Share

Bab 5.A

Tanpa berfikir aku menelpon Bang Surya ... tak diangkat, lalu aku menelpon Sonia, namun tidak aktif rupanya aku kecolongan lagi

kemana mereka?

*

Aku terus menelpon Bang Surya berkali-kali ... diangkat.

"Halo, Bang kamu dimana?" ucapku diiringi dengan degupan jantung yang tak menentu.

"Di-di jalan ... sudah ya Abang lagi nyetir," jawabnya kemudian panggilan terputus.

Geram, kulemparkan ponsel ke sofa lalu memijat-mijat kening sambil mondar-mandir.

"Mama kenapa?" Carla bertanya menghampiri.

"Mama ga papah," jawabku seraya bersimpuh mengimbanginya. Ia pasti resah melihat tingkahku barusan.

Aku masuk kamar melangkah dengan lunglai, kupandang photo pernikahanku dan Bang Surya, aku tersenyum begitupun dengannya, siapa yang menyangka jika kebahagiaan kami akan sirna oleh orang ketiga, dan yang lebih membuatku teriris adikku lah orang ketiga itu.

Adzan Ashar berkumandang gegas aku mengambil air wudhu, langkahku terhenti karena mendengar deru mobil Bang Surya, aku melangkah cepat menghampirinya, akan aku hujam ia dengan pertanyaan yang bertubi.

"Dari mana, Bang? aku melipat tangan di dada dan menyenderkan punggung ke pintu.

Ia tersenyum menghampiri.

"Abang dari kantor, Dek. Kok nanya gitu?" jawabnya santai tanpa rasa bersalah.

"Jangan bohong kamu, Bang! Tadi Zylan menelponku kalau kalian tak ke kantor selepas istirahat, apa Abang terbiasa begitu setiap hari?" Aku bertanya penuh penekanan

Bang Surya terlihat menelan salivanya, sedangkan Sonia  berdiri mematung. Ia seperti ingin melangkah masuk ke dalam tapi tubuhku menghalangi mencegatnya.

"Jawab, Bang! ... kamu pergi berduaan dengan Sonia itu akan menimbulkan fitnah, kalian itu bukan mahrom, ingat!" Intonasi suaraku mulai meninggi kali ini.

Biarlah aku dibilang istri yang kasar atau apapun, untuk apa bersikap lemah lembut lagi pada suami penghianat dan pecundang sepertinya. Ia menatapku tajam mungkin kaget dengan perangaiku, karena selama ini aku selalu bersikap berlemah lembut padanya.

"Abang abis bawa Sonia ke klinik, Dek. Kamu kok sama adik sendiri curiga. Kamu jangan termakan oleh omongan orang lain, Dek," jawabnya seraya mengguncangkan bahuku. Namun secepat kilat aku menepisnya.

Netraku beralih menatap Sonia, wajahnya pucat memang seperti orang yang tengah sakit. Dan tidak hanya itu ia pun membawa satu kantong kecil transparan berisi obat-obatan. Merasa risih aku perhatikan, ia pun melenggang dari hadapanku menuju kamarnya, langkahnya terhenti seraya sebelah tangannya memegang mulut dan tangan yang lain memegang perut.

Hoooeekk! Hoooeekk! 

Ia berlari menuju westafel. Netraku beralih menatap Bang Surya.

"Sonia sakit apa?" Aku bertanya dengan tatapan menyelidik. Ia tak berani menatap mataku lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Asam lambung," jawabnya datar, kemudian melangkah masuk meninggalkanku.

Aku tak menghiraukan Bang Surya, gegas aku menemui Sonia.

"Sakit apa kamu?" tanyaku ketus.

"Asam lambung," jawabnya sambil menunduk. Kutatap ia dengan tajam. Ingin sekali aku menghajarnya habis-habisan tapi tak mungkin, ia adalah adikku. Ketika kecil aku yang mengasuh dan menjaganya, aku pula yang membiayai kuliahnya selama ini, kadang aku berharap bahwa ini semua hanyalah salah faham, dan kita bisa harmonis lagi seperti dulu selayaknya saudara kandung.

Sonia berubah menjadi liar semenjak aku sukses, karena ibu selalu membangga-banggakan aku dihadapannya atau pun di hadapan orang lain, mungkin terbesit iri dalam hatinya, karena Sonia tak sepintar dan sepandai aku. Ibu juga yang memaksa Sonia untuk kuliah di luar negeri, 'biar keren' dan biar pinter sepertiku yang sudah sukses mendirikan sebuah perusahaan katanya. Karena ibu memaksa akhirnya Sonia pun menyetujui dan menempuh pendidikannya di Korea.

"Yasudah obatnya diminum," sahutku seraya beranjak menuju kamar.

Saat makan malam tiba, kami semua berkumpul di meja makan, nampak Sonia termenung menatap makanan yang tersaji dengan tatapan tak suka. Sengaja aku memasak makanan yang tak ia sukai seperti ikan asin, sambal, lalapan, tahu dan tempe agar ia merasa tak betah di rumah ini.

"Sonia ayok makan!" cetus Bang Surya

"Aku ga suka makanan kaya gini," jawabnya dengan cemberut. 

"Kenapa ga suka, kamu harusnya bersyukur bisa makan, lihat di luaran sana banyak orang yang sedang kelaparan," ungkapku dengan tegas, nampak wajahnya merenggut mendengar ucapanku yang agak ketus.

"Emang kamu maunya makan apa?" tanya Bang Surya sambil menghentikan suapan makanannya.

Terbesit cemburu dalam hati menyaksikan kemanjaan Sonia di hadapan suamiku sendiri, aku bisa saja mendesak mereka berdua untuk mengakui hubungan gelapnya, tapi terlebih dahulu aku ingin menyadarkan Sonia bahwa jangan coba-coba merenggut kebahagiaan orang lain apalagi itu terhadap saudara kandung sendiri, jika ia sadar ya bagus, tapi jika tidak ia harus siap dengan segala konsekuensinya, aku bukan wanita bodoh yang tidak menimbang segala keputusan dengan bijak. Masalah besar di perusahaan saja bisa aku atasi, masa urusan seperti ini tak bisa aku atasi.

"Aku mau bubur ayam," jawabnya manja.

"Ya sudah kalau gitu kamu beliin, Bang. Tapi, aku dan Carla ikut ya, sekalian jalan-jalan malam," sahutku, nampak Sonia semakin cemberut. 

Sengaja  membuatnya cemburu bukan karena ingin bersaing dengannya ataupun karena aku bucin pada Bang Surya, tapi aku ingin dia sadar saja bahwa yang ia rusak itu sebuah keluarga yang harmonis.

"Iya, Pa, setelah makan kita brangkat, ini 'kan malam minggu, di alun-alun kota pasti rame," ujar Carla, ia nampak senang diajak jalan-jalan walau bukan ke tempat yang spesial.

"iya-iya, ya udah cepetan makannya," jawab Bang Surya seraya melirik sekilas kearah Sonia. Dia pasti merasa tak enak pada kekasih gelapnya itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
syamsinar 70
istri zaman batu ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status