Merona cemberut ketika Grazian memintanya mengantar lelaki itu ke perbatasan ibu kota menuju Heaven Hill salah satu pemakaman elit tempat dimana neneknya tidur tenang di sana. Selepas kelas Merona selesai Grazian langsung menghubungi gadis itu dan memintanya ke parkiran. Sekarang keduanya dalam perjalanan dengan Merona yang menjadi supirnya. Grazian? dia tidur di kursi sebelah sambil melipat tangan dan sandaran kursi yang direndahkan.
“Dari sekian banyaknya hotel, mall dan rumah makan yang kakek punya kenapa kamu mintanya ketemu di pemakaman?” tanya Merona kesal. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Grazian.
“Kan sekalian ketemu nenek juga, sayang.”
“Tapi, ini udah sore Zian. Bisa-bisa kita pulang kemaleman, aku ada tugas.”
Grazian membuka matanya sebentar untuk melihat Merona yang menggerutu sambil mengendalikan kemudi mobil. “Fokus aja ke jalan Roo, ngocehnya nanti kalau udah sampai.”
Sedan hitam itu keluar dari pintu tol, sedikit macet dan itu membuat Merona semakin kesal saja. “Makanya lain kali jangan keseringan keluar malam-malam, jadi tidur kan di kelas.”
“Kamu punya mata-mata ya di kelas aku?”
“Iya!”
Grazian tertawa. “Pinggirin mobilnya, gantian aku yang bawa.”
“Enggak! Kamu masih ngantuk gitu nanti bisa-bisa kita ikutan tidur di samping nenek.”
Grazian tertawa, lantas dia melepas sabuk pengamannya untuk mendekat pada Merona dan menicum pipi gadis itu. “Sayang banget gue sama lo.” Katanya kemudian lalu mengusap puncak kepala Merona.
Sekali lagi Merona mendengar kata sayang dari bibir Grazian. Sayang dengan sejuta makna itu tak mampu membuat hati Merona puas mendengarnya. Ada kata cinta yang dia nantikan tapi, mungkin itu tak akan pernah terwujud. Merona harus menyadari bahwa selama ini mereka sama-sama saling memanfaatkan perasaan masing-masing.
Merona memutar stirnya ke kanan saat memasuki area pemakaman. Jalanan menjadi sedikit menanjak dengan pohon-pohon pinus berjajar rapi di sisi kiri dan kanan jalan. Tempat yang sejuk, perawatan yang baik membuat para kaum zetset rela membayar harga milyaran untuk sebuah pemakaman. Ada yang dijual per petak untuk satu jenazah juga ada yang dijual berupa bidang tanah lebar yang kelak akan di isi oleh jenazah anggota keluarga yang membeli tempat peristirahat terakhir tersebut.
Sebelum benar-benar masuk mereka berhenti lebih dahulu di pos penjagaan. Menunjukkan tanda pengenal sebelum kemudian masuk. Dari pos penjaga ada area parkir yang luas. Satu bangunan cukup besar dengan didominasi warna putih itu adalah kantor administrasi. Dalam bangunan yang sama juga ada sebuah kedai kopi lengkap dengan aneka makanan tersaji.
Grazian dan Merona langsung turun dari mobil dan menuju tempat peristirahatan terkahir mendiang nenek dari Grazian. menyusuri jalan paving block yang pada bagian kiria dan kanannya adalah pemakaman. Ada danau buatan di sana dengan pavilion sebagai tempat bernaung. Dari sisi pavilion langkah kaki mereka bergerak ke sebelah utara. Di sana ada bangunan berupa kubah yang disangga oleh pilar-pilar kokoh tanpa dinding. Membentuk lingkaran yang luas.
Pada bagian tengahnya ada satu pusara dan di sisinya ada sebidang tanah yang cukup untuk satu lainnya. Tempat yang direncanakan akan menjadi tempat peristirahatan terakhir dari kakek Grazian.
