Share

9. Edelweiss

Author: Yellowflies
last update Last Updated: 2021-06-08 10:00:14

Grazian membawa Merona jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan untuk membeli makanan yang akan dibawa Merona saat kunjungan ke rumah sakit jantung esok hari. Langkah kaki Merona membeku ketika pandangan matanya menangkap sosok orang tuanya tengah berjalan menggandeng seorang anak kecil lelaki berusia tiga tahun dan ayahnya mendorong kereta bayi. Senyum jelas terlihat di wajah mereka. Lain halnya dengan hati Merona yang merasa dilupakan oleh orang tuanya sendiri.

Grazian menyadari hal itu lantas menarik pundak Merona berniat membawa gadis itu menjauh dari hal yang menyakitinya tapi, Merona tak mau menurut. “Aku ingin mereka lihat aku, Zian.”

“Roo, itu hanya akan menyakiti kamu. Ayo!”

Tapi, Merona berjalan menghampiri. Grazian menghela nafas pada akhirnya memang Merona harus dibiarkan melihat kenyataan. Lelaki itu berjalan mengikuti Merona yang sudah berdiri di hadapan kedua orang tuanya. Mereka langsung berhenti melangkah begitu melihat kehadiran Merona.

“Ma-ma.” Berat bibir Merona mengucapkan itu. Desakan rindu di hatinya membuat pilu.

Wanita itu melirik pada Grazian yang berdiri di belakang Merona. “Bisa kamu singkirkan pembunuh itu dari hadapan saya?”

Mendengar hal itu Grazian terkekeh geli. Dia kembali merangkul pundak Merona, lalu bekata. “Sayang, aku kan sudah bilang kalau orang tua kamu itu sudah mati. Kamu enggak perlu mereka.”

Haris, ayah Merona hanya diam membisu menatap puterinya dengan pandangan yang sulit diartikan. Tidak seperti Jendara istrinya yang menatap bengis pada Merona. Wanita itu menunjuk Merona. “Seharusnya kamu memang benar-benar mati! Apa tidak cukup mengerti dengan kuburan yang saya buat atas nama kamu?”

Merona menyeka air matanya. Menatap mantap pada Jendara. “Iya, saya memang sudah mati. Terima kasih sudah memakamkan saya di samping Pelangi.”

Rasanya benar-benar sia-sia. Apa bertahun yang lewat itu tak cukup bagi mereka untuk menghukum Merona? Sekarang rasanya harapan itu kian menguap tanpa jejak. Padangan Merona lalu beralih pada Haris. “Maaf karena aku telah mengacaukan segalanya. Aku hanya tidak bisa menahan diri saat melihat kalian tapi, sepertinya aku sudah selesai sejak lama menjadi bagian dari keluarga kalian.”

Tanpa banyak kata lagi Merona berlalu, menggandeng erat tangan Grazian untuk menyalurkan sesak dadanya. Itulah alasan Grazian selalu melarang Merona untuk menemui keluarganya. Grazian hanya tidak ingin luka-luka yang belum kering di hati Merona kian menganga berdarah-darah. Dia yang seorang lelaki pun bisa merasakan perih yang teramat ketika dibuang keluarganya sendiri, apalagi Merona yang seorang perempuan.

Pasangan suami istri itu sebenarnya tertegun kaget karena Merona yang diusir mereka tumbuh dengan baik menjadi gadis yang cantik. Hanya saja ego mereka lebih besar. Tak mau menerima keadaan kalau meninggalnya Pelangi adalah takdir bukan sepenuhnya kesalahan Merona. Sebagai adik kembar Pelangi, Merona juga tak ingin ditinggalkan kembarannya itu untuk selamanya.

“Udah jangan sedih lagi.” Bisik Grazian di telinga Merona.

“Kita ke swalayan aja, Zian.”

“Oke.”

