Mereka gelagapan, karena kesal aku kembali menggebrak meja, mereka tersentak kaget.
"Ga ngapa-ngapain, Dek. Barusan Abang mau ambil minum, eh ada Sonia duduk disini. Abang cuma nanya aja kenapa tadi dia pulang larut," jawabnya santai, sedangkan Sonia ia tampak acuh.Ingin aku membicarakan soal kepulangannya ke kampung. Namun, sebelum membuka mulut ia sudah dahulu melenggang meninggalkan kami berdua tanpa kata. Benar-benar tak punya sopan santunTak mengapa akan aku tanyakan esok pagi. Setelah mengisi air kedalam gelas berukuran besar, kembali aku melangkah menuju kamar, Bang Surya mengekor di belakang seraya menggaruk-garuk kepalanya.
Tiba di pembaringan, aku kembali tidur membelakangi Bang Surya, menarik selimut hingga menutupi leher, sakit, sedih, kecewa juga marah bercampur jadi satu, tak terasa air mataku meleleh, karena mendengar suara sesenggukan, Bang Surya menyapaku,"Dek, kamu nangis? kenapa?" Ia bertanya seraya mengguncangkan pelan bahuku.Aku diam, malas rasanya untuk menjawab."Dek, kok diem. Kamu nangis karena lihat Abang dan Sonia ya barusan?" ia bertanya lagi dengan polosnya.Kau fikir aku bodoh, Bang. Tak mengetahui kebusukanmu, aku terus menangis sesenggukan, tak menghiraukan ucapannya."Dek, maafin Abang, kalau Abang punya salah," ungkapnya seraya memelukku dari belakang, aku masih diam, sakit rasanya.Tak lama aku mendengar suara dengkurannya, rupanya ia bisa tertidur pulas setelah menghancurkan hati dan kepercayaanku, kemudian aku menyingkirkan tangannya yang bertumpu diatas pinggangku.Ia menggeliat dan sedikit bergumam kemudian kembali melanjutkan tidurnya membelakangiku.
Hingga menjelang waktu subuh mataku belum juga terlelap, masih ada waktu satu jam untuk aku melangsungkan shalat tahajud,.dengan tertatih aku bangun dari pembaringan, menahan rasa sakit kepala yang terasa berdenyut, aku melangkah untuk mengambil wudhu.Kugelar sajadah diatas lantai, mengenakan mukena, dengan niat dalam hati kemudian mengucap takbir ... Selesai sholat tahajud dan witir, aku mengucap banyak istighfar dengan mata terpejam, mencoba mencari kekuatan dan ketenangan dengan mengingat allah, meski mataku terpejam tapi air mataku meleleh menganak sungai, aku semakin terisak membayangkan rumah tanggaku yang sedang di ujung tanduk, diambang kehancuran. Dirasa cukup banyak melafalkan kalimat permohonan ampunan itu, aku kembali melantukan dzikir mengagungkan sang pencipta, setelah itu melafalkan Shalawat kepada Rasul kita Muhammad Shalaallahu a'laihi wasallam. Lalu mengangkat tangan berdoa, memohon petunjuk dan jalan keluar atas masalah yang mendera rumah tanggaku, aku adukan semua pada sang pencipta yang bersemayam di atas arsy.Lama aku mengadukan segala keluh kesahku, setelah dirasa puas, aku gegas meraih Al-Qur'an yang tersusun rapi di rak buku-buku. Kubuka lembaran demi lembaran Al-Qur'an secara acak kemudian membacanya dengan tartil, setelah itu aku membaca terjemahan dari ayat yang kubaca,"Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Qs Al Anbiya’: 35)Aku merenung, mungkin yang terjadi padaku merupakan sebuah ujian yang harus aku jalani dengan penuh kesabaran, luar biasa baru membaca satu ayat disertai membaca terjemahannya pun hatiku merasa tenang, beban yang bertumpuk di kepala seakan telah lenyap. Al-Qur'an memang obat dari segala kegalauan dan kegundahan hati.Dengan penuh semangat aku kembali melanjutkan lantunan ayat suci Al-Qur'an ini, hingga adzan Subuh berkumandang. Dengan sudut mata aku melihat Bang Surya tengah duduk memperhatikanku, entah sejak kapan ia terbangun saking khusyuknya, sampai tak menyadari ada sepasang mata yang