Di sanalah tempat yang mereka tuju. Danuwiratmaja Le Halvor tengah duduk menatap pada nisan istri tercintanya. “Maaf sudah membuat kakek menunggu.” Ucap Grazian begitu berdiri di belakang kakeknya.
Danu tersenyum. “Duduklah.”
Grazian menuruti tapi, Merona lebih memilih menjaga jarak dari mereka. Dia memandangi sekitarnya. Sejauh matanya memandang hanya hamparan rumput hijau yang terlihat. Indah dan sejuk. Jarak satu kuburan dengan kuburan lainnya di sekitar cukup jauh karena memang tempatnya berpijak sekarang adalah tempat yang ditaksir memiliki harga paling mahal dari Heaven Hills.
Merona melihat pada Grazian dan Danu. Mereka nampak berbicara tapi, Merona tak berhak tahu apa yang mereka bicarakan. Merona sadar tempatnya yang hanya menumpang hidup pada Grazian. Merona lalu mengalihkan pandangannya pada langit senja yang jingga warnanya sangat dia suka. Merona Jingga nama yang indah tapi, tak seindah kisah hidupnya.
“Roo! Balik yuk.” Ajak Grazian yang kini sudah berdiri di sisi Merona.
Gadis itu mengerutkan keningnya, lalu melihat pada Danu yang sudah meninggalkan mereka bersama dua pengawal pribadinya yang mengekori di belakang. Rupanya sudah selesai pembicaraan mereka. See? Sedekat apapun Merona dengan Grazian gadis itu tetap bukan siapa-siapa, terbukti dari Danu yang tidak menyapanya atau menganggapnya ada.
“Udah selesai?”
“Sudah.” Grazian meraih tangan Merona untuk digandeng dengan erat. “Langitnya cantik kayak kamu.”
Merona melepaskan tangan Grazian darinya, lalu berkata. “Jangan terlalu sering memuji aku dengan tatapan itu karena aku enggak suka setiap kali kamu menatapku seperti sekarang yang kamu lakukan.”
Grazian tertawa. Merona menyadari dalamnya arti tatapan yang dia berikan juga maksud dari pujian itu. Tulus, Grazian melakukannya dengan sangat tulus tapi, juga menyadari bahwa ada keputusasaan dalam dirnya. Berjalan lebih dahulu akhirnya mereka memilih untuk pulang.
***
Merona dibuat kaget ketika Aresh ada di depan pintu saat dirinya akan keluar untuk membeli makanan. “Aresh?”
“Gue mau kasih lihat lo sesuatu soal Grazian yang brengsek itu.”
Merona tidak perlu siapapun memberi tahunya untuk memperilihatkan sisi buruk Grazian sebab dia sendiri sudah sangat tahu. Tak sekali dua kali gadis itu melihat Grazian kencan dengan gadis yang berbeda. “Enggak perlu. Aku udah cukup tahu siapa Grazian tanpa harus kamu kasih tahu. Dia memang brengsek kayak yang kamu bilang tapi, itu karena kamu enggak tahu sisi baiknya. Lain kali lihat dan pandang seseorang dari dua sisi, jangan dari sisi yang menurut kamu benar saja.”
Merona keluar, menarik dan menutup pintu. Berjalan lebih dahulu, Aresh mengikutinya. “Gue cuma enggak mau lo menyesal dan jadi korbannya.”
“Apapun pendapat kamu tentang Grazian, aku enggak akan terpengaruh.”
Aresh menahan langkah Merona dengan menangkap pergelangan tangan gadis itu sampai Merona berbali menghadap Aresh. “Gue tahu kalau selama ini Grazian yang biayain kehidupan lo, kalau itu yang lo khawatirkan gue sanggup kok kasih apa yang Grazian kasih buat lo.”
