Sesampai di rumah, ternyata Sattar sudah ada di rumahnya. Dia tengah berbincang dengan Asmah yang juga menunggu kepulangan saini.
"Akhirnya pak Saini pulang, besok adalah hari pernikahan Nurhasannah dan akan di lakukan di alamnya mereka" ucap Sattar dan Saini tetap saja memasang wajah lesunya karna merasa kecewa atas keputusan pihak kepala kepolisian.
"Ada apa pak? Bagaimana pernyataan pertemuan muspika tadi?," ujar Asmah yang menyadari jika Saini sedang tidak baik-baik saja."Pesta pernikahan anak kita di tentang keras oleh para tokoh agama serta masyarakat, Bagaimana ini bu? Apakah kita akan membatalkannya?," ucap Saini dengan nada lesu.Asmah hanya terdiam mendengarnya. Tidak mungkin rasanya di batalkan karna semua persiapkan sudah di pesan. "Bapak dan ibu jangan khawatir, Nurhasannah tidak menikah di dunia nyata. Jadi tidak perlu memanggil penghulu untuk melaksanakan acara nikahnya. Pestanya tetap di buat namun dengan alasan acara khatamnya roni." ucap Satt***Mungkin nyaris semua doa yang ku hapal sudah terucap pelan, namun ketakutan tetap di kepala gak mau menghilang. Tarikan napas hanya sebatas leher, gak ada kekuatan untuk menghirup udara dalam-dalam. Keringat dingin mulai mengucur pelan, membasahi kulit kepala turun ke dahi dan wajah.Aku tenggelam dalam suasana mencekam..Sendirian..Di rumah, di tengah perkebunan karet.Desir udara yang tadinya bertiup bergerak, seketika menghilang, mati. Suara pepohonan yang bergoyang karena angin, tiba-tiba hening, sepi tanpa aba-aba.Tuhan, lindungi aku, selamatkan aku, berikan kekuatan untuk dapat melalui malam mencekam ini, sekali lagi.Sekali lagi, aku mendengar suara langkah-langkah kaki yang berjalan di atas semak dan rerumputan. Awalnya terdengar jauh, namun semakin lama semakin mendekat, dan akhirnya seperti berhenti tepat di depan rumahJam 1 lewat tengah malam, aku yang terkurung sendirian di dalam rumah akhirnya memberanikan diri untu
“San, ada pocong di kamar Pak Rahman,” nyaris berbisik aku bilang begitu.“Hah? Serius? Lo tau dari mana?” Sandi langsung total terjaga.“Gue liat sendiri tadi, waktu balik dari kamar mandi,” masih gemetar aku berbicara.Tiba-tiba..“Creek, creek, creeekk.”Suara itu kedengaran lagi, aku dan Sandi mendengarnya..“Itu bukan suara jangkrik San,” ucapku.“Trus, suara apa?” Tanya Sandi mulai ketakutan juga.“Kayaknya itu suara pocongnya.”“Ah, gila lo. Serem amat,”“Coba liat aja sendiri kalo gak percaya.”Entah apa yang ada di pikiran Sandi, dia malah berdiri lalu berjalan mendekati pintu, kemudian membukanya perlahan.Sandi mengintip ke luar..Gak lama setelah mengintip, Sandi lalu memandangku dengan wajah pucat, kelihatan sangat ketakutan..***Wajah pucat Sandi terlihat jelas dalam balut r
Ternyata peristiwanya sangat seram, Sandi mengalami satu fragmen hidup yang gak akan dia lupakan.***Aldo sudah masuk ke kamarnya, dia terlihat sangat kelelahan, sejak kemarin memang sungguh melelahkan buat kami. Walaupun selalu terus bersama, tapi selama perjalanan dari Jakarta sampai ke tujuan, aku lebih banyak tidur, sementara Aldo sama sekali gak tidur, jadi ya mungkin aku bisa lebih segar.Sementara itu, aku masih duduk melepas lelah di ruang tengah bersama Pak Rahman.Jam dua siang, matahari sudah agak condong ke bagian barat permukaan bumi namun sengat panasnya masih terasa galak. Sepoy angin perkebunan bertiup perlahan, seperti menetralisir udara jadi gak mendidih gerah. Bertelanjang dada, aku menghela napas panjang, menyeka keringat yang sedikit bercampur debu tipis.“Wah, lahannya bener-bener kotor ya, Pak.” Aku membuka percakapan dengan Pak Rahman.“Kan sudah saya bilang, perkebunan ini memang sudah sangat lama gak
Jam 12 siang, sinar matahari sedang terik-teriknya.Kami semua berkumpul di ruang tengah, banyak pertanyaan dilontarkan oleh Pak Rahman dan teman-temannya. Aku dan Sandi, berusaha menjawab semuanya satu persatu, semampu yang kami bisa dan ingat.“Adek berdua ini ditemukan sama-sama pingsan tapi di tempat yang jaraknya berjauhan, gimana ceritanya bisa begitu? Ada apa?”Awalnya, Pak Kades melontarkan pertanyaan seperti itu, pertanyaan yang tentu saja diikuti oleh pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Ya sudah, lalu kami perlahan mulai bercerita dengan runut, bermula dari ketika aku mulai di rumah ini sendirian, serta Sandi yang harus ke kota karena ada yang harus dibeli.Setelah kami sudah menceritakan sebagian besar peristiwanya, ada beberapa orang yang memperlihatkan mimik terkejut, heran, kaget, tapi ada juga yang malah tersenyum-senyum kecil. Pak Kades dan Pak Rahman salah satu orang yang tersenyum itu. Kenapa mereka tersenyum?“Karena kami
