Zura … Taniskha … Wijaya. Mengapa Edric tidak bisa merasakan apa pun saat mendengar nama gadis itu? Hatinya seperti sudah kebas dihantam rasa rindu dan kesepian. Lagian, benarkah ini Zura yang pernah dia kenal? Mereka seperti dua orang yang berbeda.
Zura yang Edric kenal adalah gadis berusia dua puluh tahun, anak kuliah yang lugu dan polos. Sementara, Zura yang ini dari penampilannya saja sudah berbeda. Dia begitu elegan dengan balutan blazernya. Hanya melihat sekilas saja Edric tahu betul, setelan kantor itu berasal dari brand ternama dan mahal. Belum lagi riasan wajah serta tatanan rambut yang membuat wanita itu terlihat jauh lebih dewasa dari usianya yang seharusnya. Bukankah seharusnya dia baru dua puluh lima tahun?
What’s going on here? Apa yang telah terjadi? Apa yang sudah dia lewatkan? Edric masih terpaku di tempatnya sambil tidak berhenti menatap wanita itu.
“Brother!” Calvin menyikut lengannya. Alhasil itu membuat Radesh tertawa kecil. Edric sendiri terpaksa berdehem untuk menutupi rasa malunya.
“Maaf. Senang bertemu dengan anda, Nona Zura.” Edric mengulurkan tangannya ke hadapan Zura dan sengaja menekankan suaranya saat menyebutkan nama gadis itu. Saat Zura menyambut uluran tangannya dan kedua kulit tangan mereka bersentuhan, seluruh tubuh Edric bagaikan disengat listrik bertegangan tinggi. Sekelebat memori akan manisnya kisah mereka berdua bermunculan secara bergantian di dalam otaknya, layaknya video yang diputar dengan kecepatan tinggi.
“Mohon kerja samanya, Pak Edric.” Zura berucap dengan sopan sambil sedikit mengangguk. Setelah itu dia berusaha melepaskan tautan tangan mereka. Genggaman Edric terasa begitu kuat dan Zura merasa tidak nyaman.
Calvin mendesah pelan menyadari tingkah Edric sejak tadi. Usianya dan Edric hanya berjarak satu tahun saja. Selain sebagai saudara sepupu, mereka juga sudah lama menjadi teman dekat. Tentang Zura ini, Calvin pun sudah tau. Dia saja sangat terkejut melihat gadis itu ada di sana. Apalagi Edric, abang sepupu yang dia ketahui sudah mencari gadis itu sampai frustasi.
“Baiklah. Karena bapak-bapak sudah berkumpul di sini, saya sebagai moderator akan membuka pertemuan ini.” Yonathan akhirnya bersuara setelah merasa sesi perkenalan itu sudah cukup. Edric, Calvin, Radesh dan juga Zura kembali duduk di kursi masing-masing.
Perhatian Edric tidak terlepas dari Zura. Saat Yonathan mempresentasikan hasil kerja sama mereka selama satu semester yang baru saja selesai. Memang pertemuan ini diadakan setiap enam bulan sekali karena Edric dan Calvin juga memiliki kesibukan di perusahaan masing-masing. Terakhir kali, Radesh masih ditemani oleh Direktur Pemasaran yang lama. Yang usianya sangat jauh di atas Zura. Apakah Zura tidak terlalu muda untuk memegang jabatan sekelas direktur utama pemasaran?
“Maaf, Pak. Bisa slide-nya dimundurin lagi? Ada yang ingin saya tanyakan.” Suara Zura terdengar, memecah lamunan Edric yang sama sekali tidak fokus pada Yonathan. Bahkan warna suara gadis itu pun berubah menjadi lebih berat dan dalam. Lebih dewasa.
“Oh, baik, Bu.” Yonathan memundurkan slide sampai Zura memberi instruksi untuk berhenti.
“Nah, yang ini. Melihat grafik penjualan kita selama enam bulan terakhir dan juga berdasarkan data yang saya pelajari selama perusahaan ini berdiri, penjualan kita selalu baik. Belum pernah ada penurunan. Sama sekali. Produk tissue kita juga termasuk di jajaran brand terbaik di Dubai. Saya selaku direktur pemasaran yang baru merasa termotivasi sekaligus tertantang. Karena, selain bertugas untuk mempertahankan ini, saya ditantang untuk membuat gebrakan baru agar kita bisa melangkah lebih baik lagi dari angka ini.”
