“Kau baru bangun?”
Anna tersentak ketika dia melihat Pamela yang masih terjaga di dapur. Anna menghampirinya dengan tatapan setengah mengantuk, tapi juga setengah menahan rasa pusing di kepala.
“Kau belum tidur, Mom?” Anna melirik jam di nakas yang telah menunjukkan angka satu.
“Aku akan tidur sebentar lagi setelah menyelesaikan ini. Kau tahu mereka menyukai roti lapis buatanku dan memesannya lagi untuk dua hari mendatang,” kata Pamela senang.
“Aku ikut senang mendengarnya, Mom. Katakan padaku jika kau memerlukan bantuan.”
Pamela mengangguk, lalu ikut bergabung dengan Anna merebahkan dirinya di sofabed.
“Kau pulang dalam keadaan mabuk, Anna,” kata Pamela memulai obrolan, lalu menyingkirkan rambut-rambut halus yang menutupi mata Anna sebelum melanjutkan perkataannya.
“Aku tidak pernah melihatmu pulang dalam keadaan tidak sadarkan diri seperti itu, Sayang. Ada apa sebenarnya?”
“Tidak ada, Mom. Aku hanya salah menegak whiskey yang berkadar alkohol tinggi. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Kuharap aku tidak mengatakan hal-hal aneh selama aku mabuk.”
“Aku pikir tidak,” sahut Pamela. “Katanya kau cukup tenang untuk ukuran orang mabuk.”
“Benarkah? Tapi, aku tidak yakin. Chris bahkan pernah mengungkitnya saat acara promnite semasa SMA dulu,” lanjut Anna.
“Chris?” Pamela mengulangi kata-katanya. “Kau pergi bersama Chris ke bar?”
Anna mengangguk. “Ya. Chris mengundangku ke acara temannya di The Baxter Inn sepulang dari kedai. Apakah dia tidak mengatakan apa-apa padamu?”
Pamela mendadak membungkam. Wanita itu seolah dipaksa untuk menggabungkan serpihan memori yang tentu tidak mungkin semudah itu dilupakannya. Dia merasa seperti ada sesuatu yang tidak sinkron antara ucapan Anna dan kenyataan yang dialaminya beberapa saat lalu.
“Mom? Kenapa kau tiba-tiba diam?” tanya Anna merasa heran. Anna mengubah posisi tubuh rebahannya menjadi duduk—menatap Pamela dengan penuh rasa was-was terhadap apa pun yang mungkin diperbuatnya selama dia tidak sadarkan diri.
“Apakah Chris mengatakan sesuatu padamu, Mom? Tidak apa-apa katakan saja,” ulang Anna sekali lagi.
Pamela menggeleng. “Sebetulnya aku merasa aneh. Kau bilang kalau kau pergi bersama Chris, tapi kenapa orang lain yang mengantarmu pulang?”
“Orang lain? Siapa?” Anna kembali bertanya.
“Andrew. Bahkan dia pula yang menggendongmu sampai ranjang.”
Anna melebarkan matanya. Seorang billioner sekelas Andrew Lewis rela melakukan semua itu untuknya? Sepenting apa dirinya sampai membuat pria berkelas seperti Andrew Lewis melakukan semua itu?
“Mom, apa kau yakin dia Andrew? Maksudku bisa saja kau setengah mengantuk dan kesulitan mengenali orang,” tanya Anna lagi masih setengah tidak percaya.
“Umurku mungkin sudah tidak muda, tapi mengenali wajah siapa yang menggendong putriku jelas aku sangat bisa. Apa kau pikir aku serabun itu?” Pamela memprotes tidak terima.
“Maafkan aku, Mom. Tapi, aku sama sekali tidak pergi bersamanya. Lagi pula, …."
Anna tercekat. Dia tiba-tiba teringat. Mereka memang tidak pergi bersama, tapi mereka tidak sengaja bertemu di sana. Tapi, kenapa? Kenapa Andrew Lewis melakukan semua ini? Lalu, Chris Rowell? Di mana pria itu semalam? Kenapa bukan pria itu yang mengantarnya pulang? Ini benar-benar gila. Ini sungguh tidak masuk akal.
***
Dear Anna,
Setelah melihat antusias pembaca terhadap naskah Anda yang berjudul HOLD ON, maka Anda berkesempatan kami undang untuk menjadi salah satu keluarga full time writer yang terpilih. Silahkan klik tautan di bawah ini untuk melihat keuntungan apa saja yang akan Anda peroleh selama menjadi full time writer. Jika Anda tertarik balas email ini dengan melampirkan kartu tanda pengenal beserta dokumen pendukung mengenai diri Anda.