sedang memandangku sejak tadi.Netraku menatapnya, rambut acak-acakan dan ia tersenyum ke arahku. Entah mengapa setelah membaca Al-Qur'an hatiku merasa tenang, rasa sakit dan Amarah seakan sirna begitu saja, aku pun tersenyum membalasnya."Salat subuh yuk, kita salat berjamaah diluar hujan jadi sholatnya di rumah aja," lirihku, kemudian ia beranjak dari tempat tidur untuk mengambil air wudhu.Ia kembali dengan wajah yang segar juga tetesan-tetesan air yang menetes dari rambut halusnya. Bang Surya menggelar sajadah di hadapanku, rasanya sudah lama kami tidak melangsungkan shalat berjamaah.Tak lama kami pun selesai melangsungkan ibadah Subuh itu, aku melipat mukena juga sajadah kemudian memyimpannya kedalam lemari, setelah itu bergegas menuju dapur meninggalkan Bang Surya yang masih khusyu melantunkan dzikir, untuk memasak nasi goreng komplit kesukaan Carla dan Bang Surya.Nasi goreng telah tersaji lengkap dengan telur dadar, teh manis juga segelas susu untuk Carla. Tak menunggu lama Bang Surya dan Carla menghampiri, kami bergantian menyendokkan nasi kedalam piring, setelah itu Sonia keluar dari kamarnya, ia juga menghampiri kami untuk sarapan pagi.Untuk memulai kata aku meminum seteguk air."Sonia, jadi kapan kamu akan pulang kampung?" sontak nasi yang akan disuapkan ke mulutnya pun ia letakkan kembali keatas piring. Ia diam, nampak sedang berfikir. aku kembali menyendok nasi lalu menyuapkan kedalam mulut, menunggu jawaban yang keluar dari mulutnya."Sonia!" kembali aku menyapanya.la menatap Bang Surya kemudian netranya bergulir mentapku,"Minggu depan, aku akan pulang kampung sendiri, kakak tenang aja," jawabnya datar.
Saat Sonia ingin beranjak, aku mencegatnya, ia melirik, "kenapa?""Mulai sekarang kamu ga usah pergi ke kantor lagi. Dirumah aja bantu kakak dan Mbok Minah beres-beres, 'kan sebentar lagi kamu mau pulang kampung," ungkapku setenang mungkin.Ia pun kembali duduk. "Ini hari terakhirku dikantor, Kak. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan dulu sekarang.""Iya, Dek. Biarkan hari ini Sonia ke kantor," ucap Bang Surya santai."Tapi, Bang ....""Sudahlah, Dek. Jangan persulit pekerjaan Abang, biarkan Sonia ke kantor untuk yang terakhir kalinya, masa dia minggat gitu aja tanpa pamit dengan rekan-rekan di kantor," ucapnya lagi, kali ini intonasi suaranya sedikit meninggi."Kok kamu malah marah-marah sih, Bang. Biasa aja kali, yasudah kalau kalian maksa terserah, tapi besok Sonia sudah di rumah. Harus belajar kamu jadi perempuan jangan males, suatu saat kamu bakal jadi seorang istri," jawabku dengan sedikit emosi.Tak apa untuk yang terakhir kali mereka bisa menghabiskan waktu tanpa kehadiranku di kantor, akan aku suruh Zylan mengatasi mereka berdua. Sonia beranjak tanpa kata dan tanpa sarapan, terserah mau dia benci atau marah padaku itu tak masalah, yang terpenting dia harus segera enyah dari rumahku. Dan aku akan lihat kedepannya seperti apa kelanjutan hubungan gelap mereka.Jika mereka memutuskan hubungan dan saling melupakan itu bagus, aku bisa pertimbangkan untuk menerima Bang Surya kembali, tetapi jika hubungan gelap itu tetap berlanjut maka aku akan bertindak tegas, tak apa aku yang mengalah dan menggugat cerai sendiri ke pengadilan, semua bukti perselingkuhannya sudah ku kantongi.Setelah makanannya habis, ia berpamitan pada Carla, mencium keningnya tak lupa Carla pun mencium takzim tangan papanya. Kemudian ia melirikku dan menyodorkan tangan, aku pun mencium tangannya dengan malas. Ia pergi tanpa mengucap salam.Aku menatap punggungnya yang mulai menjauh, oh tidak, mereka tak boleh berangkat bersama. Ahaa, aku ada ide.
