Share

Bab 4

Mereka gelagapan, karena kesal aku kembali menggebrak meja, mereka tersentak kaget.

"Ga ngapa-ngapain, Dek. Barusan Abang mau ambil minum, eh ada Sonia duduk disini. Abang cuma nanya aja kenapa tadi dia pulang larut," jawabnya santai, sedangkan Sonia ia tampak acuh.

Ingin aku membicarakan soal kepulangannya ke kampung. Namun, sebelum membuka mulut ia sudah dahulu melenggang meninggalkan kami berdua tanpa kata. Benar-benar tak punya sopan santun

Tak mengapa akan aku tanyakan esok pagi. Setelah mengisi air kedalam gelas berukuran besar, kembali aku melangkah menuju kamar, Bang Surya mengekor di belakang seraya menggaruk-garuk kepalanya. 

Tiba di pembaringan, aku kembali tidur membelakangi Bang Surya, menarik selimut hingga menutupi leher, sakit, sedih, kecewa juga marah bercampur jadi satu, tak terasa air mataku meleleh, karena mendengar suara sesenggukan, Bang Surya menyapaku,

"Dek, kamu nangis? kenapa?" Ia bertanya seraya mengguncangkan pelan bahuku.

Aku diam, malas rasanya untuk menjawab.

"Dek, kok diem. Kamu nangis karena lihat Abang dan Sonia ya barusan?" ia bertanya lagi dengan polosnya.

Kau fikir aku bodoh, Bang. Tak mengetahui kebusukanmu, aku terus menangis sesenggukan, tak menghiraukan ucapannya.

"Dek, maafin Abang, kalau Abang punya salah," ungkapnya seraya memelukku dari belakang, aku masih diam, sakit rasanya.

Tak lama aku mendengar suara dengkurannya, rupanya ia bisa tertidur pulas setelah menghancurkan hati dan kepercayaanku, kemudian aku menyingkirkan tangannya yang bertumpu diatas pinggangku.

Ia menggeliat dan sedikit bergumam kemudian kembali melanjutkan tidurnya membelakangiku.

Hingga menjelang waktu subuh mataku belum juga terlelap, masih ada waktu satu jam untuk aku melangsungkan shalat tahajud,.dengan tertatih aku bangun dari pembaringan, menahan rasa sakit kepala yang terasa berdenyut, aku melangkah untuk mengambil wudhu.

Kugelar sajadah diatas lantai, mengenakan mukena, dengan niat dalam hati kemudian mengucap takbir ... 

Selesai sholat tahajud dan witir, aku mengucap banyak istighfar dengan mata terpejam, mencoba mencari kekuatan dan ketenangan dengan mengingat allah, meski mataku terpejam tapi air mataku meleleh menganak sungai, aku semakin terisak membayangkan rumah tanggaku yang sedang di ujung tanduk, diambang kehancuran. 

Dirasa cukup banyak melafalkan kalimat permohonan ampunan itu, aku kembali melantukan dzikir mengagungkan sang pencipta, setelah itu melafalkan Shalawat kepada Rasul kita Muhammad Shalaallahu a'laihi wasallam. Lalu mengangkat tangan berdoa, memohon petunjuk dan jalan keluar atas masalah yang mendera rumah tanggaku, aku adukan semua pada sang pencipta yang bersemayam di atas arsy.

Lama aku mengadukan segala keluh kesahku, setelah dirasa puas, aku gegas meraih Al-Qur'an yang tersusun rapi di rak buku-buku. Kubuka lembaran demi lembaran Al-Qur'an secara acak kemudian membacanya dengan tartil, setelah itu aku membaca terjemahan dari ayat yang kubaca,

"Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Qs Al Anbiya’: 35)

Aku merenung, mungkin yang terjadi padaku merupakan sebuah ujian yang harus aku jalani dengan penuh kesabaran, luar biasa baru membaca satu ayat disertai membaca terjemahannya pun hatiku merasa tenang, beban yang bertumpuk di kepala seakan telah lenyap. Al-Qur'an memang obat dari segala kegalauan dan kegundahan hati.

Dengan penuh semangat aku kembali melanjutkan lantunan ayat suci Al-Qur'an ini, hingga adzan Subuh berkumandang. Dengan sudut mata aku melihat Bang Surya tengah duduk memperhatikanku, entah sejak kapan ia terbangun saking khusyuknya, sampai tak menyadari ada sepasang mata yang sedang memandangku sejak tadi.

Netraku menatapnya, rambut acak-acakan dan ia tersenyum ke arahku. Entah mengapa setelah membaca Al-Qur'an hatiku merasa tenang, rasa sakit dan Amarah seakan sirna begitu saja, aku pun tersenyum membalasnya.

"Salat subuh yuk, kita salat berjamaah diluar hujan jadi sholatnya di rumah aja," lirihku, kemudian ia beranjak dari tempat tidur untuk mengambil air wudhu.

Ia kembali dengan wajah yang segar juga tetesan-tetesan air yang menetes dari rambut halusnya. Bang Surya menggelar sajadah di hadapanku, rasanya sudah lama kami tidak melangsungkan shalat berjamaah.

Tak lama kami pun selesai melangsungkan ibadah Subuh itu, aku melipat mukena juga sajadah kemudian memyimpannya kedalam lemari, setelah itu bergegas menuju dapur meninggalkan Bang Surya yang masih khusyu melantunkan dzikir, untuk memasak nasi goreng komplit kesukaan Carla dan Bang Surya.

Nasi goreng telah tersaji lengkap dengan telur dadar, teh manis juga segelas susu untuk Carla. Tak menunggu lama Bang Surya dan Carla menghampiri, kami bergantian menyendokkan nasi kedalam piring, setelah itu  Sonia keluar dari kamarnya, ia juga menghampiri kami untuk sarapan pagi.

