Megan mendapatkannya. Setelah berupaya mencari informasi kesana-sini akhirnya ada juga pekerjaan yang bisa Megan kerjakan dengan upah mingguan.
Uang dua juta akan menjadi upahnya minggu depan, Megan hanya bertugas menyebar brosur sebuah perusahaan real estate hingga habis setiap harinya.
Sebuah nominal yang fantastis jika disandingkan dengan pekerjaan yang cukup mudah. Megan mengiyakan saja saat dijelaskan tugasnya, ia akan menyebar brosur di dua waktu, pagi dan malam hari. Karena Megan punya pekerjaan tetap sebagai pelayan kafe, yang jam kerjanya dari pukul sembilan pagi hingga lima sore. Megan juga bersyukur karena pekerjaan sampingan itu tidak mengganggu jam kerja utamanya.
Megan membawa satu kresek brosur yang harus ia sebar mulai besok.
Megan cantik, mungkin itulah yang menjadi point plus mereka mau mengambil Megan sebagai penyebar brosur, body yang Megan miliki juga bagus. Mampu membuat siulan setiap lelaki terbit jika melihatnya. Bahkan diusia ke 26 tahun, Megan masih nampak sangat muda.
"Apa itu?" tanya Galang saat melihat Megan memasukan satu kresek ke dalam lokernya.
"Brosur," jawab Megan.
"Brosur kafe ini?" tanya Galang.
"Bukan. Brosur perumahan."
Galang berhenti mengepel, ia berbalik ke arah Megan. "Buat apa? Lo jadi sales perumahan?" tanya Galang.
"Bukan lah! Disebar doang, lumayan upahnya," celetuk Megan. "Dua jeti seminggu," lanjut Megan lagi.
Mata gilang membesar mendengar upah sebanyak itu. "Wahh, mau juga dong! Daftar dimana?" Sepertinya Galang benar-benar tertarik dengan ucapan Megan.
"Lo jadi cewek dulu. Yang dicari khusus cewek."
Terdengar desahan kecewa keluar dari mulut Galang. Galang ini paling cepet kalo soal duit alias cuan.
Bel di cafe berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk.
"Bentar, gue ke depan," pamit Galang. Ia meminggirkan alat pelnya terlebih dahulu.
Raut gembira tidak hilang dari wajah Megan, ia berpikir jika terus melakukan pekerjaan sambilan ini maka kehidupannya bisa cepat berubah. Mamanya tidak akan lagi hidup susah.
"Woy! Senyum-senyum terus. Dipanggilin nggak nyaut!" Galang menepuk punggung Megan.
"Hehe, sorry. Lagi seneng. Kenapa?"
"Buatin pesenan tuh, terus anterin sekalian. Gue mau lanjut ngepel," pinta Galang.
Megan mengacungkan jempol pada rekan kerjanya itu. Ia bergegas ke dapur untuk membuat pesanan agar pelanggannya tidak kabur karena menunggu terlalu lama.
***
"Permisi, antar pesanan. Caramel Macchiato satu, Hazelnut Latte satu," ucap Megan.
Minuman di atas nampannya segera berpindah keatas meja dengan nomor 8 itu. Megan masih belum sadar dengan tatapan pelanggan itu yang diarahkan padanya.
"Megan Elmara?"
Merasa nama lengkapnya dipanggil, Megan menoleh dan ia kaget saat tahu siapa yang berada didepannya.
Megan berdiri tegak, ia tidak percaya bahwa lelaki sialan yang meninggalkannya tanpa alasan jelas kini ada didepannya.
Jika Megan tidak ingat sedang butuh uang, maka ia akan menyiramkan minuman itu ke wajah Tristan.
Tristan berdiri, ia memutari Megan sambil mengangguk-angguk, kedua tangannya masuk kedalam saku celana.
"Dari ratu jadi pelayan ya sekarang?" sindir Tristan.
Megan tidak menjawab, posisinya tidak menguntungkan dirinya sekarang. Jika ia membuat keributan maka bisa berpotensi ia dipecat.
"Hot news banget ini. Temen-temen harus tahu," ujar Tristan lagi saat Megan tidak merespon.
Pandangan Megan beralih pada perempuan yang masih duduk didepannya. Tidak secantik Megan, pikirnya. Apa gara-gara dia, Tristan meninggalkannya?