“Nah, pemikiran yang baik.” Radesh menanggapi sambil mengangguk-angguk.
“Apakah itu berarti Nona Zura sudah memikirkan bagaimana langkah kita ke depannya?” Calvin menimpali. Untungnya meeting ini tidak terlalu formal. Jadi pembahasan bisa saling tumpang tindih. Tidak ada yang melarang.
“Ini juga kalau bapak-bapak setuju. Selama ini kita hanya berkutat di target pasar makro seperti hotel dan restoran. Kita sama sekali belum menjamah target menengah ke bawah karena mindset kita adalah, produk kita mahal karena kualitas nomor satu. Tapi, seperti yang sudah kita ketahui, sekarang Dubai itu sedang disorot dunia karena destinasi wisatanya. Semakin banyak orang yang ingin datang kemari dengan latar belakang yang bervariasi. Tiket Indonesia - Dubai pun sudah mampu dijangkau oleh mereka yang bergaji under sepuluh juta. Belum lagi ada fasilitas bayar dengan credit card. Semuanya menjadi semakin mudah."
....
"Kita sudah tidak bisa lagi hanya memandang ke atas. Kita harus mulai memikirkan apa yang bisa kita ambil dari keberagaman wisatawan ini. Saya berpikir untuk membuat sebuah produk dengan kualitas medium, dengan memanfaatkan bahan recycle."
"Recycle? Bukankah itu melanggar prinsip kerja sama kita?" Edric spontan menanggapi. Mereka tidak pernah mendaur ulang sampah kertas hvs untuk dijadikan sebuah produk. Baik di Inti Global, Cakrawala maupun di Eco. Kualitas produk adalah nomor satu.
"Seharusnya tidak, Pak. Saya sudah membaca kontrak kerja sama Radesh Corp dan Eco Paper sejak puluhan tahun yang lalu. Di sana hanya membahas tentang produk yang dibuat harus dari bahan virgin, alias pulp murni. Namun, tidak ada poin yang membahas tentang produk recycle dan larangan untuk memproduksinya."
Edric menatap ke samping dimana Calvin sepertinya pun sedang berpikir."Saya bisa menunjukkan poin yang saya maksud di kontrak kerja sama kita yang baru saja di update dua tahun yang lalu." Sepertinya Zura sudah memperkirakan reaksi Edric. Dia sudah membawa kontrak kerja sama mereka. Yang asli, bukan copy-an. Hal ini cukup membuat Edric bertanya-tanya bagaimana Zura bisa dipercaya membawa berkas penting itu keluar dari brankas perusahaan? Se-percaya itukah Radesh kepadanya?Setelah Zura menunjukkan poin yang dia maksud, gadis itu kembali meluncurkan pendapatnya karena melihat Edric dan Calvin diam tak berkutik.
"Selama ini 'kan kita hanya memproduksi tisu dengan jenis facial, bathroom roll, hand towel dan napkin untuk hotel dan juga restoran. Bagaimana kalau kita mulai memproduksi tisu dengan jenis travel pack seperti brand lain punya? Sekarang sudah tidak jaman lagi orang bepergian membawa sapu tangan atau handuk. That’s why tisu travel pack sangat laku di Dubai yang iklimnya panas ini."
"Tapi seperti yang anda katakan, sudah banyak produk serupa dari brand lain." Edric kembali menyela.
"Benar, Pak. Tapi brand ECO kita 'kan sudah punya nama. Terkenal sebagai tisu hotel yang high quality. Sama seperti bantal dan sprei hotel, orang awam punya mindset kalau bantal dan sprei hotel itu berbeda dengan bantal dan sprei yang ada di rumah sendiri. Kalau tidur di kasur hotel sensasinya berbeda dengan tidur di kasur yang ada di rumah. Imej 'hotel' itu pula lah yang bisa kita bawa ke produk baru kita. Orang yang sudah sering memakai tisu ECO, pasti sudah tau jika kita punya kualitas."
