Share

2. Serpihan Masa Lalu

Dahinya berkeringat, kepalanya bergerak kekiri dan kanan seiring napasnya yang memburu. Seakan-akan dua pendingin ruangan yang dipasang disana tidak ada gunanya.

Kakinya mulai bergerak, menjejak apapun yang ada dibawahnya, bahkan selimut ia tendang hingga terjatuh di lantai.

Kilatan kejadian masa lampau yang membuatnya mengalami hal buruk ini setiap malam. Mimpi buruk perlakuan seorang gadis yang menjadi pusat lukanya.

'Kamu pikir, aku mau menjadi kekasihmu? Dengar, jika bukan karena supercar itu, aku tidak sudi, bahkan berjalan beriringan denganmu saja aku jijik!'

Kalimat itu selalu terngiang setiap Mark memejamkan mata, diikuti riuh sorakan dari orang-orang yang menontonnya. Tidak ada satupun dari mereka berniat membantunya, menyelamatkannya dari hinaan dan cacian dari seorang gadis yang berdiri angkuh didepannya.

"TIDAK!"

Mark terbangun, lagi.

Ia mengusap wajahnya kasar. Sepertinya terapi yang ia lakukan tidak memberikan cukup kemajuan, mimpi buruk itu masih menghampirinya.

Tangannya menuju nakas, meraih segelas air putih disana dan menghabiskannya. Jam di dinding menunjuk angka tiga pagi. Bisa dipastikan Mark tidak akan bisa menutup mata lagi jika sudah terbangun seperti ini.

Mark menyandarkan punggunya pada ranjang. Ingatannya menerawang pada keadaan dirinya di masa lampu.

Mark yang dikucilkan, menjadi korban bully dan hinaan, Mark yang selalu dimanfaatkan otak pintarnya dan Mark yang dengan bodohnya tertipu ucapan 'aku mencintaimu.'

Sakit itu ditorehkan sudah delapan tahun lalu tapi hingga saat ini, Mark masih belum bisa melupakannya. Rasa malu yang ia dapatkan masih menjadi bayang-bayang dalam hidupnya.

Karena gadis itu pulalah, Mark bekerja dengan sangat keras untuk mengubah penampilannya. Mark si itik buruk rupa sudah tidak ada, berganti dengan Mark yang menawan dan menjadi patokan kriteria suami idaman.

Mark sudah mempunyai segalanya saat ini, namun masih ada bagian dalam hidupnya yang terasa kosong. Mark tidak tahu itu apa, yang jelas terkadang Mark merasakan hidupnya terasa membosankan.

Karena itulah Mark selalu mengajak wanita random yang tidak ia kenal untuk naik ke atas ranjang bersamanya. Bisa kalian tebak, tidak ada satupun yang menolak ajakan Mark. Walau setelahnya mereka akan dibuang layaknya sampah, tentu saja Mark akan meninggalkan upah yang sesuai dengan servis mereka.

Mark tidak suka berkencan dengan wanita yang sama. Satu wanita hanya untuk satu malam. Itu peraturan mutlak dalam permainan ranjang Mark.

Tangan Mark sibuk menaik turunkan layar tabletnya, membaca berita bisnis di pagi hari? Mark melakukannya hampir setiap hari.

Hingga waktu beralih menuju jam 6 pagi, Mark beringsut mengambil handuk dan melakukan aktifitas pagi harinya.

***

PLAK!

Satu tamparan berhasil didaratkan di pipi mulusnya, menciptakan rona kemerahan disana.

"Dasar tidak berguna!" umpat seorang lelaki berusia lima puluhan tahunan.

Seorang perempuan -pemilik pipi- berjalan mundur, ini bukan pertama kali perlakuan kasar diterimanya. Tamparan, hinaan, cacian dan pukulan sudah menjadi hidangan sehari-harinya.

Semenjak perusahaannya bangkrut, lelaki itu selalu menyiksanya, merampas uang hasil ia bekerja yang akan digunakan untuk membeli minuman keras.

Ya. Lelaki itu adalah Bastian -papanya-. Orang yang seharusnya mengayomi dan memberikan rasa nyaman dan perlindungan malah memberikan dampak buruk dan rasa takut untuknya.

"Kamu kerja sebulan penuh tanpa libur hanya dapat segini?! Percuma Papa menyekolahkanmu tinggi-tinggi Megan! Lebih baik kamu jadi wanita panggilan saja, upahnya lebih besar!" teriak Bastian murka.

Uang lima juta yang dibawa Megan dikatakan sedikit? Apa ia tidak tahu perjuangan Megan dalam bekerja? Bahkan Megan menahan lapar agar uang makannya tidak dipotong, Megan lembur pulang hampir tengah malam agar gajinya bertambah.

