Home / Romansa / Holding On To You / 11. Pusat Perhatian

Share

11. Pusat Perhatian

Author: Yellowflies
last update Last Updated: 2021-06-14 16:39:47

Jika Merona tengah serius mendengarkan dan memperhatikan hal-hal apa saja yang dijelaskan oleh dokter yang membimbing kelompoknya di rumah sakit jantung maka, lain halnya dengan Grazian yang kini tengah memamerkan kehebatannya bermain basket sembari bertelanjang dada memberikan tontonan gratis untuk kaum hawa yang memekik memujanya. Semakin heboh teriakan mereka setiap kali Grazian berhasil menggiring bola basket masuk sempurna ke dalam ring.

Terasa semakin seksi ketika lelaki itu mengelap peluhnya dengan punggung tangan, lalu menyugar rambutnya hingga keningnya terlihat membuat jantung para gadis berdebar-debar ingin mendaratkan satu kecupan manis di atas kening mulus itu. Grazian tentu saja menikmati popularitasnya, bahkan melemparkan kedipan genit pada sekumpulan gadis yang berdiri di pinggir lapangan setelah berhasil melempar kembali memasukan bola ke dalam ring.

“Aaah! Grazian main mata ke gue!” pekik salah satu di antara mereka.

“Mana ada? Sama gue kali, tuh! Senyum dia ke gue.”

Saat dua gadis itu sibuk berdebat soal siapa yang menerima senyuman dan kedipan mata genit Grazian, lelaki itu justru sudah kembali menebar senyum pada gadis-gadis lainnya. Meski begitu tentu sudah pasti ada beberapa gadis yang tak menyukai tingkah polah Grazian yang menurut mereka keterlaluan. Mulai dari cara lelaki itu mempermainkan hati wanita sampai cara Grazian tebar pesona. Ada juga yang tak melirik Grazian sama sekali, seperti gadis yang duduk di lorong sibuk dengan bukunya itu.

Beberapa masih waras untuk tidak memperhatikan Grazian karena tumpukan tugas-tugas kampus lebih butuh perhatian untuk segera diselesaikan. Hanya saja jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan deretan penggemar garis berat Grazian. Gadis-gadis yang rela meneriakan namanya di siang yang terik hari ini, atau gadis yang rela mendesah di bawah kendalinya.

“Oke gue nyerah!” seru Darren yang mulai kelelahan dan tak bisa mengimbangi permainan Grazian. “Gila! Capek gue mana tuh cewek-cewek pada duku lo lagi.”

Grazian terkekeh mendekati Darren , mengulurkan tangannya pada sepupunya. Darren menerima uluran tangan Grazian untuk membantunya berdiri. Melawan Grazian sejak dahulu Darren tidak pernah menang. “Karena lo mengaku kalah dari gue, seperti perjanjian mulai sekarang lo enggak usah bahas apapun soal orang yang udah buang gue.”

“Mereka orang tua lo, bego!”

“Eiiisttt… ingat jangan bahas apapun tentang mereka.” Grazian mengambil bajunya yang tersampir di tiang penyangga ring basket. “Kalau lo melanggar, gue tidurin tunangan lo!”

“Anjir! Ngancemnya enggak lucu.”

“Itu karena ancaman gue enggak main-main makanya, enggak lucu.”

Grazian berlalu meninggalkan Darren di lapangan. Bertelanjang dada menuju kantin. Benar-benar membuat kehebohan luar biasa. Begitu sampai di kantin Grazian langsung duduk di samping Rachel yang sudah lebih dulu ada di sana tengah menikmati jam istirahat bersama dua gadis lainnya. Grazian lalu memakain lagi bajunya. Tangannya terulur mengambil jus jeruk milik Rachel.

“Udah pamernya?” tanya Rachel dengan senyuman kecilnya.

“Aku enggak pamer tapi, mereka aja yang doyan.”

“Iya mereka doyan terus kamu sodorin.” Balas Rachel tak mau kalah.

“Sama kayak kamu kalau disodorin juga langsung mangap.”

Dengan keras Rachel menepuk pundak Grazian yang kokoh. “Emang asal banget tuh mulut, eh betewe malam ini kamu ada acara enggak?”

Sebelum menjawab pertanyaan Rachel, lebih dahulu lelaki itu melirik pada dua gadis di hadapannya yang sejak tadi hanya menyimak. “Bisa pergi dulu enggak, gue mau berduaan aja sama pacar gue.”

