Share

Bab 3

"Sonia ... ini demi kebaikan bersama." 

Aku kembali membujuknya selembut mungkin.

"Kalau kakak ngerasa aku menjadi beban disini bilang saja, Kak. tak usah banyak berkilah," ucapnya seraya berdiri dan menatap tajam padaku.

Sepertinya ia marah, kucoba mengontrol rasa agar terlihat setenang mungkin. Aku tak boleh terlihat emosi.

"Bukan begitu, Sonia ...."

"Sudahlah, aku berangkat dulu, aku fikir-fikir dulu!" selanya memotong ucapanku kemudian ia beranjak keluar rumah dan duduk di bangku teras, mungkin sedang menunggu Bang Surya.

"Tuh 'kan, Dek. Sonia jadi marah," sahut Bang Surya dengan tatapan tak suka.

"Emang kenapa kalau Sonia marah, kok kamu kaya gelisah gitu sih? aneh kamu, Bang!" jawabku seraya mendelikan mata, nampak ia belingsatan tetapi berusaha setenang mungkin di hadapanku.

"Ya sudah Abang berangkat sekarang," balasnya seraya beranjak.

Nampak raut wajah gelisah, ia berjalan setengah berlari, aku pun menyusulnya. Tak akan aku biarkan mereka berangkat bersama-sama kali ini. 

"Tunggu, Bang!" dua orang yang hendak masuk ke dalam mobil pun terhenti sambil memegang pintu mobil, wajah Sonia nampak merenggut tak suka, jika ia bukan adikku sudah pasti aku melabrakmu, Dek. 

"Hari ini ada acara perpisahan di sekolah Carla, dia akan tampil melantunkan ayat-ayat suci Al quran, kita harus hadir untuk menyaksikannya. Itu permintaan Carla," ucapku setengah berteriak.

Ia nampak membuka mulut untuk berkata tapi, Carla terlebih dulu belari menghampiri ayahnya, "Iya, Pa. Hadir ya sama mama!"

Ia diam, kemudian melirik wajahku, "Sudahlah, Bang. Tinggalkan dulu pekerjaan kamu barang satu hari ini, demi Carla, demi anak kamu," ucapku meyakinkannya.

Dan akhirnya berkat gaya manjanya Carla, ia pun mengiakan, Bang Surya nampak menutup kembali pintu mobil, lalu menggendong putrinya menghampiriku, terlihat wajah Sonia makin merenggut dibantingnya pintu mobil dengan keras, aku tak mau kalah, kuhampiri Bang Surya yang sedang menggendong Carla, menyentuh lengannya seraya tersenyum, sekilas kami terlihat seperti keluarga bahagia tanpa ada keretakan. 

"Terus aku gimana, Kak Surya?" sontak kami bertiga memalingkan wajah pada Sonia yang tengah cemberut. Ia nampak jengkel lalu menghentakkan sebelah kakinya ke tanah.

"Kamu pesen taxi atau ojek online aja, didepan gank juga banyak ojeg, kalau kamu tak mau menunggu lama," jawabku dengan tenang.

Mana mau anak manja ini naik ojek, ia makin cemberut menatapku dan Bang Surya bergantian. Biarlah aku tak peduli.

"Masa naik ojek, lihat kak aku pakai rok," jawabnya seraya memegang rok yang dikenakan.

Kulirik sekilas sepertinya Bang Surya akan mengatakan sesuatu pada Sonia. Namun, dengan cepat aku memotong ucapannya, 

"Makanya kalau kerja itu pake baju yang bener, kamu mau kerja apa mau menggoda suami orang sih, sexy banget tampilannya!"

Ia tak menanggapi perkataanku, lekas pergi berjalan kaki menuju ujung gank, sesekali ia melirik kebelakang dengan mendelikan mata, mungkin berharap Bang Surya akan mengejarnya, hem kepedean!

Kami telah sampai di Sekolah Carla, suasana nampak ramai banyak orang tua murid yang hadir, aku dan Bang Surya duduk di deretan bangku paling depan menyaksikan putri tercinta kami sedang melantunkan ayat-ayat suci al-Qur'an.

