Share

Hotel Bekas Pembunuhan
Hotel Bekas Pembunuhan
Penulis: sekar

Hotel Bekas Pembunuhan part 1

Tengah malam sekitar jam dua belas, seorang wanita berparas cantik bersama dua orang lelaki berbadan besar masuk ke dalam lobi hotel, langkah mereka tampak tergesa-gesa dan langsung menghampiri dua orang resepsionis yang sedang berjaga. 

Dari penampilan wanita yang mereka bawa, orang pasti bisa menilai kalau wanita itu adalah pelacur. Dandannya menor, ginju merah tebal menempel di bibirnya, bedak murahan melapisi wajahnya, baju yang ia pakai menampakkan pusar atau udel perut, celananya juga pendek sepaha dan hampir seselangkangan. 

“Kamar nomor 111,” tanpa menyapa lagi, lelaki itu menjulurkan tangan untuk meminta kunci.

“Sudah booking ya, Pak?” tanya Heri, si resepsionis.

“Iya jangan banyak tanya, cepat!” lelaki botak yang satu lagi malah membentak.

"Maaf Pak bisa tunjukkan KTP-nya," Pinta Heri.

Salah satu dari mereka menyerahkan KTP dengan wajah kesal. Heri dibantu rekan kerjanya langsung memeriksa data diri lelaki itu di komputer. 

“Baik, Pak. Mari saya antar,” setelah ketemu, Heri langsung mengantar pria itu.

Mereka naik ke lantai dua, melintasi koridor kamar hotel.

“Ini kamarnya, Pak,” Heri membukakan pintu kamar sambil tersenyum ramah. 

Tanpa berterima kasih, mereka langsung masuk ke dalam kamar itu. Heri seperti sudah biasa menerima perlakuan seperti itu dari tamu, dia pun beranjak pergi. Ia kembali berjaga bersama di meja resepsionis bersama Tiara, rekan kerjanya. Sesaat kemudian, ia melihat sesuatu tergeletak di lantai; itu jelas dompet.  

“Tiara, ada dompet tuh,” tunjuk Heri sambil menyenggol Tiara yang sedang mengantuk. 

“Wah, itu pasti punya tamu barusan,” Tiara bangkit dari tempat duduknya lalu mengambil dompet tersebut. Ia membuka dompet itu lalu mencomot sebuah KTP dari dalamnya. Tiara memperhatikan foto KTP tersebut, wajahnya sama persis dengan tamu yang datang barusan. 

“Ini punya si bapak yang barusan check in. Sana antarkan,” suruh Tiara pada Heri. 

Heri berdecak kesal, “Kenapa nggak lu aja sih,” kata Heri. 

“Malas gua. Lu aja sana sekalian, tadi kan elu yang antar mereka ke kamar.”

“Biar gua panggil room service aja,” kata Heri sambil meraih telepon, tapi tidak ada satu orang pun yang menjawab teleponnya. 

“Sialan pada ke mana sih,” ia menutup telepon itu.

“Udah lu aja sana, cuman nganterin dompet doang. Siapa tahu lu dapat uang tip,” Tiara memaksa.

Akhirnya Heri mengalah, dia meraih dompet itu lalu beranjak dari meja resepsionis. Setibanya di depan kamar nomor 111, ia heran kenapa pintu kamarnya tidak dikunci, pintu itu terbuka sedikit, mungkin sejengkal tangan. Dari dala kamar, Heri mendengar suara erangan seorang wanita dan desah dua orang lelaki. 

“Bangsat,” gumam Heri sambil menggelengkan kepala.

Ia urung mengetuk pintu itu lalu melangkah lagi menuju lift. Heri akan tunggu dua jam lagi setelah mereka selesai bermain.  Saat Heri menunggu lift,  tiba-tiba ia mendengar jeritan wanita seperti dipukuli dari dalam kamar nomor 111. Beberapa kali wanita itu menjerit, suaranya terdengar sangat keras. 

