Share

Hotel Bekas Pembunuhan Part3

Heri duduk termangu di meja resepsionis. Semenjak kematian para mahasiswa itu, pengunjung hotel jadi sepi, sekali pun ada paling hanya 2 pengunjung sehari, itu pun jarang. Heri jadi banyak menganggur, setiap hari kerjaannya  hanya duduk di meja itu sambil sesekali memainkan hp-nya. Sekitar jam 2 dini hari, telepon berbunyi. Segera Heri mengangkat telepon itu. 

“Dengan resepsionis, ada yang dapat saya bantu?”

“Pintu kamar saya susah dibuka, kayaknya pintunya rusak. Saya tidak bisa keluar,” kata lelaki diseberang telepon. 

“Baik, di kamar nomor berapa ya?” tanya Heri dengan ramah. 

“99, Pak.”

“Baik, mohon ditunggu ya.”

Itu suara bule dengan logat bahasa Indonesia yang khas orang asing. Sudah dua hari dia menginap di hotel itu, pasti bule itu tidak tentang kasus kematian para mahasiswa. Heri bergegas mencari kunci cadangan untuk kamar nomor 99. Dia terlihat bersemangat karena akhirnya ada hal yang bisa ia kerjakan. 

“Tiara, gua ke atas dulu ya. Ada tamu yang minta bantuan.”

Tiara tidak menjawab, ia ternyata sudah tidur pulas di meja itu. Heri menggelengkan kepalanya. 

“Kerja kok tidur mulu,” gumam Heri. 

Ia pun langsung naik ke lantai dua. Namun, saat berjalan di lorong koridor tiba-tiba saja seluruh lampu di sana padam. Heri pun terkejut, buru-buru ia merogoh hp-nya lalu menyalakan senter. Satu persatu ia lewati kamar di koridor itu, langkahnya terhenti ketika mendengar suara aneh dari kejauhan. Heri lalu meruncingkan telinganya, itu jelas suara wanita yang sedang menangis. 

Bulu kuduknya mulai merinding. Ia takut, tapi juga penasaran. Heri pun melangkah kembali, sekarang ia mengikuti sumber suara itu. Tepat di sudut koridor, ada seorang perempuan yang duduk sambil memeluk dengkulnya sendiri. Kepalanya menunduk, ia menangis sesenggukan. Perempuan itu berambut sebahu, ia mengenakan jaket warna kuning dan juga celana levis. 

“Mbak?” Heri perlahan mendekat, ia mengarahkan cahaya senternya pada wanita itu. 

“Mbak kenapa?”

Tidak ada jawaban, perempuan itu masih saja menangis. Heri coba menyentuh pundak perempuan itu. 

“Mbak?” 

“Temani aku...,” akhirnya perempuan itu berbicara. Suaranya lirih, tapi kepalanya masih menunduk. 

“Temani?”

Wanita itu lalu mendongakkan kepala. Heri kenal betul siapa dia, fotonya sudah tersebar di mana-mana. Dia adalah Hilda, mahasiswa yang beberapa hari lalu dikabarkan hilang. 

“Kamu Hilda?” Heri mengerutkan dahi, sambil menyorotkan senter ke wajah wanita itu. 

Ia mengangguk.

“Dari mana aja? Semua orang panik nyari kamu.”

“Temani aku. Aku takut...,” wajah Hilda pucat. 

“Ayo kita ke bawah. Kita lapor polisi, biar kamu dijemput.”

Heri meraih tangan Hilda dan terasa dingin. 

“Kok dingin banget, kamu sakit ya?” 

Hilda mengangguk sambil menyeka air matanya. Heri lalu menuntunnya perlahan, ia harus segera menolong tamu yang terkunci di kamar nomor 99. Setibanya di kamar itu, Heri berhasil membuka pintunya. Muncullah seorang lelaki bule dengan kepala botak dan perut buncit. 

“Ah, finally,” kata lelaki itu. 

Heri meneteskan pelumas pada kunci itu agar tidak macet lagi. 

“Oke, sudah lancar kembali kuncinya, Pak,” kata Heri sambil tersenyum. 

