Bad boy kalau masih ingat ibadah namanya bukan bad boy atau masih sayang orang tua. Ah, itu juga tidak bisa disebut bad boy sejati. Contoh the true bad boy adalah Grazian Pradipta Halvor. Bad boy dari segala kumpulan bad boy. Mendefiniskan Grazian hanya akan membuat naik darah, terus kena serangan jantung atau mendadak kena stroke. Segala citra buruk menumpuk dalam seorang Grazian.
Pemangsa wanita? Of course he is the number one. Pagi berangkat dengan si seksi dari kelas A, siangnya sudah makan berdua dengan si polos dari kelas B di kantin, sorenya saat pulang sudah berganti lagi dengan si cantik dari kelas C. Saat malam Grazian semakin liar duduk di club dengan deretan wanita berpakaian minim di sisi kiri dan kanannya.Mabuk? Itu pasti. Merokok? Jangan ditanya lagi, kamarnya saja sudah beraroma nikotin. Sexs? Dia akan melakukannya dengan senang hati pada wanita-wanita yang rela menjatuhkan diri ke dalam pelukkan hangatnya. Berkelahi? Grazian jagonya. Raja jalanan tapi, Grazian tidak masuk ke dalam geng motor manapun. Lalu, apalagi? Tidak menghormati orang tuanya? Iya, Grazian bahkan sudah merasa tidak mempunyai orang tua.Namun dari semua keburukan yang melekat dalam dari Grazian tidak membuat seorang Merona Jingga menyerah padanya atau lebih tepatnya belum. “Zian! Hari ini kamu ada kuliah! Bangun!”“Diem Roo, aku masih ngantuk sayang," balas Grazian dengan mata yang tetap tertutup, lalu menarik bantal untuk menutupi telinganya hanya agar teriakan Merona sedikit teredam.“Sumpah ya!” Merona naik ke tempat tidur. Menarik paksa bantal yang digunakan Grazian untuk menutup telinga. “Aku enggak masalah kalau kamu merokok atau mabuk, asal jangan bolos kuliah!”Grazian menggeliat paksa, bangun dengan mata sayu menatap Merona. “Roo, bisa enggak sih sehari aja tuh mulut jangan dipake buat ngoceh mulu? Pake buat mengulum punya gue kek, itu kan lebih bermanfaat.”Merona kejam pada Grazian. Menggunakan bantal sebagai senjata untuk memukuli Grazian habis-habisan. “Otak kamu tuh ya isinya porno semua! Geger otak aja kamu Grazian!!”Buk! Buk! Buk!Merona membabi buta memukuli Grazian, tapi lelaki itu hanya tertawa membiarkan Merona puas memukulinya. Saat tenaga Merona mulai melemah, Grazian mengambil kesempatan untuk menahan tangan Merona. Mata kelamnya menatap lembut pada gadis yang sejak SMA tinggal bersamanya. Satu-satunya gadis yang tak pernah Grazian jamah.“Udah?”“Masih belum puas marahnya.”Grazian terkekeh, lalu melepas tangan Merona. Lelaki itu turun dari tempat tidur mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja belajar. Dia membuka ruang obrolan group di kelasnya dan memberikan itu pada Merona. “Pak Endang enggak masuk, si kumis itu cuma kasih tugas.”Merona membaca pesan yang tertulis di sana. “Si kumis? Pak Endang dosen paling baik masih aja kamu nastain, gimana yang sekejam pak Hardi?” lalu Merona mengembalikan ponsel itu dan dia turun dari tempat tidur.“Kamu ada kelas jam berapa?” kali ini giliran Grazian yang bertanya.