Beranda / Thriller / Hippocampus / Bab 6 - Pelarian

Share

Bab 6 - Pelarian

Penulis: Gerald Rivaldo
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-06 09:38:01

Narkoba adalah musuh dari ambisi dan harapan– dan saat kita berjuang melawan narkoba, maka kita sedang berjuang untuk masa depan - Bob Riley -

Antusiasme Gabe membuat dia salah mengambil jalan, sehingga mobil kami salah masuk tol. Aku takut kalau Adi sudah kembali pulang kerumahnya, karena jam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih dua puluh menit tengah malam.

Saat ini, aku hanya memiliki satu pilihan bantuan.

Aku terpaksa menelepon Ibnu dan Otniel untuk menyuruh mereka mencari Adi di salah satu warung dekat rumahnya. Untungnya, dua anak itu mau kembali berangkat kerja, meskipun sudah kuusir setelah sukses dengan ingatan Adi.

Dua anggota timku itu adalah yang paling bisa diandalkan untuk mencari orang, jadi aku sudah lega saat mereka menyetujui permintaanku.

"Kalau benar air liur Adi mengandung narkoba, maka Pak Sugeng adalah pemasoknya untuk waktu yang lama," ujar Gabe memecah keheningan di tengah jalan tol yang sepi.

"Dan hal itu akan membuat tersangka pembunuhan Pak Sugeng semakin melebar," sahutku. "Bukan hanya keluarga dan orang terdekat Pak Sugeng, tetapi akan ditambah organisasi yang memasok narkoba ke Pak Sugeng."

Gabe manggut-manggut dengan wajah serius. "Kalau itu terbukti, maka Kepolisian kita akan bekerja keras untuk membasmi setiap orang yang ada di organisasi itu."

rrrrrr!!

Suara getaran ponselku membuat percakapan kami berhenti. Aku membaca layar ponselku dan tertera nama Anugrah Nugraha, lalu aku menekan tombol loudspeaker agar Gabe juga bisa mendengar percakapanku dengan Anugrah.

"Halo, Nug, Ada apa?" ujarku.

"Pak Ian, ada sesuatu yang harus saya informasikan ke Bapak," katanya. "Di mayat Sugeng Srianto terdapat jejak narkoba yang sangat tipis dalam darahnya. Kemungkinan besar, dia memakainya sekitar dua bulan lalu."

Informasi tersebut membuatku dan Gabe langsung saling beradu pandang. Artinya, temuan pihak Forensik sudah menegaskan kalau Pak Sugeng memakai narkoba, dan kemungkinan besar juga menjual benda terlarang itu.

Aku melihat papan petunjuk arah yang ada di depan kami, lalu langsung menepuk pundak Gabe, sambil berseru, "Kita keluar tol sekarang! Ubah arah ke Departemen Forensik!"

Untungnya, Gabe memiliki respon yang baik. Sekitar 100 meter setelah perintahku, dia langsung menuju ke gerbang keluar tol, dan memutar arah ke Departemen Forensik.

Sembari dia memutar arah, aku memerintahkan Ibnu dan Otniel untuk langsung membawa cangkir bekas Adi ke Forensik. Jika semuanya sesuai, maka kasus ini adalah awal dari rusaknya selubung sindikat narkoba yang diam-diam bergerak di Surabaya.

Gabe memacu mobil kami dalam diam, bahkan matanya yang tadi sudah cukup mengantuk, kembali berubah segar.

"Satu lagi Pak Ian!" seru Anugrah, yang menyadarkanku kalau kami masih dalam percakapan telepon. "Narkoba di dalam darah Pak Sugeng adalah jenis Heroin yang sangat kuat, jadi harga benda ini cukup mahal."

"Heroin jenis baru?" aku mengulangi perkataannya. "Apa dia mencampur Heroin dengan hal lain?"

"Betul Pak," jawab Anugrah. "Heroin dicampur dengan morfin yang merupakan zat asalnya, sehingga efek samping untuk penggunanya adalah menjadi sangat kecanduan, hingga sangat liar jika tidak memakainya."

"Berarti Pak Sugeng berhasil menahan efek obat itu," kataku menyimpulkan. "Karena narkoba yang ditemukan di darahnya adalah jejak tipis sejak dua bulan lalu."

Anugrah menarik napas panjang. "Itulah yang membuat tim Forensik bingung, karena Pak Sugeng berhasil menahan adiksinya selama dua bulan."

Setiap fakta yang kami temukan tentang Pak Sugeng selalu menimbulkan keanehan. Fakta terakhir ini adalah yang paling aneh. Karena kemungkinan besar, Pak Sugeng berhasil menahan konsumsi narkoba selama dua bulan. Atau ada fakta lain yang berada di balik alasannya tidak memuaskan adiksinya selama dua bulan?

