Selang dua bulan kemudian, gadis itu malah muncul di Inti Global dengan sebuah map cokelat dalam genggamannya. Edric yang masih sangat mengingat wajah itu tidak bisa berbohong bahwa dia terkejut. Gadis itu duduk di salah satu kursi calon karyawan magang yang akan ditempatkan di berbagai divisi.
“Kau mengenalnya?” Edric sengaja keluar dari ruangan dan bebicara dengan Hendry yang selalu stand by di luar. Menunjuk ke dalam ruangan lewat celah transparan berbentuk kotak yang ada di daun pintu.“Iya, Pak. Dia gadis yang waktu itu.”“Bagaimana dia bisa ada di sini?” tanya Edric penasaran. Gadis itu tidak membuntuti mereka ‘kan? Dia tidak berencana ingin balas dendam ‘kan?“Sepertinya dia mengajukan lamaran untuk magang di perusahaan kita dan kebetulan lolos sampai ke tahap ini. Apakah anda ingin saya mengurusnya?” tanya Hendry antusias, seperti mengerti kekhawatiran Edric.Namun Edric masih memperhatikan ke dalam ruangan. Mengamati gadis yang menurutnya sangat jauh berbeda dengan gadis polos yang dia lihat dua bulan yang lalu. Hari ini dia begitu cantik dan bersinar. Setelan blouse berbahan sifon yang dipadukan dengan celana bahan model pensil, membungkus tubuh mungilnya dengan begitu sempurna.“Kenapa dia sekarang terlihat sangat cantik?” Edric tanpa sadar bergumam. Alhasil Hendry langsung menoleh dan mengerutkan dahinya. Tunggu-tunggu-tunggu. Apakah bosnya baru saja memuji fisik wanita itu? Jangan bilang dia akan menjadi target Edric yang selanjutnya? Hendry langsung bisa menebak dengan cepat.“Maaf, Pak?” Hendry ingin berpura-pura bodoh.“Tidak tidak tidak. Hm. Kau tidak perlu melakukan apa pun selain memastikan kalian tidak akan pernah bertemu. Jangan sampai dia melihatmu.” Edric berucap dengan jelas dan tegas.Benar ‘kan?! Hendry langsung menepuk jidat. Edric sudah pasti menargetkan gadis itu sebagai mangsa barunya. Ya sudah kalau bos maunya seperti itu. Hendry hanya mengangguk dan perlahan mundur dari posisinya semula. Dia memilih untuk menunggu di ruangannya sendiri. Pria yang lebih tua tujuh tahun dari Edric itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Tabiat bosnya sama sekali belum berubah.
Sementara itu, Ed kembali ke kursinya dan mengawasi proses berjalannya interview. Dia tidak berhenti menatap gadis cantik yang duduk sekitar tiga meter di hadapannya. Pria itu masih belum percaya bahwa gadis itu adalah orang yang sama dengan gadis yang mereka tabrak dua bulan yang lalu.
Ah … Edric tiba-tiba teringat akan info yang pernah diceritakan Hendry. Apakah benar waktu itu ibunya sedang sakit keras sehingga dia meninggalkan rumah sakit dengan terburu-buru? Rasa penasaran Edric membuat jari-jarinya menyentuh map putih yang sudah ia sesuaikan dengan nomor urut gadis itu. Di atasnya terdapat tulisan ‘Zura Taniskha Wijaya’. Hm … nama yang unik.
Dalam diam, Edric membaca CV yang berisikan biodata singkat gadis itu. Zura Taniskha Wijaya. Kelahiran Bandung, usia 20 tahun. Pendidikan terakhir, SMA. Berhenti kuliah di semester empat karena suatu hal. Anak tunggal dan … yatim piatu??What?? Kepala Edric otomatis terangkat melihat lurus ke depan. Yatim piatu?? Apakah waktu itu … ibunya … benar-benar tidak sempat tertolong?? Shit!
Edric menjadi tidak tenang. Pikirannya mulai terbagi antara percaya dan tidak percaya. Matanya menatap Zura dengan intens. Saat gadis itu bergerak karena sudah mendapat giliran untuk diwawancara, barulah Edric memutuskan kontak. Memilih untuk melihat titik lain di tubuh gadis itu yang tidak kalah menarik, yaitu flat shoes yang berwarna senada dengan blouse-nya. Penampilannya begitu simpel, namun begitu menarik perhatian seorang Edric Goldwin Louis.
Saat wawancara dimulai, Edric tenggelam dalam kemerduan suara Zura sewaktu menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan kepadanya. Ciri khas anak muda, Zura terlihat begitu bersemangat dan enerjik setiap berbicara. Keceriannya sampai membuat seluruh tim penguji sangat betah berlama-lama dengan dirinya.