Anna membulatkan matanya setengah tidak percaya sehingga membacanya beberapa kali. Tidak hanya naskahnya saja yang diterima beberapa waktu lalu, tapi sekarang justru tawaran untuk menjadi seorang penulis tetap pun datang kepadanya. Antara percaya dan tidak, Anna melonjak kegirangan bukan main. Anna menyambar benda pipih yang sedari tadi sengaja dia abaikan di atas ranjang dan memulai berselancar ke aplikasi di mana naskahnya itu bertempat tinggal.
Kembali Anna terbelalak. Dua puluh ribu pembaca dan belum ada satu minggu Anna publish di sana. Antusias pembaca pada penulis pendatang baru seperti dirinya ternyata tidak main-main. Anna sendiri pun tidak menyangka naskah erotis hasil olahan tangannya cukup disukai.
Keberhasilan didapat karena usaha dan kesabaran, Anna mempercayai itu. Tanpa pikir panjang lagi Anna membalas email itu beserta dokumen yang diminta dengan satu kali klik. Dia bahkan tidak berhenti tersenyum karena senangnya.
“Selamat pagi, Anna.”
Anna tertegun. Belum selesai Anna membereskan pertanyaan di kepalanya semalam, pagi ini Andrew Lewis telah kembali duduk di sana dengan secangkir kopi di tangan. Pria itu melempar senyum pada Anna yang cukup untuk membuat hati wanita mana pun meleleh, tanpa terkecuali dirinya. Andrew Lewis mendekat dan mendorong tubuh Anna untuk bergabung dengannya di meja makan.
“Sarapan itu penting, Anna,” cetus Andrew Lewis lagi tanpa mengurangi senyumnya. “Apa tidurmu semalam nyenyak? Apakah kepalamu masih sakit?”
“Apa urusan Anda tidak bisa ditunda sampai harus datang kemari sepagi ini, Tuan Andrew?” tanya Anna tanpa sedikit pun menggubris pertanyaan Andrew Lewis. Anna menatap tanpa berkedip pria disampingnya. “Apartemen ini bukan kedai kopi yang setiap Anda butuh kopi bisa langsung Anda dapatkan secara gratis.”
Andrew tertawa mendengarnya. Baru kali ini ada wanita yang bertanya seperti itu padanya.
“Bibi Pamela yang mengundangku masuk, Anna. Kau boleh protes padanya.”
Anna beralih pandangan ke ibunya. Pamela hanya mengangguk membenarkan perkataan pria itu.
“Tapi, bukan berarti Anda menerima setiap tawarannya, kan?” lanjut Anna masih tidak terima.
Andrew Lewis terdiam. Diam-diam dia membenarkan perkataan Anna. Memang sulit sekali menolak tawaran Pamela beberapa saat lalu dan itu diakuinya. Tidak tahu kenapa sejak dia membawa pulang Anna semalam mendadak keinginan untuk berada di dekat wanita itu semakin dalam.
“Ehem—” Anna berdehem. Dia menunggu jawaban Andrew Lewis. “Bahkan Anda kesulitan untuk menjawab pertanyaan saya,” tukasnya lagi.
Andrew Lewis menggeleng menyerah. “Baiklah aku akan pergi dari sini, tapi—” Pria itu sengaja menjeda kalimatnya. Dia membalas tatapan Anna sejenak kemudian memalingkan wajahnya ke Pamela.
“Boleh aku pinjam putrimu sebentar, Bibi Pamela. Ada banyak sekali yang harus kami bicarakan berdua. Dan aku tidak bisa mengatakannya di sini.”
Pamela mengerjap. Berdiam diri sejenak untuk mengatasi keterkejutannya dan beberapa saat kemudian dia menganggukkan kepala memberikan izin. Tanpa sedikit pun mempedulikan Anna yang bersiap untuk memrotes atas keputusannya.
“Mom?!” Anna melebarkan matanya karena tidak percaya. “Are you kidding me?”
Sungguh aneh. Mendadak bibir Anna membungkam dengan sendirinya. Anna seperti seorang penurut dan menuruti semua yang ibunya katakan. C’mon! Apa yang terjadi padamu, Anna? Apa yang membuat mulutmu terkatup hingga tak berdaya seperti ini?
Anna kembali tidak mengerti. Dia hanya bersikap pasrah dalam diam mengikuti Andrew Lewis yang tengah mendorong tubuhnya menuju pintu meninggalkan apartemen.
