Suasana alun-alun kota nampak ramai, banyak pedagang kaki lima berjejer rapi dengan aneka ragam jajanan yang menggiurkan. Tak lupa aku pun mengabadikan kebersamaan kami dalam bentuk vidio singkat dan photo, lalu kuunggah semuanya ke story W******p, dan lima menit kemudian terlihat Sonia melihat semua photo dan vidio kemesraan kami bertiga, hihi ia pasti tengah terbakar api cemburu, semoga saja di rumah tak terjadi kebakaran.
Derrrrrt! Derrrrrt! Ponsel Bang Surya terus berdering, itu pasti panggilan dari Sonia tapi, bukan Sarah namanya kalau tidak membalas kecurangan dengan licik, kurampas paksa ponsel Bang Surya lalu merijek panggilan Sonia dan mematikan ponselnya."E-eh kenapa diambil, Dek?itu telpon dari siapa?" Ia terlihat khawatir."Dari nomor ga dikenal, paling orang iseng. Udahlah kita lagi bersama jadi nikmati kebersamaan ini tanpa ada gangguan dari orang lain," jawabku tegas, terlihat ia menghela nafas. Ada raut gelisah dari wajahnya.Ketika menghadapi pelakor tak harus selalu menggunakan emosi juga 'kan. Membuat dia merasa sangat jengkel dan marah itu yang lebih memuaskan hati tanpa harus mengotori tangan sendiri.Tak terasa waktu berputar dengan cepat.Waktu tengah menunjukan pukul sebelas malam, kami semua sudah berada di mobil dalam perjalanan pulang, nampak Carla tertidur karena kelelahan. Kami sampai melupakan bubur ayam pesanan Sonia yang sudah dingin, sejak tadi aku terus mengalihkan perhatian Bang Surya agar melupakan Sonia dan pesanannya. Aku tak membayangkan sekacau apa ia sejak tadi menunggu kepulangan Bang Surya.
Sampai dirumah dan mobil telah terparkir di garasi, Bang Surya menggendong Carla menuju kamar, tak lupa aku mengekor di belakangnya, lalu mengajak Bang Surya untuk masuk kamar, kemudian mengunci pintu dan kuncinya aku sembunyikan agar ia tak keluar kamar dan berduaan lagi seperti malam kemarin."Dek, aku ga enak lho sama Sonia, dari tadi dia pasti menunggu kita," ucap Bang Surya cemas.Sudah pasti dia menunggu, lihat saja besok pasti kekasih gelapmu itu akan marah, Bang"Sudahlah ga usah dipikirin, dia pasti udah tidur jam segini. Kamu kok cemas gitu sih," jawabku dengan tatapan menyelidik. "Terus ponsel Abang mana?" "Ponsel Abang mati, udahlah mendingan tidur aja, udah malem begini malah main handphone," jawabku datar. kemudian Bang Surya membalikkan badan membelakangiku.*
Pagi berkunjung, tapi Sonia tak menampakkan batang hidungnya di hadapanku, ah biarlah pasti ia sedang merajuk. Aku harus tetap megawasinya jangan sampai lengah sehingga mereka bisa berduaan diam-diam di belakangku. Aku bukannya naif, tapi hanya ingin bermain-main saja sebentar, setelah puas akan aku hempaskan mereka berdua jauh-jauh dari hidupku. Semoga kalian akan menyesal sampai mati.
Matahari mulai terik tapi Sonia tak kunjung keluar dari kamarnya karena letak kamarnya dekat dengan ruang keluarga makanya aku bisa memperhatikan dengan leluasa sambil menonton televisi. Bang Surya nampak gelisah dan mondar mandir ga jelas sejak tadi.Kuketuk pintu kamar Sonia, tak lama ia pun membuka pintu, kedua matanya terlihat sembab seperti habis menangis, mungkin ia patah hati karena kekasih gelapnya melupakannya semalaman, hihi. Perempuan sejahat dia bisa menangis juga rupanya."Kamu jangan dikamar aja, yuk belajar beres-beres. Inget kamu itu perempuan jangan males," ucapku tegas, ia merenggut, bola matanya bergulir menatap Bang Surya yang berdiri agak jauh di belakangku."iya!" Ia berkata seraya beranjak masuk kembali ke kamarnya."Eh kok masuk lagi, ayok beresin kamar Kakak dulu," sahutku, wajahnya nampak semakin merenggut.Karena aku memaksanya dengan perkataan yang cukup pedas, ahirnya ia pun menurut."Dek, Sonia itu lagi sakit kok malah disuruh bekerja, jahat banget kamu sama adik sendiri," ucap Bang Surya keberatan.Berani dia membelanya di hadapanku. Aku jadi jahat begini ya karena kalian juga."Ya ampun cuma sakit begitu doang, ga usah manja lah jadi perempuan," jawabku tegas."Sonia itu lagi sakit dia harus istirahat, nanti saja lah kalau dia sembuh baru diajarinnya," ucapnya lagi kali ini intonasi suaranya sedikit meninggi.Tak kuhiraukan ucapannya, gegas aku menggandeng tangan Sonia menuju kamar. "Tuh kamu sapu kamar ini dengan bersih ya, nyapunya dari sebelah sana dulu!"Aku menyuruhnya bagaikan seoarang nyonya dan ia babunya. Walaupun cemberut tapi ia nurut juga.