"Bang, Tunggu!" mereka pun urung untuk memasukki mobil. Sonia menatapku dengan tajam, pasti dia sedang kesal. "Apa?" ia berteriak dengan cemberut."Bang, anterin Mbok Minah ke pasar, tadi subuh aku pesen daging ke Mang Udin. Dia mau balik katanya, jadi pesenanku harus di ambil sekarang ... ya, Bang anterin," ucapku memelas. kemudian Mbok Minah menghampiri kami.Nampak Sonia merenggut, Enak saja mau berduaan di dalam mobil."Ayok, Bang, cepetan nanti mang Udin nya keburu pulang lagi ... biar Sonia naik taxi aja terus nanti jangan langsung ke kantor, Bang. Tungguin si Mbok dulu belanja keperluan dapur, abis itu anterin lagi pulang kesini, kasian kalau si Mbok naik angkot, belanjaannya banyak" Sonia terlihat kesal mendengar ucapanku, kemudian dia melenggang pergi jalan kaki.Akhirnya aku menang, Mbok Minah masuk ke mobil duduk di kursi belakang. karena pasar dan kantor arahnya berlawanan tentu saja, Sonia tidak bisa menumpang.Satu jam lebih Mbok Minah kembali dengan menenteng belanjaan, aku menyuruhnya untuk ke dapur. Dan setelah ini aku akan menemani Carla muroja'ah hafalan Al-Qur'annya.Adzan Dzuhur berkumandang, sebelum melaksanakan shalat, gegas aku mengirimkam pesan pada Zylan mata-mataku itu.[Zy, Bang Surya dan Sonia ada di kantor 'kan?] send.Tak lama ia membalas,[Ada kok, cuman Surya berangkatnya telat, biasanya 'kan barengan] a
Aku tersenyum simpul membaca balasan pesan Zylan.[Trus awasi mereka. Buat Sonia sesibuk mungkin supaya ga ada waktu buat berduaan dengan Bang Surya] balasku lagi.[Ga usah di suruh, dari pagi juga dia udah sibuk sendiri] balasnya lagi disertai emotikon tertawa di ujung pesannya.Lega rasanya, sebelum Bang Surya berkata jujur, sebisa mungkin aku akan mempersempit peluangnya untuk bersama-sama.Pukul setengah tiga Zylan kembali mengirimkan pesan padaku.[Rah, Surya dan Sonia kok belum balik ke kantor lagi ya, makan dimana ya tuh orang?]jantungku kembali berdegup beraturan.
tanpa berfikir aku menelpon Bang Surya ... tak diangkat. lalu aku menelpon Sonia, namun tidak aktif. Rupanya aku kecolongan lagi!Aku dan Daniel berpandangan lalu tersenyum haru."Benarkah, Dok, kalau istri saya hamil?" Daniel takjub tak percaya."Benar, Pak, tuh kantung janinnya sudah kelihatan, usianya baru lima minggu," ucap Dokter Ratih.Aku dan Daniel mengucap hamdalah sebagai bentuk rasa syukur, setelah enam bulan menanti akhirnya janin itu hadir di rahimku, membawa kebahagiaan baru.Apalagi Carla, sudah sejak lama ia merindukan seorang adik,tak kubayangkan bagaimana reaksinya jika ia mengetahui jika adik kecil yang didambakan akan hadir dalam waktu beberapa bulan ke depan.*"Sayang, terima kasih ya, sudah menghadirkan malaikat kecil untukku," ucapnya bahagia, kali ini aku sedang di dalam mobil menuju perjalanan pulang."Iya, sama-sama Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya Allah mengabulkan doa kita.""Iya, Sayang, oh ya kita ke rumah kamu dulu yuk, keluarga besar kamu harus tahu tentang kabar gembira ini," ucap Daniel antusias.Mobil pun berbelok menuju rumahku yang sekarang di tempati oleh keluarga besarku.T
Enam bulan berlalu, mahligai rumah tanggaku berjalan sempurna, kami bahagia walau belum kunjung memiliki buah hati.Ada Carla yang selalu menemani rasa sepi di relung hati suamiku, ia amat menyayangi anak tirinya bagaikan anak kandung, putriku juga merasa nyaman seolah Daniel adalah ayah kandungnya."Aku mau berangkat ya, Sayang, kamu ke kantor ga?" tanya Daniel duduk di tepi ranjang sedangkan aku masih terbaring di atas pembaringan karena sakit kepala yang berdenyut."Engga kayanya, aku pusing banget ini.""Ya sudah istirahat di rumah saja ya, 'kan di kantor ada Shanaz masa udah enam bulan belum faham juga."Ia begitu pengertian padaku, walau terkadang seluruh waktuku di habiskan di kantor menemani Kak Shanaz dan membimbingnya memimpin perusahaan.Semenjak perceraiannya dengan Kak Hadi, entah mengapa ia selalu menutup diri terhadap laki-laki, padahal di luar sana masih banyak yang mengantri meminangnya termasuk Izwan--pria yang pernah melabuhkan cintanya padaku--"Pusing kenapa emang
