Share

9. Edelweiss

Grazian membawa Merona jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan untuk membeli makanan yang akan dibawa Merona saat kunjungan ke rumah sakit jantung esok hari. Langkah kaki Merona membeku ketika pandangan matanya menangkap sosok orang tuanya tengah berjalan menggandeng seorang anak kecil lelaki berusia tiga tahun dan ayahnya mendorong kereta bayi. Senyum jelas terlihat di wajah mereka. Lain halnya dengan hati Merona yang merasa dilupakan oleh orang tuanya sendiri.

Grazian menyadari hal itu lantas menarik pundak Merona berniat membawa gadis itu menjauh dari hal yang menyakitinya tapi, Merona tak mau menurut. “Aku ingin mereka lihat aku, Zian.”

“Roo, itu hanya akan menyakiti kamu. Ayo!”

Tapi, Merona berjalan menghampiri. Grazian menghela nafas pada akhirnya memang Merona harus dibiarkan melihat kenyataan. Lelaki itu berjalan mengikuti Merona yang sudah berdiri di hadapan kedua orang tuanya. Mereka langsung berhenti melangkah begitu melihat kehadiran Merona.

“Ma-ma.” Berat bibir Merona mengucapkan itu. Desakan rindu di hatinya membuat pilu.

Wanita itu melirik pada Grazian yang berdiri di belakang Merona. “Bisa kamu singkirkan pembunuh itu dari hadapan saya?”

Mendengar hal itu Grazian terkekeh geli. Dia kembali merangkul pundak Merona, lalu bekata. “Sayang, aku kan sudah bilang kalau orang tua kamu itu sudah mati. Kamu enggak perlu mereka.”

Haris, ayah Merona hanya diam membisu menatap puterinya dengan pandangan yang sulit diartikan. Tidak seperti Jendara istrinya yang menatap bengis pada Merona. Wanita itu menunjuk Merona. “Seharusnya kamu memang benar-benar mati! Apa tidak cukup mengerti dengan kuburan yang saya buat atas nama kamu?”

Merona menyeka air matanya. Menatap mantap pada Jendara. “Iya, saya memang sudah mati. Terima kasih sudah memakamkan saya di samping Pelangi.”

Rasanya benar-benar sia-sia. Apa bertahun yang lewat itu tak cukup bagi mereka untuk menghukum Merona? Sekarang rasanya harapan itu kian menguap tanpa jejak. Padangan Merona lalu beralih pada Haris. “Maaf karena aku telah mengacaukan segalanya. Aku hanya tidak bisa menahan diri saat melihat kalian tapi, sepertinya aku sudah selesai sejak lama menjadi bagian dari keluarga kalian.”

Tanpa banyak kata lagi Merona berlalu, menggandeng erat tangan Grazian untuk menyalurkan sesak dadanya. Itulah alasan Grazian selalu melarang Merona untuk menemui keluarganya. Grazian hanya tidak ingin luka-luka yang belum kering di hati Merona kian menganga berdarah-darah. Dia yang seorang lelaki pun bisa merasakan perih yang teramat ketika dibuang keluarganya sendiri, apalagi Merona yang seorang perempuan.

Pasangan suami istri itu sebenarnya tertegun kaget karena Merona yang diusir mereka tumbuh dengan baik menjadi gadis yang cantik. Hanya saja ego mereka lebih besar. Tak mau menerima keadaan kalau meninggalnya Pelangi adalah takdir bukan sepenuhnya kesalahan Merona. Sebagai adik kembar Pelangi, Merona juga tak ingin ditinggalkan kembarannya itu untuk selamanya.

“Udah jangan sedih lagi.” Bisik Grazian di telinga Merona.

“Kita ke swalayan aja, Zian.”

“Oke.”

Grazian membiarkan Merona masuk ke swalayan lebih dahulu sementara dirinya mendorong trolley. Selain berbelanja untuk bekal Merona, mereka juga berbelanja untuk kebutuhan bulanan. Memasukan beberapa barang sampai memenuhi trolley besi itu. Sambil mendorong trolley-nya sesekali Grazian berhenti untuk membalas pesan dari deretan pacar-pacarnya.

Merona sudah taka asing lagi dengan kelakuan Grazian yang satu itu. “Masih mau dorong trolley-nya enggak? Kalau udah enggak biar aku aja.” Sindiri Merona.

Grazian tersenyum tipis, lalu memasukan ponselnya ke saku celana. “Sensitif banget Roo.”

“Aku lagi enggak mau bercanda, Zian.”

“Emang siapa yang ngajak kamu bercanda Merona Jingga? Aku cuma ngajak kamu ngobrol aja kok.” Grazian mengambil pembalut yang biasa Merona pakai. “Kamu sampai lupa kebutuhan pokok kamu sendiri karena mikirin orang tua yang udah buang kamu itu.”

Benar memang pikiran Merona masih tertuju pada pertemuannya dengan orang tuanya. “Susah juga ya melupakan orang yang kita sayang.”

“Apalagi lupain aku, pasti susah banget Roo.” Balas Grazian sembari terkekeh. Lucu menurutnya tapi, bagi Merona itu adalah hal yang serius.

“Suatu saat aku lupain kamu kok. Kayak yang kamu bilang kalau nanti aku bertemu dengan orang yang tepat dunia aku pasti bukan tentang kamu lagi. Kamu enggak aku lupakan sepenuhnya tapi, mungkin bukan prioritas lagi.”

Mendengar penuturan Merona membuat Grazian terdiam memandangi punggung gadis itu. Memperhatikan Merona yang berlalu untuk mencari beberapa barang lagi. Rasanya sakit ketika mendengar Merona akan melupakannya dan tidak akan menjadikan dirinya lagi sebagai prioritas tapi, Grazian tetap berusaha sadar diri dimana tempatnya selama ini. Dia hanya lelaki brengsek yang terlalu buruk untuk Merona.

