Share

Bab 6

Author: SILAN
last update Last Updated: 2025-08-12 11:03:00

Hari demi hari, Piero terus memburu jejak tiga orang yang telah merenggut nyawa saudaranya. Dua diantaranya sudah ia kirim ke liang kubur. Kini, target ketiga yang ia incar. Malam itu, kabar datang dari Carlo, orang itu berada di Washington. Tanpa pikir panjang, Piero meluncur kesana, melawan dingin malam yang menusuk.

Ia berdiri di trotoar seberang sebuah klub malam yang gemerlap, lampu neon berwarna merah muda dan biru memantul di aspal basah sisa hujan. Hoodie hitamnya menutupi sebagian wajah, membuatnya menyatu dengan bayang-bayang. Satu tangan menggenggam ponsel di telinga, satu lagi di dalam saku, meraba gagang pisau lipat yang sudah ia siapkan.

"Kau yakin dia ada di sini?" suaranya pelan namun tegas, nyaris tak terdengar tertelan musik bising dari dalam klub.

"Yakin," jawab Carlo di seberang. "Dia di dalam. Tunggu saja. Dia akan keluar sebentar lagi."

Klik. Sambungan diputus. Piero mencondongkan tubuh, duduk di pinggiran pagar pembatas. Matanya mengamati setiap wajah yang keluar dari pintu klub, mencari sosok yang sudah ia hafal dari foto-foto hasil penyelidikan.

Hampir tiga puluh menit berlalu, hingga akhirnya ia melihatnya, seorang pria tinggi, merangkul pinggang seorang wanita. Mereka tertawa lepas, aroma alkohol bahkan terasa sampai ke tempat Piero berdiri. Langkah mereka goyah, namun cukup cepat untuk membuat Piero harus bangkit dan mengikuti dari jarak aman.

Ia memilih jalur yang memotong sudut-sudut gelap, memastikan kamera CCTV tidak menangkap wajahnya. Pria itu dan wanitanya masuk ke sebuah gedung apartemen. Piero mengangkat ponsel kembali.

"Carlo, matikan semua kamera di gedung ini."

Kurang dari satu menit kemudian, lampu indikator di kamera-kamera itu padam serentak. Piero bergerak cepat, menaiki tangga darurat dengan langkah senyap. Tepat saat Max membuka pintu unitnya, Piero menghantam punggungnya dengan tendangan brutal. Tubuh Max terhuyung, membentur pintu keras-keras.

Wanita di sebelahnya menjerit.

"Kau pergi. Ini bukan urusanmu," suara Piero datar, tanpa menoleh.

Namun, sebelum wanita itu sempat melangkah, ia menambahkan dengan nada ancaman yang membekukan darah.

"Kalau kau memanggil polisi… besok adalah hari terakhirmu bernapas."

Tatapan wanita itu membeku sepersekian detik sebelum akhirnya ia lari terbirit-birit. Piero menutup pintu apartemen perlahan, seperti pemburu yang baru saja mengunci sang mangsa di kandang.

"Sudah lama tidak bertemu," ujarnya dingin.

Max mengerang, berusaha bangkit. "Brengsek… siapa kau?!"

Piero mendekat, berjongkok di hadapannya. Sudut bibirnya terangkat, suaranya berubah menjadi bisikan yang membuat udara terasa lebih dingin.

"Anggap saja aku malaikat pencabut nyawa."

Tangannya merogoh saku jaket, mengeluarkan pisau berkilat yang menangkap cahaya lampu redup. Kilatan itu memantul di mata Max, menyalakan ketakutan murni.

Sunyi yang mencekam hanya bertahan beberapa detik sebelum Piero bergerak lagi. Ia berjongkok di sisi Max yang tergeletak setengah sadar, darah mulai mengalir dari luka pertama yang ia buat.

"Aku ingin kau merasakannya," gumam Piero pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Ia menekan ujung pisau ke pipi Max, menggores perlahan hingga darah tipis muncul. Max menjerit tertahan, namun Piero menekannya kembali ke lantai dengan lutut di dada.

"Tunggu! Aku tak tahu siapa kau! Kenapa mau membunuhku?!" suaranya panik, terhuyung ke belakang efek alkohol yang ia minum dan ketakutannya.

"Karena kalian lah yang memulai," jawab Piero datar. "Kalau bukan karena kau bersama rekan sialanmu itu… saudaraku pasti masih hidup."

Piero menusukkan pisau itu ke bahu Max, tidak langsung membunuh, hanya membuat luka dalam yang membuat rasa sakitnya menjalar ke seluruh tubuh. Max berteriak, suaranya serak bercampur air liur dan darah.

