“Jadi, kalian sudah pernah bertemu sebelumnya? Holy shit! Kau sungguh beruntung, Anna.”
Belum selesai Anna menguap, pertanyaan paling ingin dia hindari mendadak muncul. Apalagi diikuti dengan umpatan.
“Bagaimana mungkin, Anna? Bagaimana caramu bertemu dengan pria setenar dia?”
Anna menghela napas beratnya. Dia melepaskan topi yang menutupi kepalanya dengan kasar kemudian berusaha menceritakan satu per satu kejadian yang dia alami saat di Sydney Opera House. Gelengan kepala Samantha mengundang pertanyaan tambahan untuknya.
“Kenapa? Kau tidak memercayaiku?” Anna terlihat tersinggung. Tidak ada keuntungan untuk Anna melebih-lebihkan sesuatu hanya karena kedudukan pria itu.
“Oh c’mon, Anna. Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa kalau kau cukup beruntung bisa bertemu langsung dengan Andrew Lewis. Kau tahu banyak wanita yang rela antri hanya demi berbicara dengannya, sedangkan kau hanya berdiri saja dan pria itu yang menghampirimu.”
Anna memutar bola matanya. Sebetulnya, Anna tahu kalau Samantha tidak bermaksud seperti itu, tapi tetap saja dia tidak suka.
“I’m so sorry jika perkataanku membuatmu merasa tidak nyaman.” Samantha mendekatinya dengan usapan ringan di pundak. “Sebetulnya, aku lebih penasaran satu hal, Anna. Bagaimana reaksi Chris Rowell ketika melihatmu berbincang dengan Andrew Lewis? Apakah dia cemburu?”
“Cemburu?” Dahi Anna tiba-tiba berkerut. Sepertinya ada sesuatu yang telat dia sadari di sini.
“Yup,” sahut Samantha tiba-tiba berubah antusias.
“Kenapa Chris harus cemburu pada Andrew, Sam?” kata Anna sama sekali tidak mengerti.
“Pria bernama Chris itu menyukaimu, Anna. Bukankah sudah pernah kukatakan.”
“Dan kenapa kau selalu mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal, Sam? Sudahlah, kita akhiri saja. Aku tidak ingin membahas masalah ini lagi. Chris dan aku, kami adalah keluarga. Titik.”
Bersamaan dengan berakhirnya perkataan Anna, Chris Rowell mendadak muncul di depan mereka.
“Kalian sedang bertengkar?” tanya Chris Rowell dengan leher yang sengaja dijulurkan—menatap ke arah Samantha yang berdiri dibalik meja counter pemesanan persis di belakang Anna. “Baru kali ini aku mendengar kalian berdua beradu mulut seperti tadi. Aku bersedia membantu jika memang kalian butuhkan.”
“No need, Chris. Ini hanyalah persoalan salah paham saja. Terkadang wanita sering berbeda pendapat kalau sudah menyangkut masalah pria.”
“Pria?” Chris Rowell mengulangi perkataan Anna. “Kau juga membahas persoalan pria dengan Sam?”
“Sama halnya dengan pria yang membahas masalah ukuran dada dan bokong wanita bersama teman sesama pria, kan.”
“Kau berkata seolah-olah semua pria itu sama, Anna. Aku bahkan tidak pernah membahas hal menggelikan seperti dugaanmu itu.”
“Really?” Mendengar jawaban Chris Rowell tiba-tiba membuat Anna terbelalak kaget. “Oh Chris, kau boleh pintar, tapi kenapa hidupmu jauh dari kata menyenangkan?” Anna menahan tawanya.
“Dan kau kenapa begitu bersemangat sekali mengurusiku, hm?”
Tawa Anna mendominasi kedai saat ekspresi Chris Rowell sengaja dibuat-buat seolah pria itu tengah marah padanya. Untung saja kedai sedang sepi hanya ada mereka berdua dan Samantha yang sedang sibuk menghitung uang di mesin kasir. Melihat hal itu Anna merasa tidak enak sendiri. Samantha memang memberikan izin beberapa menit untuk mengobrol bersama Chris Rowell namun tetap saja Anna merasa ini sangat tidak adil untuk wanita itu.
“Sebaiknya kau cepat pergi, Chris. Aku tidak ingin dipecat karena terlalu sering menemanimu tiap kali kau datang kemari.”
“Kenapa? Aku pelanggan dan aku juga membeli minuman di sini. Lagi pula, bukankah sebentar lagi adalah jam istirahat?”
