Share

Bab 2

Author: SILAN
last update Last Updated: 2025-08-12 11:00:29

Piero membuka kembali akun lamanya, tabungan dalam bentuk bitcoin yang telah ia biarkan selama bertahun-tahun, sebelum tubuhnya terkurung dalam jeruji besi. Tapi malam ini, angka itu bertambah berkali lipat. Ia tak perlu waktu lama untuk menarik sebagian dana dan mengkonversinya menjadi kekuatan, kekuasaan yang bisa ia beli.

Dan malam ini, misi berikutnya dimulai.

Dengan hoodie hitam menutupi kepalanya dan langkah tegas tanpa keraguan, Piero menyusuri kawasan kumuh paling rawan di Boston. Jalanan remang, gedung-gedung terbengkalai, suara musik keras dari speaker rusak, serta aroma menyengat campuran alkohol dan rokok menyambutnya.

Di sana, sekumpulan pemuda bengal sedang berpesta di atas mobil tua, tawa mereka menggema bersama bara api dari tong besi. Ketika Piero muncul dari gelap, semua kepala menoleh. Ia datang ke tempat itu, sendirian, tanpa ada senjata mematikan, yang dia bawa hanya tubuhnya sendiri.

“Lihat siapa yang datang! Model Calvin Klein tersesat, Bro!” seru seorang pria penuh tato di lengan dan wajah, lalu melompat turun sambil mengebul asap rokoknya. Ia mencengkeram hoodie Piero dan menariknya kasar, memperlihatkan wajah pria itu dengan senyum mengejek.

Seketika, tawa pria itu pecah ketika melihat wajah Piero yang tampan, bersih, dan tidak terlihat seperti seorang kriminal. “Kau nyasar? Ini bukan agensi model yang bisa kau datangi sesuka hati dengan parasmu ini.”

Tawa meledak di antara kerumunan. Tapi hanya sesaat.

Piero menatap pria itu dengan mata tajamnya, mata milik seseorang yang sudah pernah membunuh dan selamat. “Sudah selesai tertawanya?” suaranya tenang, tapi menekan.

Pria bertato itu mengedip, ragu.

“Kau pikir aku kesini untuk hiburan? Berapa jumlah kalian?” tanya Piero, suaranya berubah lebih dingin, lebih gelap.

“Jumlah kami? Kau pikir kau siapa? Pangeran Disney?! Mungkinkah dirimu bosan hidup, atau jangan bilang kau dibuang oleh orang-orang sehingga kau tidak punya pilihan lain lagi?" ejek pria itu sambil menepuk pundak Piero, lalu menunduk dengan nada menggoda, “Kau punya wajah cantik untuk ukuran pria. Bagaimana kalau-”

Crack!

Kalimatnya tak pernah selesai. Piero menangkap tangan pria itu dan memelintirnya dengan kekuatan mematikan sebelum mendorong tubuhnya ke tanah dengan tendangan brutal. Jeritan kesakitan pecah.

Sisanya hanya tinggal waktu. Satu demi satu, anggota geng yang mencoba menyerangnya dipukul, dibanting, dilumpuhkan. Dalam lima menit, pesta liar berubah jadi puing kekalahan. Tubuh-tubuh tergolek, memegangi perut, rahang, dan hidung yang patah.

Dengan nafas tak tergesa, Piero berdiri tegap di tengah kekacauan. “Mulai malam ini,” katanya datar, “aku yang memimpin tempat ini.”

Belum sempat mereka merespons, seseorang muncul dari bayangan. Tinggi, besar, bertubuh dua kali lipat dari Piero. Sosok yang biasa disebut ‘Big Carlo’, pria paling ditakuti di lingkungan itu.

“Jadi bocah baru ingin jadi raja?” sindirnya sambil mengangkat satu alis.

Piero tidak gentar. Ia mendekat tanpa takut, lalu merogoh saku dalamnya dan mengeluarkan beberapa ikat uang, semua pecahan seratus dolar, lembar demi lembar terjatuh ke kap mobil tua dengan suara menantang.

“Berapa harga kesetiaan kalian?” tanyanya datar.

Carlo dan yang lain terpaku. Mereka bukanlah orang yang gampang tunduk, tapi uang berbicara dalam bahasa universal.

