"Jangan dekati lelaki mana pun, tanpa seijin saya. Kalau nggak, mungkin saya tidak bisa menahan diri lagi!"Aaaa!Aku meremas rambut sendiri lalu membasuh muka berkali-kali.Nggak! Aku yakin Pak Ravi nggak cemburu! Dia mengatakan itu karena gak mau misinya gagal. Sadar, Ra! Sadar!JANGAN BERHARAP LEBIH!Kembali aku menahan napas, memejamkan mata sejenak lalu menghembuskannya lagi perlahan sampai dadaku tenang, aku mencoba mengembalikan rona wajahku yang memerah sambil menatap wastafel. Aku tidak mau siapa pun tahu kalau diri ini sedang kegeeran karena dosen jutek yang ngomong aja pakai muter-muter kayak kipas angin.Sumpah ya, kata-kata Pak Ravi itu emang menyebalkan. Sekalinya bertitah hatiku dibikin gegana (gelisah, galau dan merana) tiada dua. Mana buat nulis kata 'cemburu' aja dia mah pakai TTS, berasa banget aku nikah sama dosen kalau begini.Namun, kali ini aku tidak akan terpancing dan membodohi diri sendiri. Cukup! Aku tak mau lagi ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Asem."F
Semenjak menikah dengan Pak Ravi ada satu hal yang paling aku takutkan yaitu melihatnya marah. Entahlah, kukira itu hal yang wajar mengingat Pak Ravi itu tipe lelaki yang jarang ngomong tapi sekalinya ngomong membuat orang ingin bakar rumah.Nyelekit banget, sumpah. Pantas jika Bu Gea--mertuaku bilang, harus sabar jadi istri seorang Ravi Mahendra karena dari kecil dia memang sudah hidup penuh dengan kekerasan.Menjadi sebatang kara sebelum akhirnya ditemukan Pak Sasongko membuat Pak Ravi menjadi pribadi yang tak pandai mengekspresikan rasa. Saking dinginnya, dia sampai tak bisa berdekatan dengan perempuan, kecuali Bu Gea dan Wita. Tapi, untungnya semua itu tidak lantas menjadikannya seorang gay karena kalau sampai dia belok, alamat kiamat memang sudah sangat dekat."Eheum!" Aku berdehem. Memberi kode gugup pada Pak Ravi yang sejak tadi menatap tajam ke arahku.Sudah setengah jam kami duduk berhadapan di ruang tamu dan dia hanya memandangku lurus tak berkedip, seolah mau marah tapi ...
Sesuai anjuran mertua yang sudah tidak dapat diganggu gugat. Pada akhirnya dengan sangat terpaksa dua hari ini aku harus berakhir di vila keluarga yang berada dalam area istana bunga yang bernuansa hijau dan menenangkan. Sayangnya, keindahan alam ini harus terusik akibat kabar mantanku yang ternyata mengambil honeymoon di tempat yang sama.Alamak! Ini sih namanya sudah jatuh tertimpa tangga ditambah ketiban Hulk juga. Berat, benar-benar berat. Aneh, entah ini kebetulan atau salah satu dari ketiga orang itu telah merencanakannya. Namun, kurasa ini ide yang buruk karena baru saja kemarin merasakan kebebasan berjauhan dari Vio eh, hari ini aku malah bertemu dengan 'si pelit' di taman sekitar vila--tempat di mana aku sedang melakukan joging. Payahnya, aku sendirian lagi tanpa Pak Ravi karena dia memang selalu sibuk dengan dunianya.Aku memelankan ritme lariku saat jarak kami kian menipis. Dari ekor mata ini, kudapati bayangan sang mantan yang tengah melakukan peregangan sambil memamerk
POV RaviSara itu tipe cewek yang suka memendam segala sesuatu sendiri. Bisa termasuk langka, karena sikapnya yang ceroboh dan ceplas-ceplos kadang dapat mengundang tanya.Sempat aku berpikir dari pada aku jadikan dia istri lebih baik aku museumkan biar terawat keunikannya tapi jika begitu nanti bagaimana dia akan membantuku membalas dendam? Selama ini, kurasa kehadiran Sara cukup membantu dalam hal membuat ibu kandungku menderita.Maka dengan sedikit menyesal kuurungkan niat itu apalagi setelah melihatnya menangis dan dihina pagi ini.Kasian. Itu alasan pertama aku membantunya tapi sekarang ... entah. Kupikir otakku mendadak gila hanya dengan memikirkan Sara.Sepertinya aku harus segera mengakhiri ini sebelum terlambat karena semakin hari aku semakin tak bisa mengendalikan diri. Aku tidak mau dia yang seharusnya menjadi kekuatanku sebaliknya akan menjadi kelemahanku.Bukankah begitulah cara seorang lelaki bertahan? Itulah kenapa di beberapa negara, seorang pasukan khusus sangat menja