“Benar, tapi tetap saja aku tidak bisa selalu menemanimu setiap kali kau kemari. Ini tidak adil untuk Samantha.” Anna tiba-tiba meninggalkan posisi duduknya. Kedua tangannya ada di kedua saku apron dan bersiap kembali ke tempatnya.
Chris Rowell menatap ke arah Anna sejenak sebelum memutuskan meninggalkan posisi duduknya. Sesungguhnya Chris Rowell sedikit merasa menyesal datang kemari. Bukan karena persoalan waktu yang dihabiskan bersama Anna yang terlalu singkat namun Anna ternyata merasa terganggu atas kedatangannya.
“Kalau begitu berjanjilah kau akan menemaniku nanti malam, Anna. Ada pesta yang diadakan oleh temanku di sebuah bar. Mereka ingin kau datang.”
“Kenapa mereka selalu mengajakku?” tanya Anna heran.
“Entahlah. Mungkin mereka menyukaimu. See you later, Anna,” kata pria itu sebelum hilang dari pandangan Anna.
***
Chris Rowell benar-benar menjemput Anna ketika jam kerjanya selesai. Kali ini mereka pergi dengan taksi agar lebih aman. The Baxter Inn adalah tempat yang paling sempurna untuk menikmati beraneka ragam jenis whiskey.
Semua botol whiskey tersusun rapi di rak dinding dan untuk menjangkau rak teratas terkadang harus memerlukan bantuan tangga. Lokasinya yang berada di bawah tanah pun juga tidak membuat para penikmat whiskey kesulitan untuk mencarinya. Justru malah menjadi tantangan tersendiri sebelum menikmati segelas whiskey di tangan.
“Kau bisa memesan apa pun yang kau mau, Anna. Enjoy your time,” kata salah seorang teman Chris Rowell ketika mereka berdua tiba. “Ada berbagai jenis whiskey di sini. Kau bisa mencobanya.”
Anna mengangguk padahal dia sama sekali tidak mengenal pria itu. “Sure, thank you.”
Anna menghela napas. Baru sekali ini dia merasa tidak bisa berbaur dengan orang-orang baru. Chris Rowell bahkan tidak mengikutsertakan dirinya dalam obrolan. Chris Rowell seperti menganggap Anna sebuah boneka yang hanya bisa diajak, dipamerkan tanpa mempedulikan bagaimana perasaan dirinya.
Lalu, Anna mundur beberapa langkah—menjauhi kerumunan serta berdiam diri di sudut meja dengan segelas whiskey di tangan. Anna memutar cairan yang tercampur dengan es batu itu beberapa kali sebelum berakhir ditenggokkan.
Yuck! Ternyata tidak seenak yang dibayangkan.
Tepukan dibahu Anna menambah kejutan lain. Anna mengerjap. Lagi-lagi sosok Andrew Lewis berdiri di depan matanya. Apa saat ini dia sedang mabuk dan sedang berhalusinasi?
“Kalau kau bukan penikmat whiskey, lebih baik jangan mencobanya. Lagipula, ini—” Andrew menyambar gelas whiskey di tangan Anna dan menyesapnya. “Siapa yang memberikanmu whiskey dengan kadar setinggi ini? Kau bisa tak sadarkan diri jika menghabiskannya, Anna.”
Nyata. Pria di depan Anna itu nyata. Buktinya ketika Anna kehilangan keseimbangan, lengan Andrew Lewis telah lebih dulu menangkapnya. Aroma maskulin yang menyeruak dari tubuh pria itu membuat kepala Anna bertambah pusing. Anna hanya tahu tiba-tiba saja pandangan matanya memburam dan dia telah jatuh terlelap.