"Sudah memperkirakan resikonya?" Edric sangat paham maksud Zura. Tapi tentu saja gadis itu harus tau ada nama baik yang harus dijaga. "Sudah memperkirakan reaksi mereka saat sadar bahwa kualitasnya berbeda?" sambung Edric.
"Di sini saya tidak bermaksud ingin menciptakan produk jelek, Pak Edric. Harap dipahami lagi, medium. Bukan low quality." Zura mulai terlihat tidak sabaran. "Saya yakin semua orang juga tau, untuk produk bagus pasti ada harga. Ketika muncul produk ECO dengan harga yang masih terjangkau di pasaran, itu artinya kita sudah menurunkan sedikit standar kualitasnya. Sedikit ya, tidak banyak. Tapi tetap masih lebih bagus dari brand lain."
Radesh sedari tadi hanya mendengar tanpa terlihat ingin menimbrung. Dia malahan menanti tanggapan Edric dan juga Calvin terhadap ide pengembangan produk anak buahnya.
"Bagaimana Nona Zura bisa yakin kalau produk ini akan membawa keuntungan kepada perusahaan?" Sekarang Calvin yang bertanya. "Apakah sudah ada gambaran strategi marketingnya? Mengingat di luaran sana sudah banyak brand kompetitor dengan harga yang bisa dibilang sangat murah. Bagaimana strategi perang kita dengan mereka, apa sudah dipikirkan?"
"Sudah, Pak. Sudah sempat brain storming dulu dengan tim pemasaran di Radesh Corp. Tapi masih belum jauh mengingat bapak-bapak belum tentu setuju."
"Coba jelaskan sedikit."
"Baiklah. Jadi seperti yang saya katakan tadi, hal pertama yang harus kita lakukan adalah membuat orang-orang tau bahwa selama ini kita sudah eksis di segmen hotel dan restoran. Mungkin nanti di iklan komersialnya bisa ditampilkan sedikit produk kita yang ada di Burj Khalifa atau Burj Al Arab. Setelah itu kita akan ...."
Edric mendengarkan penjelasan Zura dengan seksama. Gadis itu terlihat sangat serius. Tidak ada yang tau jika sekarang Edric sedang terhipnotis dengan cara Zura berbicara dan oleh setiap kata yang terucap dari bibir wanita itu. Dari mana dia belajar marketing bisnis dan public speaking yang bagus seperti ini? Apa yang dia lakukan setelah meninggalkan Jakarta? Apakah dia kuliah tentang bisnis? Karena sangat tidak mungkin pola pikir dan skill yang seperti ini bisa dia dapat dalam waktu sekejap.
Pasti ada orang yang mendukungnya habis-habisan sehingga bisa sampai di tahap ini. Tapi siapa? Dan kenapa? Sungguh beruntung Zura dipertemukan dengan orang tersebut. Lihatlah, gadis yang dulu hanya bekerja sebagai helper sekretaris di perusahaannya itu kini telah berubah menjadi pemangku jabatan yang cukup penting di Radesh Corp. Direktur Pemasaran? Bukankah itu artinya nasib omset perusahaan ada di tangannya? Sungguh, nasib seseorang memang tidak bisa ditebak.
