Home / Romansa / Holding On To You / 12. Hujan Sore Hari

Share

12. Hujan Sore Hari

Author: Yellowflies
last update Last Updated: 2021-06-18 08:38:36

Lebih dari apapun ada yang Grazian ingat dari setiap tetes hujan yang jatuh mencium bumi. Hujan yang sejuk dan membuat damai itu nyatanya tak pernah demikian bagi Grazian. Tidak sama sekali, Grazian tidak pernah menyukai hujan sebab hujan selalu berhasil membuat memori kelamnya kembali naik ke permukaan menyusup dan mengisi celah-celah kosong di hatinya. Terlebih lagi hujan sore ini diiringi dengan gemuruh bercampur kilat yang menyala di langit.

Seperti anak kecil Grazian meringkuk dibalik selimut dengan telinga yang disumbat earphone mendengarkan kencangnya musik dalam volume suara seratus persen hanya untuk meredam suara kejam langit yang berteriak marah itu. Selain earphone, Grazian juga menutup telinga dengan bantal. Mencoba memejamkan matanya untuk sekedar membuat perasaannya tenang.

Tapi, sekuat apapun Grazian berusaha meredam apa yang bergejolak dalam hati dan pikirannya tetap saja lelaki itu tak mampu. Kesal sebab suara musik rock yang diputar lewat ponselnya itu tak mampu mengalahkan kerasanya hantaman petir di luar sana. Lantas dengan kasar dia melempar bantal hingga jatuh sembarang ke lantai. earphone di telinganya ia cabut dan berakhir sama dengan bantal yang beberapa saat lalu dilempar.

“Aaarrrrghhh! Setan lo pada! Bisa diem enggak?!” Grazian berteriak marah entah pada langit yang bergemuruh atau pada bisingnya ingatan-ingatan pahit itu yang berebut tempat di ingatannya.

Grazian mengamuk, mengambil vas bunga lalu ia lempar sekuat tenaga hingga hancur berkeping menghantam dinding lalu meluruh berserakan ke lantai. Dadanya naik turun seiring dengan nafasnya yang kian memburu. Belum puas Grazian melepas emosinya kali ini dia menyasar pada buku-buku di meja belajarnya, disingkirkan dengan kasar dan menendang kuat kursinya.

Gaduh suara kamarnya disetiap kali Grazian membanting sesuatu, sebelum kemudian denting retakan cermin terdengar nyaring ketika Grazian menijunya dengan kuat. Kepalan tangannya berdarah serpihan cermin menyeset kulitnya. Belum puas dengan satu tangannya, kini tangan kirinya harus bernasib sama. Cermin retak itu kini terpisah dari bingkainya kala Grazian kembali melayakan satun pukulan kuat di sana. Bahu kokoh itu nampak bergetar sekarang, Grazian menangis dengan nafas memburu, rasa sesak itu kian mendesak-desak rongga parunya.

“Zian!” seru Merona yang baru saja pulang. Gadis itu berlalu merangkul Grazian kemudian. Dalam perjalanan pulang hujan turun dan Merona tak tenang. Dia bahkan berlari untuk segera sampai. Dugaannya benar bahwa Grazian hancur sekarang.

“Sakit Roo, sakit.” Lirihnya dalam pelukkan Merona. “Suruh mereka diam, Roo. Mereka berisik.”

Sebenarnya Merona tak bisa berbuat banyak ketika Grazian tengah kacau seperti sekarang ini. Hal kecil yang bisa dia lakukan adalah memeluk Grazian erat, menenangkan lelaki itu lewat dekapan hangat dan juga usapan lembut tangannya. Satu pelukkan tulus sering kali lebih mujarab dari serentetan kata-kata penuh nasehat.

Ingat Merona ditarik mundur ketika pertama kali dirinya tinggal bersama Grazian, lalu hujan turun hari itu sama seperti sore ini. Grazian masih kelas satu SMA sama seperti dirinya. Hari itu berlari masuk ke kamar dan menyembunyikan diri di dalam lemari. Merona tak mengerti tapi, saat membuka pintu lemari itu dia mendapati Grazian yang menekuk kedua lututnya dan menyembunyikan kepalanya di antara lipatan kaki.

