LOGINMerona ingat saat dirinya kecil dahulu, ketika merayakan ulang tahunnya bersama Pelangi. Ingatan yang pada akhirnya membawa perih, sebab sejak kecil selalu Pelangi yang didahulukan. Saat Merona meminta kue ulang tahunnya bertema unicorn tapi, yang ada hanya kue ulang tahun yang Pelangi mau dengan tema princess Disney Land. Merona mengalah saat ayahnya bilang kalau Pelangi sedang sakit.
Bahkan pernah beberapa kali Merona tidak mendapat gaun ulang tahun dan juga hadiahnya. Bertahun-tahun hal itu terjadi sampai Merona tidak lagi merengek ini dan itu pada orang tuanya. Merona pendam sendiri sakit hatinya saat dibanding-bandingkan dengan Pelangi yang penurut, Pelangi yang cerdan dan Pelangi yang manis. Bahkan keluarga besarnya lebih suka Pelangi dibandingkan dirinya.
Hal yang kemudian Merona syukuri adalah dirinya yang tak memiliki wajah serupa dengan Pelangi. Mereka bukan kembar identik yang sama persisi, hanya pada mata dan garis wajah saja yang serupa. Selebihnya Merona warisi rupa ayahnya dan Pelangi adalah perpaduan kedua orang tuanya.
Malam ini Grazian memberikan Merona sebuah kejutan kecil seperti ulang tahun Merona sebelumnya tapi, kali ada yang yang spesial. Grazian mengaja Merona makan malam di roof top apartemen yang disulapnya menjadi tempat makan malam romantis. Meja kayu dengan dua kursi dihiasi bunga Edelweiss dalam pot kaca. Lampu-lampu tumbrl kekuningan menggantung di atas kepala, musik romantis sebagai pengiring.
Merona mendekati meja dan dia tertawa kecil melihat hidangan yang tersaji di sana. Bukan menu makan malam ala restoran mewah tapi, makanan cepat saji dipesan Grazian dari restosan pizza khas Amerika. “Aku kira makanannya sekelas steak gitu?”
“Aku lagi pengen makan Pizza, Roo.” Grazian berkata sambil menarik kursi untuk Merona duduk. “Duduk sini.”
“Terima kasih, Zian.”
“Sama-sama Roo.” Grazian mengambil tempat duduk berhadapan dengan Merona, lalu membuka box pizza dan menyodorkannya pada Merona. “Makan selagi masih hangat.”
“Lumayanlah.” Kata Merona mengapresiasi usaha Grazian dalam memberikannya kejutan kecil.
“Biar lebih dari lumayan aku harus kasih apa, Roo?” tanya Grazian yang juga mengambil sepotong pizza.
Dalam hati Merona berkata sambil menatap mata Grazian. “Kasih hati kamu buat aku, Zian.” Akan tetap yang keluar dari mulut Merona adalah hal lainnya. “Bunga-bunga gitu dibentuk hati, ada lilin-lilin kecil, ada layar yang menampilkan foto-foto aku. Musik beneran dan makanan beneran.”
Grazian terkekeh. “Ini juga makanan beneran, Roo.”
“Iya sih tapi, kan aku pengennya yang enak. Pizza sih sering aku makan.”
“Bilang terima kasih, bukannya protes dan nawar.” Lantas Grazian menarik hidung Merona dengan gemas.
“Terima kasih Grazian.” balas Merona dengan senyum mengembang. Sebenarnya tentu saja hal yang sudah Grazian lakukan lebih dari cukup untuk Merona.
Saat tengah menikmati pizzanya yang ditemani kentang goreng, dan beberapa makanan khas restoran cepat saji lainnya, tiba-tiba saja Grazian menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna biru muda kesukaan Merona. “Hadiah buat kamu.”
Merona menerima pemberian Grazian. kotak biru muda itu dibuka dan isinya membuat Merona takjub. Sebuah kalung cantik dengan bantul berbentuk bunga Edeleiss yang terbuat dari emas putih. Pada bagian tengahnya berlian-berlian kecil menyerupai bentuk asli bunganya. Rantai kalungnya kecil berupas emas putih yang berkilau. Merona merabanya, memperhatikan detailnya yang indah.
“Kenapa Edelweiss?” tanyanya kemudian dengan mata memandang Grazian.