"Kalau nggak ada yang mau dipesan lagi, saya mau kembali bekerja."
Setelah mengumpulkan keberanian, Megan akhirnya berani menjawab Tristan.
"Eh, tunggu dulu," ucap Tristan.
Mau apa lagi sih mantan setan satu ini?! Gerutu Megan dalam hati.
"Ayo selfi dulu." Tristan membuka akses ke kamera depan ponselnya dan mengarahkan pada dirinya dan Megan.
Megan mendorong tangan Tristan agar menjauh tapi sepertinya dorongan Megan terlalu kencang, mengakibatkan ponsel yang dipegang Tristan jatuh dari genggamannya.
"Woi, ponsel gue jatuh!"
Megan mengerjap kaget, ia tidak menyangka jika ponsel Tristan akan jatuh. "S-saya nggak sengaja, beneran," kata Megan.
"Ganti rugi. Gue nggak mau tahu!" pinta Tristan.
Mungkin dulu jika kejadian ini terjadi, maka Megan dengan gampangnya akan memberikan sejumlah uang sebagai ganti rugi. Tapi sekarang, jangankan untuk memberi ganti rugi, untuk bayar kontrakan saja Megan harus pontang-panting.
"Ganti rugi nggak?!" Tristan sepertinya murka karena Megan masih diam saja, laki-laki itu maju dan mencengkeram kerah Megan.
Megan yang kaget secara refleks mengangkat gelas berisi minuman dimeja dan menyiramkan pada wajah Tristan.
Perlakuan itu membuat Tristan mundur beberapa langkah. Perempuan yang tadinya hanya diam saja, kini mulai bergerak memberikan tissu pada Tristan untuk mengelap wajahnya.
"Gue laporin ya, biar lo dipecat!" ancam perempuan itu.
Persetan jika Megan dipecat, Tristan sudah kelewat batas.
***
Mark sudah menunggu sepuluh menit namun perempuan bernama Angela belum juga menampakan batang hidungnya. Harapan Mark semoga saja Angela tidak datang kesini.
Tapi harapan tinggal harapan. Ketukan berirama dari stiletto hitam semakin mendekat pada meja Mark. Pandangan Mark yang tadi menunduk kini terangkat.
Perempuan berusia 25 tahunan berdiri didepannya. Wajah khas asia yang nampak disana memberi kesan teduh, parasnya ayu dengan make up yang minimalis. Rambut hitamnya panjang tergerai menutupi punggung, dress hitam melekat memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna.
"Mark?" tanya perempuan itu mengulurkan tangan.
Mark tidak membalas uluran tangan itu, ia memberi kode agar perempuan itu duduk didepannya. Mark harus menjaga sikapnya saat ini karena ia tahu, Thalia pasti mengirim mata-mata untuk melaporkan jalannya pertemuan yang diaturnya.
"Saya Angela," ucap perempuan itu.
"Saya tahu," jawab Mark singkat.
"To the point saja. Saya menolak untuk dijodohkan dengan kamu. Saya sudah mempunyai laki-laki pilihan saya sendiri."
Ucapan Angela membuat Mark terkejut dan menatap wanita didepannya ini secara intens. Ia mulai tertarik dengan wanita bernama Angela ini karena persamaan jawaban penolakannya.
"Tapi, saya harus berpura-pura menerima perjodohan ini sampai laki-laki yang saya pilih menyelesaikan studynya."
Oke, Mark menarik lagi ucapan tertariknya. Angela sama saja.
Mark menyenderkan tubuhnya pada kursi. "Terserah. Yang jelas, saya menolak perjodohan ini," balas Mark lugas, penekanan yang diberikan Mark disetiap katanya membuat Angela mengangguk mantap.
"Saya tahu. Apalagi rumor soal kamu sudah tersebar."
Mata Mark terbelalak lebar mendengarnya. Hei! Bukan itu alasan Mark menolak perjodohan ini, Mark hanya belum mau menikah dalam waktu dekat.
"Mau dibuktikan?" tantang Mark.
Angela memandang Mark tidak mengerti.
"Bukti bahwa saya bisa membuatmu tidak turun dari ranjang selama satu hari penuh."
