Dahinya berkeringat, kepalanya bergerak kekiri dan kanan seiring napasnya yang memburu. Seakan-akan dua pendingin ruangan yang dipasang disana tidak ada gunanya.
Kakinya mulai bergerak, menjejak apapun yang ada dibawahnya, bahkan selimut ia tendang hingga terjatuh di lantai.
Kilatan kejadian masa lampau yang membuatnya mengalami hal buruk ini setiap malam. Mimpi buruk perlakuan seorang gadis yang menjadi pusat lukanya.
'Kamu pikir, aku mau menjadi kekasihmu? Dengar, jika bukan karena supercar itu, aku tidak sudi, bahkan berjalan beriringan denganmu saja aku jijik!'
Kalimat itu selalu terngiang setiap Mark memejamkan mata, diikuti riuh sorakan dari orang-orang yang menontonnya. Tidak ada satupun dari mereka berniat membantunya, menyelamatkannya dari hinaan dan cacian dari seorang gadis yang berdiri angkuh didepannya.
"TIDAK!"
Mark terbangun, lagi.
Ia mengusap wajahnya kasar. Sepertinya terapi yang ia lakukan tidak memberikan cukup kemajuan, mimpi buruk itu masih menghampirinya.
Tangannya menuju nakas, meraih segelas air putih disana dan menghabiskannya. Jam di dinding menunjuk angka tiga pagi. Bisa dipastikan Mark tidak akan bisa menutup mata lagi jika sudah terbangun seperti ini.
Mark menyandarkan punggunya pada ranjang. Ingatannya menerawang pada keadaan dirinya di masa lampu.
Mark yang dikucilkan, menjadi korban bully dan hinaan, Mark yang selalu dimanfaatkan otak pintarnya dan Mark yang dengan bodohnya tertipu ucapan 'aku mencintaimu.'
Sakit itu ditorehkan sudah delapan tahun lalu tapi hingga saat ini, Mark masih belum bisa melupakannya. Rasa malu yang ia dapatkan masih menjadi bayang-bayang dalam hidupnya.
Karena gadis itu pulalah, Mark bekerja dengan sangat keras untuk mengubah penampilannya. Mark si itik buruk rupa sudah tidak ada, berganti dengan Mark yang menawan dan menjadi patokan kriteria suami idaman.
Mark sudah mempunyai segalanya saat ini, namun masih ada bagian dalam hidupnya yang terasa kosong. Mark tidak tahu itu apa, yang jelas terkadang Mark merasakan hidupnya terasa membosankan.
Karena itulah Mark selalu mengajak wanita random yang tidak ia kenal untuk naik ke atas ranjang bersamanya. Bisa kalian tebak, tidak ada satupun yang menolak ajakan Mark. Walau setelahnya mereka akan dibuang layaknya sampah, tentu saja Mark akan meninggalkan upah yang sesuai dengan servis mereka.
Mark tidak suka berkencan dengan wanita yang sama. Satu wanita hanya untuk satu malam. Itu peraturan mutlak dalam permainan ranjang Mark.
Tangan Mark sibuk menaik turunkan layar tabletnya, membaca berita bisnis di pagi hari? Mark melakukannya hampir setiap hari.
Hingga waktu beralih menuju jam 6 pagi, Mark beringsut mengambil handuk dan melakukan aktifitas pagi harinya.
***
PLAK!
Satu tamparan berhasil didaratkan di pipi mulusnya, menciptakan rona kemerahan disana.
"Dasar tidak berguna!" umpat seorang lelaki berusia lima puluhan tahunan.
Seorang perempuan -pemilik pipi- berjalan mundur, ini bukan pertama kali perlakuan kasar diterimanya. Tamparan, hinaan, cacian dan pukulan sudah menjadi hidangan sehari-harinya.
Semenjak perusahaannya bangkrut, lelaki itu selalu menyiksanya, merampas uang hasil ia bekerja yang akan digunakan untuk membeli minuman keras.
Ya. Lelaki itu adalah Bastian -papanya-. Orang yang seharusnya mengayomi dan memberikan rasa nyaman dan perlindungan malah memberikan dampak buruk dan rasa takut untuknya.
"Kamu kerja sebulan penuh tanpa libur hanya dapat segini?! Percuma Papa menyekolahkanmu tinggi-tinggi Megan! Lebih baik kamu jadi wanita panggilan saja, upahnya lebih besar!" teriak Bastian murka.
