Share

6. Sisi Manja

Grazian melempar jaketnya yang kotor secara asal ke sofa dan Merona melihat itu. Kesal memang tapi, gadis itu sedang tidak ingin berdebat. “Roo tadi aku disiram sama mantan yang enggak tahu keberapa. Jaket aku yang dari kamu jadi kotor." Katanya mengadu pada Merona.

“Bagus deh, itu artinya mantan kamu itu lebih punya otak dibanding cewek-cewek kamu yang lainnya.”

Tanggapan Merona membuat Grazian jadi kesal dan cemberut. Lelaki itu memeluk Merona dari samping. “Kok tega sih ngomongnya? Aku enggak suka ya kamu kayak gitu sama aku.”

“Iiih! Zian lepas! Itu baju kamu kotor, rambut kamu juga tuh bau kopi!”

"Enggak mau," Grazian semakin mengeratkan pelukannya. "Minta maaf dulu Roo karena kamu udah ngomong enggak sopan sama aku barusan."

Merona menghela nafas. Tugasnya masih banyak jika tidak menuruti kemauan Grazian maka lelaki itu tidak akan melepaskannya. Sebagai makhluk waras Merona lebih memilih mengalah.

"Maaf ya Zian. Sekarang kamu mandi ya terus simpan baju kotornya di keranjang cucian. Jangan dilempar kemana aja."

“Ya udah deh aku mandi!” Grazian menjauh dari Merona tapi, belum berniat beranjak. “Masakin aku tumis kacang merah dong, pake sisiran daging tipis-tipis.”

“Iya, sekarang kamu mandi.”

Grazian tersenyum senang lalu dengan cepat menicum pipi Merona sebelum berlari ke kamarnya sendiri. Hanya Merona yang bisa melihat sisi manja Grazian, pun sebaliknya hanya Grazian yang bisa melihat sisi manja Merona. Mereka saling melengkapi tapi, juga saling menutupi. Hanya pada sebatas kata selama masih bisa bersama maka, mereka akan tetap bersama.

Meninggalkan laptonya di ruang tamu, Merona beranjak ke dapur untuk membuatkan Grazian makan siang menjelang sore seperti apa yang lelaki itu mau. Kadang saat sedang memasak atau saat sedang sendiri Merona berpikir bahwa hidupnya selama ini sangat menderita tapi, di jalanan sana Merona sering kali melihat masih banyak yang kurang beruntung dari dirinya.

Beberpa menit kemudian Grazian sudah keluar dari kamar dengan kaos dan juga celana pendeknya. Handuk kecil dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya. Grazian duduk di kursi makan memperhatikan Merona. “Aku mau lihat nilai-nilai kamu semester ini, Roo.”

“Ada di laptop.”

Grazian juga selalu memantau nilai-nilai Merona. Memastikan bahwa gadis itu belajar dengan baik. Berpindah tempat duduk, Grazian menempati tempat yang semula Merona tempati. Duduk lesehan di atas karpet berbulu menghadap laptop. Grazian masuk ke situs akademik milik Merona untuk melihat perkembangan nilai gadis itu.

“Kamu mau makan di meja makan apa di sana?”

“Di sini. Disuapin.”

Merona yang pada akhirnya bertindak lebih dewasa dari Grazian dalam urusan rumah dan mengurus lelaki itu. Menyiapkan makanan, termasuk menyuapinya. Mencuci baju-baju mereka dan juga membersihkan apartemen. Grazian tidak bisa diandalkan dalam urusan kebersihan tempat tinggal mereka tapi, Grazian bisa diandalkan untuk urusan lainnya. Seperti biaya bulanan listrik, air dan kuliah.

“MK pak Budi kenapa kamu dapet B?” tanya Grazian begitu Merona duduk di sisinya.

“Pak Budi itu enggak pernah kasih nila A ke siswa mana pun, Zian. Katanya A itu terlalu sempurna sedangkan manusia enggak ada yang sempurna.”

“Dokter gemblung.” Kata Grazian tekekeh. “Ayo suapin, sayang.”

Merona mulai menyuapi Grazian, membiarkan mulut lelaki itu penuh. “Lusa aku ada kunjungan ke rumah sakit jantung sama teman-teman sekelas.”

“Bayarnya udah kan?”

“Udah tapi, aku kehabisan uang jajan.”

Grazian melirik Merona, menarik hidung mancung gadis itu. “Tumben banget belum akhir bulan udah habis.”

“Aku kemarin beli beberapa alat kesehatan yang udah mulai rusak.”

“Mau berapa?”

“Dua juta, boleh?”

