Share

12. Hujan Sore Hari

Lebih dari apapun ada yang Grazian ingat dari setiap tetes hujan yang jatuh mencium bumi. Hujan yang sejuk dan membuat damai itu nyatanya tak pernah demikian bagi Grazian. Tidak sama sekali, Grazian tidak pernah menyukai hujan sebab hujan selalu berhasil membuat memori kelamnya kembali naik ke permukaan menyusup dan mengisi celah-celah kosong di hatinya. Terlebih lagi hujan sore ini diiringi dengan gemuruh bercampur kilat yang menyala di langit.

Seperti anak kecil Grazian meringkuk dibalik selimut dengan telinga yang disumbat earphone mendengarkan kencangnya musik dalam volume suara seratus persen hanya untuk meredam suara kejam langit yang berteriak marah itu. Selain earphone, Grazian juga menutup telinga dengan bantal. Mencoba memejamkan matanya untuk sekedar membuat perasaannya tenang.

Tapi, sekuat apapun Grazian berusaha meredam apa yang bergejolak dalam hati dan pikirannya tetap saja lelaki itu tak mampu. Kesal sebab suara musik rock yang diputar lewat ponselnya itu tak mampu mengalahkan kerasanya hantaman petir di luar sana. Lantas dengan kasar dia melempar bantal hingga jatuh sembarang ke lantai. earphone di telinganya ia cabut dan berakhir sama dengan bantal yang beberapa saat lalu dilempar.

“Aaarrrrghhh! Setan lo pada! Bisa diem enggak?!” Grazian berteriak marah entah pada langit yang bergemuruh atau pada bisingnya ingatan-ingatan pahit itu yang berebut tempat di ingatannya.

Grazian mengamuk, mengambil vas bunga lalu ia lempar sekuat tenaga hingga hancur berkeping menghantam dinding lalu meluruh berserakan ke lantai. Dadanya naik turun seiring dengan nafasnya yang kian memburu. Belum puas Grazian melepas emosinya kali ini dia menyasar pada buku-buku di meja belajarnya, disingkirkan dengan kasar dan menendang kuat kursinya.

Gaduh suara kamarnya disetiap kali Grazian membanting sesuatu, sebelum kemudian denting retakan cermin terdengar nyaring ketika Grazian menijunya dengan kuat. Kepalan tangannya berdarah serpihan cermin menyeset kulitnya. Belum puas dengan satu tangannya, kini tangan kirinya harus bernasib sama. Cermin retak itu kini terpisah dari bingkainya kala Grazian kembali melayakan satun pukulan kuat di sana. Bahu kokoh itu nampak bergetar sekarang, Grazian menangis dengan nafas memburu, rasa sesak itu kian mendesak-desak rongga parunya.

“Zian!” seru Merona yang baru saja pulang. Gadis itu berlalu merangkul Grazian kemudian. Dalam perjalanan pulang hujan turun dan Merona tak tenang. Dia bahkan berlari untuk segera sampai. Dugaannya benar bahwa Grazian hancur sekarang.

“Sakit Roo, sakit.” Lirihnya dalam pelukkan Merona. “Suruh mereka diam, Roo. Mereka berisik.”

Sebenarnya Merona tak bisa berbuat banyak ketika Grazian tengah kacau seperti sekarang ini. Hal kecil yang bisa dia lakukan adalah memeluk Grazian erat, menenangkan lelaki itu lewat dekapan hangat dan juga usapan lembut tangannya. Satu pelukkan tulus sering kali lebih mujarab dari serentetan kata-kata penuh nasehat.

Ingat Merona ditarik mundur ketika pertama kali dirinya tinggal bersama Grazian, lalu hujan turun hari itu sama seperti sore ini. Grazian masih kelas satu SMA sama seperti dirinya. Hari itu berlari masuk ke kamar dan menyembunyikan diri di dalam lemari. Merona tak mengerti tapi, saat membuka pintu lemari itu dia mendapati Grazian yang menekuk kedua lututnya dan menyembunyikan kepalanya di antara lipatan kaki.

Meski saat itu tak mengerti apa-apa tapi, Merona memberanikan diri untuk memeluk Grazian. pelukkan yang pada akhirnya membawa Grazian pada rasa nyaman dan tenang. Satu dari banyak alasan mengapa Grazian rela menampung dan membiayai Merona, menjaga gadis itu dengan baik. Merona adalah tempatnya pulang meski, Grazian sendiri tak yakin bisa menetap.

“Zian, hujannya sudah reda.” Bisik Merona di telinga Grazian.

Pelukkan itu berangsur-angsur mereda. Kepala Grazian mendongak untuk melihat wajah Merona. Gadis itu tersenyum manis ketika mendapati wajah sayu Grazian dengan genangan air mata. “Terima kasih, Roo.”

Tangan Merona lalu terulur meraih kedua tangan Grazian yang berdarah. “Aku ambil kotak obat dulu ya.”

Belum sempat Merona berdiri, Grazian sudah menahan gadis itu. “Nanti dulu.”