Uang lima juta yang dibawa Megan dikatakan sedikit? Apa ia tidak tahu perjuangan Megan dalam bekerja? Bahkan Megan menahan lapar agar uang makannya tidak dipotong, Megan lembur pulang hampir tengah malam agar gajinya bertambah.
Rasa muak sudah lama Megan rasakan, namun keberadaan mamanya yang sakit membuatnya bertahan di neraka yang bernama rumah ini. Jika bukan karena ingin melindungi mamanya, maka sudah dari lama Megan akan angkat kaki dari sini.
"Uhuk...Uhuk..."
Suara terbatuk-batuk membuat Megan menoleh, ia melihat mamanya keluar dari dalam kamar. Megan berlari menghampiri mamanya, mengabaikan rasa sakit yang masih menjalar dipipinya.
"Kamu sudah pulang?" tanya Arista -mamanya-.
Megan menuntun mamanya membawa ke sebuah sofa usang satu-satunya dirumah itu. "Mama ngapain keluar kamar?" tanya Megan lembut.
Bastian berkacak pinggang melihat interaksi ibu dan anak didepannya. "Anak sama ibu sama-sama nggak ada gunanya!" umpat Bastian sambil menunjuk Megan bergantian dengan mamanya.
Megan hampir berdiri dan bersiap untuk membalas ucapan papanya, ketika mamanya menahannya dan menggelengkan kepalanya.
Bastian pergi meninggalkan tawa menggema di rumah berukuran 4x6 meter itu. "Minum lagi," ujarnya girang.
"Ma, kita pergi yuk dari sini. Papa udah kelewatan," ajak Megan.
Arista menggeleng. "Mama sudah bersumpah menemani papamu dalam keadaan apapun. Sumpah pernikahan bukan permainan, Nak," jawab mamanya.
Air mata Megan menetes mendengar kata-kata mamanya. Kenapa orang sebaik mamanya bisa mendapat cobaan seberat ini?
Apa ini hukuman Megan atas perbuatannya di masa lampau? Kalau iya, mengapa mamanya harus ikut menanggung hukuman untuknya?
Megan yang dulu sangat berbeda dengan sekarang. Megan yang dulu dipuji-puji, disanjung dan dihormati, kini berubah menjadi Megan yang bukan siapa-siapa.
Benar roda hidup berputar, tapi Megan tidak mengira putarannya akan secepat ini. Menjungkirbalikan kehidupan mewah Megan yang serba berkecukupan menjadi pas-pasan.
Megan ingin mengadu, namun apa Tuhan mau menerima aduan darinya?
"Kamu istirahat ya." Tangan Arista bergerak mengelus lembut kepala Megan.
Megan mengangguk, ia menuntun mamanya terlebih dahulu untuk kembali ke kamar.
***
Tok... Tok... Tok..
Terdengar pintu rumahnya diketuk dengan tidak sabaran. Megan bangun sembari memegang kepalanya yang pusing, ia tidak bisa tidur nyenyak semalam. Otaknya terus berjaga memikirkan tagihan-tagihan yang pasti segera menghampirinya.
"Iya, sebentar," teriak Megan dari dalam. Ia menyanggul asal rambutnya keatas lalu tangannya membuka pintu.
"Uang kontrakan."
Seorang wanita dengan tas merk Phannel di tangannya, mengulurkan tangan ke arah Megan.
Megan tergagap, ia tidak menyangka akan ditagih uang kontrakan sepagi ini.
"Mana?!" teriak wanita itu saat Megan tidak segera memberikan yang diminta.
"U-uangnya belum ada, Bu. Kalau minggu depan, boleh nggak?"
"Mundur lagi? Ini yang keberapa kalinya kamu bayar mundur terus?!" teriak wanita itu, ia menunjuk-nunjuk Megan dengan jarinya yang lebih mirip toko mas berjalan karena terdapat banyak perhiasan menempel disana.
"Maaf, Bu. Uangnya belum ada, saya belum gajian."
Itu hanya alasan Megan saja karena semua uang gajinya sudah diambil oleh papanya tadi malam.
"Minggu depan ya. Kalau minggu depan kamu tidak sanggup bayar, angkat kaki dari sini!"
Wanita itu pergi meninggalkan Megan tanpa menunggu Megan menjawab. Sekarang, Megan harus memutar otak mencari pekerjaan yang bisa memberinya bayaran dalam waktu satu minggu.
"Megan?"
Megan menoleh, mamanya sudah berdiri disana. Bisa dipastikan Arista mendengar keributan antara Megan dengan pemilik kontrakan tadi.
