Share

8. Merona

Merona cemberut ketika Grazian memintanya mengantar lelaki itu ke perbatasan ibu kota menuju Heaven Hill salah satu pemakaman elit tempat dimana neneknya tidur tenang di sana. Selepas kelas Merona selesai Grazian langsung menghubungi gadis itu dan memintanya ke parkiran. Sekarang keduanya dalam perjalanan dengan Merona yang menjadi supirnya. Grazian? dia tidur di kursi sebelah sambil melipat tangan dan sandaran kursi yang direndahkan.

“Dari sekian banyaknya hotel, mall dan rumah makan yang kakek punya kenapa kamu mintanya ketemu di pemakaman?” tanya Merona kesal. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Grazian.

“Kan sekalian ketemu nenek juga, sayang.”

“Tapi, ini udah sore Zian. Bisa-bisa kita pulang kemaleman, aku ada tugas.”

Grazian membuka matanya sebentar untuk melihat Merona yang menggerutu sambil mengendalikan kemudi mobil. “Fokus aja ke jalan Roo, ngocehnya nanti kalau udah sampai.”

Sedan hitam itu keluar dari pintu tol, sedikit macet dan itu membuat Merona semakin kesal saja. “Makanya lain kali jangan keseringan keluar malam-malam, jadi tidur kan di kelas.”

“Kamu punya mata-mata ya di kelas aku?”

“Iya!”

Grazian tertawa. “Pinggirin mobilnya, gantian aku yang bawa.”

“Enggak! Kamu masih ngantuk gitu nanti bisa-bisa kita ikutan tidur di samping nenek.”

Grazian tertawa, lantas dia melepas sabuk pengamannya untuk mendekat pada Merona dan menicum pipi gadis itu. “Sayang banget gue sama lo.” Katanya kemudian lalu mengusap puncak kepala Merona.

Sekali lagi Merona mendengar kata sayang dari bibir Grazian. Sayang dengan sejuta makna itu tak mampu membuat hati Merona puas mendengarnya. Ada kata cinta yang dia nantikan tapi, mungkin itu tak akan pernah terwujud. Merona harus menyadari bahwa selama ini mereka sama-sama saling memanfaatkan perasaan masing-masing.

Merona memutar stirnya ke kanan saat memasuki area pemakaman. Jalanan menjadi sedikit menanjak dengan pohon-pohon pinus berjajar rapi di sisi kiri dan kanan jalan. Tempat yang sejuk, perawatan yang baik membuat para kaum zetset rela membayar harga milyaran untuk sebuah pemakaman. Ada yang dijual per petak untuk satu jenazah juga ada yang dijual berupa bidang tanah lebar yang kelak akan di isi oleh jenazah anggota keluarga yang membeli tempat peristirahat terakhir tersebut.

Sebelum benar-benar masuk mereka berhenti lebih dahulu di pos penjagaan. Menunjukkan tanda pengenal sebelum kemudian masuk. Dari pos penjaga ada area parkir yang luas. Satu bangunan cukup besar dengan didominasi warna putih itu adalah kantor administrasi. Dalam bangunan yang sama juga ada sebuah kedai kopi lengkap dengan aneka makanan tersaji.

Grazian dan Merona langsung turun dari mobil dan menuju tempat peristirahatan terkahir mendiang nenek dari Grazian. menyusuri jalan paving block yang pada bagian kiria dan kanannya adalah pemakaman. Ada danau buatan di sana dengan pavilion sebagai tempat bernaung. Dari sisi pavilion langkah kaki mereka bergerak ke sebelah utara. Di sana ada bangunan berupa kubah yang disangga oleh pilar-pilar kokoh tanpa dinding. Membentuk lingkaran yang luas.

Pada bagian tengahnya ada satu pusara dan di sisinya ada sebidang tanah yang cukup untuk satu lainnya. Tempat yang direncanakan akan menjadi tempat peristirahatan terakhir dari kakek Grazian.

Di sanalah tempat yang mereka tuju. Danuwiratmaja Le Halvor tengah duduk menatap pada nisan istri tercintanya. “Maaf sudah membuat kakek menunggu.” Ucap Grazian begitu berdiri di belakang kakeknya.

Danu tersenyum. “Duduklah.”

Grazian menuruti tapi, Merona lebih memilih menjaga jarak dari mereka. Dia memandangi sekitarnya. Sejauh matanya memandang hanya hamparan rumput hijau yang terlihat. Indah dan sejuk. Jarak satu kuburan dengan kuburan lainnya di sekitar cukup jauh karena memang tempatnya berpijak sekarang adalah tempat yang ditaksir memiliki harga paling mahal dari Heaven Hills.

Merona melihat pada Grazian dan Danu. Mereka nampak berbicara tapi, Merona tak berhak tahu apa yang mereka bicarakan. Merona sadar tempatnya yang hanya menumpang hidup pada Grazian. Merona lalu mengalihkan pandangannya pada langit senja yang jingga warnanya sangat dia suka. Merona Jingga nama yang indah tapi, tak seindah kisah hidupnya.

“Roo! Balik yuk.” Ajak Grazian yang kini sudah berdiri di sisi Merona.