“Lampunya mati ya?” tanya bule yang sudah mahir bahasa Indonesia itu. 

“Oh, ini sedang diperbaiki sama tim teknik kami, Pak. Maap atas kendala ini ya.”

“Jangan terlalu lama. Saya harus charging laptop.”

“Ya sebentar lagi pasti menyala. Kami punya mesin diesel, jangan khawatir,” Heri berusaha agar si bule itu tidak kecewa. 

“Oke, thank you.”

Heri pun beranjak dari hadapan bule itu, ia menuntun kembali lengan Hilda. Si bule heran dengan tingkah Heri yang seolah sendang menuntun seseorang, tapi si bule tidak melihat siapa pun di samping Heri. Bule itu tidak mau ambil pusing, ia lalu menutup pintu kamarnya. 

***

Sesampainya di lobi, Heri masih menuntun perempuan itu. Ia terkejut saat melihat Tiara, rekan kerjanya, berdiri di atas meja resepsionis. Mulutnya menganga lebar, tatapannya lurus ke arah pintu masuk hotel, wajahnya seperti sedang melihat sesuatu yang mengerikan di pintu masuk itu. Kedua mata Tiara melotot.

“Tiara, lu kenapa?” Heri melepas genggamannya dari lengan hilda, lalu lari ke arah meja Tiara.  

Namun, sesaat sebelum Heri tiba di meja kerjanya, tubuh Tiara lunglai. Ia jatuh berdebam ke lantai. Apa sebenarnya yang sudah Tiara lihat?

Lampu hotel menyala kembali. Heri membopong Tiara ke ruang istirahat. Saking paniknya dia lupa pada Hilda yang barusan ia bawa dari lantai dua. Anehnya Hilda sudah menghilang. Jelas itu bukan sosok Hilda yang sebenarnya, tapi makhluk halus yang menyerupai Hilda.

“Tadi lu lihat apa?” tanya Heri setelah Tiara siuman.

“Lu benar, Her. Ada setan di hotel ini.” 

Heri terkejut mendengar pernyataan Tiara. 

“Apa yang lu lihat barusan?"

“Cewek. Mukanya penuh darah. Setelah itu gua enggak sadar,” jawab Tiara dengan suara parau. 

“Kayaknya gua mau resign aja. Gua enggak sanggup lagi kerja di sini,” tambah Tiara. 

Heri mengembuskan napas berat. Dia tahu pasti itu setan wanita yang pernah jadi korban pembunuhan di hotel ini. 

“Gua juga tadi ketemu sama Hilda, mahasiswa yang hilang itu. Tapi, anehnya dia sekarang hilang lagi entah ke mana. Gua juga yakin sih yang gua bawa itu setan.” 

“Sekarang hati-hati. Hotel ini angker. Lu mau tetap kerja di sini?” tanya Tiara. 

“Enggak ada pilihan lain, Ra. Gua harus tetap kerja,” jawab Heri. 

Seorang service room muncul dari pintu. Ia tampak terburu-buru. 

“Mas Heri, ada tamu yang mau check in,” kata seorang service room itu. 

Heri mengerutkan dahi. Dia heran, tumben sekali ada tamu tengah malam seperti ini. Ia pun bergegas ke meja kerjanya. Di sana ada seorang lelaki yang penampilannya kumal. Ia mengenakan topi koboi, menenteng senapan angin, dan menggendong tas ransel. Pakaiannya kotor penuh bercak lumpur yang mengering. 

Lelaki itu seperti baru saja pulang dari ekspedisi hutan belantara. Di samping lelaki itu ada seorang perempuan yang umurnya berkisar 21 tahun. Penampilannya tidak kalah kumal. Rambutnya kusut dan ada bercak lumpur kering di wajahnya. Perempuan itu terlihat murung. Dia menunduk dengan tatapan kosong.

“Kami pesan dua kamar, ya,” kata lelaki itu sembari mengeluarkan sebuah kartu debit dari dompetnya. 

“Baik, Pak.” 

