Alex menyentuh bahuku dan mencoba meluruskan badanku yang mulai oleng. "Saya bersama beberapa kolega yang akan mengisi acara besok. Anna, kenapa kamu tidak menghubungi saya sampai sekarang, hah? Apa yang kamu pikirkan sampai memutuskan untuk minum seperti ini sendirian? Besok hari penting! Jangan melakukan hal yang berbahaya seperti ini." Omelnya. "Sssst! Diem ih! Jangan berisik." Aku menyentuh bibirnya yang lembut dengan jari telunjukku. Mata hitam Rayes menatap mataku yang terfokus melihat ke arah bibirnya. "Udah ya. Aku mau pulang." Ucapku kemudian. "Anna, tunggu saya saja. Saya yang akan mengantarkanmu ke kamar." Aku terkekeh. "Rayes. Lihat aku!" Aku melompat dari kursiku dan berdiri lalu berputar dihadapannya. "Aku mabuk... Bukan lumpuh. Aku masih bisa jalan. Tidak usah khawatir. Aku pulang dulu ya. Da daaah~" Pamitku berjalan sempoyongan. "Anna!" Teriak Rayes. "Mr. Rayes?" Tegur seseorang yang berhasil menghentikan langkahnya mendekatiku. Aku bisa mendengar suara Rayes
Om Roger lalu pergi meraih telepon yang memang tersedia di setiap kamar dan menghubungi bagian receptionist untuk memberitahukan mereka agar segera membawakan kartu duplikat. Setelah itu ia kembali mengambil gelas tehku dan bersimpuh di hadapanku yang sedang duduk dengan kebingungan. "Hei, tenanglah. Semua akan baik-baik saja. Seseorang akan datang membawakanmu kunci yang baru. Minumlah dulu." Ia menyodorkan gelas teh itu kembali. Aku menatapnya dan meraih gelas itu sebelum menyisipnya. Ia menatap wajahku yang terbungkus rasa khawatir berlebihan, ia kemudian mengelus rambutku pelan. "Maaf, saya tidak bermaksud apa-apa. Tapi sepertinya kamu membutuhkannya dan semoga semua hal ini bisa menenangkanmu." Senyumnya. Aku hanya diam sibuk menyesapi teh hangat yang anehnya bisa menenangkanku. Ini berkat teh atau perlakuan Om Roger? Tunggu! Apa? Kenapa aku harus menikmati sentuhan Om Roger? "Makasih banyak buat semuanya Om..." Balasku mengembalikan gelasnya yang sudah kosong. Ia tersenyum.
Aku benar-benar dalam kondisi panik sekarang. Keterlambatanku menghadiri acara di hari pertama bukanlah cara yang tepat untuk memberikan kesan yang baik sebagai pegawai teladan dari cabangku pada peserta dan panitia lainnya, termasuk Rayes yang kini tengah duduk di samping pemberi materi sambil menatapku dengan tatapan tajamnya. SIAL! Pada akhirnya aku mengambil tempat duduk di kursi paling terakhir dan hanya bisa diam sambil berusaha untuk tidak menarik perhatian siapapun sampai jam makan siang. Aku lalu bercengkrama dengan rekan sejawatku yang mulai tertarik dan mempertanyakan alasan bodohku untuk terlambat menghadiri acara pembukaan pertama kami. Aku dengan senang hati mengarang cerita yang bisa membuat mereka tertawa, karena tidak mungkin bagiku untuk menceritakan pada mereka alasan yang sebenarnya. "Permisi, Nona Joanna?" Tanya salah seorang panitia yang muncul tiba-tiba dari sampingku. "Ya? Ada yang bisa saya bantu?" Tanyaku kemudian berpaling menatap panitia tersebut. "Sepe
Kutumpahkan segala emosi yang menggunung di hatiku saat itu pada Roger yang dengan sabarnya mendengarkan segala keluh kesahku yang kuceritakan dengan menggebu-gebu. Aku benar-benar menangis seperti bayi siang itu. Tidak pernah dalam hidupku merasa dipermalukan seperti itu sebelumnya. Kini aku merasa seperti manusia yang sangat tidak berguna. Dan semua ini hanya karena masalahku dengan suatu hubungan yang serius. Aku membenci diriku dan juga trauma masa laluku! Kalau saja semalam aku tidur dan bukannya mabuk-mabukan seperti itu, aku pasti akan bangun tepat waktu! "Maafkan saya, Anna. Harusnya saya membangunkanmu lebih pagi untuk sarapan terlebih dahulu." Ucap Roger mencoba menenangkanku yang sedang dirundung rasa kesal. Aku menggeleng. "Aku yang salah, kenapa harus sensitif sekali kalau membahas masalah hubungan serius dengan seseorang! Aku kesal dengan diriku sendiri."Dumelku di pelukannya. Jangan bertanya kenapa kami berpelukan. Aku yang terlalu sedih ini bahkan harus menangis di