***

Hari ini Grazian tidak menunjukkan tindak tanduknya yang nakal seperti biasanya. Hari ini lelaki itu lebih banyak menghabiskan waktu bermain games di apartemen. Mengabaikan panggilan ataupun pesan-pesan yang dikirim oleh deretan para pacarnya. Merona yang tengah berlajar di kamarnya pun jadi terganggu dengan dering ponsel Grazian yang seolah tidak pernah berhenti itu.

Merona pada akhirnya keluar dari kamar, dia melihat Grazian bermain game online dan menutup telinganya dengan headset. “Pantesan aja bolot.” Seloroh Merona sambil lalu masuk ke kamar Grazian yang pintunya terbuka.

Ponsel Grazian tergeletak asal di sofa, Merona mengambilnya untuk melihat sebanyak apa orang yang menghubungi Grazian. Mulut gadis itu menganga tak percaya saat ada lebih dari seratus panggil dari nomor yang berbeda-beda, dan lebih dari seribu pesan. Sepertinya panggilan masuk itu saling berdesakan untuk bisa terhubung dengan ponsel Grazian tapi, sayangnya sang empu sedang asyik bermain game.

Ponsel Grazian kembali berdering dan Merona tak berniat mengangkatnya. Dia langsung mengganti mode berdering ke mode senyap. Lega rasanya tak ada dering mengganggu lagi, ponsel itu kembali Merona letakan di tempat semula. Saat keluar kamar dia masih melihat Grazian yang tetap asyik dengan dunianya. Sebenarnya Merona lebih senang melihat Grazian seharian tinggal bersamanya walau lelaki itu sibuk dengan game.

Berjalan mendekati balkon, Merona menyibaknya tirainya. Langit di luar sudah merona indah. Gadis itu berdiri di tepian memegangi pagar pembatas. Melihat pada indahnya langit senja yang membuatnya iri. Di luar sana pasti banyak yang memandang ke arah langit senja, memandang penuh kagum sambil mengembangkan senyum. Merona juga ingin rasanya dipandang seperti itu oleh orang-orang yang disayanginya.

Pelukkan dari belakang membuyarkan lamunan Merona. Grazian melingkarkan tangannya di perut ramping itu, mengecup sisi pipnya lalu menjadikan pundaknnya sebagai tumpuan kepalanya. “Enggak usah iri sama langit yang senja karena kamu, lebih merona dari langit senja.”

Merona tersenyum entah kenapa Grazian selalu tahu apa yang ada dipikirannya. Terkadang Merona dibuat heran tapi, lama-lama dia jadi terbiasa dengan Grazian yang mudah sekali menebak jalan pikirannya. “Udah selesai main gamenya?”

“Udah. Aku menang dong.” Grazian memutar tubuh Merona agar menghadapnya. Mengurung gadis itu di antara dirinya dan pagar balkon. Grazian mengecup bibir Merona singkat. “Orang-orang yang menjauhi kamu sekarang suatu saat nanti akan datang tanpa diminta. Aku pastikan itu Roo, mereka pada akhirnya akan menyesal.”

Merona melingkarkan tangannya di leher Grazian sampai membuat kakinya berjinjit. Memandang mata kelam lelaki itu dengan perasaan cinta yang dimilikinya. Seperti ingin menunjukkan pada Grazian tanpa harus mulutnya berkata. “Kiss me.”

Grazian menuruti apa yang Merona mau. Mencium tetap di bibir gadis itu. saling membagi manis dari rasa yang tersembunyi di hati masing-masing. Tangan kekar Grazian mengangkat bokong Merona membuat gadis itu melingkarkan kakinya di painggang Grazian. Posisi Merona yang lebih tinggi membuat gadis itu lebih leluasa mendapatkan bibir Grazian sebanyak yang gadis itu mau.

Ting tong!

Sekali bel terdengar tapi, keduanya masih saling berpagutan. Memang diantara keduanya pun tak ada yang ingin saling menyudahi. Bel kembali berbunyi, Merona melepaskan tautan bibir mereka. Turun dari gendongan Grazian tapi, lelaki itu masih menahannya dalam pelukkan. Kembali mengecup bibir Merona.

“Zian ada yang datang.”

“Enggak akan masuk kalau enggak dibuka, Roo.” Grazian kembali menawan bibir Merona. Kali ini dia yang melumatnya habis-habisan tapi, bel kembali berbunyi dan Merona menginjak kakinya untuk melepaskan diri.

Grazian tertawa kecil melihat Merona yang berlari ke arah pintu. Nyatanya dirinyalah yang tidak bisa lepas dari Merona bahkan dari manisnya bibir gadis itu. Hatinya lalu bertanya tentang suatu saat nanti dirinya akan melepas Merona. Apa akan sesanggup bibirnya berkata ketika hari itu tiba? Grazian menghela nafas kemudian memilih menghampiri Merona.

“Zian kamu pesan bunga ini buat aku?” tanya Merona begitu mendapatkan sebuket buang Edelweiss di tangannya.

“Suka?”

“Suka tapi, ini buat apa? Maksudku hari ini kan enggak ada peraya….” Merona terdiam menghentikan kata-katanya.

Grazian mendekat, memeluknya dan mengecup puncak kepalanya. Di atas kepala Merona kemudian Grazian berkata. “Selamat ulang tahu Merona Jingga.”

Setetes air mata Merona luruh. Bahkan dia sendiri lupa akan hari ulang tahunnya. Grazian sering kali mengingatkannya. “Terima kasih, Zian. Terima kasih.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status