“Kau baru bangun?” Anna tersentak ketika dia melihat Pamela yang masih terjaga di dapur. Anna menghampirinya dengan tatapan setengah mengantuk, tapi juga setengah menahan rasa pusing di kepala. “Kau belum tidur, Mom?” Anna melirik jam di nakas yang telah menunjukkan angka satu. “Aku akan tidur sebentar lagi setelah menyelesaikan ini. Kau tahu mereka menyukai roti lapis buatanku dan memesannya lagi untuk dua hari mendatang,” kata Pamela senang. “Aku ikut senang mendengarnya, Mom. Katakan padaku jika kau memerlukan bantuan.” Pamela mengangguk, lalu ikut bergabung dengan Anna merebahkan dirinya di sofabed. “Kau pulang dalam keadaan mabuk, Anna,” kata Pamela memulai obrolan, lalu menyingkirkan rambut-rambut halus yang menutupi mata Anna sebelum melanjutkan perkataannya. “Aku tidak pernah melihatmu pulang dalam keadaan tidak sadarkan diri seperti itu, Sayang. Ada apa sebenarnya?” “Tidak ada, Mom. Aku hanya salah menegak whiskey yang berkadar alkohol tinggi. Setelah itu aku tidak ing
Tidak tahu seluas apa kekuasaan yang dimiliki seorang Andrew Lewis. Pasalnya bahkan hanya untuk masuk ke bioskop pun mereka tidak melakukan seperti yang biasanya orang lakukan. Selimut ditiap kursi telah tersedia berikut dengan popcorn serta minuman. Anna mengunyah popcorn dengan perasaan kesal yang belum hilang. Dia benar-benar merasa dipermainkan oleh pria disampingnya. “Kau tidak suka filmnya?” bisik Andrew Lewis lirih di telinga Anna yang membuat wanita itu kaget setengah mati. Mata mereka saling beradu. Senyum pria itu kembali membuat Anna tidak bisa berkata-kata. Sepertinya seperti inilah cara pria itu menaklukkan hati wanita-wanita di sekitarnya. “Kalau kau merasa film ini membosankan, kita bisa tinggalkan tempat ini sekarang,” lanjutnya kemudian. Anna menelan ludahnya. “Sebenarnya apa yang Anda inginkan dari saya, Tuan Lewis?” Senyum Andrew Lewis kembali menghampiri. “Kau boleh memanggilku Andrew, Anna.” “Tidak bisa. Saya tidak memiliki wewenang memanggil nama Anda.” “W
“Jadi, namanya Anna Wijaya.” Andrew Lewis menoleh ketika melihat saudara kembarnya Andreas masuk tanpa permisi ke ruang pribadinya dengan ocehan yang sama sekali tidak dia pahami. “Kenapa kau menatapku seperti itu? Terkejut?” sahut Andreas ketika melihat Andrew Lewis hendak memprotes perkataannya barusan. “Jangan salahkan aku, Andrew. Begitu banyak dokumen yang berada di atas meja Alex semuanya merujuk pada satu nama. Anna Wijaya, wanita yang mulai kau gilai diam-diam. Sudah sejauh apa kau menyelidiki wanita ini.” Andrew Lewis mendengus tanpa berniat menimpali. Karena sepertinya percuma saja dia menjawab rasa penasaran Andreas. Saudara kembarnya itu pasti selalu satu langkah di depannya dalam hal apa pun. “Hei, mau sampai kapan kau mengabaikanku? Ceritakan sedikit seperti apa wanita bernama Anna Wijaya itu. Bukankah sudah banyak yang kau lakukan untuk mendekatinya.” Kenyataannya Andrew Lewis sedikit terusik hingga menghentikan pekerjaannya. Dia memutar kursi meninggalkan singgasan
Pemandangan Sydney Opera House di malam hari membuat Anna berdecak kagum. Dia tidak mengalihkan pandangan sedikit pun saat kaca jendela mobil dibuka selebar-lebarnya oleh pria yang saat ini membawanya ke tempat yang mereka tuju. Anna bahkan tidak pernah bermimpi akan datang ke tempat ini lagi. “Tuan Lewis sudah menunggu Anda di dalam, Nona Anna.” “Thank you, Alex,” sahut Anna. Pria bernama Alex itu mengangguk. Sejujurnya Anna tidak mempunyai banyak gaun yang cocok selain gaun pemberian Chris Rowell. Gaun yang sama ternyata mengantarkannya ke tempat yang sama pula. Anna merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Menghadiri makan malam mewah di salah satu resto yang mungkin hanya orang beruang saja yang sanggup apalagi bersama dengan pria pengatur roda perekonomian. Ya, akan banyak sekali wanita di luar sana yang iri dengan Anna. Andrew Lewis sudah lebih dulu berada di sana. Di meja paling ujung serta paling privasi menunggu dirinya dengan gelas berisi anggu
