Share

Bab 2

Sudah kuputuskan hari ini akan ke kantor, aku akan tunggu Bang Surya disana. bergegas aku menelpon Shanaz_kakakku-- yang kebetulan belum memiliki buah hati.

"Assalamualaikum, Dek," ucap Kak Shanaz di sebrang sana.

"Waalaikumsalam, Kak. Hari ini aku mau ke kantor, tolong kakak jemput Carla ya di sekolahnya," pintaku 

"Bukannya urusan kantor sudah kamu serahkan sama Surya ya?"

memang betul semenjak lahirnya Carla aku menyerahkan perusahaan yang aku bangun itu pada suamiku, tapi sekarang aku ragu.

"Emmm ... iya tapi ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan di kantor, Kak," jawabku gugup. Untuk saat ini aku akan merahasiakan ini dahulu pada keluargaku.

"Oh, yasudah. Nanti kakak jemput Carla di sekolahnya kalau gitu." hatiku lega mendengar kakakku mau membantu.

Sekarang aku tengah siap-siap memakai pakaian kantoran, entah kapan terakhir kali aku memakai pakaian ini. Semenjak Perusahaan di pegang oleh Bang Surya sepenuhnya aku menjadi Ibu Rumah Tangga, mengurus anak dan suami.

penampilanku telah sempurna, gegas aku menuju mobil ... hampir satu jam aku pun tiba di kantor karena jalanan lumayan padat, semua karyawan tersenyum dan menganggukan kepala sebagai tanda hormat padaku, ada juga beberapa karyawan yang menyapaku, tetapi ada juga yang acuh, mungkin itu karyawan baru, ia belum mengetahui siapa aku sebenarnya.

Tiba di ruangan aku tersenyum untuk menutupi rasa sesakku.

"Bu, ini laporan yang ibu minta!" ucap seorang karyawan yang memegang bagian keuangan, aku lupa siapa namanya, kuanggukan kepala ia pun bergegas keluar dari ruanganku.

Netraku terus bergulir membaca isi laporan sedetail mungkin, memang tak ada pengeluaran dana yang mencurigakan, kuamati dengan seksama gajih Sonia pun masih wajar, masih sama seperti layaknya seorang sekretaris, ada kelegaan dalam hati sepertinya Bang Surya memang tak memanfaatkan uang perusahaan untuk kepentingan pribadinya.

Cekrekk!

Pintu ruanganku terbuka, rupanya Zylan yang bertandang ke ruanganku.

"hay, Rah." Ia menghampiri sambil tersenyum ke arahku, kemudian duduk saling berhadapan denganku.

"ya, Zy. Aku mau tanya tolong jawab jujur, apakah Bang Surya sering bolos dari pekerjaannya?" tanyaku dengan serius.

Nampak Zylan menghela nafas pelan. "Sebenarnya udah hampir dua bulan Surya suka bolos, dan anehnya jika Surya tak masuk kantor maka Sonia juga ga masuk. Gimana kita semua ga curiga. Dan kalau habis istirahat kadang menjelang sore lho mereka kembalinya."

kutelan saliva mendengar penuturan Zylan. Tega kalian, Mas!

"Terus selama di kantor mereka seakrab apa?" tanyaku dengan serak. Air mataku terus meronta ingin mengalir dengan derasnya.

"aku ga tega sebenarnya menceritakan ini, Rah. tapi ... ya, mungkin kamu harus tau hubungan mereka sangat dekat, bahkan Sonia bisa berjam-jam ada di ruangan Surya, OB kita Mbak Runi pernah lho mergokin Sonia lagi duduk di pangkuan Surya bermesraan, Rah," ungkap Zylan setengah ragu.

Kuanggukkan kepala, fix, mereka memang menjalin hubungan gelap di belakangku. Hening, antara aku atau pun Zylan tak ada yang bersuara. Jika kufikir memang rasanya ini tidak mungkin, mengingat semua perlakuan Bang Surya yang sangat baik padaku atau pun Carla. 