Seorang dari kerumunan, pria bertato yang sempat dipelintir tadi mendekat dengan nafas masih ngos-ngosan. “Siapa kau sebenarnya?” desisnya. “Dan kenapa tempat busuk seperti ini yang kau incar?”

Piero menatap mereka semua satu-satu, lalu berkata pelan namun menusuk, “Aku adalah mimpi buruk dari seseorang yang menciptakan monster. Dan aku akan membentuk kalian menjadi lebih kejam dari yang pernah kalian bayangkan.”

Ucapannya membekas di udara seperti senjata tak terlihat. Beberapa dari mereka mundur spontan, entah karena takut, atau karena sadar, pria di hadapan mereka bukan manusia biasa.

Carlo memandangi uang, lalu mengangkat bahu, mengambil satu ikat dan menyelipkannya ke saku celana.

“Dengan uang, kau bisa dapatkan banyak hal, Nak. Jadi, katakan... apa yang kau butuhkan dari kami?”

Piero tersenyum, senyum yang tak ada hangatnya. Ia mengeluarkan beberapa foto dari balik hoodie dan melemparkannya ke atas kap mobil.

“Temukan mereka. Bawa ke hadapanku. Hidup atau mati, aku tidak peduli.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Humming of Death   Bab 7

    Air shower mengucur deras, menghantam lantai kamar mandi dengan suara berulang, namun warnanya tak lagi jernih, melainkan merah pekat. Darah bercampur air mengalir di kaki Piero, hilang di lubang pembuangan. Ia berdiri mematung, mata terpejam di bawah guyuran air panas, membiarkan sisa pembantaian itu luruh dari kulitnya. Tidak ada rasa bersalah. Tiga nyawa sudah ia ambil, dua di antaranya dalam waktu kurang dari seminggu.Masih ada dua orang yang masih berkeliaran, Piero yakin, satu persatu pasti akan ia dapatkan dimanapun persembunyian mereka. Selesai membersihkan diri, Piero segera mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaian sebelum melihat informasi terbaru dimana posisi dua orang lainnya. Satu diantaranya bernama Garrett, dan ini adalah orang yang ia rasa lebih kuat dari yang lainnya."Aku tidak akan pernah berhenti, sampai api dendam dalam dadaku padam." batin Piero saat ia melihat foto Garrett di dalam ponselnya, tangannya tanpa sadar mengepal dan rahangnya mengeras.Keesokan

  • Humming of Death   Bab 6

    Hari demi hari, Piero terus memburu jejak tiga orang yang telah merenggut nyawa saudaranya. Dua diantaranya sudah ia kirim ke liang kubur. Kini, target ketiga yang ia incar. Malam itu, kabar datang dari Carlo, orang itu berada di Washington. Tanpa pikir panjang, Piero meluncur kesana, melawan dingin malam yang menusuk.Ia berdiri di trotoar seberang sebuah klub malam yang gemerlap, lampu neon berwarna merah muda dan biru memantul di aspal basah sisa hujan. Hoodie hitamnya menutupi sebagian wajah, membuatnya menyatu dengan bayang-bayang. Satu tangan menggenggam ponsel di telinga, satu lagi di dalam saku, meraba gagang pisau lipat yang sudah ia siapkan."Kau yakin dia ada di sini?" suaranya pelan namun tegas, nyaris tak terdengar tertelan musik bising dari dalam klub."Yakin," jawab Carlo di seberang. "Dia di dalam. Tunggu saja. Dia akan keluar sebentar lagi."Klik. Sambungan diputus. Piero mencondongkan tubuh, duduk di pinggiran pagar pembatas. Matanya mengamati setiap wajah yang kelua

  • Humming of Death   Bab 5

    Piero melemparkan tas sekolah ke atas tempat tidur, ia sudah menyuruh seseorang menyiapkan tempat nyaman untuknya. Tempat itu tidak jauh dari markas para kriminal rendahan yang ia sewa, namun tidak banyak yang tau lokasi tempat tinggal barunya karena berada di ruang bawah tanah.Meskipun di bawah tanah, tapi orang suruhan Piero telah merenovasi tempat tersebut menjadi nyaman dan juga punya sistem keamanan yang hanya Piero bisa kendalikan.Baru saja ia selesai mengenakan kaus hitamnya kembali, ponselnya berdering.“Bagaimana? Sudah dapat mereka?” tanyanya dingin, masih merapikan bagian kerahnya.“Sebaiknya kau datang dan lihat sendiri,” suara Carlo terdengar dari seberang. Tak banyak bicara, tapi cukup untuk membuat Piero segera bergerak.Langkah kakinya mantap menuruni lorong gelap menuju tempat yang biasa digunakan para kriminal rendahan itu untuk menyembunyikan “barang tangkapan”. Ia tahu ruangan itu, cat temboknya mengelupas, lantainya seperti belum tersentuh sapu selama bertahun-t

