Share

BAB 2 Hati yang kesal

Dimas benar-benar menyebalkan! dari dulu dia nggak pernah romantis. Kata-katanya pedas dan ketus. Kenapa aku menerimanya menjadi suamiku? Aku pikir menikah dengan laki-laki lebih tua itu lebih enak, lebih dewasa dan berharap bisa memberi rasa aman dan yang pasti lebih romatis. Tapi semua itu tak kudapatkan. Kuakui ia laki-laki yang jujur dan kaya. Sebenarnya buat apa aku kerja sedangkan suamiku nggak menginginkan aku bekerja. Aku bekerja hanya sebagai selingan untuk menghilangkan rasa jenuh. Aku akan merasa bosan jika harus di rumah terus apalagi belum punya anak. Pernikahan ini tak seindah yang kubayangkan. Humaira bermonolog.

Humaira menatap ponselnya. Berharap ada pesan masuk dari suaminya. Tapi ternyata kosong. Dia bertopang dagu.

"Kenapa Dimas bisa mengabaikan hari ulang tahunku? dia nggak perduli. Dihubungi juga susah. Bagaimana aku nggak marah?"

"Sudahlah. Mungkin Dimas sedang ada pekerjaan penting. Kita nikmati saja malam ini. Masih ada aku yang siap menemanimu."

Emran tersenyum sambil menatap Humaira yang bertopang dagu cemberut. Meskipun demikian tetap cantik. Emran tak berkedip memandang Humaira.

"Okelah kita nikmati saja malam ini." Humaira mengaduk Latte. Pikirannya melayang ke hal lain. Emran mengajak Humaira ke coffeshop berinterior klasik dekat kantor. Mereka sering datang ke tempat itu sambil menikmati secangkir kopi dan sepotong cake. Cake-nya bikin nagih. Apalagi yang namanya cappucino cake. Fresh cream sebagai topping dan kopi dalam cake benar-benar menyatu. Untuk menghilangkan penat sesaat setelah bekerja.

"Eh ngapain lihatin aku terus?" Humaira memegang wajah Emran kasar.

"Maaf," Emran terbangun dari lamunannya. Dia menyeruput latte-nya.

"Kamu cantik, pintar, dan baik hati. Apa coba kurangnya kamu sampai diabaikan oleh suamimu. Kenapa dulu kamu mau menikah dengan laki-laki yang lebih tua umurnya? Apa karena dia konglomerat?"

"Selain konglomerat, Dimas laki-laki yang baik, jujur, dan setia."

"Kamu yakin Dimas laki-laki yang setia?"

"Jangan terlalu lugu kamu Ra, bisa saja dia punya perempuan lain yang kamu nggak tahu."

"Aku yakin Dimas setia. Dia memang sibuk dengan pekerjaannya."

"Semoga kamu benar."

"Ya aku yakin 100%."

Humaira bicara dengan yakin tentang kesetiaan Dimas.

"Manusia tak ada yang sempurna. Ada plus minus-nya dan pasangan harus saling memahami demi keutuhan rumah tangga."

"Ya kamu benar. Tapi kamu juga harus waspada jangan terlalu mempercayai suamimu siapa tahu ada main belakang."

"Thanks atas sarannya. Ayo diminum lagi."

"Sebenarnya kamu puas nggak dengan Dimas?" Humaira tercengang dan memandang Emran.

"Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal itu?"

"Ya siapa tahu aja kamu nggak puas dengan nafkah batin suamimu."

"Apa urusanmu menanyakan hubungan ranjangku."

Humaira memerah wajahnya.

"Jangan marah please! nggak ada maksud untuk menyinggung perasaanmu, Ra."

"Cukup Emran! jangan banyak tanya tentang hubunganku dengan Dimas.!

"Ok, aku minta maaf."

Suasana menjadi hening. Humaira mengaduk latte-nya dan merasa diremehkan oleh Emran. Apakah dia salah jika menikah dengan laki-laki yang lebih tua? apa urusan mereka? sehingga menganggapku tidak beruntung dan tidak bisa mendapatkan laki-laki yang sempurna?"

"Maafkan aku Ra, aku sama sekali nggak ada maksud membuatmu sakit hati."