Merona menahan diri untuk tidak berkata kasar. “Memangnya sesanggup apa kamu membiayai kehidupan aku sedangkan kamu saja masih minta ke orang tua, iyakan?” pelan-pelan Merona melepas tangan Aresh dari pergelangan tangannya. “Dari pada sibuk mengurusi kehidupan aku lebih kamu serius dengan nilai-nilai kamu itu, Resh. Kasihan orang tua kamu udah keluar uang banyak tapi, yang kamu kasih enggak sepadan.”
“Oh, lo pikir Grazian kasih uang ke lo dengan cara halal? Dia taruhan di jalanan atau judi.”
Iya Merona tahu itu sejak Grazian memilih melepaskan diri dari keluargannya lelaki itu sering kali mempertaruhkan nyawanya di jalan untuk mendapatkan rupiah atau bermain judi casino tapi, Merona juga tahu kalau Grazian punya kafe dan bengkel sendiri. Usaha yang dibangunnya dengan uang halal itu pada akhirnya penghasilan perbulannya akan diberikan pada Merona.
“Zian kasih aku uang halal kok dari usahanya sendiri.” Balas Merona sinis. Miris sebenarnya karena setiap orang memandang Grazian seperti sampah kecuali gadis-gadis yang mengaggumi lelaki itu yang akan selalu memuja dan mendewakan Grazian.
Tujuan Aresh malam ini gagal untuk membuat Merona goyah pada Grazian tapi, Aresh belum mau menyerah. Jika kali ini gagal maka, Aresh yakin lain waktu pasti dia akan berhasil. Saat Merona di dalam lift Aresh berpapasan dengan Grazian di lorong. Grazian tahu dan mendengarkan obrolan mereka dengan menahan langkahnya dan bersembunyi di balik dinding.
“Lo cinta sama Rona?” tanya Grazian pada Aresh.
“Bukan urusan lo!” jawab Aresh sengit.
Grazian justru tertawa. “Gue hanya perlu tahu cowok yang benar-benar sayang dengan Merona untuk memastikan gue enggak salah pilih untuk masa depan Merona yang lebih baik.”
“Maksud lo?” Aresh tak mengerti dengan arah pembicaraan Grazian.
“Kalau lo mau Merona, jangan paksa dia dengan cara yang tadi. Itu akan membuat dia jadi kesal sama lo. Merona enggak perlu diiming-imingi materi dan kebahagiaan. Cukup dengan ada di sisinya, jadi temannya maka, lambat laun Merona bisa luluh. Itu juga kalau lo sabar.”
Grazian menepuk pundak Aresh kemudian berlalu melewati lelaki itu dan masuk ke apartemennya. Aresh menoleh dan melihat itu dengan perasaan masih tak mengerti. Pikirannya masih meraba-raba apa yang Grazian maksud.
Grazian membawa Merona jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan untuk membeli makanan yang akan dibawa Merona saat kunjungan ke rumah sakit jantung esok hari. Langkah kaki Merona membeku ketika pandangan matanya menangkap sosok orang tuanya tengah berjalan menggandeng seorang anak kecil lelaki berusia tiga tahun dan ayahnya mendorong kereta bayi. Senyum jelas terlihat di wajah mereka. Lain halnya dengan hati Merona yang merasa dilupakan oleh orang tuanya sendiri.Grazian menyadari hal itu lantas menarik pundak Merona berniat membawa gadis itu menjauh dari hal yang menyakitinya tapi, Merona tak mau menurut. “Aku ingin mereka lihat aku, Zian.”“Roo, itu hanya akan menyakiti kamu. Ayo!”Tapi, Merona berjalan menghampiri. Grazian menghela nafas pada akhirnya memang Merona harus dibiarkan melihat kenyataan. Lelaki itu berjalan mengikuti Merona yang sudah berdiri di hadapan kedua orang tuanya. Mereka langsung berhenti melangkah begitu melih
Merona ingat saat dirinya kecil dahulu, ketika merayakan ulang tahunnya bersama Pelangi. Ingatan yang pada akhirnya membawa perih, sebab sejak kecil selalu Pelangi yang didahulukan. Saat Merona meminta kue ulang tahunnya bertema unicorn tapi, yang ada hanya kue ulang tahun yang Pelangi mau dengan tema princess Disney Land. Merona mengalah saat ayahnya bilang kalau Pelangi sedang sakit.Bahkan pernah beberapa kali Merona tidak mendapat gaun ulang tahun dan juga hadiahnya. Bertahun-tahun hal itu terjadi sampai Merona tidak lagi merengek ini dan itu pada orang tuanya. Merona pendam sendiri sakit hatinya saat dibanding-bandingkan dengan Pelangi yang penurut, Pelangi yang cerdan dan Pelangi yang manis. Bahkan keluarga besarnya lebih suka Pelangi dibandingkan dirinya.Hal yang kemudian Merona syukuri adalah dirinya yang tak memiliki wajah serupa dengan Pelangi. Mereka bukan kembar identik yang sama persisi, hanya pada mata dan garis wajah saja yang serupa.
