Share

Bab 4. Make A Deal?

Ekpektasi wanita kalau dilamar itu si cowoknya bawa bunga sambil menyodorkan cincin. Kemudian dengan lembut si cowok berbisik di telinga si cewek.

"Will you marry me?"

Sedap!

Namun, aku? Yang ada si cowok membisikan.

"Kamu ingat kan, hutang kamu?"

Gubrak.

Ya Allah! Apa segini susahnya hidup sebagai anak perempuan yatim-piatu? Sekalinya dapat suami ganteng yang mengajak berumah tangga alasannya karena hutang.

Apa nggak ada yang lebih elit lagi?

Bodohnya, dengan berat hati aku terima lamaran Pak Ravi dan berakhirlah aku di sini sebagai calon istri dari seorang Ravi Mahendra yang masih menunggu resepsi satu minggu lagi.

Pasti banyak yang bertanya, kenapa seminggu lagi? Nggak jadi tiga hari? Jawabannya karena Bu Gea--istri Pak Sasongko ingin semua koleganya hadir tanpa terkecuali. Selain itu, jadwal KUA penuh mungkin banyak yang kebelet nikah sehingga meski persyaratan lengkap ada hal lain yang menjadi pertimbangan.

Mendengar itu, tentu saja Pak Ravi awalnya kecewa tapi yang namanya Pak Ravi dia tak hilang akal.

Dia seakan pemburu yang tak ingin kehilangan hewan buruannya, jadi dia menjebakku untuk tinggal bersama ibu angkatnya sementara waktu dengan dalih keselamatan.

Kata Pak Ravi, aku ini yatim-piatu dan kondisi inilah yang dijadikan alasan kenapa harus ada yang menjaga sampai akad dan resepsi tiba.

Padahal aku tahu, Pak Ravi bersikukuh mengajakku tinggal di Bu Gea bukan karena ingin melindungi tapi dia tidak mau rencana balas dendamnya yang dimulai di hari pernikahan Vio gagal.

Entah apa niatnya, tapi aku yakin Pak Ravi punya ide gila.

Dasar mafia cap ikan sarden!

"Tegakan kepalamu! Kamu tidak sedang mencari uang, kan?" tegur Pak Ravi padaku yang berjalan di belakangnya dengan gugup.

Sebenarnya hari ini adalah hari pernikahan Vio dan Bu Hana, sebagai kolega Bu Hana, aku dan Pak Ravi datang sebagai pengganti Pak Sasongko yang berhalangan hadir. Tapi, aku curiga pasti Pak Ravi sengaja menawarkan diri pada ayahnya karena punya rencana aneh.

Bukannya untuk itu juga dia tiba-tiba melamarku?

"Iya, ini juga mau tegak Pak. Tapi aku minder, coba bapak jadi saya pasti gak mau datang ke nikahan mantan," protesku sambil menutupi muka dengan clutch hadiah Pak Ravi.

"Menyanggah terus. Nanti jadi istri kamu bakal kayak gini gak?"

"Ya, tergantung. Kan yang milih saya jadi istri Bapak, kalau gak punya hutang juga saya mah ogah."

"Apa kamu bilang? Sudah, jangan banyak protes! Ingat, kamu di sini untuk bantu saya, titik," ujarnya dingin.

Aku menghembuskan napas berat. Lagi-lagi dia selalu menyuruhku diam semaunya, kebayang kalau udah jadi suami dia akan memintaku apa lagi?

Entah. Yang jelas aku ingin segera pergi dari sini.

Dalam hening, aku dan Pak Ravi pun kembali berjalan beriringan sambil sesekali mengamati kemeriahan pesta yang sangat mewah ini.

Setelah mengantri cukup lama, tibalah aku di depan kedua mempelai lebih dulu sedangkan Pak Ravi di belakangku. Kulirik Pak Ravi yang berdiri tegang dan menatap tajam ke arah ibu kandungnya yang sama sekali tak mengenal Pak Ravi.

Ibaratnya jika aku mantan yang terbuang, maka Pak Ravi adalah anak yang terbuang.

Sadis.