“Jam sepuluh sampai jam tiga. Ada tiga MK hari ini.”Grazian mengangguk mengerti, lalu kembali berbaring di tempat tidur. “Kuliah yang benar ya, Roo. Gue rela duit gue habis asal lo bisa jadi orang sukses. Biar mereka lihat kalau lo bisa tanpa mereka.”Mendengar kata-kata Grazian membuat Merona terdiam. Lelaki itu sudah banyak berkorban untuknya. Membiayai pendidikannya dan segala kebutuhan hidupnya di saat keluarganya sendiri membuang jauh Merona dari kehidupan mereka. Tak ada alasan lain yang membuat Merona untuk menjauhi Grazian sebab, sejak awal lelaki itu adalah malaikat penolongnya walau sering kali membuat dirinya sakit.Grazian menyadari keterdiaman Merona hingga memaksa dirinya untuk bangun lagi dan mendekati gadis itu. Meraih pinggang rampingnya yang sempurna dalam dekapannya. “Aku serius dengan kata-kata aku, Roo.”“Iya, aku janji akan lulus dengan predikat terbaik, terus jadi dokter sukses dan aku akan tunjukkan pada mereka bahwa aku bisa hidup dengan baik tanpa mereka.”Jernih mata Merona selalu membuat hati Grazian menghangat. Pandang sendu mata itu membuatnya kian sayang pada Merona. “Gitu dong,” katanya lalu melepaskan Merona. “Eh, Roo di kelas kamu ada yang namanya Erika, kan?”Mulai lagi membahas soal perempuan. “Ada, anak wakil menteri kesehatan. Kenapa mau kamu gebet?”“Kalau boleh? Hehehe.”Merona mengangkat kedua bahunya acuh. Sejak kapan juga Grazian izin padanya untuk mendekati gadis-gadis di kampus. “Jangan libatkan aku ke dalam urusan asmara kamu, Grazian.”“Cieee.. cemburu,” Grazian dengan jahil mencolek pipi Merona, tapi Merona menangkap jarinya lalu digigit. “Sakit Roo!”“Rasain!”****Beberapa gadis mendefinisikan Grazian secara Hiperbola. Seperti mereka bisa mencium wangi tubuh Grazian sebelum mata mereka menangkap rupanya. Ada juga yang memuji Grazian selayaknya dewa-dewa Yunani seperti apa yang sering mereka dengar bahwa dewa-dewa Yunani begitu sangat sempurna, seperti itu pula Grazian di mata gadis-gadis yang menggilainya.Deru motornya saja sudah membuat seisi kampus heboh. Hiperbola sekali memang, tapi fakta itu tak bisa dielakan. Turun dari motor sport besarnya yang keseluruhannya berwarna hitam. Dua gadis yang tengah mengobrol di bangku taman sambil makan Cilok pun langsung mengalihkan atensi mereka pada Grazian. Kerumunan gadis yang akan ke perpustakaan berhenti melangkah hanya untuk mengagumi sosok Grazian. Termasuk dosen hukum mereka, bu Kiki juga menahan nafas saat Grazian membuka helm-nya. Merapikan rambut berantakannya dengan jari-jari tangan.Seorang gadis menghampiri Grazian. “Hai Zian!” sapanya dengan senyum mengembang.“Oh, hai cantik,” Grazian membalas dengan senyum mautnya. Senyum yang membuat gadis-gadis langsung merasa dicintai.“Nama aku Alika, anak Fisip semester dua. Aku suka sama kakak.”See? Gedung Fakultas Hukum dan Fisip itu letaknya berjauhan, tapi Grazian sudah terkenal seantero kamus. “Kamu cantik, simpan nomor telepon kamu di sini. Nanti kakak hubungi.”Gadis berlesung pipi itu menerima uluran ponsel Grazian. Mengetikan nomor ponselnya di sana. Sementara Merona yang harus ke ruangan dosen melewati area parkir Fakultas Hukum pun menyaksikan Grazian dengan geleng kepala. Entah mangsa yang keberapa junior mereka itu. Tatapan matanya bertemu dengan mata Grazian yang sedetik kemudian mengedipkan matanya genit pada Merona.Bisa-bisanya Grazian berkedip genit menggodanya saat tengah berhadapan dengan gadis lain. Merona melengos kemudian, meladeni Grazian tidak akan ada habisnya. Kembali pada Alika si gadis yang berharap menjadi kekasih Grazian. Gadis itu menunduk malu-malu, lalu Grazian menunduk berbisik di telinga gadis itu.