Grazian merogok saku celananya untuk mengambil ponselnya. Dia mengirim uang ke rekening Merona lewar mobile banking. Lalu menunjukkan transaksinya pada Merona. “Ini sudah ya.”

“Kok lima juta? Aku kan cuma minta dua juta.”

“Upah buat masakan kamu hari ini yang enak banget dan upah karena udah nyuapin aku. Hehehe.”

Terkesan saling memanfaatkan tapi, memang benar adanya.

***

 Saat malam kian gelap Grazian sudah siap dengan jaket kulitnya. Wangi tubuhnya pun menyeruak memanjakan indra penciuman Merona. Gadis itu melirik Grazian yang sudah rapi. Merona tidak perlu bertanya kemana akan pergi lelaki itu tapi, Grazian selalu membuat laporan lebih dahulu pada Merona.

“Aku mau nongkrong, ada balapan malam ini. Kamu enggak usah ikut, diem di sini dan belajar yang rajin.” Katanya jenaka, lalu mengusap puncak kepala Merona dengan lembut.

“Emang siapa juga yang mau ikut tapi, ingat ya besok kamu ada jam kuliah. Jangan bolos.”

“Cium dulu deh kalau gitu, baru aku enggak bolos.” pinta Grazian sembari memajukan bibirnya ke hadapan Merona.

“Udah sana pergi!” Merona mengusir Grazian tapi, lelaki itu menarik Merona sampai berdiri dari tempat duduknya. “Zian! Lepas deh.”

Tidak mengindahkan perkataan Merona hal yang kemudian Grazian lalukan adalah mencium manis bibir gadis itu seperti yang sudah-sudah. Saat terjadi sentuhan intim seperti sekarang ini jantung Merona selalu berdetak lebih cepat dari biasanya dan membuat perasaan cintanya pada Grazian kian mendalam. Hanya saja Grazian selalu tahu kapan mengakhiri ciuman dengan Merona, juga tahu kapan membatasi perasaan gadis itu agar tak keluar dari mulut manisnya.

Grazian belum atau tidak akan pernah siap mendengar kata-kata cinta dari Merona. Takut dirinya tak sanggup membalas tapi, juga tak mau kehilangan. Masih menikmati manis bibir Merona, kini tangan Grazian menyusup masuk ke dalam piama yang dikenakan Merona. Halus kulit punggung itu membuat Grazian tersenyum disela-sela ciumannya. “Aku pergi dulu, jangan tidur larut malam.” Katanya setelah melepaskan ciumannya dari Merona.

Tanpa melihat keadaan Merona setelah diciumnya, Grazian langsung keluar. lain halnya dengan Merona yang memegangi dadanya. Bukan detak karena gembira tapi, denyut sakit karena Grazian yang tak pernah tegas dengan perasaannya, juga menyalahkan diri yang belum sanggup pergi dari hidup Grazian. Perasaan sakit inilah yang harus ditanggungnya jika masih ingin tetap bersama Grazian.

Ingatannya membawa Merona pada kejadian beberapa tahun yang lalu ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Saat itu di taman sekolah mereka duduk berdua menikmati roti yang dibagi menjadi dua. Seluruh sekolah yakin bahwa mereka mempunyai hubungan asmara dan itu membuat iri semuanya. Sayangnya apa yang nampak di luar tak selalu sama dengan di dalam.

Hari itu juga Grazian tiba-tiba saja berkata. “Roo, jangan jatuh cinta sama aku untuk sekarang ataupun nanti.”

“Kenapa? Kamu kan baik, Zian.”

“Kalau kamu jatuh cinta sama aku, hal yang aku takutkan adalah aku yang enggak bisa membalas perasaan kamu dan menyakiti kamu, lalu kamu pergi dari kehidupan aku dan aku enggak mau itu terjadi.”

“Itu namanya egois Zian, lagi pula perasaan seseorang itu tidak bisa diatur-atur.”

“Iya aku tahu tapi, saat kamu punya perasaan cinta ke aku, tolong jangan pernah bilang Roo. Jangan sekalipun dan enggak usah tanya kenapa. Mengerti?”

“Iya, Zian.”

Padahal hari itu juga Merona sudah mulai menyadari perasaannya terhadap Grazian. Merona akhirnya tetap memilih bungkam membenarkan perkataan Grazian yang jika dirinya mengatakan cinta bisa saja mereka saling menjauh dan Merona juga seperti Grazian yang tak sanggup jika harus berjauhan. Apalagi hanya Grazians satu-satunya tumpuan hidup Merona.

***

Terima kasih untuk yang membaca Grazian dan Merona sampai sejauh ini. Jangan lupa kasih komentarnya ya seberapa brengseknya Grazian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status