Grazian membawa Merona jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan untuk membeli makanan yang akan dibawa Merona saat kunjungan ke rumah sakit jantung esok hari. Langkah kaki Merona membeku ketika pandangan matanya menangkap sosok orang tuanya tengah berjalan menggandeng seorang anak kecil lelaki berusia tiga tahun dan ayahnya mendorong kereta bayi. Senyum jelas terlihat di wajah mereka. Lain halnya dengan hati Merona yang merasa dilupakan oleh orang tuanya sendiri.
Grazian menyadari hal itu lantas menarik pundak Merona berniat membawa gadis itu menjauh dari hal yang menyakitinya tapi, Merona tak mau menurut. “Aku ingin mereka lihat aku, Zian.”
“Roo, itu hanya akan menyakiti kamu. Ayo!”
Tapi, Merona berjalan menghampiri. Grazian menghela nafas pada akhirnya memang Merona harus dibiarkan melihat kenyataan. Lelaki itu berjalan mengikuti Merona yang sudah berdiri di hadapan kedua orang tuanya. Mereka langsung berhenti melangkah begitu melihat kehadiran Merona.
“Ma-ma.” Berat bibir Merona mengucapkan itu. Desakan rindu di hatinya membuat pilu.
Wanita itu melirik pada Grazian yang berdiri di belakang Merona. “Bisa kamu singkirkan pembunuh itu dari hadapan saya?”
Mendengar hal itu Grazian terkekeh geli. Dia kembali merangkul pundak Merona, lalu bekata. “Sayang, aku kan sudah bilang kalau orang tua kamu itu sudah mati. Kamu enggak perlu mereka.”
Haris, ayah Merona hanya diam membisu menatap puterinya dengan pandangan yang sulit diartikan. Tidak seperti Jendara istrinya yang menatap bengis pada Merona. Wanita itu menunjuk Merona. “Seharusnya kamu memang benar-benar mati! Apa tidak cukup mengerti dengan kuburan yang saya buat atas nama kamu?”
Merona menyeka air matanya. Menatap mantap pada Jendara. “Iya, saya memang sudah mati. Terima kasih sudah memakamkan saya di samping Pelangi.”
Rasanya benar-benar sia-sia. Apa bertahun yang lewat itu tak cukup bagi mereka untuk menghukum Merona? Sekarang rasanya harapan itu kian menguap tanpa jejak. Padangan Merona lalu beralih pada Haris. “Maaf karena aku telah mengacaukan segalanya. Aku hanya tidak bisa menahan diri saat melihat kalian tapi, sepertinya aku sudah selesai sejak lama menjadi bagian dari keluarga kalian.”
Tanpa banyak kata lagi Merona berlalu, menggandeng erat tangan Grazian untuk menyalurkan sesak dadanya. Itulah alasan Grazian selalu melarang Merona untuk menemui keluarganya. Grazian hanya tidak ingin luka-luka yang belum kering di hati Merona kian menganga berdarah-darah. Dia yang seorang lelaki pun bisa merasakan perih yang teramat ketika dibuang keluarganya sendiri, apalagi Merona yang seorang perempuan.
Pasangan suami istri itu sebenarnya tertegun kaget karena Merona yang diusir mereka tumbuh dengan baik menjadi gadis yang cantik. Hanya saja ego mereka lebih besar. Tak mau menerima keadaan kalau meninggalnya Pelangi adalah takdir bukan sepenuhnya kesalahan Merona. Sebagai adik kembar Pelangi, Merona juga tak ingin ditinggalkan kembarannya itu untuk selamanya.
“Udah jangan sedih lagi.” Bisik Grazian di telinga Merona.
“Kita ke swalayan aja, Zian.”
“Oke.”
Grazian membiarkan Merona masuk ke swalayan lebih dahulu sementara dirinya mendorong trolley. Selain berbelanja untuk bekal Merona, mereka juga berbelanja untuk kebutuhan bulanan. Memasukan beberapa barang sampai memenuhi trolley besi itu. Sambil mendorong trolley-nya sesekali Grazian berhenti untuk membalas pesan dari deretan pacar-pacarnya.