Aku bahagia dan bangga padanya, diusia sekecil ini sudah bisa membaca Al-Quran, ia juga menghafal surat-surat pendek juz 30. Merasa tak sia-sia selama ini dalam mendidiknya.

Dengan sudut mata aku melirik Bang Surya begitu khidzmat dan serius memperhatikan putrinya, mungkin ia juga merasa bangga sama sepertiku. Aku harap ada sesal di hatinya karena mencoba merusak kebahagiaan keluarga kecil kami, hati kecilku bergumam.

'Lihatlah, Bang, anak kita sudah tumbuh besar nan pintar'

Kurogoh ponsel yang tersimpan dalam tas, mengirimkan pesan pada Zylan.

[Zy, Sonia ada di kantor 'kan?] Send.

Centang satu, mungkin Zylan sedang sibuk bekerja, makanya nomor Watshapnya tidak aktif, kumasukkan kembali ponsel kedalam tas. Dan kembali pandanganku tertuju pada Carla, ia sudah selesai melantunkan ayat suci Al-Qur'annya. Para hadirin bertepuk tangan dengan meriah.

Saat acara hampir selesai terdengar suara ponselku berdenting, iya balasan dari Zylan.

[Ada, Rah. Dari pagi mukanya di tekuk terus] balasnya disertai emotikon tertawa berderet diujung pesan.

[Bagus, buat dia sesibuk mungkin ya, Zy] balasku.

[Ok] dengan cepat Zylan membalas pesanku.

Acara telah selesai, kami bertiga hendak menuju pulang, ada binar kebahagiaan yang terpancar dari wajah Bang Surya dan Carla. Tak terasa putriku itu sudah besar sebentar lagi ia akan memasuki Sekolah Dasar. Seandainya Sonia tak hadir di tengah-tengah kebahagiaan kita.

Secara hukum Islam memang kita tidak diperbolehkan untuk tinggal satu atap bersama ipar, aku mengetahui hal itu, tapi ibu dia bersikukuh menyuruhku menampung Sonia untuk sementara katanya.

 Awalnya aku menolak, begitu pun dengan Bapak, tapi ibu terus meyakinkanku untuk menerima Sonia dengan tujuan agar dia juga bisa belajar merintis usaha sepertiku.

"kalau Sonia tinggal di kampung, mau apa dia, disini tak ada pekerjaan." 

Ucapan ibu yang masih terngiang di telingaku. Rupanya keputusanku membawa petaka bagi rumah tanggaku sendiri. Dan akhirnya terjadilah hal yang di takutkan, tak ada guna aku menyesali.

"Pa, kita jalan-jalan dulu yuk." Carla membujuk papanya yang tengah melamun. Apa dia memikirkan Sonia?.

"Pa!" Dia tersentak mendengar gertakanku.

"Em, iya kenapa? jalan-jalan ya, Sayang," jawabnya gelagapan. 

"Jalan-jalannya yang deket aja ya, ke mall, kamu bisa main dan beli mainan sepuasnya," ucapnya lagi seraya menengok ke belakang.

Carla pun bersorak dengan gembira, ada perih di hatiku menyaksikan betapa bahagianya Carla padahal hanya diajak jalan-jalan ke mall saja, aku tak sanggup melihat kekecewaannya kelak, jika Bang Surya lebih memilih Sonia dan meninggalkan kami. 

Aku menatap kosong kearah jalan, hening suasana dalam mobil ini. Padahal biasanya jika kami berada dalam mobil selalu saja ada tawa dan canda menyelimuti.

Tak terlalu lama kami telah sampai di pusat perbelanjaan yang besar nan megah ini, Carla menuntun tangan kami menuju wahana permainan yang ia sukai.

"Aku mau naik itu ya, Ma," ucap Carla dengan gaya khasnya.

Carla bermain dengan riangnya, sesakali ia melambaikan tangan pada kedua orang tuanya yang sedang saling diam membisu ini, raga Bang Surya bersamaku tapi fikirannya pasti sedang memikirkan Sonia yang jauh disana. Ia terlihat diam menatap lurus dengan pandangan kosong.

Hampir satu jam Carla bermain, ia pun akhirnya kembali menghampiri kami.

"Ma, Pa, Carla laper. Kita makan yuk."