Mereka pun beranjak mengerti dengan terpaksa sebab mereka masih ingin menatap wajah rupawan itu lebih lama lagi tapi, Grazian sedang tidak ingin diganggu siapapun. Dia hanya ingin tenang dulu. Kepalanya terasa berdenyut nyeri mungkin akibat terlalu lama bermain di bawah terik matahari yang menyengat. “Hel, pijitin dong. Sakit nih kepala aku.”

“Belagu banget sih lagian pake segala main basket pas lagi panas-panasnya.”

Grazian nyengir. “Lupa gue kalau gue biasanya main di ranjang.”

“Emang. Malam ada acara enggak?” Rachel mengulangi pertanyaannya yang belum dijawab oleh Grazian.

“Ada, mau ngamar sama cewek aku yang lainnya. ahahaha.”

“Yang mana? Bukannya kamu bilang beberapa udah kamu putusin ya?” Rachel memijat kening Grazian pelan dengan posisi kepala lelaki itu bertumpu pada meja.

“Aku putusin sekaligus lewat group.”

Rachel tertawa mendengarnya. Saat sesi bercinta mereka beberapa waktu yang lalu Grazian membuat group yang isinya adalah pacar-pacarnya. Entah ada berapa banyak anggota di sana tapi, Grazian membuat pesan singkat yang bertujuan untuk memutuskan mereka sekaligus.

Terima kasih untuk yang sudah mau menerima undangan gue masuk ke group ini. Kalian adalah pacar-pacar terbaik gue tapi, gue mau melakukan seleksi yang lebih ketat lagi. Jadi kalian yang di sini adalah yang gagal menjadi pacar gue. so, gue mulai sekarang memutuskan hubungan dalam bentuk apapun dengan kalian. Kita selesai ya, cari cowok yang lebih baik, asal jangan cari gue lagi. Grazian.

“Padahal aku lagi pengen.” Kata Rachel terus terang perihal hasratnya dengan Grazian.

“Ya udah deh aku ngamar sama kamu aja. Cewek yang lain belum tentu services-nya enak. Kamu aja deh yang udah pasti enaknya.

***

Merona dan teman-teman tengah makan siang di kantin rumah sakit sambil sesekali bercanda dan membahas apa saja yang mereka dapatkan hari ini. Duduk satu meja dengan Aresh, Hanna dan dua teman lainnya yang berada dalam satu kelompok. Merona memilih menu makanan sehat berupa salad dengan irisan daging kukus, nasi merah dan beberapa sayuran tumis dengan sedikit minyak dan bumbu. Untuk minumnya Merona lebih suka sebotol air mineral.

Salah satu teman semeja mereka membicarakan Grazian. “Eh, eh.. lihat deh di Instasory anak FH, Grazian lagi main besket gak pakai baju.”

Erika yang satu meja langsung mengambil ponselnya untuk memastikan. “Keren sih tapi, aku masih pikir-pikir lagi deh kalau mau jadiin Grazian pacar untuk hubungan jangka panjang.”

“Lho emangnya kenapa? Bukannya lo udah kencan ya sama dia?” tanya Hanna penasaran.

“Iya tapi, gitu deh. Aku rasa Grazian kurang akhlak.”

Merona yang mendengar itu tertawa kecil hingga teman satu mejanya menatap pada Merona. “Rona kamu kenapa?” tanya Erika.

“Ya lucu aja sih kebanyakan para perempuan yang lihat Grazian langsung naksir, pengen jadi pacarnya tapi, giliran tahu jeleknya malah marah-marah dan nyalahin di brengsek. Padahal kan dari awal juga Grazian selalu buat kesepakatan sama pacar-pacarnya itu kalau dia enggak pakai hati.”

Semua mengangguk membenarkan. Kabar itu memang sudah tersebar sejak lama, para pacar dan mantan Grazian mengakui akan hal itu. Grazian menegaskan pada para gadis yang ingin jadi pacarnya bahwa lelaki itu tidak memakai hati tapi, mereka boleh memeluknya, menciumnya dan juga boleh minta uang darinya. Bodohnya mereka para gadis mau-mau saja dengan harapan bahwa suatu hari nanti mereka akan bisa menaklukan hati seorang Grazian.

Aresh lebih memilih diam saja mendengarkan para gadis itu bergosip, sesekali matanya beradu pandang dengan Merona. Gadis itu nampak abai padanya setelah percakapan mereka. Aresh sendiri masih mencari celah di hati Merona, berharap ada sisa ruangan di hati itu yang bisa dia tempati. Aresh tengah berusaha mengerti Merona dengan memperhatikan setiap apa yang gadis itu perbuat dan katakan. Ingin mengenal Merona lebih jauh lagi.

