Share

Hotel Bekas Pembunuhan Part 2

Zainal perlahan meletakkan kembali gagang telepon itu, ia menelan ludahnya sendiri lalu membalikkan badan. Lelaki yang barusan tidur di sampingnya sudah menghilang. Zainal terperanjat, dadanya turun naik. Segera ia pergi ke kamar mandi, ia mandi dengan sangat cepat seperti bebek. Kurang dari sepuluh menit, ia keluar dari kamar mandi dan langsung mengenakan pakaian tanpa mematut diri di depan cermin.

Penampilan Zainal acak-acakan, dia bahkan belum sempat memasukkan baju kemejanya ke dalam celana. Di tangannya ada sebuah stopmap yang berisi bahan untuk prensentasi. Wajah Zainal terlihat panik saat ia duduk di meja makan bersama Fadil. 

“Lu kenapa?” Fadil heran melihat penampilan temannya yang acak-acakan itu. 

“Dil, di kamar gua ada setannya.”

“Hah! Serius lu?” jelas saja Fadil kaget. 

“Tadi malam setan itu menyerupai lu. Dia tidur sama gua.”

Mendengar pernyataan temannya, Fadil tersedak. Segera ia meminum air putih, kedua matanya sampai berair. 

“Pelan-pelan, Dil,” kata Zainal. 

“Pindah... pindah kamar aja lu,” saran Fadil. 

“Iya nih gua mau ngomong ke panitianya.” 

“Iya nanti habis acara kita ke panitia,” kata Fadil.

Selesai sarapan, mereka berdua kembali ke ballroom untuk mengikuti sesi presentasi. Di sana para peserta sudah berkumpul. Tema presentasi kali ini adalah ‘Bahasa Indonesia Sebagai Alat Pemersatu’ Fadil dan Zainal sudah mempersiapkannya dengan sangat matang. 

Ruangan itu bergemuruh, para peserta masih mengobrol satu sama lain sebelum akhirnya Pak Deni, ketua pelaksana, berbicara melalui microphone.

“Selamat pagi semuanya.”

“Pagi, Pak,” jawab mereka serantak. 

“Baiklah, pada pagi hari ini kita akan melaksanakan sesi presentasi dari masing-masing peserta. Semuanya sudah siap?”

“Sudah, Pak!” jawab mereka kompak.

Satu persatu, mereka melakukan presentasi. Sampai akhirnya tibalah giliran Zainal yang maju ke depan. Ia menayangkan beberapa slide power point yang sudah disimpannya dalam falshdisk. Awalnya semua berjalan dengan lancar, namun di tengah-tengah presentasi, Zainal melihat ada hal aneh di antara bangku peserta. 

Ada sosok wanita dengan kepala penuh darah sedang duduk di antara para peserta. Wanita itu melihat ke arah Zainal dengan tatapan datar. Zainal tidak bisa menahan diri, ia menunjuk ke tengah-tengah bangku para peserta sambil menampakkan wajah ketakutan. 

“Setan! Ada setan!” teriak Zainal membuat para peserta panik, mereka berdiri lalu mencari objek yang ditunjuk Zainal. 

“Semua harap tenang,” Pak Deni naik ke atas panggung.

“Pak! Ada setan! Itu Pak!” Zainal terus menunjuk ke tengah-tengah bangku peserta. Wanita itu masih duduk di sana. 

“Mas, tolong ambilkan air,” Pinta Pak Deni pada salah satu panitia. 

Air dalam botol itu dibacakan doa-doa oleh Pak Deni, ia lalu membasuhkan air tersebut pada wajah Zainal. Seketika saja wanita yang dilihat Zainal menghilang. Ia mulai tenang, tapi napasnya masih terengah-engah. 

“Nggak apa-apa, semua peserta duduk kembali di tempat masing-masing. Kita akan lanjutkan presentasinya,” ujar Pak Deni. 

Zainal dituntun turun dari panggung lalu diberi minum air doa-doa. 