Heri tidak punya nyali untuk melihat apa yang sedang terjadi. Dalam satu jeritan terakhir,  terdengar suara berdebam seperti benda tumpul yang dihantamkan ke tubuh. Setelah itu, jeritan tidak lagi terdengar. Buru-buru Heri masuk ke dalam lift.

Di lobi, lelaki itu heboh menceritakan apa yang didengarnya barusan. Tiara tampak tidak peduli, kedua matanya mengantuk. Tiara bilang, jangan terlalu mencampuri urusan orang. Wanita itu tahu kalau hotel ini memang sering digunakan sebagai tempat prostitusi. 

“Ra, kita harus lapor. Itu cewek tadi kayak dianiaya.”

“Udah jangan pusing-pusing. Kita di sini hanya resepsionis,” Tiara kembali tidur di atas meja. 

Selang beberapa saat, dua lekaki muncul dari lift dan langsung menghampiri resepsionis.

“Teman kami masih di kamar. Besok dia baru check out,” ujar salah satu dari mereka lalu pergi begitu saja.

“Oh..., ia Pak. Ini dompet bapak tadi jatuh di lantai,” ragu-ragu Heri menyerahkan dompet itu, lelaki berkepala botak plontos mengambilnya dan lagi-lagi tanpa ucapan terima kasih. Mereka pun pergi dari hotel. 

“Itu mereka orangnya, Ra,” Heri menunjuk ke arah dua lelaki itu.

“Hus! udah jangan tunjuk-tunjuk.”

“Tiara, bagaimana kalau cewek tadi udah mati?” Heri ketakutan, ia menyentuh bahu Tiara. 

“Kan dua cowok tadi udah bilang kalau si cewek masih di dalam kamar.”

“Periksa yuk?” ajak Heri. 

“Nggak ah. Udah jangan parnoan gitu,” Tiara semakin kesal, ia menggibaskan tangan Heri dari bahunya.

Tiba-tiba telepon berdering, Heri segera mengangkatnya. 

“Dengan Resepsionis, ada yang dapat kami bantu?”

“Hai, aku pesan nasi goreng dong,” terdengar suara imut dari seberang telepon. 

“Baik, antar ke kamar nomor berapa, ya?” tanya Heri sambil mencatat pesanan.

“Nomor 111,” saat mendengarnya, hati Heri lega. Ternyata benar kata Tiara kalau wanita itu masih hidup. 

“Ada lagi yang mau dipesan?”

“Sama jus jeruk.”

“Baik,” Heri kembali mencatat pesanan.

Setelah telepon ditutup, Heri langsung menghubungi room service untuk memproses makanan yang dipesan wanita itu. Beberapa saat kemudian, nasi goreng berhasil diantarkan oleh petugas, tapi Heri masih penasaran dengan kondisi wanita itu. 

“Eh, Ndre. Lu tadi antar makanan ke kamar nomor 111, ya? Gimana keadaan cewek itu?” 

“Dia baik-baik aja, kok. Katanya dia juga mau renang,” jelas Andre, petugas room service. 

“Berenang? Malam-malam begini?” Heri mengerutkan dahi. 

“Iya,” Andre mengangguk.

“Bisa antar aku ke kolam ranang, nggak?” sebelum mereka selesai bercakap, seorang wanita muncul dari lift. Ia sudah mengenakan bikini yang diselimuti handuk kimono. 

“Oh, baik Bu.” Andre dengan sigap menghampiri wanita itu lalu mengantarnya ke kolam renang. 

Heri mengikuti dari belakang, diperhatikannya wanita yang sedang berenang itu. Jarang sekali ada tamu yang mau berenang tengah malam seperti ini. Entah kenapa, Heri masih penasaran. Ia naik ke lantai dua lalu buru-buru menghampiri kamar nomor 111. 