Merona membiarkan Grazian kembali memeluknya. Menenggelamkan kepalanya di dada gadis itu. Grazian suka mendengarkan detak jantung Merona yang bertalu lebih cepat karena dirinya. Kedua tangannya semakin mengerat hinga mereka kian merapat. Grazian selalu berhasil membuat Merona tak berkutik.

“Zian…”

“Dada kamu hangat, Roo.” Kata Grazian memotong lebih dulu perkataan Merona tapi, yang didapatnya adalah pukulan sadis dari Merona di atas kepalanya.

Plak!

“Lepas, Zian.”

“Enggak mau, di sini hangat dan empuk.” Katanya semakin menenggelamkan wajahnya di atas dada Merona. Bahkan mulut nakalnya menggigit kecil dada Merona dari balik baju.

“Sakit tahu!”

Kali ini Merona membuang jauh rasa ibanya pada Grazian. sekuat tenaga yang dia punya dalam satu dorongan kuat Merona berhasil melepaskan diri dari dekapan Grazian. Dia bersingut kesal meninggalkan kamar Grazian untuk mengambil kotak obat. Sedangkan Grazian sendiri sudah terkekeh sejak tadi, melupakan bayang-bayang mengerikan yang beberapa saat lalu menerkamnya hidup-hidup. Lelaki itu bersandar pada dinding menarik nafas lega.

****

 Ada bisu yang menyelimuti kedua insan itu, Grazian hanya duduk di kursi pantry memperhatikan Merona yang tengah membuat makan malam untuk mereka. Lima telur satu persatu dipecahkan isinya masuk ke dalam wadah stainless, lalu Merona memasukan potongan daun seledri dan juga bawang daun ke dalamnya. Garam, sedikit gula dan tanpa penyedap Merona mulai mengocoknya.

Pan yang sudah panas itu kini di isi dengan butter jatuh di atasnya dan berdesis. Sekaligus telur dalam wadah yang sudah dikocok itu dituang ke dalam pan. Merona menggemang ganggang pan sedikit menggerakkannya ke kiri dan ke kanan agar telurnya merata memenuhi semua bagian pan. Menunggu sampai matang, kini Merona beralih pada kompor satunya. Mengambil pancil yang berisi air kemudian meletakannya di sana. Merona kembali pada telur dadanya, membaliknya dengan spatula tanpa gagal sedikitpun. Begitu matang telur dadar itu di sisihkan ke atas piring.

Kini Merona beralih pada air yang sudah mendidih. Sayur yang sudah dipotong-potong seperti wortel, kol, dan kentang ia masukkan ke dalam air yang mendidih. Lalu pelan-pelan menuangkan bubuk kaldu, tumis bawang merah dan bawang putih halus dan mengaduknya kemudian sampai rata dan tercium aromanya. Hal terakhir yang Merona masukkan adalah jamur kupingnya.

“Kamu mau pakai nasi?” tanya Merona pada Grazian yang sejak tadi memperhatikannya.

“Suapin.”

“Iya.”

Kedua tangan Grazian sudah diobati, sedikit parah sampai Merona harus membalutnya dengan perban. Lelaki itu selalu saja membuat Merona khawatir dengan segala tindak tanduknya. Sambil menunggu supnya matang, Merona meninggalkan dapur sejenak. Masuk ke ruang laundry untuk mengeluarkan pakaian-pakaian yang sudah kering dari mesin cuci, lalu memindahkannya ke keranjang.

Merona kembali lagi ke dapur dan melihat Grazian berdiri di dekat kompor. “Supnya udah mateng, Roo.” Lelaki itu mematikan kompornya, lalu meminta Merona untuk mengambil mangkuk.

“Nih.”

Pelan-pelan Grazian menuangkan supnya ke dalam mangkuk. Kali ini Merona yang diam memperhatikan. Sebenarnya gadis itu lelah tapi, Merona selalu berhasil menahan diri untuk tidak merengek. Jika membandingkan kelelahan dirinya dengan Grazian maka, lelaki itu paling banyak lelahnya. Harus memberinya uang setiap bulan, mengelola bisnis kecilnya, kuliah, menghadapi pacar-pacarnya dan juga menghadapi tekanan mentalnya.

Saat menu makan malam sederhana sudah tersaji di atas meja, Merona duduk di dekat Grazian memudahkan dirinya untuk menyuapi lelaki itu. Sementara Grazian menerima setiap suapan dari Merona sambil bermain games. Merona sendiri ikut makan mengisi perutnya yang kosong, seperti biasa jika tengah menyuapi Grazian maka dirinya pun makan dari piring dan sendok yang sama.

  Saat makanan di piring sudah habis, Grazian menahan tangan Merona yang akan beranjak untuk merapikan bekas makan mereka. “Roo, tidur di kamar aku ya malam ini.”

Merona mengulas senyum dan mengangguk. “Iya.”

Yellowflies

Jangan lupa kasih komentar dan vote kalian biar aku tambah semangat nulisnya. Add ke libary juga biar tahu bab berikutnya. Terima kasih :)

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status