Melihat itu, seenggaknya aku tenang ternyata ada yang lebih buruk perasaannya. Meski dalam hati aku berdoa agar tidak meneteskan air mata di depan Vio.

Bagaimana pun lima tahun bukan waktu yang mudah untuk melupakan, menyaksikannya berdiri di samping janda kaya itu membuatku ingin menambah maskara waterproof biar jika aku menangis tak luntur. Apalagi Vio hari ini kelihatan cakep banget.

Mau nangis rasanya.

"Hey, Ra. Makasih ya udah datang ke acara nikahan saya." Vio mengulurkan tangannya ke arahku.

Aku mematung sejenak. Sumpah ya, sulit banget buat ngomong ucapan selamat.

"Sama-sama Vio," ucapku singkat. Aneh, cuman sekalimat tapi ngilunya sampai ke organ dalam.

"Oh iya, Sayang ini Sara mantanku yang kuceritakan punya hutang sama aku itu," cetus Vio pada Bu Hana.

"Mantan kamu? Mantan kamu yang suka kamu bantu itu?" respon Bu Hana dengan suara keras membuat semua orang yang hadir di podium melihat ke arahku.

Ya Allah. Aku pengen pulaaaaang!

Penghinaan model macam apa ini? Kenapa aku harus datang jika untuk dihina?

Tak kusangka Bu Hana tampak tak beda jauh sifatnya dari Vio, pantas saja jodoh.

Wanita itu menelitiku dari ujung kaki sampai ujung kepala seakan mengukur seberapa pantas aku hadir di sini. Dodolnya, bagai orang b*go aku hanya bisa menunduk malu sampai dia bersuara lagi.

"Oke style kamu boleh juga. Oh iya, betewe terima kasih ya sudah membebani Vio selama ini. Cowok mana lagi yang kamu goda buat kamu tumpangi hidup, Ra? Semoga kamu mendapat yang lebih baik ya," sindir Bu Hana telak menusuk jantung dan itu menyakitkan.

Ingin rasanya membela diri tapi seseorang sudah menyela lebih dulu.

"Anda jangan khawatir Bu, dia sudah mendapat yang lebih baik kok. Dia akan menikah dengan saya, kenalkan saya Ravi Mahendra Sasongko."

Seketika semua terdiam ketika Pak Ravi memperkenalkan diri, terutama Bu Hana. Dia menatap Pak Ravi seolah terkejut.

Wanita kaya itu berucap gugup dengan wajah yang pucat.

"Ravi Mahendra Sasongko? Benar itu namamu? Jadi kamu anaknya ...."

"Iya saya anaknya Pak Sasongko dan ini calon istri saya Sara Elvira. Kenapa? Anda kaget karena telah menghina calon istri partner Anda?" seringai Pak Ravi membuat kedua mempelai sontak membungkam mulutnya rapat-rapat.

Speechless.

(***)

"Huwaaaaa! Tega! Kenapa orang kaya tega semua? Kalau gitu mending jangan jadi orang kaya."

"Bener? Emang kamu gak mau makan nasi padang tiap hari?" sahut Pak Ravi kalem.

"Mau tapi ... huwaaaa!"

Entah berapa kali aku menjerit dan menangis di dalam mobil Pak Ravi yang ada di parkiran hotel. Sementara lelaki itu memilih menunggu di luar karena dia tak ingin mengganggu. Alhasil, kita hanya berkomunikasi via jendela.

Menyakitkan.

Aku benar-benar kecewa sama Vio dan Bu Hana. Kedua orang itu nggak punya hati, mereka telah dibutakan oleh harta hingga tega menindasku. Beruntung Pak Ravi segera menyela kalau enggak gitu aku bisa jadi bulan-bulanan para manusia sombong yang ada di dalam sana.

Aku pasti nggak kuat.

"Ra! Sara Elvira!" panggil Pak Ravi saat aku masih disibukan dengan tangisan dan ingus yang keluar.

"Apa?" sahutku kesal.

Heran. Ganggu aja orang lagi berduka juga.

"Udah belum nangisnya? Banyak nyamuk nih di sini. Pulang yuk?"

Huwaaaa!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status