Merona sudah taka asing lagi dengan kelakuan Grazian yang satu itu. “Masih mau dorong trolley-nya enggak? Kalau udah enggak biar aku aja.” Sindiri Merona.
Grazian tersenyum tipis, lalu memasukan ponselnya ke saku celana. “Sensitif banget Roo.”
“Aku lagi enggak mau bercanda, Zian.”
“Emang siapa yang ngajak kamu bercanda Merona Jingga? Aku cuma ngajak kamu ngobrol aja kok.” Grazian mengambil pembalut yang biasa Merona pakai. “Kamu sampai lupa kebutuhan pokok kamu sendiri karena mikirin orang tua yang udah buang kamu itu.”
Benar memang pikiran Merona masih tertuju pada pertemuannya dengan orang tuanya. “Susah juga ya melupakan orang yang kita sayang.”
“Apalagi lupain aku, pasti susah banget Roo.” Balas Grazian sembari terkekeh. Lucu menurutnya tapi, bagi Merona itu adalah hal yang serius.
“Suatu saat aku lupain kamu kok. Kayak yang kamu bilang kalau nanti aku bertemu dengan orang yang tepat dunia aku pasti bukan tentang kamu lagi. Kamu enggak aku lupakan sepenuhnya tapi, mungkin bukan prioritas lagi.”
Mendengar penuturan Merona membuat Grazian terdiam memandangi punggung gadis itu. Memperhatikan Merona yang berlalu untuk mencari beberapa barang lagi. Rasanya sakit ketika mendengar Merona akan melupakannya dan tidak akan menjadikan dirinya lagi sebagai prioritas tapi, Grazian tetap berusaha sadar diri dimana tempatnya selama ini. Dia hanya lelaki brengsek yang terlalu buruk untuk Merona.
***
Hari ini Grazian tidak menunjukkan tindak tanduknya yang nakal seperti biasanya. Hari ini lelaki itu lebih banyak menghabiskan waktu bermain games di apartemen. Mengabaikan panggilan ataupun pesan-pesan yang dikirim oleh deretan para pacarnya. Merona yang tengah berlajar di kamarnya pun jadi terganggu dengan dering ponsel Grazian yang seolah tidak pernah berhenti itu.
Merona pada akhirnya keluar dari kamar, dia melihat Grazian bermain game online dan menutup telinganya dengan headset. “Pantesan aja bolot.” Seloroh Merona sambil lalu masuk ke kamar Grazian yang pintunya terbuka.
Ponsel Grazian tergeletak asal di sofa, Merona mengambilnya untuk melihat sebanyak apa orang yang menghubungi Grazian. Mulut gadis itu menganga tak percaya saat ada lebih dari seratus panggil dari nomor yang berbeda-beda, dan lebih dari seribu pesan. Sepertinya panggilan masuk itu saling berdesakan untuk bisa terhubung dengan ponsel Grazian tapi, sayangnya sang empu sedang asyik bermain game.
Ponsel Grazian kembali berdering dan Merona tak berniat mengangkatnya. Dia langsung mengganti mode berdering ke mode senyap. Lega rasanya tak ada dering mengganggu lagi, ponsel itu kembali Merona letakan di tempat semula. Saat keluar kamar dia masih melihat Grazian yang tetap asyik dengan dunianya. Sebenarnya Merona lebih senang melihat Grazian seharian tinggal bersamanya walau lelaki itu sibuk dengan game.
Berjalan mendekati balkon, Merona menyibaknya tirainya. Langit di luar sudah merona indah. Gadis itu berdiri di tepian memegangi pagar pembatas. Melihat pada indahnya langit senja yang membuatnya iri. Di luar sana pasti banyak yang memandang ke arah langit senja, memandang penuh kagum sambil mengembangkan senyum. Merona juga ingin rasanya dipandang seperti itu oleh orang-orang yang disayanginya.
Pelukkan dari belakang membuyarkan lamunan Merona. Grazian melingkarkan tangannya di perut ramping itu, mengecup sisi pipnya lalu menjadikan pundaknnya sebagai tumpuan kepalanya. “Enggak usah iri sama langit yang senja karena kamu, lebih merona dari langit senja.”