"Kok aku sih, menyentuhmu saja aku tak pernah, sudah jelas-jelas Joe yang sudah menyentuhmu, walaupun satu kali ya bisa saja langsung jadi, jangan ngaco kamu ya, sekarang cepat pergi dari sini." Nampaknya suamiku mulai meradang, jangankan Daniel akupun sama jengahnya menyaksikan sikap Safira yang tak bijak."Ayo kita pulang." Joe menarik paksa tangan Safira, beberapa kali wanita itu meronta, tapi tetap tak dihiraukannya.Setelah kepergian mereka Daniel nampak bernapas lega, ia menatapku dengan tersenyum."Terbukti 'kan, Sayang, kalau aku ini buka ayah dari bayi yang dikandung Safira," ungkapnya meyakinkanku."Iya aku percaya, tapi kok kamu bisa kenal Joe." pertanyaan ini yang begitu mengganjal sejak tadi.Ia terkikik. "Joe itu temenku, Sayang," jawabnya dengan santai."Jadii ... waktu itu Safira selingkuh sama temen kamu," jawabku lalu terkekeh, karena merasa lucu sekaligus kasihan.Ia nampak menghela napas pelan. "Ya gitu, coba kamu bayangkan Safira yang waktu itu masih kekasihku be
"Terus apa hubungannya dengan suamiku?" dengan mulut bergetar aku menanyakan hal itu."Ini anaknya Daniel, dia harus tanggung jawab," jawab Safira dengan isak tangis.Entah itu tangis sungguhan atau hanya kepura-puraan."Enak aja, aku tuh ga pernah menyentuhmu, jangan ngaku-ngaku ya," sanggah Daniel tak menerima.Aku diam membisu merasakan hati yang sakit bagai di tusuk pisau belati, mereka saling bersitegang saling mempertahankan argumennya."Tapi malam itu, apa kamu sudah lupa, Daniel," ucap Safira, yang membuat hatiku semakin sakit."Malam itu aku ga ingat apapun, Safira, mana mungkin bisa men**aulimu." Daniel masih bersikeras enggan mengakui benih yang tumbuh di rahim Safira.Sesak rasanya dada ini, baru saja kemarin kami berbahagia lalu sekarang, kebahagiaan itu harus terkoyak oleh seseorang yang pernah mengisi masa lalunya."Sayang, percaya sama aku, anak ini bukan benihku." Daniel menyentuh pergelangan tanganku, dan mencoba meraihnya. Namun, secepat kilat kutepis.Aku tak tahu
"Gini saja, pokoknya untuk sementara kalian di sini sampe Sonia sembuh, gimana? lagian aku sih ga masalah kalau tinggal di sini, justru bagus rumah ini ada yang nempatin.""Iya, Rah, Kakak setuju usul kamu kita di rumah ini sampe Sonia sembuh, oh ya soal tawaran kerja di kantor kamu Kakak menyanggupi," ujar Kak Shanaz yang membuatku merasa lega.Akhirnya perusahaanku berada di tangan yang tepat."Alhamdulillah, terima kasih ya, Kak, sudah mau bantu jangan khawatir nanti sesekali aku akan ke kantor kok bantu kakak," jawabku."Iya, pokoknya kita kelola usaha kamu bareng-bareng."Keputusan telah di tetapkan, dan semua barang telah terkemas rapi, Daniel dan Bapak membantu menaikkan barang-barangku ke dalam bagasi, setelah kami berpamitan akhirnya mobil Daniel membawaku dan Carla menuju rumahnya."Hati-hati ya, Kak," ucap Sonia dengan raut wajah kecewa.Entahlah apakah prasangka buruk ini benar atau salah, jika Sonia merasa kecewa karena berjauhan dengan suamiku, semoga saja ini hanya seke
"Sayang, Mas bantuin Sonia tadi jatoh dari kursi roda," ujar Daniel meyakinkan.Aku mengucapkan istighfar dalam hati, mata ini terpejam beberapa saat, lalu mencerna setiap prasangka buruk ini, tak seharusnya aku bersikap berlebihan."Sayang." Sapaan Daniel membuyarkan lamunan."I-iya, emang Sonia kenapa? kok bisa jatuh?" entahlah, logikaku sulit mencerna alasannya.Mengapa bisa jatuh? tak dapat dipungkiri hati ini memanas melihat mereka."Katanya mau ambil makanan di atas bupet itu, Sayang, dia berusaha berdiri terus jatoh," jawab Daniel dengan tenang, aku menelisik wajahnya memang tak nampak raut kebohongan.Mataku bergulir menatap Sonia ia nampak biasa saja tanpa menunjukkan rasa bersalah, apa mungkin aku saja yang terlalu berlebihan karena takut kejadian masa lampau aka terulang kembali?.Oh Tuhan, tolong yakinkan hati ini jika pernikahan kami akan baik-baik saja, kuharap rumah tangga kami takkan diuji oleh hadirnya orang ketiga, karena aku takkan sanggup bersabar ataupun bertahan.