“Baiklah, pertanyaan selanjutnya. Mengapa kamu memilih untuk bekerja dan menangguhkan perkuliahan kamu?” tanya salah seorang pewawancara dengan antusias. Membuat Zura seketika terdiam. Sepertinya pertanyaan tersebut langsung merubah suasana hatinya yang sudah enjoy sejak tadi.
“Kebutuhan financial, Pak.”“Kamu hidup sendiri di Jakarta? Atau ....?”Zura tanpa sadar menggaruk lehernya. Pertanyaan ini terlalu personal untuk ditanyakan di depan umum seperti ini. Dia khawatir para peserta lainnya mengira dia dispesialkan. Waktu interview untuknya saja sudah hampir dua kali lipat dari peserta yang sebelum-sebelumnya.“M ... harus dijawab ya, Pak?” Zura menyeletuk begitu saja. Tidak ada pilihan lain. Dia tidak ingin mengumbar kehidupan pribadinya tanpa alasan yang jelas. Memangnya kenapa kalau dia putus kuliah dan melamar kerja? Memangnya kenapa kalau dia hidup sendirian? Aneh.“Kalau ditanya, kamu harusnya menjawab. Itu termasuk ke dalam penilaian interview.”Kepala Zura refleks menoleh ke arah sumber suara yang barusan dia dengar. Mendapati seorang pria tampan, tipe wajah indo, berkulit putih dan bertubuh tinggi sedang menatapnya dengan intens. Ya, dia lah yang barusan menegur Zura. Pria yang sudah menarik perhatian sebagian besar peserta interview sejak tadi. Termasuk Zura sendiri.Siapa dia? Batin Zura yang sama sekali tidak mengenal Edric.“Kamu dengar tidak? Kenapa malah bengong?”Zura terhenyak. Berkedip sekali untuk memutus lamunan singkat yang sempat tercipta di dalam pikirannya.“E ... iya.” Zura langsung menjawab pertanyaan yang tadi. “Saya hidup sendiri setelah kepergian ibu saya,” lanjutnya tegas.“Tidak ada saudara lain?” Another question, of course. Zura sampai tidak tau kapan ini akan berakhir. Apalagi yang bertanya sudah bukan pihak yang berwenang lagi. Sudah si pria tampan itu. Apa sih jabatannya di perusahaan ini?“Tidak ada, Pak.”“Kenapa baru terpikir untuk mencari pekerjaan sekarang? Kenapa tidak dari dulu? Atau kenapa tidak nanti setelah lulus kuliah?” Edric sangat haus akan informasi tentang gadis ini. Dia tidak ingin terbeban dengan prasangkanya sendiri.“Maaf, Pak. Ini sudah menyangkut ranah pribadi saya.” Namun Zura malah terlihat keberatan menjawab pertanyaan yang memang terlalu menjurus. Perasaan itu tidak ada kaitannya dengan job desc-nya.“Inti Global cukup ketat dalam penerimaan calon karyawan. Sekalipun itu karyawan magang. Sebenarnya pertanyaan seperti ini cukup lumrah dan tidak ada yang terlalu pribadi, karena itu hanya menyangkut motif kamu dalam melamar sebuah pekerjaan. Pasalnya hanya kamu peserta yang tidak menyertakan surat pengantar dari kampus. Hal ini tentu membuat kami harus mengetahui, apakah kamu punya masalah yang cukup serius di kampus sehingga harus out? Atau kamu punya utang yang harus segera dilunasi, sehingga harus memiliki pemasukan yang tetap sekarang? Setidaknya jawaban kamu bisa membantu kami untuk memutuskan, apakah kami harus menerima kamu atau tidak.” Edric semakin mendramatisir.Raut wajah Zura langsung berubah setelah dibombardir dengan teori yang menurutnya memang cukup masuk akal. Tapi ….
“Saya tidak punya masalah dengan kampus, saya berhenti sesuai dengan prosedur yang ada. Saya ingin bekerja karena saya punya rencana akan melanjutkan kuliah suatu hari nanti, jika tabungan saya sudah cukup. Itu saja, Pak.” Tapi gadis keras kepala itu sepertinya tetap tau batasan untuk tidak membeberkan persoalan pribadinya di depan orang-orang. Jika jawabannya barusan membuat peluangnya untuk diterima menjadi melayang, Zura sudah pasrah. Sampai kapan pun dia tidak akan pernah mengizinkan orang lain tau jika ibunya meninggal karena kebodohanya.