Merona tersenyum entah kenapa Grazian selalu tahu apa yang ada dipikirannya. Terkadang Merona dibuat heran tapi, lama-lama dia jadi terbiasa dengan Grazian yang mudah sekali menebak jalan pikirannya. “Udah selesai main gamenya?”
“Udah. Aku menang dong.” Grazian memutar tubuh Merona agar menghadapnya. Mengurung gadis itu di antara dirinya dan pagar balkon. Grazian mengecup bibir Merona singkat. “Orang-orang yang menjauhi kamu sekarang suatu saat nanti akan datang tanpa diminta. Aku pastikan itu Roo, mereka pada akhirnya akan menyesal.”
Merona melingkarkan tangannya di leher Grazian sampai membuat kakinya berjinjit. Memandang mata kelam lelaki itu dengan perasaan cinta yang dimilikinya. Seperti ingin menunjukkan pada Grazian tanpa harus mulutnya berkata. “Kiss me.”
Grazian menuruti apa yang Merona mau. Mencium tetap di bibir gadis itu. saling membagi manis dari rasa yang tersembunyi di hati masing-masing. Tangan kekar Grazian mengangkat bokong Merona membuat gadis itu melingkarkan kakinya di painggang Grazian. Posisi Merona yang lebih tinggi membuat gadis itu lebih leluasa mendapatkan bibir Grazian sebanyak yang gadis itu mau.
Ting tong!
Sekali bel terdengar tapi, keduanya masih saling berpagutan. Memang diantara keduanya pun tak ada yang ingin saling menyudahi. Bel kembali berbunyi, Merona melepaskan tautan bibir mereka. Turun dari gendongan Grazian tapi, lelaki itu masih menahannya dalam pelukkan. Kembali mengecup bibir Merona.
“Zian ada yang datang.”
“Enggak akan masuk kalau enggak dibuka, Roo.” Grazian kembali menawan bibir Merona. Kali ini dia yang melumatnya habis-habisan tapi, bel kembali berbunyi dan Merona menginjak kakinya untuk melepaskan diri.
Grazian tertawa kecil melihat Merona yang berlari ke arah pintu. Nyatanya dirinyalah yang tidak bisa lepas dari Merona bahkan dari manisnya bibir gadis itu. Hatinya lalu bertanya tentang suatu saat nanti dirinya akan melepas Merona. Apa akan sesanggup bibirnya berkata ketika hari itu tiba? Grazian menghela nafas kemudian memilih menghampiri Merona.
“Zian kamu pesan bunga ini buat aku?” tanya Merona begitu mendapatkan sebuket buang Edelweiss di tangannya.
“Suka?”
“Suka tapi, ini buat apa? Maksudku hari ini kan enggak ada peraya….” Merona terdiam menghentikan kata-katanya.
Grazian mendekat, memeluknya dan mengecup puncak kepalanya. Di atas kepala Merona kemudian Grazian berkata. “Selamat ulang tahu Merona Jingga.”
Setetes air mata Merona luruh. Bahkan dia sendiri lupa akan hari ulang tahunnya. Grazian sering kali mengingatkannya. “Terima kasih, Zian. Terima kasih.”
Merona ingat saat dirinya kecil dahulu, ketika merayakan ulang tahunnya bersama Pelangi. Ingatan yang pada akhirnya membawa perih, sebab sejak kecil selalu Pelangi yang didahulukan. Saat Merona meminta kue ulang tahunnya bertema unicorn tapi, yang ada hanya kue ulang tahun yang Pelangi mau dengan tema princess Disney Land. Merona mengalah saat ayahnya bilang kalau Pelangi sedang sakit.Bahkan pernah beberapa kali Merona tidak mendapat gaun ulang tahun dan juga hadiahnya. Bertahun-tahun hal itu terjadi sampai Merona tidak lagi merengek ini dan itu pada orang tuanya. Merona pendam sendiri sakit hatinya saat dibanding-bandingkan dengan Pelangi yang penurut, Pelangi yang cerdan dan Pelangi yang manis. Bahkan keluarga besarnya lebih suka Pelangi dibandingkan dirinya.Hal yang kemudian Merona syukuri adalah dirinya yang tak memiliki wajah serupa dengan Pelangi. Mereka bukan kembar identik yang sama persisi, hanya pada mata dan garis wajah saja yang serupa.