Arista mencopot anting yang menempel ditelinga lalu mengulurkan pada Megan. "Jual ini aja dulu. Lumayan untuk bayar kontrakan dan biaya hidup sampai bulan depan," ujar Arista.
Megan mendorong tangan mamanya kembali, ia menolak tegas. "Nggak, Ma. Megan masih punya tabungan kok," jawab Megan.
Dua kebohongan sudah Megan ucapkan hari ini. Tapi itu semua ia lakukan agar tidak menambah pikiran mamanya, cukup ia saja yang pusing asal jangan mamanya.
***
Bersambung...
Megan mendapatkannya. Setelah berupaya mencari informasi kesana-sini akhirnya ada juga pekerjaan yang bisa Megan kerjakan dengan upah mingguan.Uang dua juta akan menjadi upahnya minggu depan, Megan hanya bertugas menyebar brosur sebuah perusahaan real estate hingga habis setiap harinya.Sebuah nominal yang fantastis jika disandingkan dengan pekerjaan yang cukup mudah. Megan mengiyakan saja saat dijelaskan tugasnya, ia akan menyebar brosur di dua waktu, pagi dan malam hari. Karena Megan punya pekerjaan tetap sebagai pelayan kafe, yang jam kerjanya dari pukul sembilan pagi hingga lima sore. Megan juga bersyukur karena pekerjaan sampingan itu tidak mengganggu jam kerja utamanya.Megan membawa satu kresek brosur yang harus ia sebar mulai besok.Megan cantik, mungkin itulah yang menjadi point plus mereka mau mengambil Megan sebagai penyebar brosur, body yang Megan miliki juga bagus. Mampu membuat siulan setiap lelaki
Megan melepas tag nama yang menempel didadanya dan menyerahkan pada manajer kafe didepannya."Megan, Megan. Kamu salah mencari lawan. Papa perempuan yang datang bersama pacarnya kesini adalah sahabat dari pemilik kafe ini. Maaf saya tidak bisa membantu kamu," ucap manajer itu.Megan melangkah gontai keluar dari ruangan manajernya. Pacar Tristan benar-benar melaporkan Megan pada pemilik kafe yang membuat Megan dipecat saat itu juga.Galang yang melihat itu mencegat Megan. "Dipecat?""Semangat ya!" Megan mengepalkan tangannya layaknya seorang motivator.Raut wajah Megan dan ucapannya sudah menjadi jawaban atas pertanyaan Galang.Galang memeluk Megan, memberi semangat padanya. Satu tahun menjadi partner bekerjanya membuat Galang menyayangi Megan seperti adiknya sendiri.Megan menatap bangunan ini untuk yang terakhir kalinya. Bangunan yang ba
Perkataan Angela berpengaruh dalam sisa hari Mark. Pernyataan bersedia gadis itu yang artinya mau tidak mau Mark harus mengikuti permainan Angela untuk berpura-pura dan itu membuat mood Mark terjun bebas."Pedro, apa malam ini La Hosta buka?" tanya Mark.Pedro yang sedang berdiri mengamati sekitar, lalu menjawab, "buka, Tuan. Tuan Mark ingin kesana?"Mark berdehem sebagai jawabannya lalu ia kembali mengokang pistolnya, menutup satu matanya dan menekan pelatuk.Menembak adalah salah satu pelampiasan yang Mark lakukan saat pikirannya dan emosinya tidak stabil. Seperti saat ini, ia butuh pelampiasan agar suasana hatinya membaik.Selain menembak ada satu cara pelampiasan lain yang biasa Mark lakukan.***Pintu kamar dibuka dari luar, badan Megan diguncangkan beberapa kali. Begitu matanya terbuka, sebuah pakaian dilemparkan padanya.&nb
"Kenapa tidak sekalian saja kau buka bajumu?" Megan berhenti. Netra hazelnya menatap pada lelaki yang tadi menyebutkan angka satu milyar. Apa maksud perkataan lelaki ini? Ini sudah termasuk pelecehan bukan? "Maaf, anda bilang apa?" tanya Megan. Mark memandang sinis ke arah Megan. Anda katanya? Apa perempuan ini sedang bermain drama? Berpura-pura tidak mengenalinya? Memang tidak salah jika julukan Ratu Drama disematkan padanya semasa kuliah. Baiklah, Mark akan meladeni sampai dimana ia mampu bermain drama. "Kenapa tidak sekalian kau buka bajumu?" tanya Mark. Gelas wine ditangannya sudah berpindah di meja. Mark memutar kursinya menghadap Megan, tangannya bersidekap, kakinya menyilang dan matanya intens terfokus pada Megan yang terlihat kebingungan dengan ucapannya. "Aku sudah membelimu satu milyar, jadi