Grazian membiarkan Merona masuk ke swalayan lebih dahulu sementara dirinya mendorong trolley. Selain berbelanja untuk bekal Merona, mereka juga berbelanja untuk kebutuhan bulanan. Memasukan beberapa barang sampai memenuhi trolley besi itu. Sambil mendorong trolley-nya sesekali Grazian berhenti untuk membalas pesan dari deretan pacar-pacarnya.

Merona sudah taka asing lagi dengan kelakuan Grazian yang satu itu. “Masih mau dorong trolley-nya enggak? Kalau udah enggak biar aku aja.” Sindiri Merona.

Grazian tersenyum tipis, lalu memasukan ponselnya ke saku celana. “Sensitif banget Roo.”

“Aku lagi enggak mau bercanda, Zian.”

“Emang siapa yang ngajak kamu bercanda Merona Jingga? Aku cuma ngajak kamu ngobrol aja kok.” Grazian mengambil pembalut yang biasa Merona pakai. “Kamu sampai lupa kebutuhan pokok kamu sendiri karena mikirin orang tua yang udah buang kamu itu.”

Benar memang pikiran Merona masih tertuju pada pertemuannya dengan orang tuanya. “Susah juga ya melupakan orang yang kita sayang.”

“Apalagi lupain aku, pasti susah banget Roo.” Balas Grazian sembari terkekeh. Lucu menurutnya tapi, bagi Merona itu adalah hal yang serius.

“Suatu saat aku lupain kamu kok. Kayak yang kamu bilang kalau nanti aku bertemu dengan orang yang tepat dunia aku pasti bukan tentang kamu lagi. Kamu enggak aku lupakan sepenuhnya tapi, mungkin bukan prioritas lagi.”

Mendengar penuturan Merona membuat Grazian terdiam memandangi punggung gadis itu. Memperhatikan Merona yang berlalu untuk mencari beberapa barang lagi. Rasanya sakit ketika mendengar Merona akan melupakannya dan tidak akan menjadikan dirinya lagi sebagai prioritas tapi, Grazian tetap berusaha sadar diri dimana tempatnya selama ini. Dia hanya lelaki brengsek yang terlalu buruk untuk Merona.

***

Hari ini Grazian tidak menunjukkan tindak tanduknya yang nakal seperti biasanya. Hari ini lelaki itu lebih banyak menghabiskan waktu bermain games di apartemen. Mengabaikan panggilan ataupun pesan-pesan yang dikirim oleh deretan para pacarnya. Merona yang tengah berlajar di kamarnya pun jadi terganggu dengan dering ponsel Grazian yang seolah tidak pernah berhenti itu.

Merona pada akhirnya keluar dari kamar, dia melihat Grazian bermain game online dan menutup telinganya dengan headset. “Pantesan aja bolot.” Seloroh Merona sambil lalu masuk ke kamar Grazian yang pintunya terbuka.

Ponsel Grazian tergeletak asal di sofa, Merona mengambilnya untuk melihat sebanyak apa orang yang menghubungi Grazian. Mulut gadis itu menganga tak percaya saat ada lebih dari seratus panggil dari nomor yang berbeda-beda, dan lebih dari seribu pesan. Sepertinya panggilan masuk itu saling berdesakan untuk bisa terhubung dengan ponsel Grazian tapi, sayangnya sang empu sedang asyik bermain game.

Ponsel Grazian kembali berdering dan Merona tak berniat mengangkatnya. Dia langsung mengganti mode berdering ke mode senyap. Lega rasanya tak ada dering mengganggu lagi, ponsel itu kembali Merona letakan di tempat semula. Saat keluar kamar dia masih melihat Grazian yang tetap asyik dengan dunianya. Sebenarnya Merona lebih senang melihat Grazian seharian tinggal bersamanya walau lelaki itu sibuk dengan game.