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Pak Deni sambil menatap wajah Zainal yang masih tercengang dengan penampakan makhluk mengerikan tadi. 

“Tadi ada cewek yang wajahnya penuh darah Pak. Di sana, dia duduk di sana,” tunjuk Zainal. 

“Nal... lu kenapa?” Fadil menghampirinya.

“Setan Dil. Hotel ini ada setannya.” 

“Pak, tolong Zainal dipindahkan kamarnya,” pinta Fadil. 

“Iya, Pak. Kamar saya ada setannya.” 

“Itu cuma halusinasi kamu saja. Nggak ada setan di sini,” Pak Deni menyangkal. 

“Saya tetap mau pindah kamar, Pak.”

“Ya sudah, nanti saya coba carikan yang mau bertukar kamar sama kamu ya.”

***

Doni, salah seorang peserta mau bertukar kamar dengan Zainal. Malam itu, ia mengajak Fahri, teman satu kampusnya untuk menginap di kamar nomor 111. Bukan untuk diskusi materi presentasi, melainkan  untuk bermain jailangkung. Mereka berdua memang suka dengan hal-hal gaib. 

Kebetulan Doni sudah tahu mengenai kabar pembunuhan di hotel ini. Kemarin malam ia sudah main jailangkung di kamarnya, tapi tidak terjadi apa pun. Saat diumumkan siapa yang ingin bertukar kamar dengan Zainal, jelas saja Doni senang. Dia mau coba main jailangkung di kamar itu. 

“Lu tahu kalau roh itu bisa membantu kita?” ujar Doni. Lampu kamar dimatikan, mereka hanya menyalakan lilin.

“Bantuan kayak gimana?” Fahri penasaran. 

“Orang-orang main jailangkung buat dapetin nomor togel. Nah, kalau gua beda.”

“Bedanya?”

“Lu tahu kan kalau di kampus gua naksir banget sama si Diana. Cantik montok pula,” Doni menyeringai. 

Lanjutnya, “Nah kalau di kamar ini ada rohnya, gua mau minta bantuan agar si Diana naksir juga sama gua.”

Fahri mengangguk-angguk, “Masuk akal juga sih.”

Doni lalu mengeluarkan jailangkung dari dalam tasnya. Jailangkung itu terbuat dari batok kelapa yang digambar bentuk wajah dengan spidol permanen, baju bekas dan dua batang kayu. Di ujung kayu jailangkung itu berbentuk runcing, entah kenapa dibuat seperti itu. 

Keduanya langsung memegang batang jailangkung sambil mengucap mantra yang Doni dapatkan dari internet. 

“Jailangkung, Jailangkung. Di sini ada pesta setan, datang tak dijemput. Pulang tak diantar. Bantulah kami wahai jailangkung.”

Lima kali mereka mengucap mantra, tapi tidak terjadi apa-apa. Lilin pun masih menyala dengan tenang. 

“Nggak ada Don. Percuma, udah gua balik aja ya,” Fahri bosan. 

“Ya udah deh,” Doni menyalakan kembali lampu kamarnya dan meniup lilin. 

Jam 12 malam, Doni mendengkur. Dia tidur dengan sangat nyenyak. Lampu dimatikan, yang menyala hanya lampu tidur Jailangkung tadi masih tergeletak di lantai, bersama lilin yang sudah padam. Namun... tiba-tiba lilin itu menyala kebali dengan sedirinya. Jailangkung bergerak seperti ada yang menggeserkannya, lalu seketika berdiri dengan tegak. 

Jailangkung itu melayang di tengah temaramnya cahaya lilin. Dari langit-langit kamar, muncul suara seorang wanita menirukan mantra jailangkung yang diucapkan Doni. Jailangkung itu semakin mendekat, kini ia melayang di atas Doni yang sedang tidur nyenyak.