*****
“Brother!” Seruan Calvin serta sikutan sang sepupu di lengannya membuat kesadaran Edric kembali. Pria berkulit putih itu tersentak kecil dan langsung salah tingkah menyadari sekarang Zura dan Radesh sedang melihat ke arahnya.“Kau ingin menambahkan sesuatu?” ujar Calvin lagi, kini dengan anda yang sudah merendah. Sebenarnya, tanpa bertanya pun, Calvin tau Edric akan mengatakan tidak. Dia sangat tau jika sang sepupu tidak fokus dengan rapat mereka sejak tadi. Seandainya bisa, Calvin ingin sekali mengguyur kepala Edric dengan air es yang ada di dalam gelasnya demi mengembalikan kesadaran laki-laki itu.“Ah, tidak. Tidak ada.” Edric menjawab sambil tersenyum tipis. Kan? Dugaan Calvin benar.“Jadi Pak Edric sepakat ya dengan usulan Ibu Zura tadi?” Berbeda dengan Radesh yang sepertinya masih ingin memastikan Edric benar-benar memahami isi meeting mereka. Siapa juga yang tidak sadar jika sedari tadi pria itu seperti terp
Calvin menghela napas lega saat melihat Edric akhirnya muncul dari lift VIP yang baru saja terbuka. Pria itu nyaris kehabisan bahan obrolan dengan Radesh. Namun dia tidak mendapati Zura berjalan bersama Ed. Calvin langsung memahami jika percakapan mereka tidak berjalan dengan baik.“Maaf membuat Pak Radesh menunggu lama.” Edric menghampiri mereka sambil menyampaikan permintaan maafnya.“Tidak apa-apa, Pak Edric. Saya dan Pak Calvin juga sedang asik mengobrol.” Radesh menyahut dengan ramah. “Ah, Ibu Zura-nya ke mana?”“Sedang ke toilet dulu, Pak. Mungkin sebentar lagi akan turun.” Edric hanya mengarang. Hanya kebetulan karena Zura juga tidak ada di sini. Besar kemungkinan gadis itu singgah ke toilet untuk memperbaiki penampilannya.“Ohh,” gumam Radesh. “Ah ya, Pak Edric, tadi saya dan Pak Calvin sudah merencanakan dinner bersama, entah besok malam atau lusa. Semoga Pak Edric tidak keberatan.
Zura sedari tadi hanya berdiam diri di tengah tiga orang pria yang sedang sibuk membahas trading dan saham. Dia sebagai pendengar mulai bosan karena Radesh kelihatannya sangat nyaman dengan Calvin dan Edric. Zura berniat untuk mencari angin sejenak di luar gedung. Seingatnya, di bagian belakang stage vvip ini ada pintu yang mengarah ke balkon gedung. Dia kemudian berbisik kepada Radesh untuk permisi dan pria itu mengangguk sebagai tanda mengizinkan.Melihat Zura yang bangkit berdiri, perhatian Edric langsung terbagi dari Calvin yang sedang berbicara ‘Mau ke mana dia?’ Batin Edric penasaran.“Ibu Zura mau ke mana?” Mulutnya refleks terbuka dan melontarkan pertanyaan konyol itu. Namun, sedetik kemudian, dia langsung menyadarinya dan mengutuk dirinya. Sebegitu tidak inginnya dia Zura pergi. Ke manapun itu.“Dia ingin mencari angin.” Radesh yang menjawab karena Zura tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Gadis itu seperti tida
Zura merasakan jantungnya berdenyut lebih kencang mendengar bisikan Edric yang begitu persis di telinganya. Dia menegakkan kembali punggungnya dengan tempo yang wajar, karena Calvin masih menunggu jawaban atas pertanyaannya : 'Dia (Edric) bilang apa?'"Dia hanya mengigau dan dia sudah tertidur," jawab Zura. Berusaha membuat Calvin tidak khawatir. Kenyataannya memang Edric terlihat kembali tenang setelah bisikan terakhirnya.Sial. Dia tidur tenang, aku yang berdebar. Zura mengumpat dalam dirinya sendiri. Dibuangnya pandang ke arah jendela mobil. Debar-debar di dalam dadanya sekarang ini persis seperti debaran saat pertama kali Edric sering menggodanya di kantor dulu. Saat sang bos mulai menunjukkan perhatian lebih yang tidak pernah dia duga.Hufffff. Semakin sesak dadanya mengingat hal tersebut. Karena pikiran Zura sudah langsung melompat ke satu tahun setelahnya. Saat Edric tiba-tiba membuangnya karena sebuah perjodohan.Kedua mata Zura tidak dapat berboh