“Tapi, pesona Grazian tetap enggak bisa ditolak dia ganteng banget.” Erika memekik sampai temannya di meja lain menimpali.

“Bener, biar kata bad boy dan play boy gue masih rela kok jadi pacarnya tapi, sayang gue kayaknya enggak lolos kriteria dia deh. Pacarnya kan cantik-cantik dan seksi.”

Merona menghela nafas pada akhirnya dia memilih untuk menghabiskan makannnya karena mulai muak dengan teman-teman sekelasnya yang hampir setiap hari membicarakan Grazian. Kadang Merona marah ketika mendengar salah satu dari mereka sudah berhasil kencan dengan Grazian atau ketika sebagian dari mereka mulai menjelek-jelekan Grazian tapi, Merona menahan diri. Masih tahu batasan dirinya untuk tidak mencampuri urusan Grazian yang satu itu.

Yellowflies

Jangan lupa tinggalkan komentarnya ya, dan vote juga. terima kasih

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Holding On To You   45. Pesan yang menghilang

    Malam menjelang subuh ketika Grazian tiba di ruang kerja pribadinya. Arbitrase saham The King berkedip di layar—jutaan dolar berpindah dalam detik—tapi pikirannya bukan pada uang, bukan pada kekuasaan.Merona dan Sagara.Nama yang seharusnya ia jauhkan dari hidupnya. Nama yang justru paling ingin ia lindungi.Jhon, tangan kanan yang paling dipercayainya, berdiri di sisi ruangan. Ia melihat ekspresi bosnya dan tahu — badai yang lebih besar akan datang.“Semua sudah diatur seperti perintahmu,” ujar Jhon pelan. “Keputusanmu sudah final?”Grazian menyandarkan tubuh di kursi, menarik napas panjang, lalu mengambil ponselnya.“Tidak,” gumamnya lirih. “Tapi aku tidak punya pilihan.”Ia mengetik pesan dengan gerakan jari yang pelan—terlalu pelan untuk ukuran pria yang biasa memerintah dunia kelam:> “Aku tidak bisa menemui kalian beberapa hari ke depan.Tunggu aku. Jangan datang ke kota. Jangan biarkan Sagara keluar setelah sekolah.Ini penting.”Ia menatap teks itu lama, seolah tiap huruf men

  • Holding On To You   44. Konfrontasi

    Hujan turun tajam malam itu, seolah berniat membelah atap gedung kaca The King. Kilat sesekali menyambar, memantul pada wajah Grazian yang berdiri di balkon, memandang Jakarta dari ketinggian seakan sedang mengukur seluruh hidupnya.Ia berpikir tentang kebebasan—dan betapa mustahilnya kata itu selama ia masih bernapas dalam lingkaran keluarga Danuwiratmadja.Suara pintu otomatis terbuka. “Dia sudah datang,” lapor Jhon, tangan kanan Grazian.Grazian tidak bergerak. Hanya asap rokok yang mengepul dari bibirnya. “Sendirian?”“Tidak. Dia datang dengan—”“—tiga orang bodyguard, semuanya bersenjata?” Grazian memotong datar.Jhon mengangguk. “Seolah dia lupa siapa bos sesungguhnya di gedung ini.”Grazian membuang rokok dalam hujan. “Tidak. Dia hanya ingin menunjukkan bahwa ia masih merasa berhak atas hidupku.”Ia melangkah masuk. Setiap langkah berat, bukan karena takut… tapi karena rasa muak yang selama ini ia tahan.---Ruang rapat The King terasa seperti arena pembantaian yang sunyi. Lamp

  • Holding On To You   43. Darah dan Warisan

    Danuwiratmadja Rudolph terbaring di ranjang hitam berlapis satin.Di balik tubuh renta dan kulit keriput, masih tampak bayangan pria yang dulu menaklukkan benua dengan tangan besi.Aroma obat-obatan bercampur dengan parfum mahal menandai kenyataan pahit: sang raja sedang sekarat.Meski begitu, matanya tidak kehilangan cahaya kekuasaan. Ia tidak mau mati… sebelum memastikan perang terakhirnya selesai.Arman berdiri di sisi tempat tidur. “Dokter bilang kondisinya stabil malam ini, Tuan Muda.”Grazian tidak menjawab. Ia hanya memandang kakeknya, tidak dengan iba — tetapi dengan luka yang tidak pernah sembuh.“Akhirnya kau datang,” suara Rudolph serak, namun tetap mengandung perintah, bukan permohonan.“Aku datang karena ingin selesai,” jawab Grazian datar.“Bagus.” Rudolph tersenyum tipis. “Karena aku juga ingin selesai.”Ia menepuk ranjang, memberi isyarat agar cucunya duduk. Grazian tidak bergerak.“Baik,” Rudolph menghela napas ringan. “Kalau kau mau berdiri, berdirilah. Tapi dengarka

