Aku tercengang, melihat 2 sosok manusia yang sangat kukenali. Dia, Bang Surya --suamiku-- dan Sonia--adikku--, berada dalam vidio yang berdurasi 19 detik itu.
Nampak Bang Surya keluar dari mobilnya kemudian menggandeng pinggang Sonia dengan mesra, tak lupa Sonia juga bergelayut manja di lengan Bang Surya. kuamati vidio itu ternyata berlatar belakang disebuah Hotel.
Pesan itu dari Zylan, temanku. Kemudian, masuk kembali satu pesan darinya
[Sarah, maafin aku. Bukan maksud aku ingin mencampuri urusan rumah tangga kalian, tapi kamu harus tau tentang ini.]
Zylan adalah teman sekaligus orang yang kupercayai di perusahaanku yang kini dipegang oleh Bang Surya. Zylan juga teman semasa kuliah dulu, bisa dikatakan ia adalah sahabat terdekatku. Tak menunggu lama, gegas aku menelponnya
"Assalamualaikum, Zy"
"Waalaikumsalam, Sarah. maafkan aku ya, sudah mengganggu suasana hatimu karena mengirim vidio itu," jawabnya sungkan.
Selama ini memang Zylan selalu berprasangka buruk seolah-olah Bang Surya memiliki hubungan dengan Sonia. Berkali-kali Zylan mengirimkan bukti kepadaku, namun entahlah bukannya aku tak percaya tapi yang kulihat dari suamiku ia terlihat baik-baik saja selama ini, baik itu padaku ataupun pada Carla__anak kami-- memang tak ada tanda-tanda ia tengah selingkuh. Bahkan aku masih bisa leluasa mengecek ponselnya. Tak ada yang mencurigakan. Atau mungkin saja aku yang bodoh dengan mudahnya bisa terperdaya oleh mereka.
"Ga papa, Zy. kamu dapat dari mana vidio itu?" tanyaku santai. Walau sebenarnya dadaku terasa sesak.
"Demi kamu, Rah, aku ikutin Surya secara diam-diam. karena aku curiga mereka ada hubungan gelap. Maaf-maaf ya, Rah, bukan maksudku menjelekkan adikmu tapi ini faktanya, setelah Sonia menjadi sekretaris Surya mereka terlihat semakin dekat, bukan hanya aku yang menyadari ini, tapi semua rekan di kantor juga berfikir sepertiku," ungkapnya panjang lebar.
Aku menghela nafas pelan, mencoba mengontrol kembali emosi yang tengah meluap dalam dada.
Tiba-tiba terdengar deru mesin mobil suamiku memasuki halaman rumah, ia telah pulang dari kantornya.
"Zy, udah dulu ya, Bang Surya udah pulang tuh, thanks ya infonya," ucapku, sambil melenggang menuju pintu depan untuk menyambut Bang Surya. Kemudian kusudahi percakapan ini.
kubuka pintu, Bang Surya tersenyum, sangat manis sekali tubuhnya tinggi semampai wajahnya bersih, kusambut ia dengan senyum semanis mungkin. Setelah tubuhnya mendekat lekas kucium tangannya dengan takzim. Netraku tertuju pada rambut Bang Surya yang basah, bukankah cuaca sedang tidak hujan, mengapa rambutnya bisa basah begitu?
"Masuk duluan ya, Kak."
Sonia melenggang di depanku, kuamati raut wajahnya ia nampak kelelahan, rambutnya sedikit acak-acakkan seperti ... ah, segera kutepis prasangka buruk ini. Tidak baik berburuk sangka pada adik sendiri.
Sudah 3 Bulan ini Sonia tinggal bersamaku, karena kuliahnya di Korea telah usai. Ibu yang memintaku untuk menerima Sonia di rumah ini, walau sebenarnya hatiku sangat keberatan. bagaimana pun juga Sonia tetap bukan mahrom suamiku.
"Abang abis mandi ya, kok rambutnya basah?" tanyaku seraya menyentuh lembut pucuk kepalanya, dari sudut mata dapat kulihat Sonia melirik ke arah kami. Namun, aku pura-pura tak melihatnya.
"I-iya, barusan ketemu Client, Abang kepanasan terus mandi deh," jawabnya terbata seraya menggandeng bahuku.
"Mandinya dimana, Bang?"
Kutatap wajahnya Lekat, nampak ia kebingungan untuk berkata.