Jika Merona tengah serius mendengarkan dan memperhatikan hal-hal apa saja yang dijelaskan oleh dokter yang membimbing kelompoknya di rumah sakit jantung maka, lain halnya dengan Grazian yang kini tengah memamerkan kehebatannya bermain basket sembari bertelanjang dada memberikan tontonan gratis untuk kaum hawa yang memekik memujanya. Semakin heboh teriakan mereka setiap kali Grazian berhasil menggiring bola basket masuk sempurna ke dalam ring. Terasa semakin seksi ketika lelaki itu mengelap peluhnya dengan punggung tangan, lalu menyugar rambutnya hingga keningnya terlihat membuat jantung para gadis berdebar-debar ingin mendaratkan satu kecupan manis di atas kening mulus itu. Grazian tentu saja menikmati popularitasnya, bahkan melemparkan kedipan genit pada sekumpulan gadis yang berdiri di pinggir lapangan setelah berhasil melempar kembali memasukan bola ke dalam ring. “Aaah! Grazian main mata ke gue!” pekik salah satu di antara mereka. “Mana ada? Sama gue kali, tuh! Senyum dia ke gue
Lebih dari apapun ada yang Grazian ingat dari setiap tetes hujan yang jatuh mencium bumi. Hujan yang sejuk dan membuat damai itu nyatanya tak pernah demikian bagi Grazian. Tidak sama sekali, Grazian tidak pernah menyukai hujan sebab hujan selalu berhasil membuat memori kelamnya kembali naik ke permukaan menyusup dan mengisi celah-celah kosong di hatinya. Terlebih lagi hujan sore ini diiringi dengan gemuruh bercampur kilat yang menyala di langit. Seperti anak kecil Grazian meringkuk dibalik selimut dengan telinga yang disumbat earphone mendengarkan kencangnya musik dalam volume suara seratus persen hanya untuk meredam suara kejam langit yang berteriak marah itu. Selain earphone, Grazian juga menutup telinga dengan bantal. Mencoba memejamkan matanya untuk sekedar membuat perasaannya tenang. Tapi, sekuat apapun Grazian berusaha meredam apa yang bergejolak dalam hati dan pikirannya tetap saja lelaki itu tak mampu. Kesal sebab suara musik rock yang diput
Pukul dua belas malam lampu kamar masih menyala. Dari tempat tidur Grazian memperhatikan Merona yang menggunaka meja belajarnya untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Malam ini setelah makan malam Grazian menahan Merona di kamarnya, bahkan lelaki itu juga mengunci pintu kamarnya agar Merona tak bisa keluar. kelakuan Grazian yang seenaknya itulah yang sering membuat Merona kesal tapi, gadis itu masih bisa menahan diri untuk mengumpati lelaki yang bertelanjang dada itu. Saat Merona menutup laptopnya, senyum terbit di bibir Grazian. Tahu benar bahwa gadis itu sudah selesai dengan tugasnya. Merona tanpa bicara masuk ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci mukanya. Beruntung ada satu botol face wash miliknya yang tersedia di kamar mandi milik Grazian. Soal sikat gigi gadis itu mengambil kemasan baru dari dalam laci. Grazian senantiasa menunggu Merona sampai gadis itu keluar dari kamar mandi, lalu mengambil tempat di sisinya. Merona mendesak Grazian deng
Di taman kampus gedung fakultas hukum Grazian duduk di atas rumput bersama Rachel. Di tangannya ada satu cup boba yang Rachel belikan untuk teman ranjangnya itu. "Habis dari mana lo?" Tanya Rachel sebab saat masuk kelas lelaki itu hampir datang terlambat."Cewek baru, lo tahu dia lebih gokil dari lo."Rachel terkekeh kecil. "Masa?"Sejenak Grazian merenungi segala petualangan hidupnya di atas ranjang bersama gadis-gadis. Lelaki itu menatap Rachel dari samping. "Lo pernah merasa bosan enggak sih dengan hidup yang gini-gini aja?""Gini-gini gimana maksud lo? Bukannya hidup kita seru ya? Bebas, enggak terkekang kayak kehidupan orang-orang.""Justru karena terlalu bebas, kayaknya kita enggak punya tujuan. Sekarang gue tanya, lulus nanti lo mau jadi apa?""Pengacara mungkin?""Masih mungkin enggak jelas," Grazian mendesah, lalu dia menyedot es bobanya dengan rakus. "Kayak gue harus lebih sering minum dan makan yang manis-manis. Pahit banget hidup, gue."Rachel kini mengamati Grazian. "Lo b