Meski saat itu tak mengerti apa-apa tapi, Merona memberanikan diri untuk memeluk Grazian. pelukkan yang pada akhirnya membawa Grazian pada rasa nyaman dan tenang. Satu dari banyak alasan mengapa Grazian rela menampung dan membiayai Merona, menjaga gadis itu dengan baik. Merona adalah tempatnya pulang meski, Grazian sendiri tak yakin bisa menetap.

“Zian, hujannya sudah reda.” Bisik Merona di telinga Grazian.

Pelukkan itu berangsur-angsur mereda. Kepala Grazian mendongak untuk melihat wajah Merona. Gadis itu tersenyum manis ketika mendapati wajah sayu Grazian dengan genangan air mata. “Terima kasih, Roo.”

Tangan Merona lalu terulur meraih kedua tangan Grazian yang berdarah. “Aku ambil kotak obat dulu ya.”

Belum sempat Merona berdiri, Grazian sudah menahan gadis itu. “Nanti dulu.”

Merona membiarkan Grazian kembali memeluknya. Menenggelamkan kepalanya di dada gadis itu. Grazian suka mendengarkan detak jantung Merona yang bertalu lebih cepat karena dirinya. Kedua tangannya semakin mengerat hinga mereka kian merapat. Grazian selalu berhasil membuat Merona tak berkutik.

“Zian…”

“Dada kamu hangat, Roo.” Kata Grazian memotong lebih dulu perkataan Merona tapi, yang didapatnya adalah pukulan sadis dari Merona di atas kepalanya.

Plak!

“Lepas, Zian.”

“Enggak mau, di sini hangat dan empuk.” Katanya semakin menenggelamkan wajahnya di atas dada Merona. Bahkan mulut nakalnya menggigit kecil dada Merona dari balik baju.

“Sakit tahu!”

Kali ini Merona membuang jauh rasa ibanya pada Grazian. sekuat tenaga yang dia punya dalam satu dorongan kuat Merona berhasil melepaskan diri dari dekapan Grazian. Dia bersingut kesal meninggalkan kamar Grazian untuk mengambil kotak obat. Sedangkan Grazian sendiri sudah terkekeh sejak tadi, melupakan bayang-bayang mengerikan yang beberapa saat lalu menerkamnya hidup-hidup. Lelaki itu bersandar pada dinding menarik nafas lega.

****

 Ada bisu yang menyelimuti kedua insan itu, Grazian hanya duduk di kursi pantry memperhatikan Merona yang tengah membuat makan malam untuk mereka. Lima telur satu persatu dipecahkan isinya masuk ke dalam wadah stainless, lalu Merona memasukan potongan daun seledri dan juga bawang daun ke dalamnya. Garam, sedikit gula dan tanpa penyedap Merona mulai mengocoknya.

Pan yang sudah panas itu kini di isi dengan butter jatuh di atasnya dan berdesis. Sekaligus telur dalam wadah yang sudah dikocok itu dituang ke dalam pan. Merona menggemang ganggang pan sedikit menggerakkannya ke kiri dan ke kanan agar telurnya merata memenuhi semua bagian pan. Menunggu sampai matang, kini Merona beralih pada kompor satunya. Mengambil pancil yang berisi air kemudian meletakannya di sana. Merona kembali pada telur dadanya, membaliknya dengan spatula tanpa gagal sedikitpun. Begitu matang telur dadar itu di sisihkan ke atas piring.

Kini Merona beralih pada air yang sudah mendidih. Sayur yang sudah dipotong-potong seperti wortel, kol, dan kentang ia masukkan ke dalam air yang mendidih. Lalu pelan-pelan menuangkan bubuk kaldu, tumis bawang merah dan bawang putih halus dan mengaduknya kemudian sampai rata dan tercium aromanya. Hal terakhir yang Merona masukkan adalah jamur kupingnya.

“Kamu mau pakai nasi?” tanya Merona pada Grazian yang sejak tadi memperhatikannya.

“Suapin.”

“Iya.”

Kedua tangan Grazian sudah diobati, sedikit parah sampai Merona harus membalutnya dengan perban. Lelaki itu selalu saja membuat Merona khawatir dengan segala tindak tanduknya. Sambil menunggu supnya matang, Merona meninggalkan dapur sejenak. Masuk ke ruang laundry untuk mengeluarkan pakaian-pakaian yang sudah kering dari mesin cuci, lalu memindahkannya ke keranjang.