"Nggak apa. Mungkin aku yang salah memilih suami yang lebih tua dariku hingga sering dibuli. Aku yang cantik kata orang-orang kenapa mau menikah dengan laki-laki yang umurnya pantas untuk menjadi Papaku."

"Nggak juga. Selain kamu juga banyak yang menikah dengan laki-laki lebih tua tapi mapan finansialnya."

"Tapi dianggap nggak wajar."

"Yanga penting kamu bahagia. Kalau kamu nggak happy kasihan penderitaan jadi dobel."

"Tuh kan mulai lagi."

"Ya memang benar begitu. Tapi aku doakan semoga kamu bahagia dengan Dimas sampai ajal menjemput."

"Aamiin. Nhomong-ngomong kamu sendiri kenapa belum menikah?"

"Belum nemu yang cocok."

"Memang seperti apa kriteria perempuan idamanmu?"

"Seperti apa? seperti perempuan yang ada di depanku." Emran tersenyum memandang Humaira.

"Jangan berlebihan bercandanya Emran."

"Aku sedang tidak bercanda. Aku ingin mempunyai istri seperti kamu."

"Ngaco kamu!" Humaira memukul bahu Emran.

"Jujur Ra, sejak aku pertamakali keremu di kantor ini, aku sudah jatuh cinta sama kamu. Sayang kamu sudah menikah. Kamu yang cantik dan menarik membuatku tak bisa melupakan perasaan itu hingga saat ini."

"Bicaramu semakin ngelantur. Aku audah menikah. Lebih baik cari perempuan lain."

"Beneran. Demi Tuhan aku cinta padamu." Emran meraih jemari Humaira dan membelainya lembut. Humaira melepaskannya dengan cepat.

"Sadar Emran aku sudah menikah. Kamu cari perempuan lain. Aku tak akan menghianati suamiku walaupun Dimas kadang membuatku kesal, tapi aku sadar tak ada manusia yang sempurna."

"Nggak masalah kamu sudah menikah Ra, aku siap menjadi laki-laki simpananmu."

"Maksudmu apa? Laki-laki simpanan?"

"Iya aku tahu sebenarnya kamu kurang bahagia. Aku akan memberikan kebahagiaan yang tak kamu dapatkan dari suamimu."

PLAKK!!!

Sebuah tamparan mengenai wajah Emran. Laki-laki itu hanya tersenyum dan meringis kesakitan memegangi pipinya.

"Nggak masalah kamu tampar. Ini membuktikan kalau kamu benar tidak bahagia."

"Makin lama makin menyebalkan ucapanmu. Aku mau pulang!" Humaira mengambil tasnya dan pergi Emran mengikutiny. Humaira lupa kalau dia pergi bersama Emran dan mobilnya ditinggal di kantornya. Dia harus satu mobil lagi dengan Emran menuju kantornya.

"Kenapa diam?"

"Mobilku masih di kantor."

"Akhirnya kita bersama lagi."

"Udah nggak usah banyak omong. Ayo kita ke kantor."

"Baiklah." Emran membuka pintu mobilnya.

"Ayo masuk," Emran mengajak Humaira yang masih mematung. Perempuan itu masuk dan duduk di samping Emran tanpa sepatah katapun.

Mobil berjalan dengan perlahan menyusuri gelapnya malam. Malam kian larut tapi mereka masih di jalan. Humaira melihat ponselnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 malam. Biasanya dia sudah di kamar bersama Dimas jam segini namun saat ini dia masih di jalan bersama laki-laki lain.

"Kenapa diam?"

"Sudah malam tapi aku masih di jalan. Tak biasanya aku keluyuran begini."

"Tadi yang ngajak ke Coffeshop siapa? Kamu ingin menghabiskan waktu ulang tahun kamu bersamaku. Baru jam segini sudah mau pulang."

"Hatiku tidak tenang. Seperti ada yang menunggu di rumah. Sepertinya Dimas sudah pulang. Aku harus segera pulang. Kira-kira kantor masih buka nggak ini? sudah tengah malam."

"Ada security yang jaga dua puluh empat jam."

"Mudah-mudahan saja."

Emran menambah kecepatannya. Sementara Humaira sudah merasa tidak tenang dengan kepergiannya yanf sampai larut malam.

Beberapa kali ia mengecek ponselnya tapi nggak pesan masuk. Hatinya merasa berdosa telah pergi tanpa izin suami dengan laki-laki lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status