"Dia mungkin hanya mencicipi barang itu," ujar Gabe dengan suara cukup pelan dari sebelahku.

Perkataan Gabe cukup masuk akal. Mungkin Pak Sugeng mencicipinya sebelum menjual barng itu Adi.

"Oke, Nug," ujarku. "Terimakasih atas informasinya, dan sekitar sepuluh menit lagi, kami akan sampai di kantormu."

"Baik, sama-sama Pak Ian," jawabnya sebelum menutup panggilan kami.

Setelah telepon dari Anugrah, Gabe kembali memacu mobil dengan cepat, karena kami berjalan lambat untuk mendengarkan kabar dari Anugrah.

****

Kami tiba di Departemen Forensik dalam waktu kurang dari sepuluh menit, dan kami langsung berlari ke tempat autopsi yang sudah kami datangi beberapa jam yang lalu.

"Selamat malam hampir ke subuh, Bapak-bapak Polisi," sapa Anugrah tanpa memandang kami sama sekali. Kepala Forensik itu sedang fokus membaca data di lembaran kertas yang ada di tangannya.

"Kalian datang tepat waktu," katanya. Anugrah melepaskan kacamatanya dan menaruh lembaran kertas itu di atas meja yang di sebelahnya. "Tim Lapangan sudah memberiku laporan Forensik di sekitar tangga rahasia milik Pak Sugeng, dan hasilnya cukup menarik."

Aku hampir lupa, kalau aku juga memanggil Forensik untuk menyelidiki area di sekitar tangga rahasia. Kira-kira, apa hasil menarik yang baru saja disebutkan oleh Anugrah.

"Ada jejak selain Pak Sugeng yyang ada di tangga itu," ujar Anugrah. "Dan jejak itu sudah berumur dua hari."

"Jejak itu menaiki tangga, atau ke arah sebaliknya?" tanya Gabe.

"Menaiki tangga," jawab Anugrah singkat. "Mengapa? ada bedanya antara naik dan turun tangga itu?"

Aku mengangguk. "Pintu untuk akses ke tangga itu hanya bisa dibuka dari dalam rumah, karena pintu rahasia tidak memiliki kenop di bagian luar."

"Berarti...,"Anugrah mencoba menebak. "Pembunuhnya adalah orang yang bisa membuat Pak Sugeng membukakan pintunya?"

Hanya ada satu nama di otakku, dan nama itu adalah Adi. Tetapi, tidak terdapat momen dia menaiki tangga rahasia itu dua hari lalu, saat aku membaca ingatannya. Lagi pula, momen yang terlihat di otakku saat dia menemui Pak Sugeng adalah sembilan hari lalu, bukan dua hari lalu.

Apakah aku gagal melihat ingatan itu, atau jejak itu memang bukan milik Adi?

"Ah!" pekik Anugrah. "Dua orang anak kecil dari tim kalian mengantarkan sebuah cangkir dan meminta Forensik untuk memeriksa air liur yang ada di cangkir itu."

"Lalu bagaimana hasilnya?" tanyaku antusias, karena hasil tes air liur Adi akan menentukan arah kasus ini.

"Hasilnya, si pemilik air liur adalah pecandu narkoba," tukas Anugrah santai.

Aku dan Gabe langsung melakukan tos pelan setelah Anugrah mengonfirmasi adanya jejak narkoba di air liur Adi. Jadi, kertas yang diberikan Adi kepada Pak Sugeng sangat besar kemungkinannya adalah sebuah cek, atau apa pun yang dipakai Adi untuk membayar.

"Lalu dimana dua orang itu?" tanya Gabe.

"Dua orang...." Anugrah menimbang sejenak, lalu berkata, "Dua teman polisi kalian sedang tidur di kantin lantai dua. Kalian terlalu keras pada mereka."

Aku sedikit merasa kasihan kepada dua orang itu, karena setiap perintah dan permintaanku selalu mereka kerjakan dengan tepat dan cepat. Tetapi, kasus ini butuh diselesaikan secepatnya. Untuk itu, pertama kali yang harus kami lakukan adalah menangkap Adi untuk penyalahgunaan narkoba.

"Dream, kau minta surat perintah penangkapan ke kantor," usul Gabe. "Aku dan dua bocah itu akan berjaga di sekitar rumah Adi, untuk menghindari kemungkinan kalau dia akan kabur."

Aku mengangguk. "Pinjam mobilmu, dan kita akan bertemu di depan rumah Adi."

Gabe melemparkan kunci mobilnya padaku, lalu dia bergegas pergi ke kantin untuk menemui Ibnu dan Otniel.

"Sebastian Dream!" Anugrah memanggilku sebelum aku keluar dari ruangannya. "Bisa bicara sebentar?"