  • Holding On To You   42. Luka Lama, Peringatan Baru

    Pagi berikutnya, Grazian tetap datang ke rumah kecil itu.Bukan karena berani.Bukan karena mengabaikan ancaman kakeknya.Tapi karena ia tahu — jika ia mundur, maka semua ketakutan dan ancaman itu menang.Dan ia sudah terlalu lama hidup kalah.---Saat ia mengetuk pintu, Sagara langsung berlari menyambutnya — tanpa ragu, tanpa curiga, tanpa tahu dunia gelap apa yang sedang bergerak di belakang punggung mereka.“Om Zian! Aku bikin gambar! Iniiii!”Gambar dinosaurus berwarna biru yang mirip dengan gambar yang mereka buat bersama kemarin.Grazian merasakan hatinya meremas… dan sembuh… dalam waktu yang sama.Merona muncul dari dapur dengan wajah canggung — berusaha menyembunyikan betapa ia rindu pria itu datang.“Kamu beneran datang,” katanya pelan.“Aku janji,” jawab Grazian. “Aku nggak mau bikin Saga nunggu.”Tapi ketika ia bicara, tatapannya tidak pernah lepas dari Merona.Dan Merona tahu — itu janji yang ditujukan juga untuknya.Tak ada pelukan.Tak ada sentuhan.Tapi dekat sekali… sa

  • Holding On To You   41. Bara Yang Menantang Api

    Satu minggu sejak kedekatannya dengan Sagara dan Merona semakin tak terhindarkan, hidup Grazian berjalan seolah dua dunia sedang tarik menarik dirinya.beberapa hari yang lalu saat pagi hari ia ada di gedung kaca megah—rapat, laporan profit, transaksi gelap yang dibungkus rapi dalam istilah “investasi offshore” sekarang Grazian sudah sangat dekat dengan mimpi yaitu Merona dan Sagara, tapi untuk malam ini Grazian dipanggil pulang ke kediaman keluarga Danuwiratmadja. Rumah yang terasa seperti museum: megah, penuh simbol kekuasaan, dan dingin.Ia sudah terlatih untuk membekukan hati setiap kali memasuki tempat itu. Namun malam ini, ada firasat buruk yang sulit diabaikan.Saat memasuki ruang utama, kakeknya sudah duduk menunggunya.Danuwiratmadja Rudolph — pria tua dengan kekuasaan seperti bayangan yang tidak pernah pudar. Tatapannya tajam, bukan karena usia melemahkan… tapi karena kekuasaan menguatkan.“Duduk.”Grazian duduk tanpa kata. Tak ada sapaan keluarga — hanya perintah dan ketaat

  • Holding On To You   40. Takdir Datang Sendiri.

    Sejak percakapan malam itu, tidak ada kata cinta, tidak ada pengakuan eksplisit, tidak ada keputusan apa pun.Tapi sesuatu berubah.Tanpa disadari — tanpa disepakati — mereka mulai hidup dengan kesadaran satu sama lain.Merona tahu Grazian akan datang.Grazian tahu Merona tidak benar-benar ingin dia menjauh.Dan Sagara… seolah menjadi poros yang menyatukan tanpa ia mengerti apa pun.---Satu malam setelah Merona selesai shift sore di rumah sakit, Sagara demam ringan. Tidak parah, hanya tubuh lelah karena kelelahan bermain di sekolah.Namun yang membuat Merona panik bukan demam itu — melainkan satu kalimat:“Om Zyan bilang kalau aku sakit, Om bakal datang.”Merona menghela napas panjang. “Saga, Om Zyan tidak harus datang setiap kamu sakit.”“Tapi aku ingin dia datang.” Mata Sagara memerah, suara seraknya mengandung kekhawatiran yang hanya dimiliki anak kecil. “Kalau dia datang, aku cepat sembuh.”Dan kalimat itu — sederhana namun tajam — menggoyahkan Merona.Bagaimana mungkin ia memisa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status