Mereka memang pintar bersandiwara. Tetapi mereka tidak tahu bahwa aku pun lebih pintar bersandiwara daripada mereka. Silahkan saja kalian saat ini bersenang-senang diatas rasa sakitku. Akan ada masanya kalian merasakan penyesalan hingga ke ubun-ubun.

"Zy, aku percaya kamu, tolong bantu aku untuk terus memantau mereka ya, karena aku ga akan tiap hari juga datang ke kantor, dan tolong kasih tau, euuh siapa tuh ... Karina yang bagian keuangan untuk melapor jika Surya meminta sejumlah uang yang tidak wajar." Zylan menganggukan kepala pertanda ia mengerti.

"Ok, siap. Aku akan mendukungmu, Rah," jawabnya seraya menggenggam kedua tanganku.

*

Waktu telah menunjukkan pukul setengah lima sore. Namun, tak ada tanda-tanda jika Bang Surya akan kembali ke kantor, tak masalah akan aku tunggu sampai selepas maghrib.

Adzan Maghrib berkumandang tapi sialnya mereka tak kunjung datang. Baiklah kali ini kalian selamat, aku tunggu kalian berdua di rumah ... 

Jalanan sangat macet, terpaksa aku menunaikan shalat maghrib di masjid pinggir jalan.

Pukul setengah delapan malam aku tengah sampai di rumah. Namun, tak ada tanda-tanda mereka telah pulang, mobil Bang Surya tak nampak di halaman atau pun di garasi. Ya Allah, ada dimana mereka saat ini?

 Aku berjalan menuju rumah dengan gontai, kakiku seraya kehilangan kekuatan untuk berpijak.

"Mamaa! ..." Carla berlari menghampiriku. Aku pun bersimpuh kemudian memeluk bocah berumur 6 tahun itu.

"Kok pulangnya telat, Rah? emang ada masalah apa sih?" Kak Shanaz menatap penuh selidik, mungkin ia curiga. Tapi aku harus tetap tenang belum saatnya ia mengetahui kebusukan adik bungsu kami itu.

"Ada masalah keuangan," jawabku datar, ia hanya mangut-mangut merespon jawabanku.

"Ya sudah, tuh kakak ipar kamu udah jemput, kakak pulang dulu ya," ucapnya seraya menepuk bahuku kemudian beranjak.

"Thanks, Kak!" ia pun mengacungkan sebelah ibu jarinya.

*

Kutunggu mereka di ruang keluarga, mataku memang menatap layar televisi tapi fikiranku melayang-layang memikirkan nasib pernikahan ini. Kulirik Carla telah tertidur karena terlalu asyik menonton acara kesukaannya, gegas aku menggendong kemudian membawanya ke kamar untuk menidurkannya.

Terus ku tunggu mereka, berkali-kali aku menelpon Bang Surya dan Sonia namun sepertinya ponsel keduanya telah mati. Sampai pukul sepuluh malam barulah terdengar deru mesin mobil Bang Surya memasuki garasi. 

Selarut ini mereka baru pulang, sengaja aku mematikan lampu juga televisi sehingga ruangan menjadi gelap. Terdengar keduanya membuka pintu secara perlahan dan melangkah mengendap-ngendap bak seorang maling, kemudian.

Cetrekk! 

Lampu kunyalakan sehingga ruangan kembali terang benderang, kupandang satu per satu raut wajah menjijikan itu, mereka terlihat kikuk dan tertawa cengengesan.

"Jam berapa ini? kenapa kalian baru pulang jam segini?" 

Mereka nampak saling memandang.

"Kita abis meeting ketemu client," jawab Bang Surya dengan mantap plus dengan expresi wajah seolah-olah ia telah kelelahan. Mungkin memang betul mereka sedang kelelahan, tapi kelelahan bercinta tepatnya.

"Aku masuk kamar duluan ya, Kak," pinta Sonia seraya beranjak dari hadapanku.

