Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari saat suara pintu gerbang rumahku terbuka dan terkunci kembali. Aku bangun dari tempatku bersantai di dalam kamar Nathaniel yang hangat. Menunggunya di balkon sepanjang malam bukanlah cara yang tepat kecuali aku mau mencari penyakit karena angin malam yang terasa sangat dingin sampai menusuk tulang. Tidak lama berselang, suara langkah kaki Niel mulai terdengar sebelum pintu kamarnya terbuka. "Apa yang kamu lakukan?" Sinisnya begitu melihatku sedang berbaring di kasurnya. "Aku mau bicara." Pintaku yang segera duduk di pinggir kasur. "Tidak perlu. Kau sudah mendapatkan restu Papa Mama, kau tidak perlu restuku." Ucap Niel yang berusaha mengacuhkan keberadaanku. "Iya tapi aku tetap mau bicara." "Aku capek." Jawab Niel singkat sembari melepaskan semua pakaiannya kecuali pakaian dalamnya. Melihat pemandangan erotis yang Niel seperti ini bukanlah menjadi sesuatu yang tabu untukku karena sudah terlalu sering aku melihatnya. "Niel, dengarkan aku
Aku dan Daniel tiba di rumah setelah seharian berkeliling mencari kebutuhan resepsi kecil-kecilan kami yang akan berlangsung bulan depan. Tidak semewah cerita dongeng, pernikahanku hanya dihadiri oleh keluarga besarku yang ikut terkejut akan keberadaanku yang sudah kembali kerumah setelah Papa dan Mama menceritakan kejadian lengkapnya kepada mereka berdasarkan pengakuan palsuku dengan Daniel. "Kamu capek sayang?" Tanya Daniel yang bersimpuh di depanku yang sedang duduk dan merentangkan seluruh tangan hingga kakiku yang terasa keram dan kesemutan."Hm-mh." Gumamku saat Daniel mulai melepas satu persatu sepatu heels yang kugunakan seharian."Sudah lama sekali rasanya tidak melihatmu memakai sepatu tinggi ini. Apa kakimu tidak apa-apa?" Daniel memperhatikan tumit kakiku secara bergantian dengan seksama."Tidak apa. Badanku belum terbiasa beraktifitas padat seperti tadi, jadi rasanya capek sekali.""Semalam juga tidurmu kurang kan? Bagaimana akhir pembicaraan dengan Kakakmu? Apa berjalan
"Jadi sebenarnya apa yang terjadi? Aku tidak percaya kau bisa menaklukkannya. Nathaniel juga sama keras kepalanya sepertiku, bahkan sepertinya dia lebih parah." Tanyaku pada Daniel di perjalanan kami pulang kembali ke Ibu Kota di keesokan paginya. Tadi malam aku memilih untuk meninggalkan Nathaniel dan Daniel yang malah sibuk berdua di taman belakang rumahku. Keduanya terlihat jauh lebih akrab dibandingkan sebelumnya. Apalagi pagi harinya, Nathaniel ikut mengantar keberangkatanku ke bandara dengan Papa dan Mama. Ia bahkan sempat memelukku singkat dengan wajahnya yang masih menyimpan rasa gengsi. Namun jauh berbeda saat ia bersalaman dengan Daniel. Ia bahkan memeluk singkat calon suamiku itu! Daniel hanya terkekeh mendengar pernyataanku barusan. "Kami para laki-laki punya cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah. Yang penting sekarang Niel sudah merestui hubungan kita." Daniel mengusap-usap pipiku lembut. "Serius?!" Kagetku. Daniel mengangguk kecil berkali-kali. Aku tersenyum b
Pagi yang cerah saataku bersama dengan Rayes, Roger dan Daniel sedang duduk bersama di rooftop cafe yang terkenal akan keindahan pemandangan kotanya dengan makanan yang cukup enak. Rayes memesan satu area yang akan menjadi tempat kami bertemu dengan anak-anak Roger dan Rayes yang sedang berpacaran. Jujur saja aku sangat gugup begitu tau akan bertemu kembali dengan Alexandre dan Gwen setelah semua kebaikan yang mereka berikan padaku dulu. "Itu mereka." Bisik Rayes yang sedang duduk disebelah kiriku. Roger dan Daniel yang duduk di sebelah kananku segera melihat ke arah yang Rayes tunjuk, tidak terkecuali aku. Dan untuk pertama kalinya aku melihat Alex yang berpenampilan jauh lebih berwibawa dari yang terakhir kali aku melihatnya. Sedangkan Gwen masih tampak mengagumkan seperti sebelumnya. Ia tampak mengalungkan lengannya pada lengan Alex yang berjalan beriringan disebelahnya. "ANNA?!" Pekik Alex saat ia menyadari keberadaanku yang tengah duduk diantara Ayah mereka. "Hai." Tanganku m