Benci. Benci. Benci.Tiga kata yang wajib aku lontarkan pada makhluk posesif yang mengekangku layaknya piaraan. Ke mana-mana aku merasa dibuntuti, dekat dikit sama orang udah dicurigai.Heran. Kenapa hidupku semengenaskan ini? Sebelumnya suamiku melarang aku dekat dengan Kevin, terus Kenzi, sekarang ...? Guruh dong. Padahal Guruh itu mahasiswa terbaik yang diidamkan, maka satu kelompok dengannya jadi anugrah karena aku bisa berpeluang besar dapat hibah.Heran aku tuh sama nasib, kenapa bisa terjebak dalam lingkaran seorang Ravi? Seingatku artis Dind* HW belum bisa masak mie instan dapatnya Rey Mb*yang, terus Nia R*madhani belum bisa buka salak eh dapatnya Ardhi Bakri. Pada keren semua itu mana perhatian lagi.Lah, aku? Bisa masak indomie komplit pakai telor,kornet dan sosis kenapa harus dapat Pak Ravi? Kenapa harus dia yang jadi suamiku?Udah jutek, dingin, nyebelin dan posesif lagi!Ya Allah! Aku boleh meminta jodoh ditukar aja nggak, sih?"Udah manyunnya?"Aku bisa melihat Pak Ravi
Mataku melotot melihat beberapa potongan rak dinding yang berserakan di lantai kamar Pak Ravi.Jadi, ini biang keroknya yang membuat tidurku terganggu?"Pak Ravi?!" panggilku kaget.Ini pertama kalinya aku masuk ke kamar suamiku selama pernikahan kami, karena sesuai kesepakatan satu sama lain tidak boleh melewati batas masing-masing. Namun, tak kusangka aku akan masuk dengan cara seperti ini.Kukira dia sakit eh, ternyata dia hanya gemar berbuat kegaduhan. Pantas saja kudengar ada barang jatuh sejak tadi."Sara? Kamu bangun?" tanyanya tanpa melihatku.Kutebak sepertinya dia punya mata ketiga di belakang kepalanya sehingga tanpa menatap pun dia tahu itu aku."Iya Pak. Tadi saya ....""Maaf, saya tidak bisa tidur dan ada yang harus saya lakukan," katanya memutus ucapanku. Posisinya masih sama berjongkok sambil membelakangiku."Oh, iya Pak."Aku mengangguk memahami karena bingung mau merespon apa lagi. Kali ini dia kumaafkan karena Pak Ravi baru patah hati oleh ibu sendiri.Eh, bentar. A
Dalam sekian tanggal horor yang ada di muka bumi, aku rasa hari ini adalah hari paling horor sedunia. Bukan masalahnya bakal terjadi apa tapi siapa yang datang ke rumah Pak Ravi dan disinyalir akan berbuat keonaran.Bu Gea dan Wita. Dua nama wanita yang paling aku ingin hindari kedatangannya. Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukan waktu jam 12.00 pagi, itu berarti kedua wanita itu akan datang sebentar lagi.Astaga! Kenapa sih mereka harus datang saat besok aku mau wawancara beasiswa? Bikin kebebasanku sebagai gadis perawan yang merdeka terenggut paksa.Apesnya nasibku.Semula aku menyangka Bu Gea itu tipe mertua yang baik, ayu dan tidak sombong. Tapi, setelah tahu dari Wita kalau dia berbuat begitu demi menyenangkan anak angkatnya ketakutanku mendadak naik ke level dewa.Tadinya, aku berpikir kalau hanya Wita sih gampang-lah, sesama bocah bisa diatur. Tapi, ini emak-emak ... alamak! Mending pingsan aja deh.Duk! Duk!Berkali-kali kubenturkan kepalaku ke meja dapur hingga menim
"Sudahlah Wit, lagian masih untung ada yang mau sama anak angkat itu. Ibu sih gak masalah sama Sara karena yang penting Ravi tetep ngasih uang balas budinya, cuman kalau si Sara udah coba ngalangin awas aja!""Ya, Wita tahu Bu, tapi ...."Terdengar hening sejenak."Tapi apa?""Wita suka Bu sama Mas Ravi. Kenapa sih Ayah gak mau jodohin Wita aja?""Wita! Syut! Nanti ada yang dengar!""Iya, gue dengar Bu, nih dari tadi udah kayak cicak. Nemplok di pintu," gumamku pelan menyahut dari luar kamar.Aku menghela napas mendengar percakapan Bu Gea dan Wita. Hari ini aku diminta membuat bubur oleh Ibu. Namun, ketika aku mau memberikannya, telingaku malah menangkap pembicaraan aneh ini dan kuputuskan untuk diam di balik pintu. Menguping.Sebenarnya, aku tahu pernikahan memang mewajibkan seorang perempuan untuk beradaptasi dengan keluarga suaminya. Sudah semestinya aku harus mencoba akrab dengan Wita dan Bu Gea, tapi setelah kejadian hari ini aku sangsi sikapku akan tetap sama. Rasa hormatku pada