Meja berisi empat orang itu sejenak hening kala Edric baru saja membeberkan satu menu nasi padang secara rinci dengan sekali tarikan napas. Itu adalah menu kesukaan Zura yang baru saja ingin disebutkan Radesh juga. Alhasil Edric langsung sadar bahwa dia sudah melakukan sebuah kesalahan. Lagi. "Wah, bagaimana Pak Edric bisa tau? Benar loh, Ibu Zura sangat suka dengan menu yang Pak Edric barusan jabarkan." Kedua mata Radesh membesar bersamaan dengan senyum yang merekah di wajahnya. Menutupi kecurigaan yang sebenarnya semakin besar melihat terlalu banyak kejanggalan di sini. Apakah Zura dan Edric memang mempunyai masa lalu? Kalau iya, bukankah itu sangat kebetulan ketika mereka kembali bertemu di Dubai sebagai partner bisnis? Sebuah kebetulan yang hanya akan terjadi satu di antara seribu kisah cinta. "Ah ...." Edric menggaruk lehernya yang tidak gatal. Mampus lah. Sekarang harus bilang apa coba? Apalagi gadis di hadapannya itu kini melihatnya dengan tatapan data
Zura menatap pantulan dirinya di sebuah cermin besar yang ada di kamar mandi apartemen miliknya. Tubuhnya polos tanpa mengenakan sehelai benang pun. Wanita itu mematut lekuk tubuhnya yang begitu indah. Jangankan lawan jenis, dia sendiri saja sangat mengagumi kesempurnaan yang dia miliki. Bukan kah dulu pun Edric betah padanya gara-gara ini? Dada yang bulat dan penuh berisi, perut yang rata, lekuk pinggang yang seksi, serta bokong yang proporsional. Masih sangat jelas dalam ingatannya bagaimana Edric selalu memekik penuh nafsu ketika bokongnya bergerak-gerak di atas benda tumpul yang berada di tengah-tengah paha pria itu. Zura menelan ludahnya tanpa ekspresi. Dia adalah makhluk paling menyedihkan di dunia. See? Sekuat apapun dia mencoba untuk mengenyahkan Edric dari dalam pikirannya, dia tidak bisa. Sejak mereka bertemu kemarin pagi, hingga hari ini, terlalu banyak hal yang membuat jantung Zura bagai diremas tangan tak kasat mata. Sebenarnya dia begitu rapuh di dalam,
Baik Edric maupun Zura, mereka berdua sama-sama tersentak dari sofanya masing-masing. Edric shock lantaran pesan yang dia kirim dalam sekejap mendapat tanda centang biru dan di belahan lain kota ini, Zura pun kaget karena tangannya begitu latah langsung membuka satu buah pesan yang baru masuk dari nomor baru. Apesnya lagi, setelah dia baca, sepertinya itu dari Edric. 'Sorry for tonight. Just want to show that i miss you that bad.' Zura membaca pesan itu berulang-ulang. Perasaannya kembali campur aduk. Antara senang sekaligus tidak nyaman. Di satu sisi dia tersanjung Edric mempunyai kontaknya yang sekarang. Dia juga menyukai sikap gentle pria itu yang meminta maaf akibat ulahnya tadi. Edric banget memang. Namun di sisi lain, ini menakutkan. Ini sama sekali tidak sejalan dengan prinsip dan misinya. Mencegah terjadi sesuatu yang lebih jauh, Zura menonaktifkan ponselnya lalu naik ke atas kasur, walau pikirannya dipenuhi oleh Edric. Aroma parfum laki-laki it
Selama Edric tidak berada di Jakarta, Zac, adik kandungnya akan menjadi PJ alias penanggung jawab yang ditunjuk oleh Edric di perusahaan. Bila ada sesuatu hal yang harus diurus, Zac akan turun tangan menggantikan sang kakak. Namun jika harus mengambil keputusan, Zac tetap harus melibatkan Edric.Seperti pagi ini, Zac sedang melakukan video call dengan Edric yang masih sedang molor karena di Dubai masih pukul lima pagi."Jadi menurutmu aku approve saja atau tidak, Brother?" Zac sedang meminta saran Edric tentang cabang Semarang yang meminta armada pengiriman yang baru. Katanya mobil angkutan barang mereka banyak yang sudah tidak fit. Keseringan jajan di bengkel padahal urusannya itu lagi, itu lagi. Kalau bukan rem, atau shock braker, ya olinya bocor. Itu terus."Urgent banget kah? Kalau belum jangan dulu, Zac.""Tapi kalau dihitung-hitung, biaya servis mereka selama setahun sudah bisa jadi DP mobil baru.""Makanya jangan dihitung.