Berjalan mendekati balkon, Merona menyibaknya tirainya. Langit di luar sudah merona indah. Gadis itu berdiri di tepian memegangi pagar pembatas. Melihat pada indahnya langit senja yang membuatnya iri. Di luar sana pasti banyak yang memandang ke arah langit senja, memandang penuh kagum sambil mengembangkan senyum. Merona juga ingin rasanya dipandang seperti itu oleh orang-orang yang disayanginya.

Pelukkan dari belakang membuyarkan lamunan Merona. Grazian melingkarkan tangannya di perut ramping itu, mengecup sisi pipnya lalu menjadikan pundaknnya sebagai tumpuan kepalanya. “Enggak usah iri sama langit yang senja karena kamu, lebih merona dari langit senja.”

Merona tersenyum entah kenapa Grazian selalu tahu apa yang ada dipikirannya. Terkadang Merona dibuat heran tapi, lama-lama dia jadi terbiasa dengan Grazian yang mudah sekali menebak jalan pikirannya. “Udah selesai main gamenya?”

“Udah. Aku menang dong.” Grazian memutar tubuh Merona agar menghadapnya. Mengurung gadis itu di antara dirinya dan pagar balkon. Grazian mengecup bibir Merona singkat. “Orang-orang yang menjauhi kamu sekarang suatu saat nanti akan datang tanpa diminta. Aku pastikan itu Roo, mereka pada akhirnya akan menyesal.”

Merona melingkarkan tangannya di leher Grazian sampai membuat kakinya berjinjit. Memandang mata kelam lelaki itu dengan perasaan cinta yang dimilikinya. Seperti ingin menunjukkan pada Grazian tanpa harus mulutnya berkata. “Kiss me.”

Grazian menuruti apa yang Merona mau. Mencium tetap di bibir gadis itu. saling membagi manis dari rasa yang tersembunyi di hati masing-masing. Tangan kekar Grazian mengangkat bokong Merona membuat gadis itu melingkarkan kakinya di painggang Grazian. Posisi Merona yang lebih tinggi membuat gadis itu lebih leluasa mendapatkan bibir Grazian sebanyak yang gadis itu mau.

Ting tong!

Sekali bel terdengar tapi, keduanya masih saling berpagutan. Memang diantara keduanya pun tak ada yang ingin saling menyudahi. Bel kembali berbunyi, Merona melepaskan tautan bibir mereka. Turun dari gendongan Grazian tapi, lelaki itu masih menahannya dalam pelukkan. Kembali mengecup bibir Merona.

“Zian ada yang datang.”

“Enggak akan masuk kalau enggak dibuka, Roo.” Grazian kembali menawan bibir Merona. Kali ini dia yang melumatnya habis-habisan tapi, bel kembali berbunyi dan Merona menginjak kakinya untuk melepaskan diri.

Grazian tertawa kecil melihat Merona yang berlari ke arah pintu. Nyatanya dirinyalah yang tidak bisa lepas dari Merona bahkan dari manisnya bibir gadis itu. Hatinya lalu bertanya tentang suatu saat nanti dirinya akan melepas Merona. Apa akan sesanggup bibirnya berkata ketika hari itu tiba? Grazian menghela nafas kemudian memilih menghampiri Merona.

“Zian kamu pesan bunga ini buat aku?” tanya Merona begitu mendapatkan sebuket buang Edelweiss di tangannya.

“Suka?”

“Suka tapi, ini buat apa? Maksudku hari ini kan enggak ada peraya….” Merona terdiam menghentikan kata-katanya.

Grazian mendekat, memeluknya dan mengecup puncak kepalanya. Di atas kepala Merona kemudian Grazian berkata. “Selamat ulang tahu Merona Jingga.”