"Di-di toilet restoran ...." kutatap wajahnya dengan tajam, nampak ia menelan salivanya kemudian ia melanjutkan kata dengan terbata "Ma-maksud abang, barusan udah ketemu Client di restoran panas banget, kayanya AC nya mati, jadi Abang numpang mandi di toilet."
"Sudah, ayok masuk!" ia menggandeng kembali bahuku yang sempat terlepas. kemudian berjalan beriringan menuju kamar kami yang terletak di lantai atas.
Tiba di kamar, aku kembali bertanya, "Sonia juga ikut, Bang?"
Ia gelagapan sambil menggaruk pelan kepalanya,
"I-ikut. Tapi ... Sonia nunggu di Mobil makanya mukanya keliatan lelah begitu," jawabnya ragu.
Aku menghela nafas lalu menghembuskannya, berusaha sekuat mungkin untuk berfikir positif, waspada itu perlu asal jangan terlalu berlebihan, Bukan? aku tak boleh gegabah, biarlah untuk saat ini aku akan mendiamkan, melihat sampai sejauh mana hubungan yang mereka jalani.
*Saat makan malam tiba, terlihat Sonia keluar dari kamarnya menghampiri kami yang tengah berkumpul di meja makan. Aku menggelengkan kepala melihat pakaian yang dikenakan Sonia, kemeja tangan panjang berwarna putih tembus pandang, longgar tapi dibagian dada tak dikancingkan sehingga payudaranya terlihat menyembul, juga celana jeans pendek, saking pendeknya celana jeans itu tertutup oleh baju atasannya.Sudah beberapa kali aku ingatkan agar jangan berpakaian seperti itu dirumah ini, tapi ia berkilah, 'panas' katanya, padahal AC menyala.
"Tante, kenapa 'sih kalau bobok suka ga pake baju?"
Mataku membulat mendengar pertanyaan Carla. Kemudian, bola mataku bergulir menatap Sonia yang tertawa cengengesan.
"Tante kepanasan, Sayang," ujarnya sambil bersimpuh di hadapan Carla. Sontak saja buah dadanya menyembul terlihat jelas oleh Bang Surya yang sedang duduk diatas kursi. Ia sampai tak berkedip menatapnya.
"Ehemmm!"
Bang Surya terperanjat mendengar suara deheman ku.
"Carla tau dari mana tante Sonia tidurnya ga pake baju?" tanyaku dengan serak. Dapat kusimpulkan mereka memang memiliki hubungan spesial.
"Carla lihat sendiri, papa juga lihat kok, iya 'kan pa?"
mataku bergulir menatap Bang Surya dengan penuh selidik, ia terlihat gelagapan seraya membetulkan posisi kacamatanya.
"I-iya, abang ga sengaja lihat, gitu maksud Carla, Dek."
Aku hanya mangut-mangut mendengar jawabannya.
Kembali kuurai rasa ini agar terlihat biasa saja walau sebenarnya ada setumpuk amarah didada yang tertahan. Biarlah amarah ini akan keluar disaat yang tepat, di saat mereka tak bisa menyangkalnya sedikit pun.*Pagi berkunjung, seperti biasa Bang Surya dan Sonia selalu berangkat bersama menuju kantor, sedangkan aku mengantar sekolah Carla ke Taman Kanak-Kanak yang tak jauh jaraknya dari rumah, jadi ketika sedang proses belajar berlangsung aku bisa pulang dahulu ke rumah, dan ketika waktu belajar akan usai aku akan kembali menjemputnya.
"Kreett!"
Kubuka pintu kamar Sonia, nampaknya Mbok Minah, ART ku, belum membersihkan kamar ini karena terlihat masih berantakan. Aku melangkah perlahan, entah kenapa sejak semalam hatiku selalu ingin masuk ke kamar yang di tempati oleh Sonia.
Nampak banyak sekali alat-alat kecantikan yang tergeletak di meja rias. Mataku tertuju pada sebuah benda mungil berwarna merah, itu minyak wangi Sonia. Kuhampiri lalu kuambil benda mungil itu kemudian menciumnya. Tapi tunggu, sepertinya aku sangat mengenal bau khas minyak wangi ini.
Hidungku terus mengendus aroma minyak wangi ini. Ya, aku ingat, aroma ini yang sempat tercium olehku di kemeja juga jasnya Bang Surya. Tak salah lagi.