Setelah berhasil membuat perasaanku menjadi lebih baik. Aku dan Roger berjalan bersama menuju lobby lalu berpisah dengan Roger yang kehadirannya sudah ditunggu oleh rekan-rekannya yang sudah berada dalam mobil perusahaan yang menjemputnya menuju ke bandara. Aku segera kembali ke ruangan pelatihanku untuk melanjutkan kegiatanku. Sosok Rayes masih dengan ekspresinya yang tidak berubah. Ia tetap sibuk dan fokus menemani para nara sumber yang merupakan kolega bisnisnya itu setelah mereka tampil satu persatu. Tapi anehnya ia terlihat seperti sedang menghindari tatapanku. Baiklah, seperti inilah memang harusnya batas antara atasan dan bawahan. Aku harus kembali fokus ke pelatihan ini agar bisa pulang dan membawa hasil seperti kenaikan jabatan, mungkin? Atau apapun yang akan membungkam komentar negatif orang-orang itu! Setelah pemaparan hari ini selesai tepat pukul 4 sore, para pimpinan beserta asisten mereka masing-masing kemudian sibuk saling berjabat tangan atau sekedar berbincang akrab
Aku terkejut tidak mampu berkata apa-apa. Jantungku mendadak berdetak panik saat memikirkan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaannya barusan. "Maksudmu?" Tanyaku mencoba mengulur waktu. "Aku tidak akan bertanya dua kali. Kamu kemana?!" Tanyanya menuntut. Aku menggeleng panik. "A-aku ketiduran di kamarku kok." Bohongku. Sial, aku tidak terlalu pandai membuat alasan di saat mendadak seperti ini. "Apa kamu tidak dengar saya mengetok pintu kamarmu berkali-kali seperti orang gila? Apa kamu tau betapa khawatirnya saya semalam? Saya sangat yakin kamu sudah mabuk semalam! Saya takut kamu akan tertidur di pelukan seseorang dan berakhir di kamar orang asing lagi! Anna, tidak banyak orang, terutama pria yang bisa menahan nafsunya kalau melihatmu." Jelasnya panik. "Apa? Kenapa anda bisa berpikiran seperti itu?" Tanyaku bingung sekaligus kesal. Apa haknya berpikiran seperti itu? Apa dia berpikiran kalau aku seperti wanita murahan yang akan tidur dengan siapa saja kalau aku mabuk? Aku
"Saya bisa memberikan segalanya untukmu, Anna. Apapun yang kamu inginkan." Ucapnya percaya diri. "Kecuali waktumu, Rayes. Ingat? Kau punya anak dan istri yang harus kau perhatikan." Rayes mengernyitkan dahinya. "Meski berat, tapi saya mengakuinya. Benar. Saya harus membagi waktu kita nanti dengan mereka. Tapi saya harap kamu tidak keberatan, Anna. Saya sangat berharap kamu menerima tawaran saya." Ucapnya meraih kedua tanganku dan menatapku dengan tatapannya yang berbinar. Situasi ini sangat mendadak! "Apa keuntungannya bagiku menjadi Sugar Babymu, Rayes?" Tanyaku mulai melepaskan genggaman tangannya. "Apa kamu sedang bermain jual mahal dengan saya sekarang?" Ia mengernyitkan dahinya tidak suka. "Astaga tidak, Rayes. Siapa aku berani mempermainkan orang sepertimu. Aku sepenuhnya sadar akan posisiku. Tapi sekarang kita sedang bernegosiasi. Tentu saja semua hal harus dirundingkan terlebih dahulu bukan? Melihat sepertinya kondisiku diawal saja sudah dirugikan." Ucapku melipat tangan
Bibirku kini tengah bersatu dengan bibir dari seorang Gerald Rayes. Lumatan lembut bibir itu kemudian membuat sebuah daging yang tak bertulang ingin merengsek masuk ke dalam mulutku namun tertahan oleh deretan gigiku yang mengatup seolah tidak memberikannya izin untuk mengeksplorku lebih jauh lagi. Mataku yang tadinya tertutup seketika terbuka dan secara tidak sengaja menatap lurus ke arah netra coklat Rayes yang sudah menatapku sedari tadi meski bibir kami masih terus sibuk melumat satu sama lain. Tidak lupa suara kecapan dan sesapan yang kami timbulkan, terus menggelitik aneh di telingaku. Tangan dingin Rayes menahan rahangku agar tidak berpaling atau melepaskan pagutan bibir kami hingga ia benar benar puas mencicipiku. Tangan Rayes yang lainnya semakin memelukku posesif seakan ingin menghapus jarak yang ada diantara kami berdua. Aku bisa menebak kalau dia adalah seseorang yang sangat mahir dalam berciuman, terlihat jelas dari gerakan kepala dan bibirnya yang selaras saat terus teru