Hari demi hari, Piero terus memburu jejak tiga orang yang telah merenggut nyawa saudaranya. Dua diantaranya sudah ia kirim ke liang kubur. Kini, target ketiga yang ia incar. Malam itu, kabar datang dari Carlo, orang itu berada di Washington. Tanpa pikir panjang, Piero meluncur kesana, melawan dingin malam yang menusuk.
Ia berdiri di trotoar seberang sebuah klub malam yang gemerlap, lampu neon berwarna merah muda dan biru memantul di aspal basah sisa hujan. Hoodie hitamnya menutupi sebagian wajah, membuatnya menyatu dengan bayang-bayang. Satu tangan menggenggam ponsel di telinga, satu lagi di dalam saku, meraba gagang pisau lipat yang sudah ia siapkan.
"Kau yakin dia ada di sini?" suaranya pelan namun tegas, nyaris tak terdengar tertelan musik bising dari dalam klub.
"Yakin," jawab Carlo di seberang. "Dia di dalam. Tunggu saja. Dia akan keluar sebentar lagi."
Klik. Sambungan diputus. Piero mencondongkan tubuh, duduk di pinggiran pagar pembatas. Matanya mengamati setiap wajah yang keluar dari pintu klub, mencari sosok yang sudah ia hafal dari foto-foto hasil penyelidikan.
Hampir tiga puluh menit berlalu, hingga akhirnya ia melihatnya, seorang pria tinggi, merangkul pinggang seorang wanita. Mereka tertawa lepas, aroma alkohol bahkan terasa sampai ke tempat Piero berdiri. Langkah mereka goyah, namun cukup cepat untuk membuat Piero harus bangkit dan mengikuti dari jarak aman.
Ia memilih jalur yang memotong sudut-sudut gelap, memastikan kamera CCTV tidak menangkap wajahnya. Pria itu dan wanitanya masuk ke sebuah gedung apartemen. Piero mengangkat ponsel kembali.
"Carlo, matikan semua kamera di gedung ini."
Kurang dari satu menit kemudian, lampu indikator di kamera-kamera itu padam serentak. Piero bergerak cepat, menaiki tangga darurat dengan langkah senyap. Tepat saat Max membuka pintu unitnya, Piero menghantam punggungnya dengan tendangan brutal. Tubuh Max terhuyung, membentur pintu keras-keras.
Wanita di sebelahnya menjerit.
"Kau pergi. Ini bukan urusanmu," suara Piero datar, tanpa menoleh.
Namun, sebelum wanita itu sempat melangkah, ia menambahkan dengan nada ancaman yang membekukan darah.
"Kalau kau memanggil polisi… besok adalah hari terakhirmu bernapas."Tatapan wanita itu membeku sepersekian detik sebelum akhirnya ia lari terbirit-birit. Piero menutup pintu apartemen perlahan, seperti pemburu yang baru saja mengunci sang mangsa di kandang.
"Sudah lama tidak bertemu," ujarnya dingin.
Max mengerang, berusaha bangkit. "Brengsek… siapa kau?!"
Piero mendekat, berjongkok di hadapannya. Sudut bibirnya terangkat, suaranya berubah menjadi bisikan yang membuat udara terasa lebih dingin.
"Anggap saja aku malaikat pencabut nyawa."Tangannya merogoh saku jaket, mengeluarkan pisau berkilat yang menangkap cahaya lampu redup. Kilatan itu memantul di mata Max, menyalakan ketakutan murni.
Sunyi yang mencekam hanya bertahan beberapa detik sebelum Piero bergerak lagi. Ia berjongkok di sisi Max yang tergeletak setengah sadar, darah mulai mengalir dari luka pertama yang ia buat.
"Aku ingin kau merasakannya," gumam Piero pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Ia menekan ujung pisau ke pipi Max, menggores perlahan hingga darah tipis muncul. Max menjerit tertahan, namun Piero menekannya kembali ke lantai dengan lutut di dada."Tunggu! Aku tak tahu siapa kau! Kenapa mau membunuhku?!" suaranya panik, terhuyung ke belakang efek alkohol yang ia minum dan ketakutannya.
"Karena kalian lah yang memulai," jawab Piero datar. "Kalau bukan karena kau bersama rekan sialanmu itu… saudaraku pasti masih hidup."
Piero menusukkan pisau itu ke bahu Max, tidak langsung membunuh, hanya membuat luka dalam yang membuat rasa sakitnya menjalar ke seluruh tubuh. Max berteriak, suaranya serak bercampur air liur dan darah.