Kali ini, pintunya terbuka lebar. Dan... betapa terkejutnya Heri saat melihat mayat wanita terkapar di atas kasur. Mayat itu melotot, kepalanya retak seperti habis dihantam benda tumpul, darah membasahi tempat tidur. 

Buru-buru Heri lari ke ujung koridor, ia menyibakkan tirai jendela kaca yang mengarah langsung ke kolam renang di belakang hotel. Dilihatnya wanita itu masih asyik main air di kolam renang. Padahal, jelas-jelas wanita itu sudah mati. 

Saat Heri masih tercengang dengan apa yang dilihatnya, tiba-tiba pintu kamar nomor 111 tertutup sendiri dengan keras, seperti ada yang membantingnya. Sontak saja, Heri lari kocar-kacir sambil berteriak minta tolong.

Hotel yang mengarah langsung ke pantai itu memang tidak pernah sepi pengunjung. Mungkin karena merupakan hotel paling mewah di kawasan itu. Sehingga bukan hanya digunakan sebagai tempat menginap saja, tapi juga  sering digunakan untuk berbagai kegiatan. 

Walau beberapa minggu lalu pernah terjadi pembunuhan terhadap seorang pelacur, hotel ini tak lantas dihindari pengunjung. Kamar nomor 111 yang bekas pembunuhan itu hanya ditutup selama lima hari.

Pihak hotel membuka kembali pemesanan untuk kamar nomor 111 setelah kasusnya selesai. Pelaku berhasil diindentifikasi melalui CCTV. Mereka pun ditangkap dan diadili.

Belum ada yang menempati kamar itu semenjak terjadi pembunuhan. Namun, akhirnya tepat pada bulan Oktober pemerintah pusat mengadakan sebuah acara untuk memperingati Bulan Bahasa. Acara tahunan itu dinamakan pemilihan duta Bahasa seprovinsi. Kebetulan sekali hotel bekas pembunuhan terpilih sebagai tempat perhelatannya. 

“Wah, bagus banget hotelnya, ya,” Fadil sumringah saat tiba di halaman hotel. Dia adalah salah satu mahasiswa yang menjadi perwakilan kampusnya. 

Iya, Dil. Makan enak nih kita, timpal Zainal. Dia satu kampus dengan Fadil. 

Mereka berdua tiba di hotel tersebut setelah menempuh perjalanan selama satu jam. Halaman hotel mulai ramai. Para peserta dari berbagai kampus seprovinsi mulai berdatangan. Satu persatu mereka melakukan check in di lobi hotel.

Lu kamar nomor berapa? tanya Zainal sambil memegang kunci kamar Fadil. 

111 nih, jawab Fadil. 

“Wah nomor cantik. Tukeran mau enggak?” tawar Zainal.

“Emang lu nomor berapa?” Fadil meraih kunci di tangan Zainal.

“Nomor 80. Tukeran ya. Kamar lu pasti di lantai atas. Jadi pemandangannya pasti indah banget,” Zainal memaksa. 

“Ya udah, terserah lu aja.”

Bagi Fadil tidak masalah mau tidur di kamar nomor berapa pun. Yang penting bisa istirahat. Perjalanan dari kampus ke hotel lumayan membuatnya lelah. Dia ingin segera membaringkan diri di kasur hotel yang empuk. 

Zainal diantarkan ke lantai dua oleh Heri si resepsionis yang pernah melihat mayat di kamar itu. Wajah Heri terlihat gugup. Sebenarnya dia khawatir pada tamu yang sedang diantarnya.

Heri yakin kalau wanita yang pernah mati di kamar itu masih bergentayangan. Sebab, Heri sering mendengar suara gaduh di dalam kamar nomor 111. Kadang ada suara tawa perempuan, kadang menangis, kadang seperti ada yang sedang menonton televisi. Padahal jelas-jelas kamar itu kosong. Tidak berpenghuni. 

“Ini kamarnya, Mas,” Heri membuka pintu sambil tersenyum ramah. 