“Nanti malam aku telepon,” bisiknya dengan suara berat yang mengoda.“I-iya, kak.”Grazian lalu mengusak puncak kepala gadis itu sebelum berlalu. Baru beberapa langkah seorang gadis lain menghampirinya, merangkul lengan Grazian dengan posesif. Ada kententuan yang Grazian buat bagi para kekasihnya. Yaitu jika saat Grazian dengan salah satu mereka, maka yang lainnya tidak boleh marah atau mengganggunya. Tunggu sampai Grazian selesai dan menghampiri mereka.Jika tidak mau maka, siap-siap akan menyandang status mantan. Bodohnya para gadis Grazian menurut saja. Beberapa hanya ada yang sekedar untuk senang-senang, atau memanfaatkan dompet lelaki itu, tapi Grazian tidak keberatan selama dirinya juga mendapatkan keuntungan dari mereka. Tubuh yang siap dijamahnya ketika diminta kapanpun.‘Sayang nanti malam kita nonton yuk,” ajak si seksi dari kelas A. namanya Rachel dipacari Grazian seminggu yang lalu dalam kondisi gadis itu sudah tidak perawan. Bukan lagi rahasia jika Rachel sering tidur dengan siapa saja yang membayarnya tapi, informasi tersebut hanya berputar pada sekelompok orang tertentu saja di kampus.“Ngamar aja, gimana?”Pipi Rachel bersemu. “Sambil nonton ya?”“Nonton blue film,” bisik Grazian lalu mengulum telinga Rachel dengan sensual.Brengsek memang, tapi Grazian tidak memacari gadis-gadis yang tak mau dengannya. Semuanya berdasarkan hukum suka sama suka. Tanpa paksaan apalagi tekanan. Itulah prinsip Grazian yang tak mau rugi apalagi bertanggung jawab jika ada yang hamil. Sejauh ini belum pernah ada gadis yang mendatanginya karena hamil, tapi Grazian tentu punya peraturan ketika berhubungan dengan gadis-gadis itu.****Hai! hai! Terima kasih untuk yang membaca ini. Gimana Grazian udah brengsek belum? kalau merasa belum baca bab berikutnya ya. Akan ada banyak keberengsekan Grazian.Memasuki pukul sepuluh malam Grazian mulai aktif keluyuran. Mengendarai motornya membonceng gadis lainnya untuk diajak bersenang-senang di club malam. Gadis di belakang Grazian itu memeluk erat. Tubuh mereka menempel seperti diberi perekat. Lelaki brengsek sekelas Grazian tidak akan menolak santapan empuk yang disodorkan padanya itu. Grazian sering kali keluar masuk ke club, tapi tak sekalipun mengizinkan Merona untuk mengikuti jejaknya memasuki tempat penuh dengan huru-hara kesenangan duniawi itu. Perihal hubungannya dengan Merona, Grazian yakin tak seorang pun tahu jika Merona tinggal bersamanya. Sejak dahulu Grazian dan Merona saling menjaga jarak jika mereka ada di luar rumah. Orang-orang hanya tahu keduanya sebatas saling kenal saja. Motor Grazian berhenti di depan pintu masuk club. “Kamu turun duluan ya, aku mau parkir motor dulu.” Titahnya pada gadis yang menemaninya malam ini. Gadis itu sudah barang tentu menurut. Masuk lebih dahulu membiarkan Grazian melakukan apa yang dika