Setetes air mata Merona luruh. Bahkan dia sendiri lupa akan hari ulang tahunnya. Grazian sering kali mengingatkannya. “Terima kasih, Zian. Terima kasih.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Holding On To You   45. Pesan yang menghilang

    Malam menjelang subuh ketika Grazian tiba di ruang kerja pribadinya. Arbitrase saham The King berkedip di layar—jutaan dolar berpindah dalam detik—tapi pikirannya bukan pada uang, bukan pada kekuasaan.Merona dan Sagara.Nama yang seharusnya ia jauhkan dari hidupnya. Nama yang justru paling ingin ia lindungi.Jhon, tangan kanan yang paling dipercayainya, berdiri di sisi ruangan. Ia melihat ekspresi bosnya dan tahu — badai yang lebih besar akan datang.“Semua sudah diatur seperti perintahmu,” ujar Jhon pelan. “Keputusanmu sudah final?”Grazian menyandarkan tubuh di kursi, menarik napas panjang, lalu mengambil ponselnya.“Tidak,” gumamnya lirih. “Tapi aku tidak punya pilihan.”Ia mengetik pesan dengan gerakan jari yang pelan—terlalu pelan untuk ukuran pria yang biasa memerintah dunia kelam:> “Aku tidak bisa menemui kalian beberapa hari ke depan.Tunggu aku. Jangan datang ke kota. Jangan biarkan Sagara keluar setelah sekolah.Ini penting.”Ia menatap teks itu lama, seolah tiap huruf men

  • Holding On To You   44. Konfrontasi

    Hujan turun tajam malam itu, seolah berniat membelah atap gedung kaca The King. Kilat sesekali menyambar, memantul pada wajah Grazian yang berdiri di balkon, memandang Jakarta dari ketinggian seakan sedang mengukur seluruh hidupnya.Ia berpikir tentang kebebasan—dan betapa mustahilnya kata itu selama ia masih bernapas dalam lingkaran keluarga Danuwiratmadja.Suara pintu otomatis terbuka. “Dia sudah datang,” lapor Jhon, tangan kanan Grazian.Grazian tidak bergerak. Hanya asap rokok yang mengepul dari bibirnya. “Sendirian?”“Tidak. Dia datang dengan—”“—tiga orang bodyguard, semuanya bersenjata?” Grazian memotong datar.Jhon mengangguk. “Seolah dia lupa siapa bos sesungguhnya di gedung ini.”Grazian membuang rokok dalam hujan. “Tidak. Dia hanya ingin menunjukkan bahwa ia masih merasa berhak atas hidupku.”Ia melangkah masuk. Setiap langkah berat, bukan karena takut… tapi karena rasa muak yang selama ini ia tahan.---Ruang rapat The King terasa seperti arena pembantaian yang sunyi. Lamp

  • Holding On To You   43. Darah dan Warisan

    Danuwiratmadja Rudolph terbaring di ranjang hitam berlapis satin.Di balik tubuh renta dan kulit keriput, masih tampak bayangan pria yang dulu menaklukkan benua dengan tangan besi.Aroma obat-obatan bercampur dengan parfum mahal menandai kenyataan pahit: sang raja sedang sekarat.Meski begitu, matanya tidak kehilangan cahaya kekuasaan. Ia tidak mau mati… sebelum memastikan perang terakhirnya selesai.Arman berdiri di sisi tempat tidur. “Dokter bilang kondisinya stabil malam ini, Tuan Muda.”Grazian tidak menjawab. Ia hanya memandang kakeknya, tidak dengan iba — tetapi dengan luka yang tidak pernah sembuh.“Akhirnya kau datang,” suara Rudolph serak, namun tetap mengandung perintah, bukan permohonan.“Aku datang karena ingin selesai,” jawab Grazian datar.“Bagus.” Rudolph tersenyum tipis. “Karena aku juga ingin selesai.”Ia menepuk ranjang, memberi isyarat agar cucunya duduk. Grazian tidak bergerak.“Baik,” Rudolph menghela napas ringan. “Kalau kau mau berdiri, berdirilah. Tapi dengarka