Kamar itu rapi. Ada spring bed warna putih dan dua bantal. Di dindingnya menempel tv led 40 inch. Ada kulkas kecil di samping tempat tidur. Juga ada meja dan kursi kasual di dekat jendela.

Kamar itu juga dilengkapi sebuah kamar mandi yang terbilang cukup mewah. Di atas meja sudah disiapkan sepasang sendal selop tipis ala hotel.

“Wow!” Zainal terkagum-kagum. Ini memang baru pertama kalinya ia menginap di hotel. 

“Ada apa ya, Mas?” tanya Heri. 

“Bagus banget kamarnya,” Zainal membuka sepatu, dia lalu membaringkan badan di atas spring bed yang empuk.

“Ini kan hotel, Mas,” kata Heri. 

Zainal nyengir. “Mantap, Pak!” ia lalu mengacungkan jempol ke arah Heri. 

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba terngiang di telinga Heri suara tawa seorang wanita. 

“Kenapa, Pak?” tanya Zainal yang heran melihat ekspresi si resepsionis. 

“Enggak apa-apa. Kalau butuh apa-apa, telepon aja ya. Itu nomornya sudah tertera.” 

“Sip!” Zainal nyengir lagi. 

Heri kemudian menutup pintu kamar tersebut. 

***

Setelah mengikuti pembekalan di ballroom selama berjam-jam, Zainal pulang ke kamarnya. Dia sangat lelah. Lampu ia matikan dan hanya menyalakan lampu tidur saja. Televisi dibiarkan menyala menayangkan channel khusus olahraga. Tidak lama kemudian, dia tertidur. Sementara televisi masih menyala. 

Entah pada jam berapa, Zainal terbangun. Ia mendengar tawa seorang wanita seperti sedang asyik menonton televisi. Dalam keadaan mengantuk, ia meraba-raba remote televisi. Matanya memicing ke arah layar.

Zainal heran kenapa tayangannya berganti ke serial drama Korea. Tanpa berpikir macam-macam, ia langsung mematikannya. Ia pun kembali tidur. 

Sebelum terlelap kembali, tiba-tiba dia mencium bau parfum wanita yang sangat menyengat. Ia mengendus-enduskan hidungnya lalu mengernyitkan dahi. Zainal pun bangun dan melangkah ke kamar mandi karena bau parfum itu berasal dari sana.

Zainal membuka pintu kamarnya. Ia menoleh ke sekeliling, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Pikir Zainal, mungkin tadi ada orang yang iseng. Pintu ditutup kembali.

Masih penasaran dengan bau parfum yang ia endus, ia akhirnya perlahan membuka pintu kamar mandi itu. Anehnya, tidak ada apa-apa di dalam sana. Zainal mendongak ke atas. Tapi tetap saja tidak ada apa pun. 

Ia berdecak kesal lalu kembali kembali ke tempat tidurnya. Malam itu ia akhirnya bisa tidur dengan nyenyak. Namun, lagi-lagi saat ia bangun di pagi hari, televisi itu sudah menyala. Ia mencoba mengingat-ingat dan yakin tidak menyalakan televisi sebelum tidur.

“Pasti televisinya rusak,” gumam Zainal. Diraihnya remote televisi, lalu mematikannya.

Hari ini akan ada seminar tentang Sejarah Bulan Bahasa. Ia harus segera mandi dan sarapan. Beberapa saat kemudian telepon berbunyi. Saat itu Zainal sedang mengenakan pakaian. Buru-buru ia mengangkatnya. 

“Halo!” 

“Zainal, kita ketemu di bawah, ya. Udah disiapin sarapan tuh. Orang-orang juga udah pada kumpul.” 

“Oh... oke, Dil.” 

Zainal menutup telepon. Ia mempercepat geraknya, mematut diri di depan cermin. Tak lupa, ia juga menyisir rambutnya sampai klimis. Setelah rapi dengan mengenakan batik keemasan, celana bahan, dan sepatu pantofel, ia kemudian bergegas ke lobi.