Tanpa banyak tanya lagi, Heri melayani kedua orang itu dengan ramah. Heri pun mengantar kedua tamunya ke kamar nomor 112 dan 113. Lelaki itu tak banyak bicara. Walau Heri menerangkan jenis layanan yang ada di hotel ini, tapi tampaknya kedua tamu itu sama sekali tidak peduli. 

Jauh dari hotel, ada kabar buruk mengenai Zainal. Semenjak kepulangannya dari Ajang Pemilihan Duta Bahasa, dia jatuh sakit. Setiap hari ia merasakan perutnya perih seperti ditusuk-tusuk. Dia juga sering merasa sakit kepala.

Ia berkali-kali pergi ke dokter. Tapi, tetap tidak kunjung sembuh. Zainal juga sempat di rawat di rumah sakit. Namun, itu hanya beberapa hari saja karena keluarganya tidak sanggup lagi membayar biaya rawat inap. 

Tengah malam seperti ini, seluruh keluarga Zainal berkumpul. Mereka menangisi Zainal yang sedang sekarat tak berdaya di atas kasur, tidak terkecuali Fadil. Sudah dua hari ia mendampingi temannya.

Zainal sebenarnya sudah sekarat dari sehari sebelumnya. Tidak jelas penyakit apa yang diidapnya. Sebab, dia tiba-tiba sakit parah kemudian kondisinya seperti itu. 

Beberapa saat kemudian, kedua mata Zainal terpejam. Dadanya turun-naik, nyawanya sudah di tenggorokan. Sang ibu membisikkan kalimat tauhid di telinga anaknya sambil menangis. Dalam satu embusan napas, Zainal meninggal dunia. Seluruh keluarga histeris, termasuk Fadil. Ia juga meneteskan air mata. 

Entah kenapa Fadil dari awal curiga kalau penyakit temannya itu bawaan dari hotel angker. Tapi, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Sekarang Zainal sudah meninggal. Bisa jadi selanjutnya Fadil atau teman-teman lainnya yang pernah jadi peserta di hotel itu. 

Surat Yasin tidak henti-hentinya dilantunkan keluarga Zainal dan para tetangga. Tepat jam 4 dini hari, tiba-tiba jasad Zainal bergetar. Semua panik sambil mengucap istighfar. Kapas yang disumpal di lubang Zainal mental begitu saja. Matanya melotot. Ia bangun seperti ada yang mengendalikan jasadnya. 

“Tolong aku! Sempurnakan jasadku!” 

Itu suara wanita. Fadil mengenali suaranya itu. Ya, itu jelas suara Hilda.

Hanya pesan itu saja yang diucapkan Zainal. Kemudian ia mati kembali. Semua orang di ruangan itu tidak berhenti mengucap istighfar. Ibu Zainal menangis histeris sambil menyentuh wajah anaknya tersebut. Ia berharap anaknya masih hidup. Sayangnya, tidak ada tanda-tanda kehidupan dalam tubuh Zainal.

Ada hal yang ingin disampaikan Hilda. Fadil yakin pesan itu merupakan sebuah petunjuk tentang keberadaan jasad wanita itu. Dan, kamar itulah satu-satunya jawaban. Fadil akan kembali ke hotel itu untuk mencari tahu keberadaan jasad Hilda. 

Sementara itu di hotel, seorang pria yang tadi datang tengah malam tidak bisa tidur. Senapan angin disandarkan dekat dengan tempat tidurnya. Sementara topi koboinya ia letakkan di atas meja. Ia masih syok dengan apa yang telah ia alami beberapa hari lalu di Gunung Pulosari. 

Bayangan demi bayangan terlintas di benaknya. Ia berhasil membunuh koloni babi yang menyerangnya. Ia juga sempat dibawa ke alam jin oleh seorang wanita yang berpakaian seperti ratu. Hingga akhirnya Bobi berhasil menemukan Mira di sebuah perkampungan jin. 

Tidak mudah baginya untuk bisa menyelamatkan saudaranya itu. Dia harus melawan sosok genderuwo yang tak lain adalah suami Mira. Senapan angin yang ia bawa sudah tidak berguna di alam jin. Untungnya Bobi berhasil mengalahkan genderuwo itu.