Jika Merona tengah serius mendengarkan dan memperhatikan hal-hal apa saja yang dijelaskan oleh dokter yang membimbing kelompoknya di rumah sakit jantung maka, lain halnya dengan Grazian yang kini tengah memamerkan kehebatannya bermain basket sembari bertelanjang dada memberikan tontonan gratis untuk kaum hawa yang memekik memujanya. Semakin heboh teriakan mereka setiap kali Grazian berhasil menggiring bola basket masuk sempurna ke dalam ring. Terasa semakin seksi ketika lelaki itu mengelap peluhnya dengan punggung tangan, lalu menyugar rambutnya hingga keningnya terlihat membuat jantung para gadis berdebar-debar ingin mendaratkan satu kecupan manis di atas kening mulus itu. Grazian tentu saja menikmati popularitasnya, bahkan melemparkan kedipan genit pada sekumpulan gadis yang berdiri di pinggir lapangan setelah berhasil melempar kembali memasukan bola ke dalam ring. “Aaah! Grazian main mata ke gue!” pekik salah satu di antara mereka. “Mana ada? Sama gue kali, tuh! Senyum dia ke gue
Lebih dari apapun ada yang Grazian ingat dari setiap tetes hujan yang jatuh mencium bumi. Hujan yang sejuk dan membuat damai itu nyatanya tak pernah demikian bagi Grazian. Tidak sama sekali, Grazian tidak pernah menyukai hujan sebab hujan selalu berhasil membuat memori kelamnya kembali naik ke permukaan menyusup dan mengisi celah-celah kosong di hatinya. Terlebih lagi hujan sore ini diiringi dengan gemuruh bercampur kilat yang menyala di langit. Seperti anak kecil Grazian meringkuk dibalik selimut dengan telinga yang disumbat earphone mendengarkan kencangnya musik dalam volume suara seratus persen hanya untuk meredam suara kejam langit yang berteriak marah itu. Selain earphone, Grazian juga menutup telinga dengan bantal. Mencoba memejamkan matanya untuk sekedar membuat perasaannya tenang. Tapi, sekuat apapun Grazian berusaha meredam apa yang bergejolak dalam hati dan pikirannya tetap saja lelaki itu tak mampu. Kesal sebab suara musik rock yang diput
Pukul dua belas malam lampu kamar masih menyala. Dari tempat tidur Grazian memperhatikan Merona yang menggunaka meja belajarnya untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Malam ini setelah makan malam Grazian menahan Merona di kamarnya, bahkan lelaki itu juga mengunci pintu kamarnya agar Merona tak bisa keluar. kelakuan Grazian yang seenaknya itulah yang sering membuat Merona kesal tapi, gadis itu masih bisa menahan diri untuk mengumpati lelaki yang bertelanjang dada itu. Saat Merona menutup laptopnya, senyum terbit di bibir Grazian. Tahu benar bahwa gadis itu sudah selesai dengan tugasnya. Merona tanpa bicara masuk ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci mukanya. Beruntung ada satu botol face wash miliknya yang tersedia di kamar mandi milik Grazian. Soal sikat gigi gadis itu mengambil kemasan baru dari dalam laci. Grazian senantiasa menunggu Merona sampai gadis itu keluar dari kamar mandi, lalu mengambil tempat di sisinya. Merona mendesak Grazian deng