Di sana sudah ramai oleh para peserta. Mereka mengambil sendiri makanan yang sudah disajikan oleh pihak hotel. Zainal dan Fadil bergabung satu meja dengan dua peserta lain yang berasal dari Tangerang. 

“Kalian tahu enggak sih kalau pernah ada pembunuhan di hotel ini?” tanya Santi.

“Seriusan?” Fadil penasaran.  

“Iya. Tapi, kamar hotelnya dirahasiakan. Enggak ada yang tahu pembunuhan itu terjadi di kamar nomor berapa,” lanjutnya.

“Menurut gua, hotel ini memang angker,” ujar Hilda, lalu menyeruput lemon tea. 

“Ya, setiap hotel pasti ada saja penghuni gaibnya. Selama kita tidak mengganggu mereka, gua yakin kita baik-baik saja,” timpal Zainal. Ia enggan menceritakan kejadian aneh yang dialaminya semalam. 

Acara hari itu berjalan sesuai rencana. Ada sesi seminar, perkenalan masing-masing peserta dan interview bersama para juri. Selepas acara, Zainal kembali ke kamar. Ia sangat lelah setelah mengikuti rangkaian acara seharian. 

Namun setibanya di kamar, ia heran lantaran kamarnya acak-acakan seperti kapal pecah. Padahal tadi siang ia sudah merapikannya. Lebih parahnya lagi ada bungkusan makanan ringan yang berserak di lantai. Itu makanan yang sengaja ia bawa dari kampus.

"Siapa yang sudah memakannya?" tanya Zainal dalam hati.

Yang lebih membuatnya kaget, ada jejak kaki berlumur darah di kamar. Jejak itu mengarah ke koridor sebelah kanan. Karena penasaran, ia pun mengikuti jejak kaki tersebut. Tetapi, di depan jendela hotel, jejak itu terputus.

Dari jendela itu, Zainal melihat ada seorang wanita. Ia sedang asyik berenang di kolam renang belakang hotel.

“Nal?” seseorang menyentuh pundaknya. Itu membuat Zainal terkejut bukan main. 

“Ah, ngagetin aja lu, Dil!” ternyata itu Fadil. Zainal berdecak kesal. 

“Gua boleh tidur di kamar lu, enggak?” tanya Fadil.

“Emang kenapa kamar lu?” Zainal mengerutkan dahi.

“Gua enggak bisa tidur, takut setan. Gara-gara waktu siang ada yang cerita korban pembunuhan.”

“Yaelah, Dil. Gitu aja takut,” Zainal melirik jejak kaki di lantai. Anehnya jejak itu sudah tidak ada. 

Sebisa mungkin Zainal menyembunyikan ketakutannya. Ia tidak mau membuat suasana semakin kacau. Dalam hatinya, ia sebenarnya bersyukur si Fadil mau numpang tidur di kamarnya.

“Gila, berantakan banget kamar lu, Nal?” 

“Em... ia nih. Maklum lah namanya juga cowok,” jawab Zainal. Ia berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa pun di kamarnya. 

Malam itu, Fadil tidur di kamarnya Zainal. Mereka tidur sangat nyenyak. Tidak ada makhluk halus yang mengganggu mereka.

Tepat jam enam pagi, telepon berbunyi membangunkan Zainal. Sementara itu, Fadil masih tidur nyenyak. Dalam kondisi masih mengantuk, Zainal mengangkat telepon itu. 

“Nal, cepat mandi! Sarapan ke bawah ya. Hari ini ada acara presentasi dari masing-masing peserta,” itu suara Fadil dari seberang telepon. 

Seketika jantung Zainal berdegup kencang. Ia mulai merinding. Keringat dingin mulai keluar. Kantuk itu seketika sirna, berganti dengan rasa takut dan ngeri.

Lantas, siapa lelaki yang sedang tidur di sampingnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status