Sonia mulai menyapu dari sudut kamar dengan ogah-ogahan. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat bungkus bekas viagra yang sengaja aku letakkan di lantai, perlahan Sonia memungut bungkus viagra yang sudah tak berisi itu."apa itu Sonia?" tanyaku pura-pura tak tahu."Oh itu bekas bungkus viagra, kalau kamu ga tau itu bungkus obat k*at, semalam Bang Surya yang memakainya, huh dia memang teledor melemparkan sampah begitu saja. Sudahlah kamu masih gadis tak baik liat beginian!"Aku merebut kembali bungkus viagra itu dari tangannya, nampak ia termenung dan ada sedikit buliran bening dimatanya. Rasain pasti dia cemburu, siapa suruh jadi duri dalam rumah tanggaku.
Sengaja aku meninggalkannya di kamar menuju dapur, tak lama ia pun keluar dari kamarku setengah berlari dan dengan cekatan Bang Surya mencekal tangan Sonia sambil celingukan, langkahnya pun terhenti, Sonia nampak menangis dan berusaha melepaskan cengkraman tangan Bang Surya."Lepaas!" ia menjerit, kemudian aku menghampiri mereka sambil membawa segelas air, hanya formalitas."Sonia ... kamu kenapa nangis? ... kamu juga, Bang, ngapain pegang-pegang tangan Sonia?" Bang Surya gelagapan seraya melepaskan cengkraman tangannya, ia bingung di sisi lain kekasih gelapnya sedang merajuk dan di sisi lain istri sahnya terus mengintrogasinya.Aku dan Daniel berpandangan lalu tersenyum haru."Benarkah, Dok, kalau istri saya hamil?" Daniel takjub tak percaya."Benar, Pak, tuh kantung janinnya sudah kelihatan, usianya baru lima minggu," ucap Dokter Ratih.Aku dan Daniel mengucap hamdalah sebagai bentuk rasa syukur, setelah enam bulan menanti akhirnya janin itu hadir di rahimku, membawa kebahagiaan baru.Apalagi Carla, sudah sejak lama ia merindukan seorang adik,tak kubayangkan bagaimana reaksinya jika ia mengetahui jika adik kecil yang didambakan akan hadir dalam waktu beberapa bulan ke depan.*"Sayang, terima kasih ya, sudah menghadirkan malaikat kecil untukku," ucapnya bahagia, kali ini aku sedang di dalam mobil menuju perjalanan pulang."Iya, sama-sama Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya Allah mengabulkan doa kita.""Iya, Sayang, oh ya kita ke rumah kamu dulu yuk, keluarga besar kamu harus tahu tentang kabar gembira ini," ucap Daniel antusias.Mobil pun berbelok menuju rumahku yang sekarang di tempati oleh keluarga besarku.T
Enam bulan berlalu, mahligai rumah tanggaku berjalan sempurna, kami bahagia walau belum kunjung memiliki buah hati.Ada Carla yang selalu menemani rasa sepi di relung hati suamiku, ia amat menyayangi anak tirinya bagaikan anak kandung, putriku juga merasa nyaman seolah Daniel adalah ayah kandungnya."Aku mau berangkat ya, Sayang, kamu ke kantor ga?" tanya Daniel duduk di tepi ranjang sedangkan aku masih terbaring di atas pembaringan karena sakit kepala yang berdenyut."Engga kayanya, aku pusing banget ini.""Ya sudah istirahat di rumah saja ya, 'kan di kantor ada Shanaz masa udah enam bulan belum faham juga."Ia begitu pengertian padaku, walau terkadang seluruh waktuku di habiskan di kantor menemani Kak Shanaz dan membimbingnya memimpin perusahaan.Semenjak perceraiannya dengan Kak Hadi, entah mengapa ia selalu menutup diri terhadap laki-laki, padahal di luar sana masih banyak yang mengantri meminangnya termasuk Izwan--pria yang pernah melabuhkan cintanya padaku--"Pusing kenapa emang