Hatiku berdesir nyeri membayangkan Sonia sedang bergelayut manja di dada suamiku. Kuhirup nafas berat lalu menghembuskannya, tapi bukti ini belum terlalu kuat. Bisa saja Bang Surya dan Sonia memiliki minyak wangi yang sama.
Netraku kemudian tertuju pada lemari pakaian Sonia yang terbuka nan berantakan. Kuhampiri lemari itu, siapa tau disana ada bukti yang lebih kuat. Kusentuh dan mulai memilah-milah tumpukan pakaiannya yang sedikit berantakan dan betapa terkejutnya aku. Ada satu lembar pil KB yang terselip diantara tumpukan pakaiannya Sonia.
Bukankah ia masih gadis? Jantungku berdegup tak beraturan, penuh tanya, untuk apa Sonia menyimpan benda ini?.
Kumasukkan Pil KB ini kedalam kantong bajuku, untuk apa? Entahlah aku pun tak tahu.
"Derrrrrt! Derrrrrt!"
Ponselku berbunyi, ada panggilan masuk dari Zylan. Kutekan tombol warna hijau.
"Halo, Zy!"
"Halo, Rah. Aku mau tanya kenapa suamimu dan Sonia ga pergi ke Kantor ya?"
Jantungku semakin berdegup dengan kencang mendengarnya. Jika mereka tak pergi Kantor, lantas ada di mana mereka saat ini?
Dengan bibir bergetar aku kembil berkata, "Tadi pagi mereka berangkat berdua kok, Zy, kenapa bisa ga ada ya?"
"Oh, begitu. Yasudah siapa tahu mereka mampir dulu ke suatu tempat 'kan? udah dulu ya, Rah, aku banyak kerjaan, bye."
Sambungan telepon telah dimatikan oleh Zylan, dadaku semakin berdegup kencang, perasaanku mengatakan bahwa memang benar mereka ada hubungan spesial, dan Pil KB ini memang milik Sonia, guna untuk mencegah kehamilannya ketika berhubungan dengan suamiku. Tubuhku terasa lunglai kemudian limbung terjatuh ke lantai, kusandarkan kepala ke sisi ranjang, ini tidak mungkin!
Kuhembuskan nafas pelan lalu menutup wajah dengan kedua tanganku seraya membungkuk. Saat membuka mata, aku terperangah melihat celana dalam suamiku ada di pojokan kamar ini. Mengapa benda yang menurutku sangat privasi ini ada di kamar Sonia?
Kuraih benda itu lalu mengamatinya secara seksama, memang betul ini celana dalam milik suamiku. Astaghfirullah! Apakah suamiku telah tidur dengan Sonia? Dadaku semakin sesak, kurogoh ponsel dalam saku celana kemudian menelpon Bang Surya.
Teleponku diangkat.
"Ha-halo, Bang. Apa abang ada di Kantor?" tanyaku dengan gemeteran.
"Iya, Sayang. Dari pagi Abang di kantor, emang kenapa?" jawabnya enteng.
Rupanya kau membohongiku, Bang! Dia tidak tahu saja ada sepasang mata yang selalu mengawasi gerak-geriknya. Keterlaluan kalian!
"Oh yasudah, aku cuma pengen mastiin aja. kamu lagi sibuk ya?" tanyaku berusaha setenang mungkin.
"Lumayan sibuk sih," jawabnya cuek.
"Yasudah kalau gitu. Nelponnya udahan aja ya, bye." Aku lalu mematikan telepon.
Aku harus tetap tenang, tak boleh panik. Jika ia secara licik berkhianat di belakangku, maka aku pun akan secara licik pula membalasnya.
Lalu, Sonia!!! Tega-teganya kamu merusak rumah tangga kakakmu sendiri!