Gadis itu mengerutkan keningnya, lalu melihat pada Danu yang sudah meninggalkan mereka bersama dua pengawal pribadinya yang mengekori di belakang. Rupanya sudah selesai pembicaraan mereka. See? Sedekat apapun Merona dengan Grazian gadis itu tetap bukan siapa-siapa, terbukti dari Danu yang tidak menyapanya atau menganggapnya ada.

“Udah selesai?”

“Sudah.” Grazian meraih tangan Merona untuk digandeng dengan erat. “Langitnya cantik kayak kamu.”

Merona melepaskan tangan Grazian darinya, lalu berkata. “Jangan terlalu sering memuji aku dengan tatapan itu karena aku enggak suka setiap kali kamu menatapku seperti sekarang yang kamu lakukan.”

Grazian tertawa. Merona menyadari dalamnya arti tatapan yang dia berikan juga maksud dari pujian itu. Tulus, Grazian melakukannya dengan sangat tulus tapi, juga menyadari bahwa ada keputusasaan dalam dirnya. Berjalan lebih dahulu akhirnya mereka memilih untuk pulang.

***

 Merona dibuat kaget ketika Aresh ada di depan pintu saat dirinya akan keluar untuk membeli makanan. “Aresh?”

“Gue mau kasih lihat lo sesuatu soal Grazian yang brengsek itu.”

Merona tidak perlu siapapun memberi tahunya untuk memperilihatkan sisi buruk Grazian sebab dia sendiri sudah sangat tahu. Tak sekali dua kali gadis itu melihat Grazian kencan dengan gadis yang berbeda. “Enggak perlu. Aku udah cukup tahu siapa Grazian tanpa harus kamu kasih tahu. Dia memang brengsek kayak yang kamu bilang tapi, itu karena kamu enggak tahu sisi baiknya. Lain kali lihat dan pandang seseorang dari dua sisi, jangan dari sisi yang menurut kamu benar saja.”

Merona keluar, menarik dan menutup pintu. Berjalan lebih dahulu, Aresh mengikutinya. “Gue cuma enggak mau lo menyesal dan jadi korbannya.”

“Apapun pendapat kamu tentang Grazian, aku enggak akan terpengaruh.”

Aresh menahan langkah Merona dengan menangkap pergelangan tangan gadis itu sampai Merona berbali menghadap Aresh. “Gue tahu kalau selama ini Grazian yang biayain kehidupan lo, kalau itu yang lo khawatirkan gue sanggup kok kasih apa yang Grazian kasih buat lo.”

Merona menahan diri untuk tidak berkata kasar. “Memangnya sesanggup apa kamu membiayai kehidupan aku sedangkan kamu saja masih minta ke orang tua, iyakan?” pelan-pelan Merona melepas tangan Aresh dari pergelangan tangannya. “Dari pada sibuk mengurusi kehidupan aku lebih kamu serius dengan nilai-nilai kamu itu, Resh. Kasihan orang tua kamu udah keluar uang banyak tapi, yang kamu kasih enggak sepadan.”

“Oh, lo pikir Grazian kasih uang ke lo dengan cara halal? Dia taruhan di jalanan atau judi.”

Iya Merona tahu itu sejak Grazian memilih melepaskan diri dari keluargannya lelaki itu sering kali mempertaruhkan nyawanya di jalan untuk mendapatkan rupiah atau bermain judi casino tapi, Merona juga tahu kalau Grazian punya kafe dan bengkel sendiri. Usaha yang dibangunnya dengan uang halal itu pada akhirnya penghasilan perbulannya akan diberikan pada Merona.

“Zian kasih aku uang halal kok dari usahanya sendiri.” Balas Merona sinis. Miris sebenarnya karena setiap orang memandang Grazian seperti sampah kecuali gadis-gadis yang mengaggumi lelaki itu yang akan selalu memuja dan mendewakan Grazian.

Tujuan Aresh malam ini gagal untuk membuat Merona goyah pada Grazian tapi, Aresh belum mau menyerah. Jika kali ini gagal maka, Aresh yakin lain waktu pasti dia akan berhasil. Saat Merona di dalam lift Aresh berpapasan dengan Grazian di lorong. Grazian tahu dan mendengarkan obrolan mereka dengan menahan langkahnya dan bersembunyi di balik dinding.

“Lo cinta sama Rona?” tanya Grazian pada Aresh.

“Bukan urusan lo!” jawab Aresh sengit.

Grazian justru tertawa. “Gue hanya perlu tahu cowok yang benar-benar sayang dengan Merona untuk memastikan gue enggak salah pilih untuk masa depan Merona yang lebih baik.”

“Maksud lo?” Aresh tak mengerti dengan arah pembicaraan Grazian.

“Kalau lo mau Merona, jangan paksa dia dengan cara yang tadi. Itu akan membuat dia jadi kesal sama lo. Merona enggak perlu diiming-imingi materi dan kebahagiaan. Cukup dengan ada di sisinya, jadi temannya maka, lambat laun Merona bisa luluh. Itu juga kalau lo sabar.”

Grazian menepuk pundak Aresh kemudian berlalu melewati lelaki itu dan masuk ke apartemennya. Aresh menoleh dan melihat itu dengan perasaan masih tak mengerti. Pikirannya masih meraba-raba apa yang Grazian maksud.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status