Sebenarnya ada yang ingin Grazian jabarkan lewat bunga Edelweiss yang mempunyai nama lain Leontopodium. Jenis bunga yang berbeda dari yang Grazian berikan pada Merona saat senja beberapa waktu lalu. Bunga yang Grazian berikan itu adalah Edelweiss lokal hasil budiya tapi, sama-sama keduanya melambangkan kesejatian cinta. Edelweiss adalah bunga yang tak mudah gugur itu alasan disebut bunga abadi.
Grazian ingin mengatakan itu, mengatakan bahwa perasaannya pada Merona ingin selalu abadi tapi, yang dikatakan langsung pada Merona adalah hal lain. “Kalau kasih bunga mawar kan udah pasaran, Roo.”
“Iya juga sih.”
Grazian berdiri dari tempat duduknya. “Biar aku yang pakaikan.”
“Nih.” Merona memberikan kalung itu pada Grazian dan membiarkan lelaki itu memakaikan kalung untuknya. “Zian, kalau aku boleh menebak dan berharap, apa kalau dan bunga yang kamu kasih hari ini adalah bentuk dari perasaan kamu yang sesungguhnya?”
Grazian yang berdiri di belakang Merona itu tidak menjawab sampai dia selesai mengaitkan kalunganya. Tanpa suara lalu Grazian memeluk Merona dari belakang. Tak ada kata yang terucap dari keduanya. Sejak awal saat Grazian meminta Merona untuk tidak mengatakan perasaan cinta padanya sejak saat itu juga dirinya berikrar untuk tidak melakukan hal serupa.
***
Pagi-pagi sekali Merona dan teman satu fakultasnya sudah ada di lapangan parkir kampus dengan beberapa bus berjajar rapi di sana. Mereka akan melakukan kunjungan ke rumah sakit jantung di luar kota untuk beberapa hari. Selain itu mereka juga akan mengadakan penyuluhan kesehatan yang akan dibantu praktisi kesehatan setempat. Merona mendapatkan ucapan ulang tahun dari teman-teman yang mengenalnya.
Hanna memberinya sebuah hadiah. “Buat lo dan harus lo pake.”
“Apaan sih ini?” Merona bertanya karena hadiah dari Hanna sedikit besar meski, masih muat untuk disimpan dalam ranselnya.
“Buka aja.”
Rasa penasaran mendorong Merona untuk membuka kotak berwarna merah muda itu. Merona tertawa kecil melihat isinya. “Kamu suruh aku dandan kayak kamu?”
“Iya Roo, biar pipi lo merona kayak nama lo.”
Hanna memberikannya set make up lengkap dengan kuas dan cermin kecil. Merona memang jarang berdandan tapi, bukan berarti dia tidak bisa. Merona hanya sesekali berdandan untuk acara tertentu saja tapi, Merona tetap menghargai pemberian Hanna yang dia tahu bahwa brand make up yang Hanna berikan padanya tidaklah murah.
“Thank Hanna.”
Mata Hanna yang jeli menelisik pada leher Merona. “Lo pakai kalung? Itu hadiah dari cowok lo ya? Ayo ngaku!”
“Enggak ada, aku beli sendiri kok.” Merona berusaha mengelak.
“Gue enggak percaya.”
“Beneran deh.”
Aresh yang melihat itu pun jadi menyembunyikan hadiahnya untuk Merona. Lelaki itu kalah cepat karena Grazian sudah lebih dahulu memberi Merona kalung. Tidak mungkinkan kalau Merona memakai dua kalung di satu leher. Aresh kalah cepat, kalungnya dia masukkan ke dalam tas. Lebih baik disembunyikan dan berpura-pura lupa hari ulang tahun Merona.
Aresh berjalan menuju bus tapi, Hanna menahan langkahnya. “Lo enggak mau ngucapin ulang tahun buat Merona?”
“Emang tanggal berapa sekarang?”
“Lima belas Juni, Resh.”
“Oh iya! Gue lupa. Eh… Selamat ulang tahun Merona.”
“Terima kasih Aresh.”
Melihat Merona yang tersenyum hari ini padanya membuat Aresh teringat akan perkataan Grazian tempo lalu, benar mungkin kelak Merona akan luluh padanya jika dia bisa menjadi teman yang baik untuk Merona. Selama ini Aresh tidak pernah menunjukkan perasaannya terhadap Merona pada siapapun kecuali, pada Merona sendiri. Aresh pun tipe orang yang sama seperti Merona tak suka mengumbar urusan pribadinya di muka public.
Dosen pembimbing mereka datang mengarahkan mereka untuk masuk ke bus. Satu persatu dengan tertib mereka masuk bus sesuai dengan nomor yang ditentukan. Tempat duduk juga sudah di tentukan. Merona kebagian tempat duduk dengan Erika, gadis itu memilih duduk di dekat jendela.