Untuk memulai kata aku meminum seteguk air.

"Sonia, jadi kapan kamu akan pulang kampung?" sontak nasi yang akan disuapkan ke mulutnya pun ia letakkan kembali keatas piring. 

Ia diam, nampak sedang berfikir. aku kembali menyendok nasi lalu menyuapkan kedalam mulut, menunggu jawaban yang keluar dari mulutnya.

"Sonia!" kembali aku menyapanya.

la menatap Bang Surya kemudian netranya bergulir mentapku,

"Minggu depan, aku akan pulang kampung sendiri, kakak tenang aja," jawabnya datar.

Saat Sonia ingin beranjak, aku mencegatnya, ia melirik, "kenapa?"

"Mulai sekarang kamu ga usah pergi ke kantor lagi. Dirumah aja bantu kakak dan Mbok Minah beres-beres, 'kan sebentar lagi kamu mau pulang kampung," ungkapku setenang mungkin.

Ia pun kembali duduk. "Ini hari terakhirku dikantor, Kak. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan dulu sekarang."

"Iya, Dek. Biarkan hari ini Sonia ke kantor," ucap Bang Surya santai.

"Tapi, Bang ...."

"Sudahlah, Dek. Jangan persulit pekerjaan Abang, biarkan Sonia ke kantor untuk yang terakhir kalinya, masa dia minggat gitu aja tanpa pamit dengan rekan-rekan di kantor," ucapnya lagi, kali ini intonasi suaranya sedikit meninggi.

"Kok kamu malah marah-marah sih, Bang. Biasa aja kali, yasudah kalau kalian maksa terserah, tapi besok Sonia sudah di rumah. Harus belajar kamu jadi perempuan jangan males, suatu saat kamu bakal jadi seorang istri," jawabku dengan sedikit emosi.

Tak apa untuk yang terakhir kali mereka bisa menghabiskan waktu tanpa kehadiranku di kantor, akan aku suruh Zylan mengatasi mereka berdua. Sonia beranjak tanpa kata dan tanpa sarapan, terserah mau dia benci atau marah padaku itu tak masalah, yang terpenting dia harus segera enyah dari rumahku. Dan aku akan lihat kedepannya seperti apa kelanjutan hubungan gelap mereka.

Jika mereka memutuskan hubungan dan saling melupakan itu bagus, aku bisa pertimbangkan untuk menerima Bang Surya kembali, tetapi jika hubungan gelap itu tetap berlanjut maka aku akan bertindak tegas, tak apa aku yang mengalah dan menggugat cerai sendiri ke pengadilan, semua bukti perselingkuhannya sudah ku kantongi.

Setelah makanannya habis, ia berpamitan pada Carla, mencium keningnya tak lupa Carla pun mencium takzim tangan papanya. Kemudian ia melirikku dan menyodorkan tangan, aku pun mencium tangannya dengan malas. Ia pergi tanpa mengucap salam. 

Aku menatap punggungnya yang mulai menjauh, oh tidak, mereka tak boleh berangkat bersama. Ahaa, aku ada ide.

"Bang, Tunggu!" mereka pun urung untuk memasukki mobil. Sonia menatapku dengan tajam, pasti dia sedang kesal. 

"Apa?" ia berteriak dengan cemberut.

"Bang, anterin Mbok Minah ke pasar, tadi subuh aku pesen daging ke Mang Udin. Dia mau balik katanya, jadi pesenanku harus di ambil sekarang ... ya, Bang anterin," ucapku memelas. kemudian Mbok Minah menghampiri kami.

Nampak Sonia merenggut, Enak saja mau berduaan di dalam mobil.

"Ayok, Bang, cepetan nanti mang Udin nya keburu pulang lagi ... biar Sonia naik taxi aja terus nanti jangan langsung ke kantor, Bang. Tungguin si Mbok dulu belanja keperluan dapur, abis itu anterin lagi pulang kesini, kasian kalau si Mbok naik angkot, belanjaannya banyak" Sonia terlihat kesal mendengar ucapanku, kemudian dia melenggang pergi jalan kaki.

Akhirnya aku menang, Mbok Minah masuk ke mobil duduk di kursi belakang. karena pasar dan kantor arahnya berlawanan tentu saja, Sonia tidak bisa menumpang.

Satu jam lebih Mbok Minah kembali dengan menenteng belanjaan, aku menyuruhnya untuk ke dapur. Dan setelah ini aku akan menemani Carla muroja'ah hafalan Al-Qur'annya.

Adzan Dzuhur berkumandang, sebelum melaksanakan shalat, gegas aku mengirimkam pesan pada Zylan mata-mataku itu.

[Zy, Bang Surya dan Sonia ada di kantor 'kan?] send.

Tak lama ia membalas,

[Ada kok, cuman Surya berangkatnya telat, biasanya 'kan barengan] a

Aku tersenyum simpul membaca balasan pesan Zylan.

[Trus awasi mereka. Buat Sonia sesibuk mungkin supaya ga ada waktu buat berduaan dengan Bang Surya] balasku lagi.

[Ga usah di suruh, dari pagi juga dia udah sibuk sendiri] balasnya lagi disertai emotikon tertawa di ujung pesannya.

Lega rasanya, sebelum Bang Surya berkata jujur, sebisa mungkin aku akan mempersempit peluangnya untuk bersama-sama.

Pukul setengah tiga Zylan kembali mengirimkan pesan padaku.

[Rah, Surya dan Sonia kok belum balik ke kantor lagi ya, makan dimana ya tuh orang?]

jantungku kembali berdegup beraturan.

tanpa berfikir aku menelpon Bang Surya ... tak diangkat. lalu aku menelpon Sonia, namun tidak aktif. Rupanya aku kecolongan lagi!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status