Merona kembali lagi ke dapur dan melihat Grazian berdiri di dekat kompor. “Supnya udah mateng, Roo.” Lelaki itu mematikan kompornya, lalu meminta Merona untuk mengambil mangkuk.

“Nih.”

Pelan-pelan Grazian menuangkan supnya ke dalam mangkuk. Kali ini Merona yang diam memperhatikan. Sebenarnya gadis itu lelah tapi, Merona selalu berhasil menahan diri untuk tidak merengek. Jika membandingkan kelelahan dirinya dengan Grazian maka, lelaki itu paling banyak lelahnya. Harus memberinya uang setiap bulan, mengelola bisnis kecilnya, kuliah, menghadapi pacar-pacarnya dan juga menghadapi tekanan mentalnya.

Saat menu makan malam sederhana sudah tersaji di atas meja, Merona duduk di dekat Grazian memudahkan dirinya untuk menyuapi lelaki itu. Sementara Grazian menerima setiap suapan dari Merona sambil bermain games. Merona sendiri ikut makan mengisi perutnya yang kosong, seperti biasa jika tengah menyuapi Grazian maka dirinya pun makan dari piring dan sendok yang sama.

  Saat makanan di piring sudah habis, Grazian menahan tangan Merona yang akan beranjak untuk merapikan bekas makan mereka. “Roo, tidur di kamar aku ya malam ini.”

Merona mengulas senyum dan mengangguk. “Iya.”

Yellowflies

Jangan lupa kasih komentar dan vote kalian biar aku tambah semangat nulisnya. Add ke libary juga biar tahu bab berikutnya. Terima kasih :)

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Holding On To You   36. Mencari Cara

    Sagara sudah pusing melihat ibunya yang sejak tadi mondar-mandir tak karuan. Bocah lelaki itu tak mengerti karena ucapan Merona tak sesuai seperti siang hari. Sagara dilarang datang ke ulang tahun adiknya Sulki. Alhasil Sagara melewatkan ajakan beberapa teman sepermainnya.“Siang tadi Mami bilang boleh, Mami juga yang akan antar. Kenapa sekarang enggak boleh?” tanya Sagara lesu.Merona berhenti mondar-mandir, dia menatap putra tunggalnya. “Maafin Mami ya.”“Mami harus kasih alasan yang jelas dong.”Tentu saja Merona tidak tahu harus memberi alasan jelas seperti apa. Langit tidak hujan, tidak pula ada badai. Sekuat apapun Merona mencari alasan, hasilnya tetap saja buntu. Sampai kemudian pintu rumahnya diketuk dari luar, Merona terlonjak kaget. Lalu terdengar suara beberapa anak memanggil anaknya.“Sagaaa!”Sagara melompat dari kursinya. Buru-buru dia keluar menghampiri kawan-kawannya. Merona tak sempat mencegah ketika anaknya itu membuka pintu depan rumah. Sagara tersenyum melihat tema

  • Holding On To You   35. Rumah Angker

    Kabar rumah angker yang sudah dibeli dan sedang dibongkar untuk renovasi itu langsung menyebar ke seluruh lingkungan. Termasuk Sagara, bocah itu bercerita pada Merona bahwa Om tampan yang dijumpainya tempo harilah yang membeli rumah tersebuh.Merona masih tak tahu siapa om tampan yang dimaksud anaknya. Lantai dia bertanya pada Chika. “Kamu tahu siapa om tampan yang dibicarakan Sagara?”“Oh itu, waktu di taman beberapa hari yang lalu ada om-om duduk di samping Sagara terus ngajak ngobrol. Kalau enggak salah namanya Zyan Malik.”Sesaat Merona terdiam. “Saya kan sudah bilang jangan dekat-dekat orang asing.”“Bukan orang asing, Mami. Nanti om tampan itu kan jadi tetangga kita juga.” Timpal Sagara sambil duduk di meja makan dan menarik piring berisi omlete dan roti panggang untuk cemilan sorenya.“Kok kamu tahu kalau om-om itu akan jadi tetangga kita?”“Tahulah,” jawab Sagara bangga. “Pulang sekolah tadi kan aku main di rumah Sulki yang rumahnya di depan rumah angker itu, Mi.”Merona waspa