Tidak tahu seluas apa kekuasaan yang dimiliki seorang Andrew Lewis. Pasalnya bahkan hanya untuk masuk ke bioskop pun mereka tidak melakukan seperti yang biasanya orang lakukan. Selimut ditiap kursi telah tersedia berikut dengan popcorn serta minuman. Anna mengunyah popcorn dengan perasaan kesal yang belum hilang. Dia benar-benar merasa dipermainkan oleh pria disampingnya. “Kau tidak suka filmnya?” bisik Andrew Lewis lirih di telinga Anna yang membuat wanita itu kaget setengah mati. Mata mereka saling beradu. Senyum pria itu kembali membuat Anna tidak bisa berkata-kata. Sepertinya seperti inilah cara pria itu menaklukkan hati wanita-wanita di sekitarnya. “Kalau kau merasa film ini membosankan, kita bisa tinggalkan tempat ini sekarang,” lanjutnya kemudian. Anna menelan ludahnya. “Sebenarnya apa yang Anda inginkan dari saya, Tuan Lewis?” Senyum Andrew Lewis kembali menghampiri. “Kau boleh memanggilku Andrew, Anna.” “Tidak bisa. Saya tidak memiliki wewenang memanggil nama Anda.” “W
“Jadi, namanya Anna Wijaya.” Andrew Lewis menoleh ketika melihat saudara kembarnya Andreas masuk tanpa permisi ke ruang pribadinya dengan ocehan yang sama sekali tidak dia pahami. “Kenapa kau menatapku seperti itu? Terkejut?” sahut Andreas ketika melihat Andrew Lewis hendak memprotes perkataannya barusan. “Jangan salahkan aku, Andrew. Begitu banyak dokumen yang berada di atas meja Alex semuanya merujuk pada satu nama. Anna Wijaya, wanita yang mulai kau gilai diam-diam. Sudah sejauh apa kau menyelidiki wanita ini.” Andrew Lewis mendengus tanpa berniat menimpali. Karena sepertinya percuma saja dia menjawab rasa penasaran Andreas. Saudara kembarnya itu pasti selalu satu langkah di depannya dalam hal apa pun. “Hei, mau sampai kapan kau mengabaikanku? Ceritakan sedikit seperti apa wanita bernama Anna Wijaya itu. Bukankah sudah banyak yang kau lakukan untuk mendekatinya.” Kenyataannya Andrew Lewis sedikit terusik hingga menghentikan pekerjaannya. Dia memutar kursi meninggalkan singgasan
Pemandangan Sydney Opera House di malam hari membuat Anna berdecak kagum. Dia tidak mengalihkan pandangan sedikit pun saat kaca jendela mobil dibuka selebar-lebarnya oleh pria yang saat ini membawanya ke tempat yang mereka tuju. Anna bahkan tidak pernah bermimpi akan datang ke tempat ini lagi. “Tuan Lewis sudah menunggu Anda di dalam, Nona Anna.” “Thank you, Alex,” sahut Anna. Pria bernama Alex itu mengangguk. Sejujurnya Anna tidak mempunyai banyak gaun yang cocok selain gaun pemberian Chris Rowell. Gaun yang sama ternyata mengantarkannya ke tempat yang sama pula. Anna merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Menghadiri makan malam mewah di salah satu resto yang mungkin hanya orang beruang saja yang sanggup apalagi bersama dengan pria pengatur roda perekonomian. Ya, akan banyak sekali wanita di luar sana yang iri dengan Anna. Andrew Lewis sudah lebih dulu berada di sana. Di meja paling ujung serta paling privasi menunggu dirinya dengan gelas berisi anggu
Anna mematung di depan kaca bernuansa vintage yang dibelinya di Paddy’s Market bersama Chris Rowell tiga tahun yang lalu. Bukan retakan pada pinggiran kaca yang membuat Anna terpaku, tapi tentang apa yang telah dilakukannya semalam sudah di luar batasan. Anna menyerahkan harta berharganya begitu saja tanpa perlawanan, tanpa negosiasi, bahkan tanpa kompensasi apa-apa. Anna meraup wajahnya kemudian terduduk di tepi ranjang. Anehnya bukan masalah itu yang membuat Anna gelisah. Hanya persoalan waktu saja harta berharga itu akan terenggut. Anna kembali meraup wajahnya, mendadak ingatan semalam bermunculan. Sydney Opera House seakan menjadi saksi bisu atas semua perlakuan manis seorang Andrew Lewis pada dirinya. Sentuhannya sungguh tidak bisa Anna abaikan begitu saja. Pria itu memperlakukan Anna begitu lembut dari satu sentuhan ke sentuhan lainnya. Mengajari Anna menikmati sesuatu yang baru saja dikenalnya. Bulu kuduk Anna terasa merinding. Betapa dia merasa malu karena membiarkan kewarasa