Anna mematung di depan kaca bernuansa vintage yang dibelinya di Paddy’s Market bersama Chris Rowell tiga tahun yang lalu. Bukan retakan pada pinggiran kaca yang membuat Anna terpaku, tapi tentang apa yang telah dilakukannya semalam sudah di luar batasan. Anna menyerahkan harta berharganya begitu saja tanpa perlawanan, tanpa negosiasi, bahkan tanpa kompensasi apa-apa. Anna meraup wajahnya kemudian terduduk di tepi ranjang. Anehnya bukan masalah itu yang membuat Anna gelisah. Hanya persoalan waktu saja harta berharga itu akan terenggut. Anna kembali meraup wajahnya, mendadak ingatan semalam bermunculan. Sydney Opera House seakan menjadi saksi bisu atas semua perlakuan manis seorang Andrew Lewis pada dirinya. Sentuhannya sungguh tidak bisa Anna abaikan begitu saja. Pria itu memperlakukan Anna begitu lembut dari satu sentuhan ke sentuhan lainnya. Mengajari Anna menikmati sesuatu yang baru saja dikenalnya. Bulu kuduk Anna terasa merinding. Betapa dia merasa malu karena membiarkan kewarasa
Andrew Lewis meraba sisi kiri ranjangnya. Pria itu tertegun sejenak ketika menemukan Anna sudah tidak ada di sebelahnya. Andrew Lewis tertidur teramat nyenyak sampai dia sendiri tidak merasakan adanya pergerakan apa pun dari sisi ranjangnya. Andrew Lewis meraih benda pipih di atas nakas, menggeser menunya, serta mencoba menghubungi Anna. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. Celana dalam masih melekat saat beranjak dari atas ranjang. Andrew Lewis merasa tubuhnya menjadi sedikit lebih bugar. Aktivitas bersama Anna semalam benar-benar membawa perubahan, terutama untuk tubuhnya. Andrew Lewis keluar dari kamar mandi dengan rambut masih setengah basah ketika petugas room service tengah merapikan segala sudut kamar. Sarapan menyehatkan pun telah tersaji di atas meja. “Sarapan Anda sudah siap, Tuan Lewis.” Meskipun terasa dingin, menyesap secangkir kopi cukup untuk mengawali pagi hari ini. Sesekali Andrew Lewis mengawasi segala pergerakan para petugas hotel yang hilir mudik melakuk
Satu minggu berlalu sejak insiden Sydney Opera House. Anna tidak pernah sekalipun bertemu lagi dengan Andrew Lewis. Pria itu seakan hilang dari muka bumi tanpa adanya komunikasi apa pun. Sebenarnya Anna cukup merasa lega tidak ada yang mengusiknya namun entah kenapa terasa berbeda. Setelah mengakui jika dirinya mencintai pria itu, justru membuat Anna semakin sulit terlelap di malam hari. Setiap malam Anna selalu terusik dengan kejadian panas yang telah mereka lakukan di malam itu. Seolah-olah kejadian itu baru saja mereka lakukan kemarin, terasa sangat nyata hingga menimbulkan gelenyar aneh di tubuh Anna. Anna mungkin gila, tapi seperti itulah yang dirasakannya. Sore itu Anna berjalan menuju apartemen dengan dua kantong belanjaan dalam pelukannya. Jalanan malam cukup sepi ditambah dengan udara dingin yang makin mencekam—membuat Anna semakin mempercepat langkahnya. Betapa terkejutnya Anna ketika melihat pintu apartemennya terbuka dengan pria tak dikenal berdiri di garis pintu bersama
“Astaga, Anna. Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Tolong beri aku waktu untuk berpikir, Sayang.” “Apakah sesulit itu?” Anna balas bertanya. “Mom, aku tidak peduli siapa itu Jason Luthor. Aku hanya ingin kau berkata jujur.” Pamela menutup mulutnya kemudian merobek kartu nama itu dan membuangnya ke tempat sampah. Lepas itu Pamela menghilang bersembunyi di kamarnya dalam waktu yang lama dan entah kapan akan keluar dari sana. *** Anna terduduk di sofa untuk waktu yang lama setelah perdebatannya dengan Pamela. Pamela bahkan belum keluar dari kamarnya sejak satu jam yang lalu. Anna menghela napas beratnya. Mendadak Anna merasa bersalah. Mendadak Anna menyesali perilaku yang memaksa Pamela untuk mengaku. Padahal dia tahu tidak selamanya rahasia bisa dikatakan secara lugas seperti yang Anna mau. Pamela bukan dirinya. Wanita itu akan berubah menjadi perasa sekali kalau sudah menyangkut masalah Richie. Pamela teramat mencintai ayahnya. Seharusnya Anna lebih mengerti itu. Anna membayangk