Pukul tiga dini hari Grazian baru kembali dari kediaman Rachel. Memasuki apartemennya yang sepi, Grazian melirik pintu kamar Merona yang sedikit terbuka dengan cahaya lampu menyorot keluar lewat celah pintu. Grazian tahu kalau Merona sedang mengerjakan tugas-tugas kampusnya. Antara belum tidur atau baru saja bangun tidur. Merona akan tidur lebih awal lalu bangun sekitar pukul dua dini hari atau pukul tiga dan takan tidur lagi sampai pagi menjelang, atau merona tidak tidur semalam lalu akan tidur pukul lima dan bangun pukul enam pagi. Waktu tidur Merona sangat sedikit, Grazian sering kali melihat Merona terlelap di antara tumpukan buku-buku tebalnya. “Roo?” panggil Grazian dan melangkah masuk ke kamar gadis itu. Diletakkannya paper bag berisi kopi dan roti dari kedai kopi kenamaan itu di atas meja belajar Merona. “Buat kamu, pasti lapar kan?” Merona menatap Grazian dari ujung kepala sampai kaki. Jejak merah di leher lelaki itu terlihat jelas. “Kalau mau tidur di sini mandi dulu yang
Merona mendapat pesan singkat dari Grazian yang memintanya untuk bertemu di parkiran. Lewat pesan singkat itu juga Grazian mengatakan bahwa dirinya hari ini ke kampus membawa mobilnya. Merona yang sudah tahu pun langsung menghampiri dan masuk begitu melihat sedan hitam milik Grazian.“Ada apa?” tanya Merona kemudian saat sudah duduk manis di sisi Grazian.“Makan siang.” Jawab Grazian lantas mengemudi mobilnya keluar dari kampus. “Ada kelas lagi jam berapa?”Merona bersandar pada kursi dengan nyaman. “Satu setengah jam lagi, jangan cari tempat yang jauh.”“Oke tuan puteri.”Grazian membawa Merona ke salah satu restoran cepat saji, tak seberapa jauh dari kampus namun jarang menjadi tempat makan bagi anak-anak kampusnya. Mereka mengambil tempat duduk di sudut, memesan beberapa menu makan sekaligus. Merona meringis saat melihat banyaknya makanan yang Grazian pesan. Pramusaji yang melayani mere
Grazian dan Merona sampai di Bogor saat malam. Mereka menginap di salah satu hotel, sebelum kemudian pagi-pagi mereka check out. Tujuan mereka adalah salah satu pemakan di kawasan Bogor, di sinilah mereka sekarang. Di pemakan yang sepi tanpa sempat sarapan.Merona terlahir kembar hanya saja kembaran Merona meninggal ketika lulus SMP dahulu. Namanya Pelangi, nama yang terukir di batu nisan tepat di sebelah makam kosong atas nama Merona Jingga. “Maaf ya karena aku udah buat kamu meninggal, sekarang rasa memang pantas kalau mama dan papa anggap aku sudah meninggal juga.”Grazian yang duduk di sisi Merona nampak tidak peduli dengan apa yang Merona lakukan. Lelaki itu sibuk membalas pesan-pesan manis yang dikirimkan oleh para jajaran kekasihnya. Bagi Grazian itu rasanya sangat menyenangkan. Membuat gadis-gadis itu melambung lalu setelah bosan dia putuskan hubungan. Dua atau tiga hari, paling lama sebulan.“Zian, aku lagi sedih kok kamu mala
Grazian melempar jaketnya yang kotor secara asal ke sofa dan Merona melihat itu. Kesal memang tapi, gadis itu sedang tidak ingin berdebat. “Roo tadi aku disiram sama mantan yang enggak tahu keberapa. Jaket aku yang dari kamu jadi kotor." Katanya mengadu pada Merona.“Bagus deh, itu artinya mantan kamu itu lebih punya otak dibanding cewek-cewek kamu yang lainnya.”Tanggapan Merona membuat Grazian jadi kesal dan cemberut. Lelaki itu memeluk Merona dari samping. “Kok tega sih ngomongnya? Aku enggak suka ya kamu kayak gitu sama aku.”“Iiih! Zian lepas! Itu baju kamu kotor, rambut kamu juga tuh bau kopi!”"Enggak mau," Grazian semakin mengeratkan pelukannya. "Minta maaf dulu Roo karena kamu udah ngomong enggak sopan sama aku barusan."Merona menghela nafas. Tugasnya masih banyak jika tidak menuruti kemauan Grazian maka lelaki itu tidak akan melepaskannya. Sebagai makhluk waras Merona lebih memilih mengalah.