Megan terbangun di sebuah ruangan yang berbeda, ruangannya tidak sebesar yang sebelumnya. Setelah kejadian semalam, Mark dengan tidak berperasaan mengusir Megan begitu saja keluar dari kamarnya. Ternyata ruangan sebelumnya yang ditempati Megan itu adalah kamar Mark, pantas saja luasnya membuat berdecak kagum. Tapi ruangan yang Megan tempati sekarang pun tidak kalah luas dan mewah untuk ukuran kamar tidur, bahkan lebih luas jika dibandingkan dengan kamar tidur dirumah mewah Megan dulu. Nuansa putih dan krem mendominasi disana, satu lampu gantung raksasa berkilau menancap di plafon tengah ruangan, dua lemari besar ada di sisi ranjang, satu sofa terletak di depan ranjang ditambah tv layar datar yang tiba-tiba muncul dari dalam tembok jika Megan memencet remotenya. Tok... Tok... Tok... Megan belum selesai mengagumi kamar yang ia tempati saat pintu diketuk. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk
Megan adalah perempuan pertama yang dibawa Mark ke mansion ini selama Paula bekerja untuk Mark. "Pau? Mark itu orangnya seperti apa?" tanya Megan pada Paula yang sedang sibuk merapikan tanaman hias gantung. "Tuan Mark itu tidak bisa dibantah Nona. Tapi sebenarnya dia baik," jawab Paula. Huh, baik? Paula mengatakan itu karena Mark menggajinya. "Dia menakutkan ya?" Paula tertawa, lalu menoleh menatap Megan. "Nada bicara Tuan Mark memang seperti itu." "Boleh aku berkeliling tempat ini?" tanya Megan. Paula mengangguk. "Asal jangan naik ke lantai 3," Paula mengingatkan, jikalau Megan lupa. "Memang ada apa di lantai 3?" Megan ini tipe yang rasa penasarannya tinggi. Jika dilarang maka ia akan semakin penasaran. "Saya juga tidak tahu. Tapi sejak pertama saya bekerj
"Peraturan ketiga segera dimulai." Megan tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia ingin bergerak namun tubuh Mark mengunci pergerakannya. "Mau melakukan disini atau dikamarku?" tanya Mark. Suara rendah Mark penuh gairah dan tuntutan. Megan mati kutu. Lagipula kenapa ia bisa tertidur disini? Alih-alih masuk kamar dan mengunci pintunya. Tatapan tajam Mark masih setia mengintimidasi Megan yang berada dibawahnya. Mark fokus menelusuri wajah Megan, matanya, hidungnya, bibirnya dan senyum Megan yang dulu membuat Mark merasakan luka. Karena senyum itu yang menjerat Mark dan berakhir menjadi bahan taruhan. "Bangun!" sentak Mark tiba-tiba. Ia menarik bahu Megan kasar sehingga perempuan itu terduduk. Pergelangan tangan Megan di cengkeram Mark, terlihat bahwa Mark berupaya menarik Megan memasuki kamarnya. Megan mati-matian melawa
Ruangan yang dipenuhi warna hitam dan coklat itu hening. Lima belas orang yang hadir disana, sudah duduk dikursi masing-masing tanpa suara. Fokus mata mereka berada di satu titik, didepan. Theo, asisten dan orang kepercayaan Mark bersuara didepan, memimpin rapat siang ini. Mark tidak akan bicara jika tidak diperlukan atau ada yang salah. Jadi selama Mark diam itu tandanya laporan yang mereka setorkan baik-baik saja, Mark tidak mentolerir kesalahan dalam laporan yang digunakan untuk bahan evaluasi dalam meeting. Sekecil apapun itu. 45 menit waktu meeting akhirnya selesai juga. Ditutup dengan hasil akhir bahwa proyek salah satu hotel yang ada di Negeri Gajah Putih akan selesai tiga bulan kedepan, setelah itu Mark dan beberapa petinggi perusahaan akan terbang kesana untuk melakukan peresmian. Mark meninggalkan ruang meeting terlebih dahulu. Sambil berjalan, Mark meraih ponsel didalam saku, ia memencet nomor tele