Saat melihat ke luar motor Grazian masuk ke area parkir. Merona memperhatikan itu dari tempatnya. Melihat pada Grazian yang dihampiri Rachel, bahkan pipi lelaki itu dicium oleh Rachel. Grazian tersenyum membalas perlakukan Rachel padanya, lain halnya dengan hati Merona yang berdenyut perih. Dari kemarin sampai semalam rasanya Grazian masih miliknya seorang tapi, pagi ini lelaki itu sudah menjadi milik pacar-pacarnya lagi.
Helaan nafas berat Merona membuat Erika menoleh padanya. “Kamu kenapa Na?”
“Enggak apa-apa, cuma deg-degan aja sama kunjungan kita kali ini.”
“Iya sama aku juga. Apalagi di sana ada dokter Tomo, kata papa beliau itu galak. Teman papa waktu kuliah dulu.”
“Oh.”
Mata Erika lalu melihat ke jendela. “Itu Grazian sama cewek lain? dia punya pacar berapa sih?”
“Mana aku tahu.”
Pada akhirnya Erika menceritakan kisahnya pada Merona saat janjian dengan Grazian sampai pada lelaki itu disiram oleh mantannya. Merona tersenyum sekarang dia tahu cerita lengkap dari alasan kenapa Grazian hari itu pulang dengan jaket basah dan rambut yang bau kopi.
Malam menjelang subuh ketika Grazian tiba di ruang kerja pribadinya. Arbitrase saham The King berkedip di layar—jutaan dolar berpindah dalam detik—tapi pikirannya bukan pada uang, bukan pada kekuasaan.Merona dan Sagara.Nama yang seharusnya ia jauhkan dari hidupnya. Nama yang justru paling ingin ia lindungi.Jhon, tangan kanan yang paling dipercayainya, berdiri di sisi ruangan. Ia melihat ekspresi bosnya dan tahu — badai yang lebih besar akan datang.“Semua sudah diatur seperti perintahmu,” ujar Jhon pelan. “Keputusanmu sudah final?”Grazian menyandarkan tubuh di kursi, menarik napas panjang, lalu mengambil ponselnya.“Tidak,” gumamnya lirih. “Tapi aku tidak punya pilihan.”Ia mengetik pesan dengan gerakan jari yang pelan—terlalu pelan untuk ukuran pria yang biasa memerintah dunia kelam:> “Aku tidak bisa menemui kalian beberapa hari ke depan.Tunggu aku. Jangan datang ke kota. Jangan biarkan Sagara keluar setelah sekolah.Ini penting.”Ia menatap teks itu lama, seolah tiap huruf men
Hujan turun tajam malam itu, seolah berniat membelah atap gedung kaca The King. Kilat sesekali menyambar, memantul pada wajah Grazian yang berdiri di balkon, memandang Jakarta dari ketinggian seakan sedang mengukur seluruh hidupnya.Ia berpikir tentang kebebasan—dan betapa mustahilnya kata itu selama ia masih bernapas dalam lingkaran keluarga Danuwiratmadja.Suara pintu otomatis terbuka. “Dia sudah datang,” lapor Jhon, tangan kanan Grazian.Grazian tidak bergerak. Hanya asap rokok yang mengepul dari bibirnya. “Sendirian?”“Tidak. Dia datang dengan—”“—tiga orang bodyguard, semuanya bersenjata?” Grazian memotong datar.Jhon mengangguk. “Seolah dia lupa siapa bos sesungguhnya di gedung ini.”Grazian membuang rokok dalam hujan. “Tidak. Dia hanya ingin menunjukkan bahwa ia masih merasa berhak atas hidupku.”Ia melangkah masuk. Setiap langkah berat, bukan karena takut… tapi karena rasa muak yang selama ini ia tahan.---Ruang rapat The King terasa seperti arena pembantaian yang sunyi. Lamp