  • Holding On To You   42. Luka Lama, Peringatan Baru

    Pagi berikutnya, Grazian tetap datang ke rumah kecil itu.Bukan karena berani.Bukan karena mengabaikan ancaman kakeknya.Tapi karena ia tahu — jika ia mundur, maka semua ketakutan dan ancaman itu menang.Dan ia sudah terlalu lama hidup kalah.---Saat ia mengetuk pintu, Sagara langsung berlari menyambutnya — tanpa ragu, tanpa curiga, tanpa tahu dunia gelap apa yang sedang bergerak di belakang punggung mereka.“Om Zian! Aku bikin gambar! Iniiii!”Gambar dinosaurus berwarna biru yang mirip dengan gambar yang mereka buat bersama kemarin.Grazian merasakan hatinya meremas… dan sembuh… dalam waktu yang sama.Merona muncul dari dapur dengan wajah canggung — berusaha menyembunyikan betapa ia rindu pria itu datang.“Kamu beneran datang,” katanya pelan.“Aku janji,” jawab Grazian. “Aku nggak mau bikin Saga nunggu.”Tapi ketika ia bicara, tatapannya tidak pernah lepas dari Merona.Dan Merona tahu — itu janji yang ditujukan juga untuknya.Tak ada pelukan.Tak ada sentuhan.Tapi dekat sekali… sa

  • Holding On To You   41. Bara Yang Menantang Api

    Satu minggu sejak kedekatannya dengan Sagara dan Merona semakin tak terhindarkan, hidup Grazian berjalan seolah dua dunia sedang tarik menarik dirinya.beberapa hari yang lalu saat pagi hari ia ada di gedung kaca megah—rapat, laporan profit, transaksi gelap yang dibungkus rapi dalam istilah “investasi offshore” sekarang Grazian sudah sangat dekat dengan mimpi yaitu Merona dan Sagara, tapi untuk malam ini Grazian dipanggil pulang ke kediaman keluarga Danuwiratmadja. Rumah yang terasa seperti museum: megah, penuh simbol kekuasaan, dan dingin.Ia sudah terlatih untuk membekukan hati setiap kali memasuki tempat itu. Namun malam ini, ada firasat buruk yang sulit diabaikan.Saat memasuki ruang utama, kakeknya sudah duduk menunggunya.Danuwiratmadja Rudolph — pria tua dengan kekuasaan seperti bayangan yang tidak pernah pudar. Tatapannya tajam, bukan karena usia melemahkan… tapi karena kekuasaan menguatkan.“Duduk.”Grazian duduk tanpa kata. Tak ada sapaan keluarga — hanya perintah dan ketaat

  • Holding On To You   40. Takdir Datang Sendiri.

    Sejak percakapan malam itu, tidak ada kata cinta, tidak ada pengakuan eksplisit, tidak ada keputusan apa pun.Tapi sesuatu berubah.Tanpa disadari — tanpa disepakati — mereka mulai hidup dengan kesadaran satu sama lain.Merona tahu Grazian akan datang.Grazian tahu Merona tidak benar-benar ingin dia menjauh.Dan Sagara… seolah menjadi poros yang menyatukan tanpa ia mengerti apa pun.---Satu malam setelah Merona selesai shift sore di rumah sakit, Sagara demam ringan. Tidak parah, hanya tubuh lelah karena kelelahan bermain di sekolah.Namun yang membuat Merona panik bukan demam itu — melainkan satu kalimat:“Om Zyan bilang kalau aku sakit, Om bakal datang.”Merona menghela napas panjang. “Saga, Om Zyan tidak harus datang setiap kamu sakit.”“Tapi aku ingin dia datang.” Mata Sagara memerah, suara seraknya mengandung kekhawatiran yang hanya dimiliki anak kecil. “Kalau dia datang, aku cepat sembuh.”Dan kalimat itu — sederhana namun tajam — menggoyahkan Merona.Bagaimana mungkin ia memisa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status