Sudah kuputuskan hari ini akan ke kantor, aku akan tunggu Bang Surya disana. bergegas aku menelpon Shanaz_kakakku-- yang kebetulan belum memiliki buah hati."Assalamualaikum, Dek," ucap Kak Shanaz di sebrang sana."Waalaikumsalam, Kak. Hari ini aku mau ke kantor, tolong kakak jemput Carla ya di sekolahnya," pintaku"Bukannya urusan kantor sudah kamu serahkan sama Surya ya?"memang betul semenjak lahirnya Carla aku menyerahkan perusahaan yang aku bangun itu pada suamiku, tapi sekarang aku ragu."Emmm ... iya tapi ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan di kantor, Kak," jawabku gugup. Untuk saat ini aku akan merahasiakan ini dahulu pada keluargaku."Oh, yasudah. Nanti kakak jemput Carla di sekolahnya kalau gitu." hatiku lega mendengar kakakku mau membantu.Sekarang aku tengah siap-siap memakai pakaian kantoran, entah kapan terakhir kali aku memakai pakaian ini. Semenjak Perusahaan di pegang oleh Bang Surya sepe
"Sonia ... ini demi kebaikan bersama."Aku kembali membujuknya selembut mungkin."Kalau kakak ngerasa aku menjadi beban disini bilang saja, Kak. tak usah banyak berkilah," ucapnya seraya berdiri dan menatap tajam padaku.Sepertinya ia marah, kucoba mengontrol rasa agar terlihat setenang mungkin. Aku tak boleh terlihat emosi."Bukan begitu, Sonia ....""Sudahlah, aku berangkat dulu, aku fikir-fikir dulu!" selanya memotong ucapanku kemudian ia beranjak keluar rumah dan duduk di bangku teras, mungkin sedang menunggu Bang Surya."Tuh 'kan, Dek. Sonia jadi marah," sahut Bang Surya dengan tatapan tak suka."Emang kenapa kalau Sonia marah, kok kamu kaya gelisah gitu sih? aneh kamu, Bang!" jawabku seraya mendelikan mata, nampak ia belingsatan tetapi berusaha setenang mungkin di hadapanku."Ya sudah Abang berangkat sekarang," balasnya seraya beranjak.Nampak raut wajah gelisah, ia berjalan setengah berlari, ak
Mereka gelagapan, karena kesal aku kembali menggebrak meja, mereka tersentak kaget."Ga ngapa-ngapain, Dek. Barusan Abang mau ambil minum, eh ada Sonia duduk disini. Abang cuma nanya aja kenapa tadi dia pulang larut," jawabnya santai, sedangkan Sonia ia tampak acuh. Ingin aku membicarakan soal kepulangannya ke kampung. Namun, sebelum membuka mulut ia sudah dahulu melenggang meninggalkan kami berdua tanpa kata. Benar-benar tak punya sopan santun Tak mengapa akan aku tanyakan esok pagi. Setelah mengisi air kedalam gelas berukuran besar, kembali aku melangkah menuju kamar, Bang Surya mengekor di belakang seraya menggaruk-garuk kepalanya. Tiba di pembaringan, aku kembali tidur membelakangi Bang Surya, menarik selimut hingga menutupi leher, sakit, sedih, kecewa juga marah bercampur jadi satu, tak terasa air mataku meleleh, karena mendengar suara sesenggukan, Bang Surya menyapaku, "Dek, kamu nangis? kenapa?" Ia bertanya seraya mengguncangkan pelan bahuku. Aku diam, malas rasanya untuk
Tanpa berfikir aku menelpon Bang Surya ... tak diangkat, lalu aku menelpon Sonia, namun tidak aktif rupanya aku kecolongan lagikemana mereka?*Aku terus menelpon Bang Surya berkali-kali ... diangkat."Halo, Bang kamu dimana?" ucapku diiringi dengan degupan jantung yang tak menentu."Di-di jalan ... sudah ya Abang lagi nyetir," jawabnya kemudian panggilan terputus.Geram, kulemparkan ponsel ke sofa lalu memijat-mijat kening sambil mondar-mandir."Mama kenapa?" Carla bertanya menghampiri."Mama ga papah," jawabku seraya bersimpuh mengimbanginya. Ia pasti resah melihat tingkahku barusan.Aku masuk kamar melangkah dengan lunglai, kupandang photo pernikahanku dan Bang Surya, aku tersenyum begitupun dengannya, siapa yang menyangka jika kebahagiaan kami akan sirna oleh orang ketiga, dan yang lebih membuatku teriris adikku lah orang ketiga itu.Adzan Ashar berkumandang gegas aku mengambil air wudhu, langkahku terhenti karena mendengar deru mobil Bang Surya, aku melangkah cepat menghampiriny