Danuwiratmadja Rudolph terbaring di ranjang hitam berlapis satin.Di balik tubuh renta dan kulit keriput, masih tampak bayangan pria yang dulu menaklukkan benua dengan tangan besi.Aroma obat-obatan bercampur dengan parfum mahal menandai kenyataan pahit: sang raja sedang sekarat.Meski begitu, matanya tidak kehilangan cahaya kekuasaan. Ia tidak mau mati… sebelum memastikan perang terakhirnya selesai.Arman berdiri di sisi tempat tidur. “Dokter bilang kondisinya stabil malam ini, Tuan Muda.”Grazian tidak menjawab. Ia hanya memandang kakeknya, tidak dengan iba — tetapi dengan luka yang tidak pernah sembuh.“Akhirnya kau datang,” suara Rudolph serak, namun tetap mengandung perintah, bukan permohonan.“Aku datang karena ingin selesai,” jawab Grazian datar.“Bagus.” Rudolph tersenyum tipis. “Karena aku juga ingin selesai.”Ia menepuk ranjang, memberi isyarat agar cucunya duduk. Grazian tidak bergerak.“Baik,” Rudolph menghela napas ringan. “Kalau kau mau berdiri, berdirilah. Tapi dengarka
Pagi berikutnya, Grazian tetap datang ke rumah kecil itu.Bukan karena berani.Bukan karena mengabaikan ancaman kakeknya.Tapi karena ia tahu — jika ia mundur, maka semua ketakutan dan ancaman itu menang.Dan ia sudah terlalu lama hidup kalah.---Saat ia mengetuk pintu, Sagara langsung berlari menyambutnya — tanpa ragu, tanpa curiga, tanpa tahu dunia gelap apa yang sedang bergerak di belakang punggung mereka.“Om Zian! Aku bikin gambar! Iniiii!”Gambar dinosaurus berwarna biru yang mirip dengan gambar yang mereka buat bersama kemarin.Grazian merasakan hatinya meremas… dan sembuh… dalam waktu yang sama.Merona muncul dari dapur dengan wajah canggung — berusaha menyembunyikan betapa ia rindu pria itu datang.“Kamu beneran datang,” katanya pelan.“Aku janji,” jawab Grazian. “Aku nggak mau bikin Saga nunggu.”Tapi ketika ia bicara, tatapannya tidak pernah lepas dari Merona.Dan Merona tahu — itu janji yang ditujukan juga untuknya.Tak ada pelukan.Tak ada sentuhan.Tapi dekat sekali… sa
Satu minggu sejak kedekatannya dengan Sagara dan Merona semakin tak terhindarkan, hidup Grazian berjalan seolah dua dunia sedang tarik menarik dirinya.beberapa hari yang lalu saat pagi hari ia ada di gedung kaca megah—rapat, laporan profit, transaksi gelap yang dibungkus rapi dalam istilah “investasi offshore” sekarang Grazian sudah sangat dekat dengan mimpi yaitu Merona dan Sagara, tapi untuk malam ini Grazian dipanggil pulang ke kediaman keluarga Danuwiratmadja. Rumah yang terasa seperti museum: megah, penuh simbol kekuasaan, dan dingin.Ia sudah terlatih untuk membekukan hati setiap kali memasuki tempat itu. Namun malam ini, ada firasat buruk yang sulit diabaikan.Saat memasuki ruang utama, kakeknya sudah duduk menunggunya.Danuwiratmadja Rudolph — pria tua dengan kekuasaan seperti bayangan yang tidak pernah pudar. Tatapannya tajam, bukan karena usia melemahkan… tapi karena kekuasaan menguatkan.“Duduk.”Grazian duduk tanpa kata. Tak ada sapaan keluarga — hanya perintah dan ketaat
Sejak percakapan malam itu, tidak ada kata cinta, tidak ada pengakuan eksplisit, tidak ada keputusan apa pun.Tapi sesuatu berubah.Tanpa disadari — tanpa disepakati — mereka mulai hidup dengan kesadaran satu sama lain.Merona tahu Grazian akan datang.Grazian tahu Merona tidak benar-benar ingin dia menjauh.Dan Sagara… seolah menjadi poros yang menyatukan tanpa ia mengerti apa pun.---Satu malam setelah Merona selesai shift sore di rumah sakit, Sagara demam ringan. Tidak parah, hanya tubuh lelah karena kelelahan bermain di sekolah.Namun yang membuat Merona panik bukan demam itu — melainkan satu kalimat:“Om Zyan bilang kalau aku sakit, Om bakal datang.”Merona menghela napas panjang. “Saga, Om Zyan tidak harus datang setiap kamu sakit.”“Tapi aku ingin dia datang.” Mata Sagara memerah, suara seraknya mengandung kekhawatiran yang hanya dimiliki anak kecil. “Kalau dia datang, aku cepat sembuh.”Dan kalimat itu — sederhana namun tajam — menggoyahkan Merona.Bagaimana mungkin ia memisa