Edric mengusap dagu perlahan. Dia tidak menemukan jawaban yang dia inginkan. Satu-satunya cara adalah meloloskan wanita itu supaya dia mempunyai kesempatan lain untuk melakukan interogasi lebih lanjut.*****
Rencana Edric meloloskan Zura demi mengetahui kabar ibu dari gadis itu akhirnya membuahkan hasil. Zura sengaja ditugaskan menjadi helper sekretaris Edric yang sedang berbadan dua, yang mobilitasnya sudah sangat terbatas. Alhasil intensitas pertemuan mereka cukup tinggi. Ingat ‘kan Edric sudah menyingkirkan Hendry untuk sementara? Sang asisten hanya bisa ke kantor jika Edric yang meminta. Hanya dalam waktu dua minggu, Edric sudah berhasil mengorek informasi tentang ibu Zura dari gadis itu sendiri.Ketakutan Edric ternyata benar. Hari itu, Zura memang sedang sangat buru-buru karena harus segera membayar deposit rumah sakit. Kalau tidak, ibunya yang sedang mengalami pendarahan di otak, tidak akan ditangani sama sekali. Saat itu Zura baru saja selesai menguras semua uang tabungan miliknya dan uang pensiun sang ibu yang ada di rekening.Namun, kecelakaan itu membuat Zura kehilangan banyak waktu. Saat gadis itu masih belum siuman, ibunya sudah terlanjur dipindahk
“Pak, maaf, mengganggu waktunya sebentar ....”Meeting online Edric mendadak diinterupsi oleh sang asisten pribadi, Hendry. Pria itu terpaksa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Kenapa Hendry berani masuk ke dalam ruangannya di saat dia sedang meeting dengan orang penting? Ada hal urgent apa?“Excuse me, Sir. Give me three minutes.” Edric kemudian memberi kode kepada lawan bicaranya di depan layar sambil menonaktifkan fitur microphone-nya sebentar.“Ada apa, Hen? Kamu tau saya sedang meeting.”“Pak, saya baru mendapat kabar kalau nomor ID kemahasiswaan nona Zura sudah tidak aktif.”“What?” Edric berdiri dari kursinya. Refleks. “Maksudnya bagaimana?”“Sepertinya nona Zura sudah berhenti kuliah, Pak.” Hendry menjawab dengan mantap. Namun jantungnya kini berdetak cepat karena sudah memprediksi reaksi sang bos setelah ini. Benar saja. Raut wajah Edr
Pencarian akan Zura ternyata menjadi sebuah misi yang membuat produktifitas Edric di perusahaan menjadi sedikit terganggu. Dia dan Hendry sibuk mendatangi rumah orang-orang yang dianggap mengenal dan dikenal Zura di masa lalu. Mereka ke rumah orang tua Zura yang dulu dan juga ke apartemen yang diberikan Edric untuknya. Keluar masuk sana sini namun tidak ada yang bisa memberikan petunjuk yang berarti.Edric malahan semakin dibuat bingung dengan adanya saksi yang mengatakan bahwa sebelum Zura meninggalkan apartemen, gadis itu sering membawa laki-laki masuk ke dalam apatemennya. Tak pelak perasaan Edric bagai dihantam batu seberat 1 ton. Apakah Zura berselingkuh?Dan saat pertanyaan konyol itu muncul dalam benaknya, Edric seketika tersenyum miring. Selingkuh? Bukankah Edric sendiri yang menyudahi hubungan mereka?*****Bulan berganti tahun. Edric tetap menjalani kehidupannya yang sedikit banyak sangat terpengaruh atas keperg
Dubai … dua hari kemudian. Edric dan Calvin sudah tiba di apartemen yang menjadi peninggalan buyut mereka, Louis. Dulu, apartemen yang berada di kawasan Marina Dubai itu dihadiahkan Louis kepada sang cucu sebagai hadiah pernikahan, yaitu Dominic. Sempat ingin menolak, namun akhirnya Dominic menerima pemberian mahal ini. Siapa sangka, sepertinya sang kakek memang sudah mempersiapkan semuanya, karena beberapa bulan kemudian, Dominic dan Brandon berhasil menandatangani sebuah kerja sama bisnis dengan salah seorang pengusaha berdarah Indonesia di Dubai. Jadi, apartemen ini benar-benar bermanfaat setiap kali mereka ada kunjungan ke sini. “Brother, sudah selesai belum? Jangan sampai tuan Radesh menunggu kita.” Calvin yang baru saja selesai mandi dan beberes terdengar memanggil Edric yang berada di kamar utama. Sesaat kemudian orang yang dipanggil keluar dengan penampilan yang sudah rapi, layaknya akan bertemu dengan rekan bisnis. “Hahhh, seharusnya kita tid