Entah mengapa aku merasa risih dengan tingkahnya, ia tersenyum begitu hangatnya kepada Daniel, seolah bayang masa lalu kembali merasuk memoriku.Sonia tertunduk sekejap lalu kembali memamerkan senyumannya.Aku menyinduk nasi ke dalam piring beserta lauk pauknya. "Habisin ya," ujarku pada Daniel."Terima kasih istriku." Tanpa rasa malu ia ucapkan itu di hadapan seluruh keluargaku.Lagi-lagi pandanganku tertuju pada Sonia, ia mencebik kala Daniel berkata mesra kepadaku. Namun, dalam sekejap ia mampu menyembunyikan itu dari hadapan kami semua."Sarah, Daniel, kapan kalian bulan madu?" tanya Kak Shanaz.Beberapa detik kemudian Sonia nampak tersedak, tangannya dengan cepat meraih satu gelas air minum."Lho itu 'kan air minum suamiku," sanggahku tak terima karena ia mengambil gelas air minum yang tinggal setengah itu."Oh maaf-maaf, Kak, aku ga lihat dulu," jawabnya masih terbatuk.Seketika rasa kesal menyeruak ke dalam dada. Namun, tangan Daniel menggenggam erat jemariku memberikan sedikit
"Sayang kamu ok, 'kan?" tanya Daniel khawatir.Aku menganggukan kepala seraya tersenyum, senyum palsu tentunya, karena dalam hati merasa merana, ingin sekali menghajar perempuan itu habis-habisan."Nanti kita temui ya, Sayang, apa maunya dia kita tanya, kaya ga ada cowo lain aja masih tergila-gila sama aku." Ia mengempaskan dirinya ke atas pembaringan.Kemudian menarik tanganku hingga ke pelukannya. "Sabar ya, Sayang, ini ujian pernikahan kita, di depan sana masih ada ujian-ujian lainnya yang menanti, kita harus kuat, ok." Ia membisikkan itu ke telinga.Mendengarnya hati yang sebelumnya memanas kini berubah menjadi sejuk, betul apa katanya setiap biduk rumah tangga takkan lepas dari ujian, tinggal bagaimana kita menghadapinya apakah akan bersabar ataukah sebaliknya."Semoga kita di berikan kekuatan ya, untuk menjalani semuanya," jawabku seraya mengelus pipinya.Ia meraih tanganku lalu mengecupnya, lepas itu ia tersenyum sambil memandang wajahku mesra."Aku mau kamu jadi istriku seutuh
Sarapan telah usai, aku sibuk merapikan barang-barang karena hendak pulang ke rumah, rasanya segan untuk menginap lama-lama, aku takut jika Carla sedang menanti kedatanganku di rumah sana."Jadi kita mau pulang sekarang?" Daniel seolah masih ingin berlama-lama di tempat ini."Iya, Sayang, kita pulang dulu setelah itu kamu bebas mengajak aku ke manapun." Ia membawa tubuh ini ke dalam dekapannya."Serius?" "Duarius, kita temui Carla dulu ya, takut dia lagi nungguin." Dalam hati aku tak ingin terlena sendiri dalam merasakan kebahagiaan ini, karena di sana ada seorang putri yang menanti kasih sayang kami.Jika aku bahagia maka putri kecilku harus merasa bahagia, jangan sampai ia merasa terabaikan karena kami terlalu sibuk memadu kasih.Beberapa menit kemudian mobil milik Daniel melaju membelah jalanan, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemariku, sedangakan sebelah tangannya di gunakan untuk menyetir."Horee Mama dan Papa sudah pulang," teriak bocah kecil itu dengan girangnya, lalu s