"Kok aku sih, menyentuhmu saja aku tak pernah, sudah jelas-jelas Joe yang sudah menyentuhmu, walaupun satu kali ya bisa saja langsung jadi, jangan ngaco kamu ya, sekarang cepat pergi dari sini." Nampaknya suamiku mulai meradang, jangankan Daniel akupun sama jengahnya menyaksikan sikap Safira yang tak bijak."Ayo kita pulang." Joe menarik paksa tangan Safira, beberapa kali wanita itu meronta, tapi tetap tak dihiraukannya.Setelah kepergian mereka Daniel nampak bernapas lega, ia menatapku dengan tersenyum."Terbukti 'kan, Sayang, kalau aku ini buka ayah dari bayi yang dikandung Safira," ungkapnya meyakinkanku."Iya aku percaya, tapi kok kamu bisa kenal Joe." pertanyaan ini yang begitu mengganjal sejak tadi.Ia terkikik. "Joe itu temenku, Sayang," jawabnya dengan santai."Jadii ... waktu itu Safira selingkuh sama temen kamu," jawabku lalu terkekeh, karena merasa lucu sekaligus kasihan.Ia nampak menghela napas pelan. "Ya gitu, coba kamu bayangkan Safira yang waktu itu masih kekasihku be
"Terus apa hubungannya dengan suamiku?" dengan mulut bergetar aku menanyakan hal itu."Ini anaknya Daniel, dia harus tanggung jawab," jawab Safira dengan isak tangis.Entah itu tangis sungguhan atau hanya kepura-puraan."Enak aja, aku tuh ga pernah menyentuhmu, jangan ngaku-ngaku ya," sanggah Daniel tak menerima.Aku diam membisu merasakan hati yang sakit bagai di tusuk pisau belati, mereka saling bersitegang saling mempertahankan argumennya."Tapi malam itu, apa kamu sudah lupa, Daniel," ucap Safira, yang membuat hatiku semakin sakit."Malam itu aku ga ingat apapun, Safira, mana mungkin bisa men**aulimu." Daniel masih bersikeras enggan mengakui benih yang tumbuh di rahim Safira.Sesak rasanya dada ini, baru saja kemarin kami berbahagia lalu sekarang, kebahagiaan itu harus terkoyak oleh seseorang yang pernah mengisi masa lalunya."Sayang, percaya sama aku, anak ini bukan benihku." Daniel menyentuh pergelangan tanganku, dan mencoba meraihnya. Namun, secepat kilat kutepis.Aku tak tahu
"Gini saja, pokoknya untuk sementara kalian di sini sampe Sonia sembuh, gimana? lagian aku sih ga masalah kalau tinggal di sini, justru bagus rumah ini ada yang nempatin.""Iya, Rah, Kakak setuju usul kamu kita di rumah ini sampe Sonia sembuh, oh ya soal tawaran kerja di kantor kamu Kakak menyanggupi," ujar Kak Shanaz yang membuatku merasa lega.Akhirnya perusahaanku berada di tangan yang tepat."Alhamdulillah, terima kasih ya, Kak, sudah mau bantu jangan khawatir nanti sesekali aku akan ke kantor kok bantu kakak," jawabku."Iya, pokoknya kita kelola usaha kamu bareng-bareng."Keputusan telah di tetapkan, dan semua barang telah terkemas rapi, Daniel dan Bapak membantu menaikkan barang-barangku ke dalam bagasi, setelah kami berpamitan akhirnya mobil Daniel membawaku dan Carla menuju rumahnya."Hati-hati ya, Kak," ucap Sonia dengan raut wajah kecewa.Entahlah apakah prasangka buruk ini benar atau salah, jika Sonia merasa kecewa karena berjauhan dengan suamiku, semoga saja ini hanya seke
"Sayang, Mas bantuin Sonia tadi jatoh dari kursi roda," ujar Daniel meyakinkan.Aku mengucapkan istighfar dalam hati, mata ini terpejam beberapa saat, lalu mencerna setiap prasangka buruk ini, tak seharusnya aku bersikap berlebihan."Sayang." Sapaan Daniel membuyarkan lamunan."I-iya, emang Sonia kenapa? kok bisa jatuh?" entahlah, logikaku sulit mencerna alasannya.Mengapa bisa jatuh? tak dapat dipungkiri hati ini memanas melihat mereka."Katanya mau ambil makanan di atas bupet itu, Sayang, dia berusaha berdiri terus jatoh," jawab Daniel dengan tenang, aku menelisik wajahnya memang tak nampak raut kebohongan.Mataku bergulir menatap Sonia ia nampak biasa saja tanpa menunjukkan rasa bersalah, apa mungkin aku saja yang terlalu berlebihan karena takut kejadian masa lampau aka terulang kembali?.Oh Tuhan, tolong yakinkan hati ini jika pernikahan kami akan baik-baik saja, kuharap rumah tangga kami takkan diuji oleh hadirnya orang ketiga, karena aku takkan sanggup bersabar ataupun bertahan.