  • Holding On To You   34. Begini Saja Dulu

    Salah besar jika Grazian selama ini diam dan tidak tahu menahu keberadaan Merona. Pria itu tetap tahu kabar pujaan hatinya, meski hidup di bawah tekanan sang kakek tetap saja Grazian mengawasi Merona. Pria itu bahkan tahu soal Sagara—anaknya bersama Merona. Semua kemudahan yang Merona dapatkan pun tak lepas dari campur tangan Grazian. Hanya saja pria itu menahan diri untuk kontak langsung dengan Merona demi keselamatan mereka.Namun hari ini rupanya Grazian sudah tak sabar menahan diri lagi. Terlebih dia mempunyai kesempatan sejak kondisi kakeknya memburuk. Sepenuhnya kekuasaan sekarang ada di tangan Grazian, namun dia khawatir jika Merona enggan menemuinya. Jauh dari Merona membuat kehidupan Grazian berubah, terasa semakin kelam dan kotor dunianya. Grazian terkadang bertanya-tanya tentang apakah memang pantas dirinya untuk Merona?Grazian menatap Sagara lewat jendela mobilnya. Bocah lelaki itu tengah duduk di bangku taman bersama pengasuhnya. Ada anak-anak kecil lainnya yang bermain

  • Holding On To You   33. Sampai

    - 6 Tahun Kemudian - "Selamat pagi!" Merona hangat menyapa pada pasien pertamanya hari ini. Seorang wanita muda yang tengah berbadan dua. Datang bersama suaminya. Merona tersenyum tatkala dengan sigap sang suami menarik kursi untuk istrinya duduk. "Jadi apa yang ibu rasakan?" tanya Merona ramah. "Saya enggak merasakan apa-apa, tapi suami saya, Dok. Kan saya yang hamil, terus kenapa dia yang mual-mual dan ngidam?" Merona tersenyum mendengar penuturan si ibu muda tersebut, lanjut kembali dia menjelaskan. "Itu namanya kehamilan simpatik, atau disebut juga dengan sindrom Couvade. Walaupun bapaknya mual-mual dan ngidam itu enggak berbahaya." Sang suami menjawab. "Sebenarnya saya enggak masalah untuk hal tersebut, Dok. Saya dan istri datang ingin melihat buah hati pertama kami." "Baik," balas Merona. Lalu bertanya. "Apa sebelumnya sudah pernah melakukan pemeriksaan?" Mereka menggeleng. Kening Merona berkerut, melihat kondisi perut yang sudah besar tersebut. "USG belum pern

  • Holding On To You   32. Tanpa Tatap

    Masih ada dua jam lagi sebelum keberangkatannya. Grazian yang berada di kantor kakeknya untuk sebuah urusan itu, diam-diam menyusup pergi ke kediaman lama Merona. Pria itu yakin gadisnya ada di sana. Lolos dari beberapa pengawal yang menjaganya bukanlah hal yang mudah. Grazian bahkan harus menukar pakaiannya dengan office boy, lalu menutupi wajahnya dengan topi. Keluar dari pintu belakang, Grazian menyetop taksi di depan kantor kemudian.Jika sekarang Grazian tidak memaksakan dirinya bertemu Merona, maka Grazian khawatir tidak akan pernah ada lagi kesempatan bertemu Merona. Tahu benar bahwa kakeknya itu tidak main-main dengan segala rencananya. Pikiran Grazian tidak tenang selama dalam perjalanan, bagaimana dirinya ditinggalkan begitu saja oleh Merona ketika mereka telah membagi segala rasa. Kenyataan bahwa Grazian terlampau mencintai Merona tak terelakan begitu saja.Maka saat taxi berhenti di depan rumah Merona, pemuda itu langsung turun membuka gerbang rumah yang rupanya tidak diku

  • Holding On To You   31. Tak Pernah Cukup

    Melihat bagaimana bahagianya Merona membuat Grazian tidak mempermasalahkan dirinya yang sudah mual menaiki macam-macam wahana. Malam yang semakin larut membuat keduanya semakin dekat merapat. Kembang api diluncurkan ke langit. Letupan-letupan indah itu menjadi penutup malah hangat mereka. Kini keduanya sudah kembali ke apartemen membawa serta sisa-sisa tawa.“Aku enggak nyangka kalau kamu ketakutan naik wahan ekstrim,” ucap Merona mengingat beberapa kejadian yang membuat Grazian nyaris muntah.“Bukan takut Sayang, tapi pusing.”“Udah tua ya?”“Bisa aja kamu,” lalu Grazian membawa Merona duduk di atas pangkuannya. Merapatkan tubuh ideal itu padanya. “Besok aku pergi, Roo.”Mata Merona mengerjap, kaget mendengar pengakuan Grazian. Memang sebelum Merona tahu bahwa Grazian akan pergi selama liburan, tapi dia hanya tidak menyangkan akan secepat itu. “Aku kira lusa atau beberapa hari lagi.”“Aku pikir begitu, tapi tadi sore kakek minta aku pergi besok.”Merona tidak tahu harus menjawab apa.