Ada banyak pelarian yang bisa diambil untuk melepaskan penat, marah dan segala emosi. Sayangnya tak semua mengambil tempat pelarian yang tepat. Grazian salah satunya yang memilih menjadi nakal untuk melepaskan emosinya walau dia tahu tak pernah ada yang selesai dari jalan yang dipilihnya.Semakin malam semakin ramai jalanan di tepi kota yang akan menjadi arena balap dadakan. Sekumpulan muda-muda membentuk dua kelompok di sisi kiri dan kanan jalan. Mendukung jagoan mereka masing-masing. Grazian sendiri tentu lebih mengandalkan Genta siswa SMA yang nasibnya hampir sama dengan Grazian. Punya orang tua tapi, terasa yatim piatu.Gadis-gadis berpakaian seksi, celana pendek yang dipadu dengan tangtop ketat. Satu dari mereka bergelayut manja di lengan Grazian. Tidak tahu siapa namanya tapi, Grazian menikmati ketenarannya di antara para gadis. Membiarkan satu dari mereka menciumnya atau memberikannya minum. Grazian tidak turun ke jalan dia hanya akan mengawasi Genta Ja
Merona cemberut ketika Grazian memintanya mengantar lelaki itu ke perbatasan ibu kota menuju Heaven Hill salah satu pemakaman elit tempat dimana neneknya tidur tenang di sana. Selepas kelas Merona selesai Grazian langsung menghubungi gadis itu dan memintanya ke parkiran. Sekarang keduanya dalam perjalanan dengan Merona yang menjadi supirnya. Grazian? dia tidur di kursi sebelah sambil melipat tangan dan sandaran kursi yang direndahkan.“Dari sekian banyaknya hotel, mall dan rumah makan yang kakek punya kenapa kamu mintanya ketemu di pemakaman?” tanya Merona kesal. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Grazian.“Kan sekalian ketemu nenek juga, sayang.”“Tapi, ini udah sore Zian. Bisa-bisa kita pulang kemaleman, aku ada tugas.”Grazian membuka matanya sebentar untuk melihat Merona yang menggerutu sambil mengendalikan kemudi mobil. “Fokus aja ke jalan Roo, ngocehnya nanti kalau udah sampai.”Sedan
Grazian membawa Merona jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan untuk membeli makanan yang akan dibawa Merona saat kunjungan ke rumah sakit jantung esok hari. Langkah kaki Merona membeku ketika pandangan matanya menangkap sosok orang tuanya tengah berjalan menggandeng seorang anak kecil lelaki berusia tiga tahun dan ayahnya mendorong kereta bayi. Senyum jelas terlihat di wajah mereka. Lain halnya dengan hati Merona yang merasa dilupakan oleh orang tuanya sendiri.Grazian menyadari hal itu lantas menarik pundak Merona berniat membawa gadis itu menjauh dari hal yang menyakitinya tapi, Merona tak mau menurut. “Aku ingin mereka lihat aku, Zian.”“Roo, itu hanya akan menyakiti kamu. Ayo!”Tapi, Merona berjalan menghampiri. Grazian menghela nafas pada akhirnya memang Merona harus dibiarkan melihat kenyataan. Lelaki itu berjalan mengikuti Merona yang sudah berdiri di hadapan kedua orang tuanya. Mereka langsung berhenti melangkah begitu melih