"Diam," bentak Piero, menempelkan telunjuknya ke bibir Max. "Menjerit tidak akan menolongmu. Tidak ada yang akan mendengar."
Max merintih kesakitan, tak mampu melawan. "Tolong, ampu...ni..."
"Tidak," balas Piero cepat, "Kalian bahkan tidak memberi kesempatan saudaraku untuk melawan, dan inilah balasan yang harus kalian terima."
Tak ada lagi kata-kata. Piero menebas jarak di antara mereka, pisau di tangannya menari cepat, mengoyak daging dan merobek nafas terakhir Max. Darah menyembur, membentuk pola gelap di lantai apartemen yang putih bersih.
Max hanya sempat mengerang lemah, lalu tubuhnya ambruk tak bernyawa.
Sunyi. Hanya suara nafas Piero yang tersisa di ruangan itu.Dengan langkah tenang, ia menyarungkan kembali pisaunya. Malam masih panjang, dan buruannya kini tersisa dua lagi. Ia harus segera keluar dari gedung ini sebelum keamanan datang menemukannya.
Tepat setelah Piero pergi tanpa meninggalkan jejak atau barang bukti, kamera pengawas kembali aktif kembali. Hoodie hitam yang Piero pakai menyamarkan bercak darah di tubuhnya, dan malam itu juga Piero kembali ke markas bertemu dengan Carlo dan anggota yang lain.
Aroma tubuh Piero yang penuh oleh darah tercium amis ketika melewati orang-orang di sekitarnya. Dan seseorang di dekat Carlo lantas melontarkan kalimat.
"Sebenarnya siapa remaja ini, dia masih muda tapi dia punya sisi psikopat yang membuatku takut padanya."
Carlo mengangguk setuju. "Terkadang dendam lebih mengerikan daripada aturan yang pemerintah tetapkan." desisnya.
Air shower mengucur deras, menghantam lantai kamar mandi dengan suara berulang, namun warnanya tak lagi jernih, melainkan merah pekat. Darah bercampur air mengalir di kaki Piero, hilang di lubang pembuangan. Ia berdiri mematung, mata terpejam di bawah guyuran air panas, membiarkan sisa pembantaian itu luruh dari kulitnya. Tidak ada rasa bersalah. Tiga nyawa sudah ia ambil, dua di antaranya dalam waktu kurang dari seminggu.Masih ada dua orang yang masih berkeliaran, Piero yakin, satu persatu pasti akan ia dapatkan dimanapun persembunyian mereka. Selesai membersihkan diri, Piero segera mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaian sebelum melihat informasi terbaru dimana posisi dua orang lainnya. Satu diantaranya bernama Garrett, dan ini adalah orang yang ia rasa lebih kuat dari yang lainnya."Aku tidak akan pernah berhenti, sampai api dendam dalam dadaku padam." batin Piero saat ia melihat foto Garrett di dalam ponselnya, tangannya tanpa sadar mengepal dan rahangnya mengeras.Keesokan
Hari demi hari, Piero terus memburu jejak tiga orang yang telah merenggut nyawa saudaranya. Dua diantaranya sudah ia kirim ke liang kubur. Kini, target ketiga yang ia incar. Malam itu, kabar datang dari Carlo, orang itu berada di Washington. Tanpa pikir panjang, Piero meluncur kesana, melawan dingin malam yang menusuk.Ia berdiri di trotoar seberang sebuah klub malam yang gemerlap, lampu neon berwarna merah muda dan biru memantul di aspal basah sisa hujan. Hoodie hitamnya menutupi sebagian wajah, membuatnya menyatu dengan bayang-bayang. Satu tangan menggenggam ponsel di telinga, satu lagi di dalam saku, meraba gagang pisau lipat yang sudah ia siapkan."Kau yakin dia ada di sini?" suaranya pelan namun tegas, nyaris tak terdengar tertelan musik bising dari dalam klub."Yakin," jawab Carlo di seberang. "Dia di dalam. Tunggu saja. Dia akan keluar sebentar lagi."Klik. Sambungan diputus. Piero mencondongkan tubuh, duduk di pinggiran pagar pembatas. Matanya mengamati setiap wajah yang kelua