Di taman kampus gedung fakultas hukum Grazian duduk di atas rumput bersama Rachel. Di tangannya ada satu cup boba yang Rachel belikan untuk teman ranjangnya itu. "Habis dari mana lo?" Tanya Rachel sebab saat masuk kelas lelaki itu hampir datang terlambat."Cewek baru, lo tahu dia lebih gokil dari lo."Rachel terkekeh kecil. "Masa?"Sejenak Grazian merenungi segala petualangan hidupnya di atas ranjang bersama gadis-gadis. Lelaki itu menatap Rachel dari samping. "Lo pernah merasa bosan enggak sih dengan hidup yang gini-gini aja?""Gini-gini gimana maksud lo? Bukannya hidup kita seru ya? Bebas, enggak terkekang kayak kehidupan orang-orang.""Justru karena terlalu bebas, kayaknya kita enggak punya tujuan. Sekarang gue tanya, lulus nanti lo mau jadi apa?""Pengacara mungkin?""Masih mungkin enggak jelas," Grazian mendesah, lalu dia menyedot es bobanya dengan rakus. "Kayak gue harus lebih sering minum dan makan yang manis-manis. Pahit banget hidup, gue."Rachel kini mengamati Grazian. "Lo b
Jika ditanya hal apa yang dibenci Grazian maka, jawabannya adalah masa lalunya. Grazian tak pernah suka jika seseorang bertanya tentang masa lalunya termasuk perihal keluarganya. Keduanya sangat berkaitan. Lelaki itu lahir karena sebuah kesalahan begitu ibunya menyebut lantang bahwa Grazian adalah sebuah kesalahan tapi, terpaksa harus dibesarkan untuk sebuah warisan keluarga. Ketika Grazian tumbuh orang tua justru sibuk berselingkuh dengan kekasih mereka masing-masing. Grazian kecil sering diabaikan. Orang tuanya pulang hanya membawa keributan besar di rumah mewahnya. Segala barang dibanting dan berisik, lalu mereka saling menyalahkan membawa-membawa nama Grazian dalam pertengkaran itu. Grazian adalah kesalahan, Grazian membuat kedua orang tuanya terisak, Grazian hadirnya tak pernah diinginkan dan banyak lagi penyesalan-penyelsaln yang keluar dari mulut orang tuanya tentang Grazian.Tak pernah ada yang baik-baik saja di balik dunia Grazian yang gemerlap. Percayalah semua itu hanya pel
Grazian datang ke kediaman kakeknya, bukan untuk kembali tinggal, tapi untuk membicarakan beberapa hal serius dengan kakeknya itu, selain karena memang dirinya diundang untuk datang oleh kakeknya.Kehadiran Grazian sudah dinantikan. Lelaki itu memarkirkan motornya sembarangan. Dia melirik dua penjaga, dan berkata. "Motor gue tetap di sini jangan lo pindahin."Membawa kakinya masuk, Grazian melihat kakeknya dengan Arman sedang bicara di ruang tamu. Arman sudah seperti anak dari kakeknya karena Arman yang selalu ada, dan juga Arman yang lebih paham bagaimana kakeknya itu.Grazian duduk di dekat mereka. "Jadi apa yang mau kakek bicarakan?""Ah, anak muda ini terlalu terburu-buru. Padahal kakek ingin minum kopi dulu dengan kamu," ucap Danuwiratmaja pada cucunya itu. "Arman tolong buatkan dia kopi.""Baik, Tuan." Arman beranjak."Gulanya sedikit saja," pinta Grazian yang dibalas anggukan dari Arman."Zian, kamu tahu sendiri bukan kalau kakek ini sudah tua dan kakek tidak bisa mempercayakan