Foto: Piqsels

Pagi hari, bell kamar Doni berbunyi. Dia kesiangan, Fahri sudah meneleponnya berkali-kali, tapi tetap tidak diangkat. Sekarang pintu itu digedor keras oleh Fahri, dia heran kenapa Doni tidur sangat pulas. Sebentar lagi akan ada UKBI, uji kemahiran bahasa Indonesia, dan Doni pasti akan telat. 

“Don! Bangun Don!” Fahri terus menggedor pintu itu sekuat tenaga, namun tetap tidak ada jawaban. 

Ia lalu pergi ke lobi, meminta bantuan petugas hotel untuk membukakan pintu kamar Doni. Fahri takut ada hal buruk yang terjadi pada temannya itu. Anehnya saat Fahri kembali dengan membawa seorang petugas hotel, kamar Doni malah sudah terbuka. Doni tampak sedang mematut diri di depan cermin. 

“Don... Don... buat gua panik aja, lu. Ayo buruan, kita udah telat ini!” sergah Fahri. 

Doni tidak menjawab, dia tetap menyisir rambutnya di depan cermin. 

“Don?”

“Sabar, Ri. Ini gua lagi siap-siap,” akhirnya Doni bersuara. Nada bicaranya datar dan tidak seperti biasanya. 

Fahri melirik lantai, mencari jailangkung yang mereka mainkan semalam. Dan ternyata sudah tidak ada. 

Fahri menyuruh petugas hotel untuk pergi, “Don jailangkungnya mana?” desis Fahri.

“Ada di tas gua.” 

“Oh, ya udah. Yuk buruan udah pada mulai ujian tuh.”

“Oke...,” timpal Doni, ia mengambil pensil dan penghapus dari dalam tasnya.

Di ruang ujian, Doni tidak mengerjakan satu soal pun. Ia memandangi lembar soal dengan tatapan kosong, tangan kanannya menggenggam pensil. Semakin lama genggamannya semakin kuat. Pensil itu pun patah membuat Fahri yang duduk di sampingnya terkejut. 

“Lu kenapa, Don?” bisik Fahri. 

“Nggak apa-apa,” Doni menggelengkan kepala, dia mengabil kembali pensil yang sudah patah. 

Fahri melongokkan kepala, ia melihat lembar jawaban temannya itu.

“Kok masih kosong? Lu sakit?”

“Gua bingung mau jawab apa,” Doni menoleh ke temannya. 

Tampak kedua bola mata Doni merah. 

“Lu begadang ya? Mata lu merah.” 

“Iya semalam gua nggak bisa tidur,” jawab Doni. 

Akhirnya Fahri membantu temannya, diam-diam ia menukar lembar jawaban lalu mengerjakan soal milik Doni. Tidak lama berselang, Doni beranjak dari tempat duduknya, ia izin untuk pergi ke toilet. 

Di dalam Toilet, Doni hanya berdiam diri saja di wastafel, memperhatikan wajahnya sendiri di depan cermin. Seorang lelaki lalu masuk ke dalam toilet itu, lelaki itu tak lain adalah Heri si resepsionis. Ia tidak memperhatikan seseorang yang sedang berdiri di depan cermin karena Heri sudah tidak tahan ingin buang air kecil. 

Selesai buang air kecil, ia berjalan ke arah wastafel lalu mencuci tangannya. Dan... betapa terkejutnya Heri saat melihat sosok wanita di cermin itu. Heri sangat ingat kalau itu adalah wanita yang pernah mati di kamar nomor 111. Namun, saat Heri menoleh ke sebelah kanan, yang tampak adalah sosok Doni. 

Astagfirullah...! kedua tangan Heri bergetar. 

“Ada apa, Mas?” tanya Doni. 

Tanpa berkata apa pun lagi, Heri lari terbirit-birit. 

Di meja resepsionis, Heri menceritakan apa yang barusan ia lihat pada teman kerjanya. Sayangnya, tidak ada satu pun dari mereka yang percaya pada cerita Heri. Pikir teman-temannya, mana mungkin ada setan di siang bolong seperti ini. 