"Diam," bentak Piero, menempelkan telunjuknya ke bibir Max. "Menjerit tidak akan menolongmu. Tidak ada yang akan mendengar."

Max merintih kesakitan, tak mampu melawan. "Tolong, ampu...ni..."

"Tidak," balas Piero cepat, "Kalian bahkan tidak memberi kesempatan saudaraku untuk melawan, dan inilah balasan yang harus kalian terima."

Tak ada lagi kata-kata. Piero menebas jarak di antara mereka, pisau di tangannya menari cepat, mengoyak daging dan merobek nafas terakhir Max. Darah menyembur, membentuk pola gelap di lantai apartemen yang putih bersih.

Max hanya sempat mengerang lemah, lalu tubuhnya ambruk tak bernyawa.

Sunyi. Hanya suara nafas Piero yang tersisa di ruangan itu.

Dengan langkah tenang, ia menyarungkan kembali pisaunya. Malam masih panjang, dan buruannya kini tersisa dua lagi. Ia harus segera keluar dari gedung ini sebelum keamanan datang menemukannya.

Tepat setelah Piero pergi tanpa meninggalkan jejak atau barang bukti, kamera pengawas kembali aktif kembali. Hoodie hitam yang Piero pakai menyamarkan bercak darah di tubuhnya, dan malam itu juga Piero kembali ke markas bertemu dengan Carlo dan anggota yang lain.

Aroma tubuh Piero yang penuh oleh darah tercium amis ketika melewati orang-orang di sekitarnya. Dan seseorang di dekat Carlo lantas melontarkan kalimat.

"Sebenarnya siapa remaja ini, dia masih muda tapi dia punya sisi psikopat yang membuatku takut padanya."

Carlo mengangguk setuju. "Terkadang dendam lebih mengerikan daripada aturan yang pemerintah tetapkan." desisnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Humming of Death   Bab 19

    Berita tentang rencana pernikahan Garrett dan Laura merajalela di media. Dari televisi, portal online, hingga forum-forum bisnis, semuanya membicarakan sosok Garrett Carpenter. Bukan hanya karena statusnya sebagai CEO muda perusahaan Carpenter, tapi juga karena ia selalu tampil misterius. Tak seorang pun pernah melihat siapa wanita yang akan mendampinginya, dan justru hal itu membuat rasa penasaran publik semakin membuncah.Nama Garrett kini seperti bintang di langit Boston. Dari kalangan bisnis, politik, hingga masyarakat biasa, semua hampir memujinya tanpa henti. Popularitasnya melambung, reputasinya seakan tak tergoyahkan.Namun di sudut ruang gelap apartemennya, Piero menatap layar laptop yang menampilkan berita itu. Tangannya meraih segelas kopi dingin, lalu ia menyandarkan bahu ke kursi. Sekilas, wajahnya tampak tenang. Tetapi begitu matanya menajam, sudut bibirnya terangkat membentuk seringai yang menusuk.“Permainan… dimulai.” gumamnya dingin.__Malam itu, suasana di markas b

  • Humming of Death   Bab 18

    Seperti yang sudah Piero janjikan pada Laura, diam-diam ia membawa Laura pergi menuju ke makam tempat peristirahatan terakhir Henry berada. Meskipun sebenarnya Piero tau, setiap langkah yang ia ambil ini mengandung resiko, anak buah Garrett bisa saja mengikutinya, dan karena itu Piero harus lebih cerdas untuk mengelabui mereka.“Apa hubunganmu dengan Henry sebenarnya, mengapa kau bisa tahu dimana dia dimakamkan?” tanya Laura tiba-tiba, suaranya datar tapi penuh penasaran.Piero melempar senyum tipis, setengah menutupi rasa tegang. “Aku mengenalnya, cukup itu saja yang kau tahu.”Perjalanan panjang berujung pada kecurigaan yang terkonfirmasi, bayangan di belakang mereka bukan kebetulan. Ada orang yang membuntuti. Piero menelan nafas, menahan cemas. Dia menengahi rute, mengarahkan langkah ke makam lain yang jauh dari tujuan sebenarnya, sebuah gerakan kecil untuk menyingkirkan pengikut.“Di mana makam kedua orang tuamu?” Piero balik bertanya, nada suaranya dibuat ringan agar tidak menimb