Aku dan Bang Surya pun hanya menganggukan kepala seraya tersenyum. Carla memandang dengan tatapan heran. Mungkin ia juga merasakan ada yang aneh diantara aku dan Bang Surya.

Kuputuskan untuk makan di salah satu cafe yang berada dalam pusat perbelanjaan ini, aku yang tak berselara makan dengan terpaksa menyuapkan sedikit makanan kedalam mulut, Nampak Carla makan dengan lahapnya sedangkan Bang Surya hanya mengaduk-adukan makanan sambil menunduk. 

Ada pilu dalam hati mengingat biasanya ada canda ketika kami sedang makan bersama, terkadang kami juga saling menyuapkan makanan dengan tertawa. Tapi kali ini berbeda kami tengah disibukkan dengan fikiran dan kegelisahan masing-masing.

Entah mendapat ide dari mana aku mengajak Carla dan papanya untuk photo-photo selfi. Akan aku unggah photo yang terlihat harmonis ini ke story Whatsappku, tidak hanya satu photo yang aku unggah tetapi ada lim sampai enam photo dengan berbagai macam gaya.

Kami bertiga tersenyum ke arah kamera menutupi kegelisahan masing-masing, sengaja aku unggah agar Sonia melihatnya kemudian terbesit sesal dalam hatinya untuk menjauhi Bang Surya, aku sih tak berharap banyak, satidaknya aku telah berusaha mempertahankan rumah tanggaku walau akhirnya akan kandas juga, itu tak masalah bagiku. Aku harus kuat menghadapi kenyataan nanti walau sepahit apapun tak boleh jika sampai terpuruk karenanya.

Selama masih bisa bernafas kehidupan harus tetap berlanjut dengan atau tanpa seorang suami, roda kehidupan akan terus berputar.

Sampai di rumah, Bang Surya lebih banyak diam, ia nampak gelisah seperti sedang menunggu seseorang, terlihat dari pancaran wajahnya ia selalu melirikkan mata ke halaman rumah.

Adzan isya berkumandang. Namun, Sonia tak kunjung pulang, entahlah tak ada sedikitpun rasa khawatir yang kurasakan. Bang Surya mondar mandir dari ruang tengah, ruang keluarga dan kamar ia susuri. 

Sebenarnya aku pun sama sedang menanti Sonia, ingin menanyakan tentang kepulangannya ke kampung halaman, aku tak ingin ia berlama-lama ada di rumahku. Jengah melihatnya.

Sampai pukul setengah sepuluh Sonia tak kunjung pulang, Bang Surya terlihat semakin gelisah.  Ada rasa sakit dalam hati melihat suamiku sedang gelisah memikirkan wanita lain. Aku membujuknya untuk masuk ke dalam kamar, dengan sedikit paksaan akhirnya ia mengikutiku masuk ke kamar kami. 

*

Tengah malam aku terbangun karena rasa haus yang mendera tenggorokan, aku melangkah untuk mengambil air minum ke dapur, semakin mendekat telingaku mendengar samar suara sesorang yang sedang berbicara, sepertinya itu suara Sonia dari arah meja makan. Aku melangkah mengendap-ngendap demi menguping pembicaraannya.

"Kamu harus berterus terang sama Kak Sarah, kalau kamu masih tak bisa tegas dalam bersikap dan mengambil keputusan, maka aku akan kembali ke Korea dan melupakanmu selamanya, dan Kak Surya akan kehilangan aku yang kedua kalinya," ucap Sonia dengan terisak.

Degh!

Hatiku berdegup dengan kencang, apa maksudnya ini. Hatiku dipenuhi berbagai tanya, apakah Sonia mantan kekasih Bang Surya, atau apa?.

Bang Surya bersuara, "Beri aku sedikit waktu, Sonia.

Dengan tegak aku melenggang melangkah menghampiri dua insan yang sedang saling meratapi

"Ngapain kalian berduaan disini tengah malam begini?" tanyaku, sorot mataku tajam memandang mereka bergantian.

Mereka terperangah melihat kedatanganku yang tiba-tiba, dengan kompak mereka saling menjauhkan diri menggeser kursi yang sedang di duduki. 

"Bang ... Sonia kenapa kalian diam," ucapku kembali seraya menggebrak meja.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status