Zura … Taniskha … Wijaya. Mengapa Edric tidak bisa merasakan apa pun saat mendengar nama gadis itu? Hatinya seperti sudah kebas dihantam rasa rindu dan kesepian. Lagian, benarkah ini Zura yang pernah dia kenal? Mereka seperti dua orang yang berbeda. Zura yang Edric kenal adalah gadis berusia dua puluh tahun, anak kuliah yang lugu dan polos. Sementara, Zura yang ini dari penampilannya saja sudah berbeda. Dia begitu elegan dengan balutan blazernya. Hanya melihat sekilas saja Edric tahu betul, setelan kantor itu berasal dari brand ternama dan mahal. Belum lagi riasan wajah serta tatanan rambut yang membuat wanita itu terlihat jauh lebih dewasa dari usianya yang seharusnya. Bukankah seharusnya dia baru dua puluh lima tahun? What’s going on here? Apa yang telah terjadi? Apa yang sudah dia lewatkan? Edric masih terpaku di tempatnya sambil tidak berhenti menatap wanita itu. “Brother!” Calvin menyikut lengannya. Alhasil itu membuat Radesh tertawa kecil. Edric sendiri
“Brother!” Seruan Calvin serta sikutan sang sepupu di lengannya membuat kesadaran Edric kembali. Pria berkulit putih itu tersentak kecil dan langsung salah tingkah menyadari sekarang Zura dan Radesh sedang melihat ke arahnya.“Kau ingin menambahkan sesuatu?” ujar Calvin lagi, kini dengan anda yang sudah merendah. Sebenarnya, tanpa bertanya pun, Calvin tau Edric akan mengatakan tidak. Dia sangat tau jika sang sepupu tidak fokus dengan rapat mereka sejak tadi. Seandainya bisa, Calvin ingin sekali mengguyur kepala Edric dengan air es yang ada di dalam gelasnya demi mengembalikan kesadaran laki-laki itu.“Ah, tidak. Tidak ada.” Edric menjawab sambil tersenyum tipis. Kan? Dugaan Calvin benar.“Jadi Pak Edric sepakat ya dengan usulan Ibu Zura tadi?” Berbeda dengan Radesh yang sepertinya masih ingin memastikan Edric benar-benar memahami isi meeting mereka. Siapa juga yang tidak sadar jika sedari tadi pria itu seperti terp
Calvin menghela napas lega saat melihat Edric akhirnya muncul dari lift VIP yang baru saja terbuka. Pria itu nyaris kehabisan bahan obrolan dengan Radesh. Namun dia tidak mendapati Zura berjalan bersama Ed. Calvin langsung memahami jika percakapan mereka tidak berjalan dengan baik.“Maaf membuat Pak Radesh menunggu lama.” Edric menghampiri mereka sambil menyampaikan permintaan maafnya.“Tidak apa-apa, Pak Edric. Saya dan Pak Calvin juga sedang asik mengobrol.” Radesh menyahut dengan ramah. “Ah, Ibu Zura-nya ke mana?”“Sedang ke toilet dulu, Pak. Mungkin sebentar lagi akan turun.” Edric hanya mengarang. Hanya kebetulan karena Zura juga tidak ada di sini. Besar kemungkinan gadis itu singgah ke toilet untuk memperbaiki penampilannya.“Ohh,” gumam Radesh. “Ah ya, Pak Edric, tadi saya dan Pak Calvin sudah merencanakan dinner bersama, entah besok malam atau lusa. Semoga Pak Edric tidak keberatan.
Zura sedari tadi hanya berdiam diri di tengah tiga orang pria yang sedang sibuk membahas trading dan saham. Dia sebagai pendengar mulai bosan karena Radesh kelihatannya sangat nyaman dengan Calvin dan Edric. Zura berniat untuk mencari angin sejenak di luar gedung. Seingatnya, di bagian belakang stage vvip ini ada pintu yang mengarah ke balkon gedung. Dia kemudian berbisik kepada Radesh untuk permisi dan pria itu mengangguk sebagai tanda mengizinkan.Melihat Zura yang bangkit berdiri, perhatian Edric langsung terbagi dari Calvin yang sedang berbicara ‘Mau ke mana dia?’ Batin Edric penasaran.“Ibu Zura mau ke mana?” Mulutnya refleks terbuka dan melontarkan pertanyaan konyol itu. Namun, sedetik kemudian, dia langsung menyadarinya dan mengutuk dirinya. Sebegitu tidak inginnya dia Zura pergi. Ke manapun itu.“Dia ingin mencari angin.” Radesh yang menjawab karena Zura tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Gadis itu seperti tida