rekaman kamera pengawas, atau kesaksian petugas polisi lain tentang orang yang masuk atau keluar dari ruangan interogasi." Aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul delapan malam. "Kita akan berkumpul di ruang autopsi sekitar jam sembilan malam ini, aku sudah meminta Forensik untuk membiarkan Anugrah melakukan autopsi kepada mayat Adi." Radioku kumatikan sebelum mereka berdua menjawab perintahku. "Kau berniat menginterogasinya atau membaca ingatannya?" sindir Gabe. "Menurutmu, pilihan mana yang membuat kita selesai hanya dalam satu jam?" balasku. "Kita akan memakai metode interogasi biasa, dan jika kita kehabisan waktu, maka aku akan menggunakan kemampuanku," "Kalau begitu, aku yang melakukan interogasi lebih dahulu?" usul Gabe. Aku menyetujui usulnya,

  • Hippocampus   Bab 15 - Kuasa

    Tanpa memfungsikan Hippocampus, maka setiap nama, tanggal, dan informasi lainnya tidak akan tertampung di otak kita - Sam Kean - Pak Komisaris pasti menghadiahi hukuman untuk timku, karena Adi memang berada di bawah pengawasan timku. Namun, itu buka masalah utamanya, karena pembunuhan di dalam kantor polisi adalah sebuah pembunuhan yang sangat gila. "Periksa semua kamera pengawas yang ada di kantor ini, terutama setiap orang yang masuk ke ruangan ini!" perintahku kepada Otniel dan Ibnu, yang langsung direspon dengan sigap oleh keduanya. Selepas dua orang itu pergi, aku berbisik kepada Gabe, "Selalu ada di sebelahku untuk berjaga-jaga jika aku tertidur." "Jangan bilang kalau kau akan memeriksa ingatan semua orang," tebak Gabe. "Kau punya saran lain?" pungkasku. "Kalau tidak ada, lebih baik kau fokus untuk melihatku dari belakang." Gabe masih ingin mendebatku, namun dia juga tidak memiliki saran yang lebih bagus dari ideku. Karena itu, dia hanya berjalan di belakangku sesuai perint

  • Hippocampus   Bab 14 - Pilihan

    Kita berhenti memeriksa monster yang ada di bawah tempat tidur kita, saat kita sadar bahwa mereka ada di dalam kita - Charles Darwin - Ibnu dan Otniel memandang ke arahku dengan tatapan curiga, sedangkan Gabe menatapku dengan pandangan mencemooh yang menusuk hatiku. Mulutku baru saja membuka sebuah rahasia yang seharusnya tetap menjadi rahasia. Namun, karena ada hal yang lebih mendesak, maka mereka mengesampingkan kecurigaan yang mereka miliki padaku. "Katakan identitasmu!" ujar Gabe dengan lembut, yang lebih terdengar seperti sebuah permintaan tulus, alih-alih perintah yang mendesak. Wanita itu menatap Gabe dengan pandangan mengerikan, namun Gabe hanya memandang wanita itu dengan santai. Ketenangan Gabe adalah salah satu modal utama bagi tim kami, untuk dapat mengorek informasi dari banyak informan disaat interogasi, sebelum aku mendapat kemampuan anehku. Wanita itu mulai menata napasnya yang tersengal, lalu saat dia sudah tenang, akhirnya dia menjawab, "Florence Geraldine, kalia

  • Hippocampus   Bab 13 - Persembunyian

    Misteri dari eksistensi manusia bukan hanya tentang bertahan hidup, namun juga tentang apa arti dari hidup - Fyodor Dostoevsky - "Kau yakin ini jalannya?" tanya Gabe dengan ragu. Aku tidak menjawab pertanyaannya, karena aku sedang mencoba untuk memusatkan ingatanku saat mengikuti Adi berjalan ke rumah besar itu. Jalan yang sekarang sedang kulalui bersama Gabe memiliki pola identik yang sama dengan yang Adi lalui tiga bulan lalu. Beberapa hal memang sudah berubah, namun aku sangat yakin kalau lokasi rumah kedua yang dikirimkan Otniel padaku adalah rumah yang kami cari. Rumah kedua yang kami datangi hanya berjarak sekitar tiga ratus meter dari rumah pertama, namun ada suasana berbeda yang menguar dari masing-masing rumah itu. Perbedaan paling jelas adalah rumah pertama memiliki suasana kehidupan, sedangkan rumah kedua yang sekarang ada dihadapanku memiliki suasana yang hampir sama dengan pemakaman. "Dua kantor yang berdekatan, namun memiliki suasana yang berbeda jauh bak bumi dan la

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status