  • Holding On To You   30. Senja dan Kamu

    Keseharian hidup Grazian dan Merona sangatlah jauh berbeda. Jika Grazian lebih suka keluyuran mencari tempat-tempat baru yang seru untuk nongkrong, Merona justru lebih senang menghabiskan waktunya belajar di kamar. Saat teman-temannya sibuk mengunggah segala kemewahan tempat dan makanan yang mereka nikmati ke sosial media, maka Merona hanya cukup dengan melihatnya. Bukan lantaran tidak ingin atau tidak tertarik, tapi ada hal yang lebih Merona prioritaskan yaitu belajar dengan baik lalu lulus kuliah segera.Merona ingin membuat Grazian bangga padanya sekaligus membuktikan pada kakek dan orang tuanya bahwa dia layak untuk Grazian. Kehidupan muda Merona hampir tidak seseru kawan-kawannya. Tidak banyak warna dalam dunianya, tapi kehadiran sosok Grazian sudah cukup memberinya pelangi. Perjuangan yang dilakukan Merona adalah semata-mata untuk bisa bertahan dengan Grazian, dan juga untuk hatinya sendiri.Maka saat duduk berdua seperti sekarang bersama Grazian adalah hal yang tak akan Merona

  • Holding On To You   29. Jalan

    Merona takjub dengan perubahan yang terjadi pada Grazian. Hari ke hari cowok yang terkenal brengsek itu semakin menunjukkan kebaikannya. Tidak lagi bergelut panas dari ranjang ke ranjang lainnya. Tidak juga mengadu motor di jalanan. Grazian fokus dengan kuliahnya. Belajar, lalu mengurus kedai kopi miliknya dan sesekali datang menemui kakeknya untuk mengurus bisnis yang akan wariskan padanya. Jelas saja apa yang dilakukan Grazian membuat Merona senang tanpa ragu mengembangkan senyum bangganya. Hari-harinya saat menjalani ujian Grazian lebih rajin datang ke perpustakaan untuk belajar dan meminjam beberapa buku. Tak jarang Grazian juga ikut belajar kelompok bersama teman-temannya. Hal yang hampir tidak pernah dilakukan sebelumnya. Saat selesai ujian cowok itu akan bercerita pada Merona bahwa dia bisa mengerjakan soalnya dengan lancar bahkan mempunyai keyakinan kalau nilainya akann sangat bagus. Merona percaya itu karena sejatinya Grazian sangat cerdas, hanya saja tertutup oleh malasnya

  • Holding On To You   28. Mengutarakan

    Sepulang kuliah Merona dikagetkan dengan kedatangan ayahnya yang menunggu di lobi apartemen. Entah itu bagian dari rencana kakek atau tidak, yang jelas Merona selalu was-was bertemu ayahnya. Perasaannya berkecamuk antara benci dan juga sayang sebagai anak. Sisa-sisa rasa sakit hati itu masih subur tumbuh di hatinya. Sekuat apapun Merona membuangnya namun saat berhadapan langsung seperti sekarang hatinya kembali perih.Meski perih Merona tetap mendekat. “A-ayah ada apa kemari?” “Apa tidak boleh seorang Ayah datang untuk melihat kondisi putrinya?”Boleh-boleh saja. Tak ada yang salah dengan kunjungan Haris hari ini, tapi seandainya hal itu dilukakan lebih cepat mungkin Merona akan senang hati menerima kehadiran pria itu. Hanya saja yang tersisa sekarang adalah luka. “Kalau saja Ayah datang lebih cepat, mungkin aku akan senang.”“Roo, apa sesulit itu memaafkan orang tuamu sendiri?”Genangan air mata sudah siap tumpah dari pelupuk. Merona menatap ayahnya dengan pandangan kabur. “Apa ses

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status