Jika ditanya hal apa yang dibenci Grazian maka, jawabannya adalah masa lalunya. Grazian tak pernah suka jika seseorang bertanya tentang masa lalunya termasuk perihal keluarganya. Keduanya sangat berkaitan. Lelaki itu lahir karena sebuah kesalahan begitu ibunya menyebut lantang bahwa Grazian adalah sebuah kesalahan tapi, terpaksa harus dibesarkan untuk sebuah warisan keluarga. Ketika Grazian tumbuh orang tua justru sibuk berselingkuh dengan kekasih mereka masing-masing. Grazian kecil sering diabaikan. Orang tuanya pulang hanya membawa keributan besar di rumah mewahnya. Segala barang dibanting dan berisik, lalu mereka saling menyalahkan membawa-membawa nama Grazian dalam pertengkaran itu. Grazian adalah kesalahan, Grazian membuat kedua orang tuanya terisak, Grazian hadirnya tak pernah diinginkan dan banyak lagi penyesalan-penyelsaln yang keluar dari mulut orang tuanya tentang Grazian.Tak pernah ada yang baik-baik saja di balik dunia Grazian yang gemerlap. Percayalah semua itu hanya pel
Grazian datang ke kediaman kakeknya, bukan untuk kembali tinggal, tapi untuk membicarakan beberapa hal serius dengan kakeknya itu, selain karena memang dirinya diundang untuk datang oleh kakeknya.Kehadiran Grazian sudah dinantikan. Lelaki itu memarkirkan motornya sembarangan. Dia melirik dua penjaga, dan berkata. "Motor gue tetap di sini jangan lo pindahin."Membawa kakinya masuk, Grazian melihat kakeknya dengan Arman sedang bicara di ruang tamu. Arman sudah seperti anak dari kakeknya karena Arman yang selalu ada, dan juga Arman yang lebih paham bagaimana kakeknya itu.Grazian duduk di dekat mereka. "Jadi apa yang mau kakek bicarakan?""Ah, anak muda ini terlalu terburu-buru. Padahal kakek ingin minum kopi dulu dengan kamu," ucap Danuwiratmaja pada cucunya itu. "Arman tolong buatkan dia kopi.""Baik, Tuan." Arman beranjak."Gulanya sedikit saja," pinta Grazian yang dibalas anggukan dari Arman."Zian, kamu tahu sendiri bukan kalau kakek ini sudah tua dan kakek tidak bisa mempercayakan
"Oweeek." Merona muntah-muntah mengeluarkan sesuatu dari mulutnya yang tanpa bisa terkontrol juga ikut tertelan. "Oweeek..."Grazian ikut masuk ke kamar mandi. Tangannya menepuk-nepuk pelan punggung Merona. "Ya maaf, Roo kalau aku kebablasan.""Sumpah, ini tuh enggak enak banget rasanya," Merona menyalakan keran dan berkumur banyak-banyak guna menghilangkan sisa-sisa rasa dari cairan yang Grazian keluarkan dalam mulutnya.Tangan Grazian yang semula di punggung bergeser ke pundak merapikan pakaian Merona yang melorot. "Dasar amatir, segitu aja udah muntah-muntah. Kayaknya kamu harus sering-sering latihan, Roo.""Enggak, aku kapok," balas Merona, dia mengambil tisu dan menyeka mulutnya. "Kayaknya mendingan kamu cari mulut perempuan lain aja deh buat menelan cairan kamu itu.""Yakin? Nanti cemburu lagi."Merona menghela nafasnya. "Sumpah ya, kamu tuh nyebelin banget Zian. Enggak bisa apa berhenti dan mulai serius sama hidup."Sejenak Grazian diam menelaah ucapan Merona. Ada perasaan yang