***

Doni kembali ke ruang ujian. Lembar jawabannya sudah selesai dikerjakan Fahri. Panitia berkeliling untuk mengambil lembar jawaban peserta, Doni menyerahkan lembar jawabannya. Kali ini wajahnya pucat. 

"Kamu sakit?" tanya panita. 

"Nggak kok aku baik-baik aja," jawab Doni. 

"Kalau sakit berkabar ke panitia ya."

"Baik, Bu."

Panitian itu berlalu dari hadapan Doni, tapi Fahri masih bingung dengan apa yang terjadi pada temannya itu. 

“Apakah karena jailangkung semalam?” tanya Fahri dalam hatinya. 

“Fahri, anter gua ke kamar dulu yuk,” pinta Doni di tengan coffee break. 

“Ngapain?” Fahri mengerutkan dahinya. 

“Gua mau nunjukin sesuatu sama lu.”

“Apaan?” Fahri penasaran. 

“Nanti biar lu lihat sendiri.” 

Fahri pun mengiyakannya. Mereka beranjak dari ruangan itu. Di dalam lift, Fahri melihat tangan kanan temannya itu bergetar. 

“Lu kayaknya sakit, Don,” kata Fahri. 

“Nggak kok. Gua baik-baik aja,” Doni menoleh ke temannya sambil tersenyum. 

Setibanya di kamar nomor 111, Doni menyuruh temannya itu untuk memeriksa sesuatu di samping tempat tidurnya. 

“Ada apa sih, Don?” Fahri berlutut di samping tempat tidur itu, ia mencari sesuatu yang ditunjuk temannya. 

“Mana, nggak ada apa-apa.”

Belum sempat Fahri bangun, lehernya tiba-tiba dicekik dengan sebuah sabuk. Kepalanya diinjak ke lantai, membuat Fahri tidak bisa berteriak. Napasnya tercekat di tenggorokan, air liur keluar dari mulutnya, kedua matanya melotot, ia tidak bisa bernapas. Kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak seperti kecoa yang sekarat, sebelum akhirnya ia tewas dengan leher menjulur keluar.

Doni menyeret mayat temannya itu ke dalam kamar mandi. Setelah selesai, ia lalu kembali ke ruang ujian untuk mengikuti acara selanjutnya. Selama coffee break, ia terus-terusan menatap Hilda. Yang ditatap sesekali tersenyum sambil mengangguk gugup. 

“Temanmu mana?” panitia menyentuh pundak Doni. 

“Dia pulang,” jawab Doni singkat. 

“Hah? Pulang? Ke kamar?"

"Bukan, dia pulang ke rumah."

Panita pun terkejut mendengar penjelasan Doni. Bagaimana mungkin ada peserta yang pulang begitu saja di tengah-tengah acara seperti ini.

Kenapa dia pulang? tanya panitia.

Katanya ada urusan keluarga, Pak.

“Hm... tapi seharusnya dia izin ke panitia. Kalau begitu dia dianggap gugur ya.”

Doni mengangguk. Ia tidak sedikit pun menampakkan wajah panik. Acara dilanjutkan dengan beberapa seminar dari para ahli. Doni mengikuti seminar itu, tapi tidak memperhatikannya. Tatapannya kosong. Ia sepenuhnya dikendalikan oleh sesuatu. Sesekali ia melihat ke arah Hilda. Tampaknya ada sesuatu yang ingin dia perbuat pada wanita itu. 

Semua acara formal selesai. Malamnya, panita mengadakan barbeque di pinggir pantai. Di sana sudah disediakan daging sapi dan ikan tuna yang siap dipanggang. Ada juga berbagai macam soft drink. Lampu-lampu kecil dipasang melingkar pantai. Sementara deburan ombak membuat suasana semakin damai. 

Semua peserta terlihat gembira. Mereka berbaur, mengobrol satu sama lain, berfoto ria, dan bernyanyi bersama. Lain halnya dengan Doni. Sedari tadi dia hanya berdiam diri menghadap ke arah laut yang gelap. Dari kejauhan, terlihat kerlap-kerlip lampu perahu nelayan yang sedang berburu ikan.