Suasana alun-alun kota nampak ramai, banyak pedagang kaki lima berjejer rapi dengan aneka ragam jajanan yang menggiurkan. Tak lupa aku pun mengabadikan kebersamaan kami dalam bentuk vidio singkat dan photo, lalu kuunggah semuanya ke story Whatsapp, dan lima menit kemudian terlihat Sonia melihat semua photo dan vidio kemesraan kami bertiga, hihi ia pasti tengah terbakar api cemburu, semoga saja di rumah tak terjadi kebakaran.Derrrrrt! Derrrrrt! Ponsel Bang Surya terus berdering, itu pasti panggilan dari Sonia tapi, bukan Sarah namanya kalau tidak membalas kecurangan dengan licik, kurampas paksa ponsel Bang Surya lalu merijek panggilan Sonia dan mematikan ponselnya."E-eh kenapa diambil, Dek?itu telpon dari siapa?" Ia terlihat khawatir."Dari nomor ga dikenal, paling orang iseng. Udahlah kita lagi bersama jadi nikmati kebersamaan ini tanpa ada gangguan dari orang lain," jawabku tegas, terlihat ia menghela nafas. Ada raut gelisah dari wajahnya.Ketika menghadapi pelakor tak harus selal
"Bang!" Ia terperanjat mendengar gertakanku. "Eem i-iya, tadi dia lari sambil nangis ga tau kenapa makanya abang cekal tangannya, maksud Abang mau tanya dia kenapa nangis gitu lho," jawabnya sedikit gelagapan. Pecundang banget kamu, Bang. Berani berselingkuh di belakangku tapi tak berani untuk mengakuinya, apa mungkin ia belum siap hidup miskin kembali? jika tanpa aku Bang Surya masih jadi karyawan biasa seperti tempo hari, dia hanya beruntung saja menikah denganku bisa berubah jadi bos secara tiba-tiba. Bukan hanya hidupnya saja yang enak tapi kehidupan keluarganya pun terjamin karena uangku. "Sonia, kamu 'kan lagi beres-beres kok ditinggalin gitu aja sih kerjaannya," ucapku dengan ketus. Sonia tak menanggapi ia berlari menuju kamarnya dengan derai air mata. Dibantingnya pintu kamar dengan keras, Bang Surya nampak kebingungan, mungkin kalau aku tak ada disini ia pasti sudah membujuk dan merayu kekasih gelapnya itu dengan mesra. "Lihat, Dek, Sonia marah gara-gara kamu suruh ber
Sampai di pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta, aku memiliih-milih pakaian yang indah nan mahal walau sebenarnya aku tak sedang membutuhkannya. Bang Surya disibukkan oleh Carla sementara Sonia ia bagaikan patung berjalan mengikuti langkahku kemanapun aku menuju. "Kak aku pegel," ungkap Sonia kesal, wajahnya merenggut tanda tak nyaman. "Satu toko lagi, sabar," jawabku sambil melenggang, terpaksa ia pun mengikuti. Tanganku terus menggandeng Bang Surya, sementara Carla berdiri beriringan tak jauh dengan kami. Dan Sonia berjalan di belakang mengekor, kudengar beberapa kali dia mendengus kesal tapi tak kuhiraukan. Sebisa mungkin aku berpura-pura romantis di hadapan Sonia, pasti dia terbakar api cemburu, untung ga jadi abu tuh hati. Memasuki toko pakaian netra Sonia tertuju pada sebuah lingerie merah, ia pasti menginginkan lingerie itu, tak mau kalah lekas aku meraih lingerie merah itu lalu mencocokannya ke tubuhku. "Bagus ga, Bang?" Bang Surya mengukir senyum secara paksa, "Bagus
Bab 8Kuputuskan untuk mengajak Carla ke kamarnya, tak mengapa untuk saat ini kalian berdua selamat, di lain waktu aku berjanji akan memergoki mereka jika perlu di hadapan seluruh keluarga besar kami, agar semua anggota keluarga tau dan secara terang-terangan membenci mereka. Kutuntun Carla melalui pembaringan lalu mendekapnya dengan erat.Air mata meleleh kembali mengingat apa yang barusan mereka lakukan, beraninya mereka berlaku semesra itu di rumahku. Selama ini aku berusaha menjadi istri yang baik dimatanya, bahkan aku serahkan perusahaan pada Bang Surya untuk menjunjung harga dirinya sebagai kepala tumah tangga.Dari segi fisik aku tak kalah menarik dari Sonia hanya saja tubuhku tinggi kurus tak seperti Sonia yang sedikit berisi, aku hanya unggul dari warna kulit saja, kulitku putih seperti ayah. Sedangkan Sonia kulitnya sawo matang seperti ibu, usiaku dan Sonia terpaut empat tahun.Carla telah terlelap dan suara petir tak lagi terdengar, perlahan aku menidurkan kepalanya ke ban