Anugrah tidak biasanya melihatku dengan tatapan curiga seperti sekarang ini, sebuah tatapan yang sarat akan rasa penasaran dan sangsi.

"Oke, cepat," ujarku mencoba terdengar santai. "Waktumu tiga menit, karena penangkapan Adi harus dilakukan sekarang, dan untuk melakukannya butuh surat perintah."

Anugrah mengibaskan tangannya. "Aku tahu soal itu, tapi aku butuh penjelasan tentang bagaimana kau bisa langsung menyimpulkan orang bernama Adi ini terlibat dengan narkoba?"

"Maksudnya?" aku mendengus kesal. "Aku menyimpulkan dengan membawa sampel air liurnya ke depanmu, dan kau yang memeriksa itu."

Kepala Forensik itu menggelengkan kepalanya. "Bukan soal sampel air liur itu, tapi soal bagaimana kau bisa mencurigai Adi tanpa barang bukti? Kau mengawasinya selama beberapa hari ini?"

Ternyata tukang sindir ini juga memiliki nalar yang baik. Dia bisa sadar akan adanya sebuah kejanggalan di kasus ini yang berkaitan dengan kemampuan anehku. Tetapi, aku harus mencari alasan lain untuk dapat membuatnya percaya kepadaku, dan tidak mencurigai soal kemampuanku.

"Aku menyimpulkan dia memakai narkoba karena gelagatnya, dan keadaan rumahnya," tukasku.

"Hanya dengan itu, dan kau langsung menyuruh anak buahmu untuk membawakan sampel air liur padaku?" balasnya.

"Dokter Forensik tidak akan tahu apa pun soal insting dan firasat," kilahku. "Ini soal pengalaman bertahun-tahun di lapangan."

Dengan balasan yang agak canggung itu, aku meninggalkan ruangannya setelah memberi salam padanya.

Ini pertama kalinya, aku menggunakan kemampuanku kepada orang lain selain Gabe, dan Anugrah sudah langsung curiga. Ada hal lain yang harus kepelajari, yaitu menggunakan kemampuan ini di waktu yang tepat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hippocampus   Bab 21 - Pengakuan

    Kebohongan bisa berlari cepat, sedangkan kebenaran hanya bisa berlari marathon - Michael Jackson Anugrah adalah orang pertama yang menyambut kedatanganku dan Gabe di kantor polisi. "Kalian menemukan alat pembunuhan?" tanyanya tanpa berbasa-basi. Gabe mengeluarkan novel yang kami temukan di rumah Adi dari tasnya. Novel yang dapat menjadi bukti tak terbantah itu dibungkus plastik dengan rapi, agar tidak menghilangkan jejak sidik jari, maupun sianida. Sahabatku itu memberikan novel itu kepada Anugrah. "Bagian samping yang dipakai untuk membalik ke halaman selanjutnya." Dia menunjuk bagian yang dia maksud, dengan nada tegas dan cepat. "Sianida kemungkinan besar dioleskan ke bagian itu." Kepala Departemen Forensik mengambil barang bukti tersebut dari tangan Gabe. "Kalian memiliki tersangka?" Aku mengangguk muram. "Kau hanya perlu memastikan kalau ada sidik jari tersangka, di novel itu, karena sang tersangka sudah ada di kantor ini sejak tadi pagi." "Sejak tadi pagi?" tanya Anugrah k

  • Hippocampus   Bab 20 - Bukti

    Kejahatan adalah nafsu yang terdidik. Kepandaian, seringkali adalah kelicikan yang menyamar. Adapun kebodohan, acapkali, adalah kebaikan yang yang bernasib buruk. Kelalaian adalah itikad baik yang terlalu polos. Dan kelemahan adalah kemuliaan hati yang terlalu berlebihan - Emha Ainun Nadjib - Aku dan Gabe langsung menuju rumah Adi, setelah aku menelepon Ibnu agar segera menyusul ke sana. Kami bertiga akan menggeledah rumah Adi untuk membuktikan dugaan Gabe tentang novel Agatha Christie yang menjadi alat pembunuhan. "Mengapa harus novel?" tanyaku. Gabe mengangkat bahunya. "Mungkin karena Flo dan Adi adalah anggota komunitas pecinta misteri?" Dugaan yang terdengar konyol, namun bisa jadi juga adalah sebuah fakta. Namun, hubungan Flo dan Adi tidak tampak seperti hubungan yang baik, karena Flo selalu menyebut Adi dengan sebutan 'sampah'. Jika benar novel milik Flo ada di rumah Adi, maka seluruh kesaksian wanita itu memang adalah kebohongan. "Aku menemukan semua data tentang Flo," ujar