Bagus sekali aktingnya, netraku terus menatap tubuhnya yang mulai menjauh, nampak ia salah tingkah karena merasa ada sepasang mata yang sedang memperhatikannya, kemudian ia berlari kecil menuju kamarnya. 

Buukk!

Dengan keras Sonia membanting pintu.

Netraku bergulir menatap wajah Bang Surya, ia tersenyum kecut dengan terpaksa. karena muak, kutinggalkan ia yang masih berdiri mematung menatapku yang sedang menaiki anak tangga.

 Biasanya ketika ia pulang kerja larut malam, aku selalu setia menunggunya, menyambut dengan senyuman sehangat mungkin, kemudian membuatkan teh untuk menghangatkan perutnya, tapi rupanya saat ini itu hanyalah sebuah kenangan.

Ingin sekali aku memakinya mengatakan jika seharian ini aku telah menunggunya di kantor. Tapi ini belum saatnya, terlalu dini, aku akan tunggu hingga gelora asmara diantara mereka benar-benar memuncak, saat itulah aku akan membongkar kebusukkan mereka.

"Dek, kok abang ditinggalin gitu aja dibawah," sapa Bang Surya seraya memeluk pinggangku dari belakang. 

Karena rasa jijik tak kuhiraukan sentuhannya itu, aku tetap dalam posisi tidur membelakanginya, merasa jengah karena diacuhkan, ia pun diam dan menumpukan tangannya diatas pinggangku.

*

Pagi berkunjung, kami semua tengah sarapan bersama.

"Sonia, ada yang mau kakak bicarakan," ucapku datar.

"Bicara apa?" 

Ia bertanya sembari memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Sesantai itu rupanya kamu!

"Begini Sonia, mohon maaf sebelumnya. Mulai saat ini kamu lebih baik pulang ke kampung tinggal bersama ibu dan bapak, bukannya kakak keberatan kamu tinggal disini tapi secara agama kamu tidak di perbolehkan tinggal satu atap bersama kami, kenapa? karena ada Bang Surya, dia bukan mahrom kamu, kamu sudah terlalu lama tinggal disini, itu ga baik," ucapku panjang lebar.

Nampak ia tercengang mendengar penuturanku, kemudian netranya bergulir mentap Bang surya, dan akhirnya mereka saling menatap di hadapanku.

"Aku ga mau, Kak, kalau tinggal di kampung. mau kerja apa disana? ngurus sapi-sapinya Kang Satya gitu?" Ia merajuk 

Satya adalah Kakak tertua kami, di kampung ia telah sukses menjadi seoarang peternak sapi. Jelas saja ia tak mau tinggal di kampung bukan karena tak ingin mengurus sapi tapi,  karena tak ingin berjauhan dengan kekasih gelapnya itu tentunya.

"iya, Dek. kalau begitu biarkan Sonia mengontrak rumah saja, yang penting tidak tinggal di rumah ini kan?" Bang Surya membela.

Kuhembuskan nafas, sesak rasanya dada ini menyaksikan Bang Surya mempertahankan Sonia agar selalu berada di dekatnya.

"Tinggal mengontrak sendirian juga lebih berbahaya, Bang. Sonia ini masih gadis aku khawatir, lebih baik tinggal di kampung saja bersama ibu dan bapak, kasihan mereka kesepian. Sonia tolong mengerti kakak ya," balasku membujuk.

Ia diam sembari mengunyah pelan makanannya. Mungkin ini salah satu usahaku untuk memisahkan mereka, bagaimana pun juga aku tak ingin kebagian dosa karena perzinahan mereka. Dan aku ingin menilai seberapa jauh hubungan diantara mereka jika telah terpisahkan oleh jarak.

"Soni ... kok malah diem, kamu setuju 'kan?" tanyaku seraya menatap wajahnya yang pucat.

Ia nampak berfikir, menimbang-nimbang.

"A-aku udah betah disini, Kak," lirihnya sambil menundukan wajah.

Bersambung.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
botakin aja Mbak adenya tidak tahu diri
goodnovel comment avatar
Indah Dyuliani
sangat puas bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status