Entah apa yang terjadi pada dirinya. Tiba-tiba saja Bobi seperti punya kesaktian dalam tubuhnya. Dia tidak pernah menyadari kalau di dalam tubuhnya ada energi gaib yang sangat kuat. 

Ia berhasil membunuh dan melenyapkan genderuwo itu. Bobi keluar dari alam gaib itu dengan membawa Mira. Bobi tidak tahu kalau dia merupakan keturunan dari seorang kepala desa Pulosari yang melegenda. Ya, kepala desa yang dulu pernah menaklukkan kerajaan jin gunung Pulosari. 

Selama kepala desa yang sakti itu menjabat, tidak ada koloni babi yang menyerang perkebunan warga. Kekuatan gaib yang Bobi miliki merupakan ilmu turunan dari kepala desa sakti itu. Sang Ratu gunung Pulosari pun tidak berani menyakiti Bobi. Ia berhasil membawa Mira keluar dari gunung itu.

ADVERTISEMENT

Sayangnya, Bobi tidak menemukan jalan setapak tempat motornya diparkirkan. Ia keluar dari gunung itu melalui jalan yang tak pernah ia tahu sebelumnya. Tengah malam, Bobi dan Mira tiba di sebuah jalan raya. Tidak ada perkampungan warga di sana. Sejauh mata memandang hanya ada pepohonan yang berjejer di pinggir jalan. Mereka berdua duduk di pinggir jalan berharap ada mobil yang melintas.

“Mira!” sapa Bobi.

Sepanjang perjalanan dari alam gaib sampai turun dari gunung, Mira tidak berbicara sepatah kata pun. Tatapannya kosong. Dia seperti orang yang kehilangan akal. Sesampainya di rumah nanti, Bobi akan membawa Mira ke rumah sakit. 

Tidak lama berselang, dari kejauhan terlihat sebuah mobil pikap yang tengah mengangkut sayuran. Segera Bobi berdiri lalu melambaikan tangannya. Mobil itu berhenti tepat di hadapannya. 

ADVERTISEMENT

“Boleh numpang, Pak?” tanya Bobi kepada sopir yang berperawakan kurus itu. 

“Mau ke mana ya?” 

“Ke Kananga Selatan,” jawab Bobi. 

“Oh, saya enggak ke sana. Saya mau ke pasar Curug nganterin sayuran ini.”

“Enggak apa-apa, Pak, kami ikut saja.”

Yang terpenting bagi Bobi saat itu adalah pergi dari kawasan gunung. Urusan pulang itu gampang. Dia bisa cari penginapan dulu di perjalanan. Setelah satu jam berlalu, Bobi sadar kalau mobil pikap itu membawanya semakin jauh dari Kananga Selatan. Untung saja dia melihat ada sebuah hotel megah di pinggir jalan itu.

“Pak, kami turun di sini saja,” pinta Bobi. 

Dia akan menginap untuk semalam di hotel itu. Besoknya baru dia akan mencari kendaraan umum untuk pulang. Lagipula, Bobi sudah sangat lelah dan ingin segera istirahat. 

***

Malam itu Bobi benar-benar tidak bisa tidur. Ia bangkit dari tempat duduknya lalu mengambil kunci kamar Mira. Dia berjalan ke kamar Mira dan membuka pintu kamar. Di dalam sana, Mira juga tidak tidur. Ia hanya duduk termangu di tepi tempat tidurnya. Bobi khawatir saudaranya itu malah jadi gila. 

Tidak lama berselang terdengar suara teriakan dari kamar nomor 111. Bobi terkejut. Ia lari ke kamarnya sendiri lalu meraih senapan angin. Tinggal tersisa tiga peluru. kalau ada orang jahat di dalam kamar itu, Bobi harus menggunakan sisa pelurunya dengan sebaik mungkin. 

Pintu kamar nomor 111 terbuka sedikit. Teriakan itu terdengar semakin keras dan terkesan seperti orang sedang dipukuli. Pelan-pelan Bobi mendekat sambil menyodorkan moncong senapannya ke pintu kamar itu. 

“Jangan masuk!” Heri tiba-tiba muncul dari belakang Bobi. 

Lanjut Heri, “Kamar itu angker.”

***

 ·

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status