  • Humming of Death   Bab 17

    Hari-hari berlalu, dan Piero terus berusaha menjaga langkahnya. Ia tak boleh membuat kesalahan sekecil apa pun. Setiap tugas dari Garrett ia selesaikan dengan mulus, tanpa cela, seolah benar-benar anak buah yang setia. Dan hasilnya, Garrett mulai mempercayainya. Ia sering mengajak Piero ikut serta dalam aksi kotor, membawanya ke tempat-tempat di mana rahasia kelamnya tersimpan. Namun, semakin dalam Piero menyelami dunianya, semakin ia sadar, Garrett tidak memiliki hati nurani. Pria itu memperlakukan nyawa orang lain seperti debu, bisa dibuang kapan saja. Dan itu membuat dendam dalam hati Piero tumbuh semakin besar. Tapi menghadapi Garrett tak bisa sembrono, salah langkah, nyawanya akan berakhir seketika. Hari itu, mereka berada di sebuah gudang senjata. Situasi kacau. Tembakan bersahutan, ledakan kecil terdengar dari sudut-sudut ruangan. Asap mesiu memenuhi udara. “Pier, kiri!” teriak salah satu rekan Garrett. Refleks, Piero menunduk, berguling ke tanah, tangannya meraih pistol yan

  • Humming of Death   Bab 16

    Hari demi hari bergulir. Sejak bergabung, Piero mulai mendapat tugas dari Garrett lebih sering dari biasanya. Tugas-tugas yang membuat tangannya kotor, yang memperlihatkan langsung sisi kelam Garrett, kejahatan yang tidak pernah masuk berita, kejahatan yang dunia tidak pernah tahu.Sebulan penuh ia menyelami lingkaran pria itu, dan barulah Piero menemukan alasan mengapa sang kepala sekolah mau menjadi boneka Garrett. Ancaman. Jika ia tak patuh, sekolah akan diledakkan saat ribuan siswa masih berada di dalam kelas. Pilihan itu tak manusiawi, dan sang kepala sekolah memilih tunduk agar anak-anak itu tetap bernafas.Hari ini, Piero berdiri di belakang panggung, menyaksikan Garrett diwawancarai media. Senyumnya penuh karisma, setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah mampu menghipnotis semua orang. Para jurnalis terpukau, publik akan semakin mengaguminya. Dan itu membuat perut Piero mual.Ketika wawancara usai, Piero mengikuti Garrett menuju mobil. Di perjalanan, Garrett bersandar sant

  • Humming of Death   Bab 15

    Satu minggu telah berlalu tanpa ada tugas atau panggilan dari Garrett. Namun Piero tidak pernah berhenti mengawasi, ia tahu pria itu tidak pernah diam. Sore itu, langkah kakinya membawanya ke sebuah gedung tua, tempat berkumpulnya orang-orang yang seakan sudah tidak dianggap sebagai manusia lagi.Begitu pintu berderit terbuka, aroma busuk menusuk hidungnya. Campuran alkohol basi, keringat, dan sesuatu yang lebih gelap. Di dalam, tubuh-tubuh kurus dengan mata sayu berkeliaran bagai mayat hidup. Bahu mereka membungkuk, tangan terkulai, seakan siap jatuh kapan saja.Lantai dipenuhi botol kaca kosong, sebagian masih berisi cairan berbahaya yang membuat mereka menjadi zombie yang merangkak dalam dunia halusinasi. Jumlahnya menggunung, menandakan betapa banyaknya orang yang sudah terseret dalam cengkraman Garrett.“Carlo, ada pemasukan dari Garrett beberapa hari terakhir?” suara Piero terdengar tenang, tapi matanya awas, mengamati setiap gerak di ruangan itu.Carlo yang tengah duduk santai

  • Humming of Death   Bab 14

    Keesokan harinya, Piero dipanggil kembali ke kediaman wanita yang semalam ia temui. Ia tidak tahu apa alasan panggilan itu, namun pria berambut cepak yang kemarin menyambutnya langsung mengarahkan langkah ke halaman belakang. “Nona ingin bicara denganmu,” ucap pria itu dingin. Piero melangkah perlahan, dan dari kejauhan, ia melihat sosok Laura duduk di bawah pohon flamboyan tua. Angin sore menggerakkan helaian rambut hitamnya yang terurai, membuatnya tampak seperti sosok rapuh yang terkunci dalam dunia asing. Piero berhenti tiga meter di belakangnya. “Duduklah,” ucap Laura tanpa menoleh. Piero berdehem singkat lalu mendekat, duduk di kursi besi berkarat yang berhadapan dengannya. Meja bulat kecil di antara mereka menjadi batas tipis, seakan garis pemisah antara dua rahasia besar. “Apa yang membuatmu memanggilku kemari?” tanya Piero, suaranya sengaja datar. Laura menatapnya lekat, matanya seperti berusaha menembus wajah Piero. Namun di balik tatapan itu, tersimpan kesedihan yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status