Piero melemparkan tas sekolah ke atas tempat tidur, ia sudah menyuruh seseorang menyiapkan tempat nyaman untuknya. Tempat itu tidak jauh dari markas para kriminal rendahan yang ia sewa, namun tidak banyak yang tau lokasi tempat tinggal barunya karena berada di ruang bawah tanah.Meskipun di bawah tanah, tapi orang suruhan Piero telah merenovasi tempat tersebut menjadi nyaman dan juga punya sistem keamanan yang hanya Piero bisa kendalikan.Baru saja ia selesai mengenakan kaus hitamnya kembali, ponselnya berdering.“Bagaimana? Sudah dapat mereka?” tanyanya dingin, masih merapikan bagian kerahnya.“Sebaiknya kau datang dan lihat sendiri,” suara Carlo terdengar dari seberang. Tak banyak bicara, tapi cukup untuk membuat Piero segera bergerak.Langkah kakinya mantap menuruni lorong gelap menuju tempat yang biasa digunakan para kriminal rendahan itu untuk menyembunyikan “barang tangkapan”. Ia tahu ruangan itu, cat temboknya mengelupas, lantainya seperti belum tersentuh sapu selama bertahun-t
Piero masih sembilan belas tahun, harusnya ia lulus sekolah tahun kemarin jika dirinya tidak di penjara karena kasus pembunuhan. Mau tidak mau, ia harus melanjutkan pendidikan selama satu tahun.Setelah setahun tidak sekolah, ini adalah hari pertamanya masuk kembali. Banyak orang memandang ke arahnya, sementara Piero seolah menjadi orang yang berbeda ketika dia di markas para kriminal rendahan itu dan juga di sekolah.Seakan punya kepribadian ganda, ia bisa menjadi pria berdarah dingin dan juga pria yang disukai oleh orang lain. Bagi Piero, sekolah bukan untuk tempat perkelahian.Ia duduk di kursi belakang, tempat yang biasanya dihindari siswa teladan. Tak lama, seorang remaja ceria dengan rambut acak-acakan dan gaya bicara cepat duduk di sebelahnya."Hei, kau anak pindahan ya?" sapanya santai.Piero menoleh perlahan. "Bukan. Aku cuma melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda.""Oh...," pria itu mengangguk paham. "Tertunda karena ikut olimpiade internasional? Atau ikut pertukaran pe
Gedung tua yang menjulang di antara reruntuhan kota itu seolah tak layak ditinggali siapapun, berlapis cat yang mengelupas, jendela-jendela pecah, dan aroma lembab yang meresap sampai ke tulang. Tapi di dalamnya, kehidupan lain berlangsung. Kehidupan liar, kelam, dan kacau.Ruang-ruang gelap itu dihuni oleh para bajingan jalanan yang tak lagi mengenal moral. Asap rokok menggulung di udara, tawa pecandu bersahut-sahutan, dan di balik sekat-sekat kain murahan, tubuh-tubuh bertaut tanpa ikatan. Obat-obatan berpindah tangan seperti permen, dan wanita-wanita yang tak lagi punya pilihan menjadi hiburan kolektif. Dunia kecil yang sudah kehilangan arah.Piero berdiri di tengah itu semua, seperti sosok asing dari dunia berbeda. Tatapan tajamnya menyapu seluruh ruangan, ekspresinya datar, namun penuh penilaian. Jijik? Tentu. Tapi ia tidak datang untuk menjadi hakim. Ia datang untuk memanfaatkan."Carlo, anak mana yang kau bawa itu?" suara serak berat memanggil, datang dari pria bertato dengan b
Piero membuka kembali akun lamanya, tabungan dalam bentuk bitcoin yang telah ia biarkan selama bertahun-tahun, sebelum tubuhnya terkurung dalam jeruji besi. Tapi malam ini, angka itu bertambah berkali lipat. Ia tak perlu waktu lama untuk menarik sebagian dana dan mengkonversinya menjadi kekuatan, kekuasaan yang bisa ia beli.Dan malam ini, misi berikutnya dimulai.Dengan hoodie hitam menutupi kepalanya dan langkah tegas tanpa keraguan, Piero menyusuri kawasan kumuh paling rawan di Boston. Jalanan remang, gedung-gedung terbengkalai, suara musik keras dari speaker rusak, serta aroma menyengat campuran alkohol dan rokok menyambutnya.Di sana, sekumpulan pemuda bengal sedang berpesta di atas mobil tua, tawa mereka menggema bersama bara api dari tong besi. Ketika Piero muncul dari gelap, semua kepala menoleh. Ia datang ke tempat itu, sendirian, tanpa ada senjata mematikan, yang dia bawa hanya tubuhnya sendiri.“Lihat siapa yang datang! Model Calvin Klein tersesat, Bro!” seru seorang pria p