Andrew Lewis meraba sisi kiri ranjangnya. Pria itu tertegun sejenak ketika menemukan Anna sudah tidak ada di sebelahnya. Andrew Lewis tertidur teramat nyenyak sampai dia sendiri tidak merasakan adanya pergerakan apa pun dari sisi ranjangnya. Andrew Lewis meraih benda pipih di atas nakas, menggeser menunya, serta mencoba menghubungi Anna. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. Celana dalam masih melekat saat beranjak dari atas ranjang. Andrew Lewis merasa tubuhnya menjadi sedikit lebih bugar. Aktivitas bersama Anna semalam benar-benar membawa perubahan, terutama untuk tubuhnya. Andrew Lewis keluar dari kamar mandi dengan rambut masih setengah basah ketika petugas room service tengah merapikan segala sudut kamar. Sarapan menyehatkan pun telah tersaji di atas meja. “Sarapan Anda sudah siap, Tuan Lewis.” Meskipun terasa dingin, menyesap secangkir kopi cukup untuk mengawali pagi hari ini. Sesekali Andrew Lewis mengawasi segala pergerakan para petugas hotel yang hilir mudik melakuk
Satu minggu berlalu sejak insiden Sydney Opera House. Anna tidak pernah sekalipun bertemu lagi dengan Andrew Lewis. Pria itu seakan hilang dari muka bumi tanpa adanya komunikasi apa pun. Sebenarnya Anna cukup merasa lega tidak ada yang mengusiknya namun entah kenapa terasa berbeda. Setelah mengakui jika dirinya mencintai pria itu, justru membuat Anna semakin sulit terlelap di malam hari. Setiap malam Anna selalu terusik dengan kejadian panas yang telah mereka lakukan di malam itu. Seolah-olah kejadian itu baru saja mereka lakukan kemarin, terasa sangat nyata hingga menimbulkan gelenyar aneh di tubuh Anna. Anna mungkin gila, tapi seperti itulah yang dirasakannya. Sore itu Anna berjalan menuju apartemen dengan dua kantong belanjaan dalam pelukannya. Jalanan malam cukup sepi ditambah dengan udara dingin yang makin mencekam—membuat Anna semakin mempercepat langkahnya. Betapa terkejutnya Anna ketika melihat pintu apartemennya terbuka dengan pria tak dikenal berdiri di garis pintu bersama
“Astaga, Anna. Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Tolong beri aku waktu untuk berpikir, Sayang.” “Apakah sesulit itu?” Anna balas bertanya. “Mom, aku tidak peduli siapa itu Jason Luthor. Aku hanya ingin kau berkata jujur.” Pamela menutup mulutnya kemudian merobek kartu nama itu dan membuangnya ke tempat sampah. Lepas itu Pamela menghilang bersembunyi di kamarnya dalam waktu yang lama dan entah kapan akan keluar dari sana. *** Anna terduduk di sofa untuk waktu yang lama setelah perdebatannya dengan Pamela. Pamela bahkan belum keluar dari kamarnya sejak satu jam yang lalu. Anna menghela napas beratnya. Mendadak Anna merasa bersalah. Mendadak Anna menyesali perilaku yang memaksa Pamela untuk mengaku. Padahal dia tahu tidak selamanya rahasia bisa dikatakan secara lugas seperti yang Anna mau. Pamela bukan dirinya. Wanita itu akan berubah menjadi perasa sekali kalau sudah menyangkut masalah Richie. Pamela teramat mencintai ayahnya. Seharusnya Anna lebih mengerti itu. Anna membayangk
“Jadi, katakan! Sebenarnya, apa tujuanmu membawaku kemari, Tuan Luthor?” Tekanan pada pertanyaan Anna membuahkan hasil. Edward menyerahkan sebuah map berisi lembaran kertas untuk Anna pelajari. Anna tidak bodoh, tapi Anna juga belum cukup mengerti maksud isi dari kertas yang saat ini sedang dibacanya. “Kertas itu berisikan informasi mengenai segala aset yang dimiliki oleh Luthor Corp dari tahun ke tahun. Untuk sementara mungkin baru sebagian saja yang kutunjukkan, sisanya akan Edward berikan lagi padamu,” jelas Jason Luthor pada Anna. Anna masih bergeming dengan kedua tangan memegang kertas. Anna membacanya satu per satu mencerna kalimat demi kalimat yang tertulis di sana. Angka nominalnya pun membuat Anna harus kesulitan menelan saliva. “Untuk apa kau memberikanku salinan aset milikmu ini? Ingin pamer?” Perkataan pedas Anna yang dia lontarkan justru membuat Jason Luthor tertawa. Pria tua itu seperti tidak menyangka akan menerima respon mengejutkan seperti ini darinya. “Kau mener