Seperti tempat-tempat lain, perkebunan karet yang menyeramkan ini ternyata memiliki sejarah panjang yang kelam. Ada kisah suram di belakangnya, di sinilah semuanya berawal..***Desa Sindang Hulu, 1953.Sebagian limpahan anugerah Tuhan terhampar di salah satu desa terpencil di pedalaman Sumatera. Terang saja dibilang begitu, karena desa ini wilayahnya subur, sungai besar dengan airnya yang bersih mengalir di batas desa, udara dan alamnya indah, dikelilingi hutan belantara yang tampak seperti melindungi dari dunia luar. Kira-kira gambarannya seperti itu.Bukan termasuk desa yang berada di dataran tinggi, tapi udaranya cukup sejuk walau berada gak jauh dari bentangan garis Khatulistiwa.Sebagian besar penduduknya bekerja dengan bertani atau berkebun, ditunjang dengan tanah subur dan air berlimpah, hasilnya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Hasil tani dan kebun nantinya akan dijual ke kota, atau ditukar dengan barang-barang kebutuhan lain yang b
Satu lagi rentang bagian kisah seram prekuel “Rumah hantu di perkebunan karet” terungkap. Seramnya makin menjadi, ngerinya sampai ke hati.Simak petualangan Yudar selanjutnya, hanya di sini, di Briistory..***Gemuruh mulai terdengar, langit yang sejak tadi sudah kelihatan gelap sekarang makin menghitam. Masih jam lima sore, seharusnya matahari masih menyinari dataran bumi, tapi gak kali ini, ditambah rindang pepohonan suasana gelapnya makin menjadi.Kayuhan Yudar pada pedal sepedanya makin cepat, sambil sesekali melirik ke atas, berharap gelayutan air di awan jangan dulu tumpah.“Duh, semoga keburu sampai rumah sebelum hujan.” Yudar berharap cemas.Bukan tanpa sengaja kalau Yudar masih dalam perjalanan pulang ke rumah di penghujung hari seperti ini, memang sudah jadi kebiasaan rutin kalau setiap hari selasa dia menjual hasil kebun ke kota, sekalian juga membeli keperluan rumah. Tapi mungkin hari ini sedikit di luar kebiasaan,
Petualangan di desa Sindang Hulu masih berlanjut, cerita seram masih datang berurut.Masih mencekam, masih membuat nafas tertahan.Simak lanjutan ceritanya di sini, hanya di Briistory.***Hembusan angin dingin semilir bertiup, menembus ruang gelap malam, menyentuh setiap sudut kosong pedesaan. Heningnya seperti bicara dalam diam, menebar ketakutan.Suara daun-daun kering yang terangkat terbang lalu jatuh kembali, menyentuh dan bergesekan dengan tanah, itu adalah satu dari sedikit suara yang terdengar. Kadang sesekali serangga nekat berbunyi walau sebentar, sebelum (seperti) ada yang memaksanya berhenti lalu diam. Ditambah dengan lolongan panjang anjing hutan di kejauhan, semua bersatu jadi alunan harmoni seram.Lewat tengah malam, aura kengerian mengungkup desa Sindang Hulu..Seperti sudah berjalan pada banyak malam sebelumnya, desa ini seperti gak berpenghuni. Seluruh penduduknya memilih untuk berdiam di rumah jika hari sudah mulai
Sejarah perkebunan karet nan angker ini sebagian besar akhirnya terungkap, ada darah dan air mata di belakangnya. Berbalut sedih di antara kengerian selimut horornya.***Pagi harinya, seisi kampung gempar setelah tersebarnya berita tentang adanya dua pendatang yang sempat terjebak dalam situasi menyeramkan pada malam sebelumnya.Ini peristiwa geger kesekian kali yang terjadi di Sindang Hulu, sebelumya sudah ada beberapa kejadian yang dialami oleh warga, termasuk Yudar. Ramdan dan Ilham adalah orang luar pertama yang merasakan keseraman kejadian itu.Begitulah, desa yang tadinya aman damai tentram, beberapa bulan terakhir berubah jadi seperti kota mati, penduduknya terkungkung ketakutan dicekam misteri seram yang selalu terjadi belakangan, membuat semuanya gak berani pergi keluar rumah kalau gak sangat terpaksa.***“Nek, semalam ada dua orang tamunya Pak Kades yang melihat hantu jubah itu, mereka katanya sampai pingsan di musala.&rd