Rasa muak sudah lama Megan rasakan, namun keberadaan mamanya yang sakit membuatnya bertahan di neraka yang bernama rumah ini. Jika bukan karena ingin melindungi mamanya, maka sudah dari lama Megan akan angkat kaki dari sini.

"Uhuk...Uhuk..."

Suara terbatuk-batuk membuat Megan menoleh, ia melihat mamanya keluar dari dalam kamar. Megan berlari menghampiri mamanya, mengabaikan rasa sakit yang masih menjalar dipipinya.

"Kamu sudah pulang?" tanya Arista -mamanya-.

Megan menuntun mamanya membawa ke sebuah sofa usang satu-satunya dirumah itu. "Mama ngapain keluar kamar?" tanya Megan lembut.

Bastian berkacak pinggang melihat interaksi ibu dan anak didepannya. "Anak sama ibu sama-sama nggak ada gunanya!" umpat Bastian sambil menunjuk Megan bergantian dengan mamanya.

Megan hampir berdiri dan bersiap untuk membalas ucapan papanya, ketika mamanya menahannya dan menggelengkan kepalanya.

Bastian pergi meninggalkan tawa menggema di rumah berukuran 4x6 meter itu. "Minum lagi," ujarnya girang.

"Ma, kita pergi yuk dari sini. Papa udah kelewatan," ajak Megan.

Arista menggeleng. "Mama sudah bersumpah menemani papamu dalam keadaan apapun. Sumpah pernikahan bukan permainan, Nak," jawab mamanya.

Air mata Megan menetes mendengar kata-kata mamanya. Kenapa orang sebaik mamanya bisa mendapat cobaan seberat ini?

Apa ini hukuman Megan atas perbuatannya di masa lampau? Kalau iya, mengapa mamanya harus ikut menanggung hukuman untuknya?

Megan yang dulu sangat berbeda dengan sekarang. Megan yang dulu dipuji-puji, disanjung dan dihormati, kini berubah menjadi Megan yang bukan siapa-siapa.

Benar roda hidup berputar, tapi Megan tidak mengira putarannya akan secepat ini. Menjungkirbalikan kehidupan mewah Megan yang serba berkecukupan menjadi pas-pasan.

Megan ingin mengadu, namun apa Tuhan mau menerima aduan darinya?

"Kamu istirahat ya." Tangan Arista bergerak mengelus lembut kepala Megan.

Megan mengangguk, ia menuntun mamanya terlebih dahulu untuk kembali ke kamar.

***

Tok... Tok... Tok..

Terdengar pintu rumahnya diketuk dengan tidak sabaran. Megan bangun sembari memegang kepalanya yang pusing, ia tidak bisa tidur nyenyak semalam. Otaknya terus berjaga memikirkan tagihan-tagihan yang pasti segera menghampirinya.

"Iya, sebentar," teriak Megan dari dalam. Ia menyanggul asal rambutnya keatas lalu tangannya membuka pintu.

"Uang kontrakan."

Seorang wanita dengan tas merk Phannel di tangannya, mengulurkan tangan ke arah Megan.

Megan tergagap, ia tidak menyangka akan ditagih uang kontrakan sepagi ini.

"Mana?!" teriak wanita itu saat Megan tidak segera memberikan yang diminta.

"U-uangnya belum ada, Bu. Kalau minggu depan, boleh nggak?"

"Mundur lagi? Ini yang keberapa kalinya kamu bayar mundur terus?!" teriak wanita itu, ia menunjuk-nunjuk Megan dengan jarinya yang lebih mirip toko mas berjalan karena terdapat banyak perhiasan menempel disana.

"Maaf, Bu. Uangnya belum ada, saya belum gajian."

Itu hanya alasan Megan saja karena semua uang gajinya sudah diambil oleh papanya tadi malam.

"Minggu depan ya. Kalau minggu depan kamu tidak sanggup bayar, angkat kaki dari sini!"

Wanita itu pergi meninggalkan Megan tanpa menunggu Megan menjawab. Sekarang, Megan harus memutar otak mencari pekerjaan yang bisa memberinya bayaran dalam waktu satu minggu.

"Megan?"

Megan menoleh, mamanya sudah berdiri disana. Bisa dipastikan Arista mendengar keributan antara Megan dengan pemilik kontrakan tadi.

Arista mencopot anting yang menempel ditelinga lalu mengulurkan pada Megan. "Jual ini aja dulu. Lumayan untuk bayar kontrakan dan biaya hidup sampai bulan depan," ujar Arista.

Megan mendorong tangan mamanya kembali, ia menolak tegas. "Nggak, Ma. Megan masih punya tabungan kok," jawab Megan.

Dua kebohongan sudah Megan ucapkan hari ini. Tapi itu semua ia lakukan agar tidak menambah pikiran mamanya, cukup ia saja yang pusing asal jangan mamanya.

***

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status