Don? Doni? Zainal menepuk pundaknya. 

“Iya, Nal?” Doni menoleh. 

“Si Fahri mana?”

“Pulang. Katanya sih ada urusan keluarga.”

Zainal mengangguk-angguk. 

“Eh, elu kenapa diam aja sih? Ngobrol dong sama anak-anak yang lain. Nih, buat lu,” Zainal menyodorkan sekaleng minuman rasa jeruk. 

Doni mengambilnya, “Terima kasih, Nal.” 

“Ya sudah. Gua gabung sama anak-anak lagi ya,” kata Zainal. 

Doni mengangguk. Ia lalu menoleh ke arah Hilda yang sedang asyik mengobrol. Tak lama kemudian, Doni menghampirinya. Ia mengajak Hilda berkenalan. Semakin lama, Hilda merasa nyaman mengobrol dengan Doni. Lelaki itu lalu membawa Hilda menjauh dari kerumunan orang. Mereka berjalan kecil menyusuri pinggir pantai.

***

Keesokan paginya, panitia panik mendapat laporan kalau Hilda hilang. Dia tidak ada di kamarnya. Padahal semalam ia ikut acara di pinggir pantai. Tidak ada yang tahu di mana keberadaan Hilda sekarang. Kata Zainal, semalam dia melihat Hilda bersama Doni. 

Pak Deni, ketua panita, langsung mendatangi kamar Doni. Beberapa kali ia membunyikan bel pintu kamar Doni. Tidak kunjung dibuka. Ia lalu meminta bantuan petugas hotel untuk membuka kamar nomor 111 karena terkunci dari dalam. 

Saat pintu berhasil dibuka, semua orang yang melihat Doni berteriak histeris. Doni terkapar tewas dengan luka sayat di lehernya. Ia seperti habis menggorok lehernya sendiri dengan pisau kecil. Di dinding, ada coretan darah yang bertuliskan "Jangan Ganggu. Pergi Sekarang Juga!". 

Di samping Doni, tergeletak sebuah jailangkung yang juga berlumur darah. Pak Deni lalu memeriksa kamar mandi. Ia berteriak sambil mengucap istighfar saat melihat mayat Fahri yang mati dengan keadaan mata melotot. 

Itu semua perbuatan arwah Sartika. Ya, dia yang dulu pernah menjadi korban pembunuhan di kamar nomor 111. Sartika punya masa lalu yang kelam sebelum akhirnya mati di kamar nomor 111. Sartika adalah seorang pelacur yang biasa mangkal di pinggir jalan dekat dengan hotel tersebut. 

Malam itu memang dia sedang sial lantaran mendapat dua pelanggan bajingan yang merenggut nyawanya karena hal sepele. Dia dibunuh lantaran tidak sanggup lagi melayani kedua lelaki itu. Sekarang, arwahnya gentayangan meneror para peserta yang mengganggu kentenangannya. 

***

Dua hari berlalu. Acara sudah dibubarkan. Kematian dua mahasiswa itu diberitakan oleh banyak media. Yang masih menjadi pertanyaan adalah keberadaan Hilda. Pencarian sudah dilakukan, tapi tidak membuahkan hasil. Ia menghilang. Kedua orang tua Hilda menuntut pihak kampus dan penyelenggara acara. 

Kematian dua mahasiwa itu membuat hotel sepi pengunjung. Kamar nomor 111 masih disegel garis polisi. Pihak hotel berjanji tidak akan membuka kembali pemesanan untuk kamar nomor 111. Kasus kematian dua mahasiswa itu akhirnya menemukan titik terang. 

Penyidik menyimpulkan kalau Fahri dibunuh oleh Doni yang tidak lain adalah temannya sendiri. Sedangkan Doni diduga frustrasi lalu bunuh diri. Satu hal yang tidak bisa diungkap oleh siapa pun; tulisan di dinding. Siapa yang menulisnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status