"Alexandre Rayes, dengarkan aku!" Sentak Gwen yang menatap Alex dengan tegas.Alex terdiam tidak membalas. Ia tampak terkejut dengan sikap Gwen yang mendadak berubah menjadi lebih tegas dari biasanya."Papamu punya latar belakang yang berbeda dengan Papaku. Dengan perbedaan masalah itu mereka memiliki satu kesamaan. Mereka masih mau mempertahankan rumah tangganya meski sudah retak dan tidak bisa kembali utuh. Bedanya, Papamu masih begitu mencintai Mamamu, dengan segala kekurangannya. Apa kamu tidak kasihan dengan usaha keras mereka selama ini?" Kesal Gwen."Maafkan aku Tuan Rayes, tapi kalau aku berada diposisi istrimu juga aku pasti akan memintamu mencari penggantiku. Daripada aku harus mengetahui kalau suami yang sangat kucintai sudah menyentuh wanita yang tidak jelas diluar sana." Bela Gwen."Tapi Gwen, apa kamu tidak geli melihat ting-""Alexandre Rayes! Jangan menghina seseorang hanya karena kamu tidak berada di posisi yang sama dengan mereka! Kamu tidak tau usaha apa yang sudah
Jadi begitulah... Butuh waktu setengah hari bagi kami berempat menjelaskan situasi yang sebenarnya pada Alex dan Gwen. Setelah perdebatan sengit yang terjadi di awal pertemuan kami, mengenalkan Daniel sebagai calon suamiku tidaklah menjadi hal yang sulit bagi kedua sugar daddyku. Yang membuatku terkejut adalah, Alex tidak mengenal Daniel sama sekali. Padahal Daniel sudah bekerja cukup lama dengan Rayes. Artinya hidup bahkan keberadaan Daniel selalu berada dalam bayangan hitam Rayes. Misterius. Tidak diketahui oleh siapapun. Rahasia. "Jadi ini kali pertamamu menyapa Alex secara langsung?" Tanyaku pada Daniel saat aku tengah asik rebahan di pahanya sembari menikmati siaran televisi bersama dengan ketiga sugar daddyku di ruang keluarga apartemen kami. "Iya. Ini kali pertamanya. Sebenarnya aku sudah sering bertemu dengannya tapi dia saja yang tidak mengenaliku." Jelas Daniel yang menundukkan kepalanya demi melihatku. "Hm... Padahal kalian berada di satu ketek yang sama. Ketek Rayes."
Terik matahari menyinari kepalaku saat aku dan Daniel baru melangkah keluar dari butik yang Rayes tentukan untuk membuat baju resepsi kami. Ingin sekali rasanya aku melihat perkembangan negosiasi antara Rayes dan Victoria Cliff. Istri sah dari Roger. Ingatanku tentang wanita itu tidak begitu baik, mengingat ia pernah hampir memakanku hidup-hidup saat pertemuan pertama kami. Ia menganggapku sebagai sekertaris yang tidak kompeten hanya karena kesalahpahaman kecil. "Ahhhh!" Mengingatnya saja aku sudah kesal."Ada apa sayang?" Tanya Daniel saat tengah fokus menyetir."Oh, tidak. Aku... Aku hanya khawatir dengan kondisi Rayes dan Roger yang sedang bertemu dengan Victoria." Jujurku."Tenang saja. Tuan Rayes sudah pasti akan berusaha semaksimal mungkin demi mencapai tujuannya." Tangan besar Daniel mengusap rambutku pelan namun teratur.Aku mengangguk kecil karena yakin akan kemampuan Rayes dalam bernegosiasi. Apapun hasilnya nanti aku harus merelakannya. Tapi kasihan Roger kalau begitu. Kir
"Well, hello Baby Girl." Senyum Roger yang menampilkan gigi taringnya membuat bulu kudukku semakin meremang tidak tertahankan."Apa yang-" Pertanyaanku terhenti tak kala mataku mendapati siluet Daniel dan Rayes yang tengah duduk di sofa kamar utama kami dengan santainya sembari menatapku tajam.Kabut gairah terlukis jelas di raut wajah Daniel, sedangkan Rayes memandangku lurus dengan senyuman nakalnya."Ah! Sejak kapan?" Desahku saat jari jemari nakal Roger mulai masuk kedalam lubang kewanitaanku."Tidurmu nyenyak sekali. Apa kamu memimpikan kami?" Roger kemudian mendekatkan wajahnya pada kewanitaanku yang sedang ia buka dengan kedua jarinya."Nggghhh-gak." Lenguhku saat kurasakan sentuhan dingin lidah Roger yang mulai mengintip masuk ke dalam kewanitaanku.Senyuman nakal Roger mulai tidak terbendung. Melihat responku yang semakin gencar menggeliat kepanasan membuatnya semakin bersemangat untuk kembali mencicipi bagian dalamku dengan lidahnya yang panjang.Geli! Namun ini nikmat.Terl