  • Hippocampus   Bab 19 - Alat

    Banyak orang seringkali menggunakan psikologi terbalik untuk menutupi reaksi sesungguhnya. Jadi, di saat mereka mengatakan sesuatu, artinya adalah sebaliknya - Peter Moore - Aku tidak sedang berhalusinasi, karena temuan Anugrah soal potongan kuku Adi yang mengandung sianida membuatku sangat percaya kalau pembunuhnya akan segera terkuak. Kami hanya harus membuat benang merah yang sedikit kusut ini kembali terurai. "Apa yang kau lihat di ingatan Raden?" tanya Gabe. "Hanya sebuah adegan yang menegaskan alibinya saat pembunuhan Adi terjadi," jawabku. "Dia memang berada di pusat kebugaran itu saat Adi dibunuh di meja interogasi." Gabe merenung sejenak. Sahabatku itu sudah melepaskan kacamatanya saat dia sedang menyetir, karena dia berpikir bahwa menyetir bukanlah sebuah tindakan serius. Kacamatanya hanya terpasang di wajahnya kala dia sudah menentukan target. Kebiasaan itu sudah lama mengakar dalam dirinya, bahkan sejak kami masih ada di sekolah kepolisian. Gabe tidak memiliki kelainan

  • Hippocampus   Bab 18 - Alibi

    Dunia adalah tragedi bagi yang memakai perasaannya, namun dunia adalah komedi bagi yang memakai otaknya - Horace Walpole Kedua mataku langsung membelalak, karena respon otomatis atas jawaban pria ini. Di sebelahku, Gabe bahkan langsung terbatuk hingga menyemburkan air putih yang sedang dia minum. "Anda tidak apa-apa Pak?" tanya Raden dengan raut wajah khawatir. Dia menyobek tiga kertas tisu dari kotak tisu di depannya, dan memberikan benda itu kepada Gabe. "Tidak apa-apa," jawab Gabe, sambil meraih tisu dari tangan Raden, dan segera menyeka tumpahan air yang baru saja dia semburkan. Setelah memastikan semua percikan air sudah berhasil dia bersihkan, Gabe mendongak ke pria yang baru saja memberinya tisu. "Nama Anda sungguh Raden Mas Adinata?" Raden mengangguk dengan tenang untuk menjawab pertanyaan konfirmasi dari Gabe. "Ada apa Pak, Anda mencari saya?" Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak merasa emosional di hadapan orang yang sangat aku yakini sebagai tersangka. Sesuatu

  • Hippocampus   Bab 17 - Prasangka

    Iblis itu selayaknya anjing yang setia, dia akan datang saat kau memanggilnya - Remy de Gourmont - "Apa hasil autopsi mayat Adi?" tanyaku pada Otniel lewat panggilan telepon. "Adi meninggal setelah mengonsumsi racun sianida," jawab Otniel. "Namun, di bagian tubuhnya tidak ditemukan jejak sianida sama sekali." Sianida? Mengapa si pelaku tiba-tiba mengganti metode pembunuhannya? Apakah pelaku pembunuhan Pak Sugeng dan Adi adalah orang yang berbeda? "Bagaimana dengan jari kelingking Adi? Masih utuh?" tanya Gabe yang sedang menyetir. "Benar sekali Pak," sahut Otniel. "Sepertinya, pembunuh Adi adalah orang yang berbeda dengan kasus sebelumnya." "Selain itu, Pak Anugrah juga meminta ijin untuk menyelidiki TKP pembunuhan Adi sekali lagi," papar Otniel. Anugrah meminta penyelidikan ulang, berarti dia mencurigai ada sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat pembunuhan Adi, yang tertinggal di ruang interogasi. Aku harus tahu dasar kecurigaan Anugrah. "Berikan ponselmu ke Anugrah, aku i

  • Hippocampus   Bab 16 - Batas

    Seorang kriminal pasti akan kembali ke Tempat Kejadian Perkara - H. G. Wells - "Aku dan Gabe akan menginterogasi Florence Geraldine," kataku kepada Otniel dan Ibnu lewat radio. "Kalian berusahalah untuk mencari petunjuk dari rekaman kamera pengawas, atau kesaksian petugas polisi lain tentang orang yang masuk atau keluar dari ruangan interogasi." Aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul delapan malam. "Kita akan berkumpul di ruang autopsi sekitar jam sembilan malam ini, aku sudah meminta Forensik untuk membiarkan Anugrah melakukan autopsi kepada mayat Adi." Radioku kumatikan sebelum mereka berdua menjawab perintahku. "Kau berniat menginterogasinya atau membaca ingatannya?" sindir Gabe. "Menurutmu, pilihan mana yang membuat kita selesai hanya dalam satu jam?" balasku. "Kita akan memakai metode interogasi biasa, dan jika kita kehabisan waktu, maka aku akan menggunakan kemampuanku," "Kalau begitu, aku yang melakukan interogasi lebih dahulu?" usul Gabe. Aku menyetujui usulnya,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status