  • Humming of Death   Bab 4

    Piero masih sembilan belas tahun, harusnya ia lulus sekolah tahun kemarin jika dirinya tidak di penjara karena kasus pembunuhan. Mau tidak mau, ia harus melanjutkan pendidikan selama satu tahun.Setelah setahun tidak sekolah, ini adalah hari pertamanya masuk kembali. Banyak orang memandang ke arahnya, sementara Piero seolah menjadi orang yang berbeda ketika dia di markas para kriminal rendahan itu dan juga di sekolah.Seakan punya kepribadian ganda, ia bisa menjadi pria berdarah dingin dan juga pria yang disukai oleh orang lain. Bagi Piero, sekolah bukan untuk tempat perkelahian.Ia duduk di kursi belakang, tempat yang biasanya dihindari siswa teladan. Tak lama, seorang remaja ceria dengan rambut acak-acakan dan gaya bicara cepat duduk di sebelahnya."Hei, kau anak pindahan ya?" sapanya santai.Piero menoleh perlahan. "Bukan. Aku cuma melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda.""Oh...," pria itu mengangguk paham. "Tertunda karena ikut olimpiade internasional? Atau ikut pertukaran pe

  • Humming of Death   Bab 3

    Gedung tua yang menjulang di antara reruntuhan kota itu seolah tak layak ditinggali siapapun, berlapis cat yang mengelupas, jendela-jendela pecah, dan aroma lembab yang meresap sampai ke tulang. Tapi di dalamnya, kehidupan lain berlangsung. Kehidupan liar, kelam, dan kacau.Ruang-ruang gelap itu dihuni oleh para bajingan jalanan yang tak lagi mengenal moral. Asap rokok menggulung di udara, tawa pecandu bersahut-sahutan, dan di balik sekat-sekat kain murahan, tubuh-tubuh bertaut tanpa ikatan. Obat-obatan berpindah tangan seperti permen, dan wanita-wanita yang tak lagi punya pilihan menjadi hiburan kolektif. Dunia kecil yang sudah kehilangan arah.Piero berdiri di tengah itu semua, seperti sosok asing dari dunia berbeda. Tatapan tajamnya menyapu seluruh ruangan, ekspresinya datar, namun penuh penilaian. Jijik? Tentu. Tapi ia tidak datang untuk menjadi hakim. Ia datang untuk memanfaatkan."Carlo, anak mana yang kau bawa itu?" suara serak berat memanggil, datang dari pria bertato dengan b

  • Humming of Death   Bab 2

    Piero membuka kembali akun lamanya, tabungan dalam bentuk bitcoin yang telah ia biarkan selama bertahun-tahun, sebelum tubuhnya terkurung dalam jeruji besi. Tapi malam ini, angka itu bertambah berkali lipat. Ia tak perlu waktu lama untuk menarik sebagian dana dan mengkonversinya menjadi kekuatan, kekuasaan yang bisa ia beli.Dan malam ini, misi berikutnya dimulai.Dengan hoodie hitam menutupi kepalanya dan langkah tegas tanpa keraguan, Piero menyusuri kawasan kumuh paling rawan di Boston. Jalanan remang, gedung-gedung terbengkalai, suara musik keras dari speaker rusak, serta aroma menyengat campuran alkohol dan rokok menyambutnya.Di sana, sekumpulan pemuda bengal sedang berpesta di atas mobil tua, tawa mereka menggema bersama bara api dari tong besi. Ketika Piero muncul dari gelap, semua kepala menoleh. Ia datang ke tempat itu, sendirian, tanpa ada senjata mematikan, yang dia bawa hanya tubuhnya sendiri.“Lihat siapa yang datang! Model Calvin Klein tersesat, Bro!” seru seorang pria p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status