Tatapan Mark membuat Angela bergidik ngeri, laki-laki didepannya ini punya pesona yang mematikan. Tapi mengapa Tante Thalia masih bersikeras mencarikan pendamping untuk Mark? Apa Mark tidak mampu mencari pendamping sendiri?
Angela berdehem menyadari betapa berbahayanya berada didekat Mark. "Tidak perlu, terimakasih," jawab Angela sedikit bergetar.
Mark hanya memberikan seringai tipisnya pada Angela.
***
Bersambung...
Megan melepas tag nama yang menempel didadanya dan menyerahkan pada manajer kafe didepannya."Megan, Megan. Kamu salah mencari lawan. Papa perempuan yang datang bersama pacarnya kesini adalah sahabat dari pemilik kafe ini. Maaf saya tidak bisa membantu kamu," ucap manajer itu.Megan melangkah gontai keluar dari ruangan manajernya. Pacar Tristan benar-benar melaporkan Megan pada pemilik kafe yang membuat Megan dipecat saat itu juga.Galang yang melihat itu mencegat Megan. "Dipecat?""Semangat ya!" Megan mengepalkan tangannya layaknya seorang motivator.Raut wajah Megan dan ucapannya sudah menjadi jawaban atas pertanyaan Galang.Galang memeluk Megan, memberi semangat padanya. Satu tahun menjadi partner bekerjanya membuat Galang menyayangi Megan seperti adiknya sendiri.Megan menatap bangunan ini untuk yang terakhir kalinya. Bangunan yang ba
Perkataan Angela berpengaruh dalam sisa hari Mark. Pernyataan bersedia gadis itu yang artinya mau tidak mau Mark harus mengikuti permainan Angela untuk berpura-pura dan itu membuat mood Mark terjun bebas."Pedro, apa malam ini La Hosta buka?" tanya Mark.Pedro yang sedang berdiri mengamati sekitar, lalu menjawab, "buka, Tuan. Tuan Mark ingin kesana?"Mark berdehem sebagai jawabannya lalu ia kembali mengokang pistolnya, menutup satu matanya dan menekan pelatuk.Menembak adalah salah satu pelampiasan yang Mark lakukan saat pikirannya dan emosinya tidak stabil. Seperti saat ini, ia butuh pelampiasan agar suasana hatinya membaik.Selain menembak ada satu cara pelampiasan lain yang biasa Mark lakukan.***Pintu kamar dibuka dari luar, badan Megan diguncangkan beberapa kali. Begitu matanya terbuka, sebuah pakaian dilemparkan padanya.&nb
"Kenapa tidak sekalian saja kau buka bajumu?" Megan berhenti. Netra hazelnya menatap pada lelaki yang tadi menyebutkan angka satu milyar. Apa maksud perkataan lelaki ini? Ini sudah termasuk pelecehan bukan? "Maaf, anda bilang apa?" tanya Megan. Mark memandang sinis ke arah Megan. Anda katanya? Apa perempuan ini sedang bermain drama? Berpura-pura tidak mengenalinya? Memang tidak salah jika julukan Ratu Drama disematkan padanya semasa kuliah. Baiklah, Mark akan meladeni sampai dimana ia mampu bermain drama. "Kenapa tidak sekalian kau buka bajumu?" tanya Mark. Gelas wine ditangannya sudah berpindah di meja. Mark memutar kursinya menghadap Megan, tangannya bersidekap, kakinya menyilang dan matanya intens terfokus pada Megan yang terlihat kebingungan dengan ucapannya. "Aku sudah membelimu satu milyar, jadi
Megan terbangun di sebuah ruangan yang berbeda, ruangannya tidak sebesar yang sebelumnya. Setelah kejadian semalam, Mark dengan tidak berperasaan mengusir Megan begitu saja keluar dari kamarnya. Ternyata ruangan sebelumnya yang ditempati Megan itu adalah kamar Mark, pantas saja luasnya membuat berdecak kagum. Tapi ruangan yang Megan tempati sekarang pun tidak kalah luas dan mewah untuk ukuran kamar tidur, bahkan lebih luas jika dibandingkan dengan kamar tidur dirumah mewah Megan dulu. Nuansa putih dan krem mendominasi disana, satu lampu gantung raksasa berkilau menancap di plafon tengah ruangan, dua lemari besar ada di sisi ranjang, satu sofa terletak di depan ranjang ditambah tv layar datar yang tiba-tiba muncul dari dalam tembok jika Megan memencet remotenya. Tok... Tok... Tok... Megan belum selesai mengagumi kamar yang ia tempati saat pintu diketuk. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk
Megan adalah perempuan pertama yang dibawa Mark ke mansion ini selama Paula bekerja untuk Mark. "Pau? Mark itu orangnya seperti apa?" tanya Megan pada Paula yang sedang sibuk merapikan tanaman hias gantung. "Tuan Mark itu tidak bisa dibantah Nona. Tapi sebenarnya dia baik," jawab Paula. Huh, baik? Paula mengatakan itu karena Mark menggajinya. "Dia menakutkan ya?" Paula tertawa, lalu menoleh menatap Megan. "Nada bicara Tuan Mark memang seperti itu." "Boleh aku berkeliling tempat ini?" tanya Megan. Paula mengangguk. "Asal jangan naik ke lantai 3," Paula mengingatkan, jikalau Megan lupa. "Memang ada apa di lantai 3?" Megan ini tipe yang rasa penasarannya tinggi. Jika dilarang maka ia akan semakin penasaran. "Saya juga tidak tahu. Tapi sejak pertama saya bekerj
"Peraturan ketiga segera dimulai." Megan tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia ingin bergerak namun tubuh Mark mengunci pergerakannya. "Mau melakukan disini atau dikamarku?" tanya Mark. Suara rendah Mark penuh gairah dan tuntutan. Megan mati kutu. Lagipula kenapa ia bisa tertidur disini? Alih-alih masuk kamar dan mengunci pintunya. Tatapan tajam Mark masih setia mengintimidasi Megan yang berada dibawahnya. Mark fokus menelusuri wajah Megan, matanya, hidungnya, bibirnya dan senyum Megan yang dulu membuat Mark merasakan luka. Karena senyum itu yang menjerat Mark dan berakhir menjadi bahan taruhan. "Bangun!" sentak Mark tiba-tiba. Ia menarik bahu Megan kasar sehingga perempuan itu terduduk. Pergelangan tangan Megan di cengkeram Mark, terlihat bahwa Mark berupaya menarik Megan memasuki kamarnya. Megan mati-matian melawa
Ruangan yang dipenuhi warna hitam dan coklat itu hening. Lima belas orang yang hadir disana, sudah duduk dikursi masing-masing tanpa suara. Fokus mata mereka berada di satu titik, didepan. Theo, asisten dan orang kepercayaan Mark bersuara didepan, memimpin rapat siang ini. Mark tidak akan bicara jika tidak diperlukan atau ada yang salah. Jadi selama Mark diam itu tandanya laporan yang mereka setorkan baik-baik saja, Mark tidak mentolerir kesalahan dalam laporan yang digunakan untuk bahan evaluasi dalam meeting. Sekecil apapun itu. 45 menit waktu meeting akhirnya selesai juga. Ditutup dengan hasil akhir bahwa proyek salah satu hotel yang ada di Negeri Gajah Putih akan selesai tiga bulan kedepan, setelah itu Mark dan beberapa petinggi perusahaan akan terbang kesana untuk melakukan peresmian. Mark meninggalkan ruang meeting terlebih dahulu. Sambil berjalan, Mark meraih ponsel didalam saku, ia memencet nomor tele
Tamatlah riwayatmu, Megan! Megan meringis saat Mark menariknya paksa. "Sedang apa disini? Menjual diri pada lelaki lain?" sindir Mark tajam. Perkataan Mark itu membuat Galang geram, kasar sekali laki-laki ini. Galang maju dan mendorong dada Mark namun cekalannya pada Megan tidak terlepas. "Jangan kasar sama cewek!" Mark yang terdorong mundur, maju kembali, dengan tatapan merendahkan ia melihat pada Galang. Biasa saja. Apa selera Megan sudah anjlok? Galang sudah mengepalkan tangan dan hampir melayangkan tinjunya pada Mark, namun Megan secara mendadak berdiri dihadapan Mark. Kedua tangan Megan terentang dan matanya terpejam, menanti tinju yang mendarat di wajahnya namun Megan tidak merasakan apapun. Saat matanya terbuka, Megan melihat kepalan tangan Galang menggantung diudara. "Lo ngapain disitu? Minggir!" bentak Galang.