Ekpektasi wanita kalau dilamar itu si cowoknya bawa bunga sambil menyodorkan cincin. Kemudian dengan lembut si cowok berbisik di telinga si cewek.
"Will you marry me?"Sedap!Namun, aku? Yang ada si cowok membisikan."Kamu ingat kan, hutang kamu?"Gubrak.Ya Allah! Apa segini susahnya hidup sebagai anak perempuan yatim-piatu? Sekalinya dapat suami ganteng yang mengajak berumah tangga alasannya karena hutang.Apa nggak ada yang lebih elit lagi?Bodohnya, dengan berat hati aku terima lamaran Pak Ravi dan berakhirlah aku di sini sebagai calon istri dari seorang Ravi Mahendra yang masih menunggu resepsi satu minggu lagi.Pasti banyak yang bertanya, kenapa seminggu lagi? Nggak jadi tiga hari? Jawabannya karena Bu Gea--istri Pak Sasongko ingin semua koleganya hadir tanpa terkecuali. Selain itu, jadwal KUA penuh mungkin banyak yang kebelet nikah sehingga meski persyaratan lengkap ada hal lain yang menjadi pertimbangan.Mendengar itu, tentu saja Pak Ravi awalnya kecewa tapi yang namanya Pak Ravi dia tak hilang akal.Dia seakan pemburu yang tak ingin kehilangan hewan buruannya, jadi dia menjebakku untuk tinggal bersama ibu angkatnya sementara waktu dengan dalih keselamatan.Kata Pak Ravi, aku ini yatim-piatu dan kondisi inilah yang dijadikan alasan kenapa harus ada yang menjaga sampai akad dan resepsi tiba.Padahal aku tahu, Pak Ravi bersikukuh mengajakku tinggal di Bu Gea bukan karena ingin melindungi tapi dia tidak mau rencana balas dendamnya yang dimulai di hari pernikahan Vio gagal.Entah apa niatnya, tapi aku yakin Pak Ravi punya ide gila.Dasar mafia cap ikan sarden!"Tegakan kepalamu! Kamu tidak sedang mencari uang, kan?" tegur Pak Ravi padaku yang berjalan di belakangnya dengan gugup.Sebenarnya hari ini adalah hari pernikahan Vio dan Bu Hana, sebagai kolega Bu Hana, aku dan Pak Ravi datang sebagai pengganti Pak Sasongko yang berhalangan hadir. Tapi, aku curiga pasti Pak Ravi sengaja menawarkan diri pada ayahnya karena punya rencana aneh.Bukannya untuk itu juga dia tiba-tiba melamarku?"Iya, ini juga mau tegak Pak. Tapi aku minder, coba bapak jadi saya pasti gak mau datang ke nikahan mantan," protesku sambil menutupi muka dengan clutch hadiah Pak Ravi."Menyanggah terus. Nanti jadi istri kamu bakal kayak gini gak?""Ya, tergantung. Kan yang milih saya jadi istri Bapak, kalau gak punya hutang juga saya mah ogah.""Apa kamu bilang? Sudah, jangan banyak protes! Ingat, kamu di sini untuk bantu saya, titik," ujarnya dingin.Aku menghembuskan napas berat. Lagi-lagi dia selalu menyuruhku diam semaunya, kebayang kalau udah jadi suami dia akan memintaku apa lagi?Entah. Yang jelas aku ingin segera pergi dari sini.Dalam hening, aku dan Pak Ravi pun kembali berjalan beriringan sambil sesekali mengamati kemeriahan pesta yang sangat mewah ini.Setelah mengantri cukup lama, tibalah aku di depan kedua mempelai lebih dulu sedangkan Pak Ravi di belakangku. Kulirik Pak Ravi yang berdiri tegang dan menatap tajam ke arah ibu kandungnya yang sama sekali tak mengenal Pak Ravi.Ibaratnya jika aku mantan yang terbuang, maka Pak Ravi adalah anak yang terbuang.Sadis.Melihat itu, seenggaknya aku tenang ternyata ada yang lebih buruk perasaannya. Meski dalam hati aku berdoa agar tidak meneteskan air mata di depan Vio.Bagaimana pun lima tahun bukan waktu yang mudah untuk melupakan, menyaksikannya berdiri di samping janda kaya itu membuatku ingin menambah maskara waterproof biar jika aku menangis tak luntur. Apalagi Vio hari ini kelihatan cakep banget.Mau nangis rasanya."Hey, Ra. Makasih ya udah datang ke acara nikahan saya." Vio mengulurkan tangannya ke arahku.Aku mematung sejenak. Sumpah ya, sulit banget buat ngomong ucapan selamat."Sama-sama Vio," ucapku singkat. Aneh, cuman sekalimat tapi ngilunya sampai ke organ dalam."Oh iya, Sayang ini Sara mantanku yang kuceritakan punya hutang sama aku itu," cetus Vio pada Bu Hana."Mantan kamu? Mantan kamu yang suka kamu bantu itu?" respon Bu Hana dengan suara keras membuat semua orang yang hadir di podium melihat ke arahku.Ya Allah. Aku pengen pulaaaaang!Penghinaan model macam apa ini? Kenapa aku harus datang jika untuk dihina?Tak kusangka Bu Hana tampak tak beda jauh sifatnya dari Vio, pantas saja jodoh.Wanita itu menelitiku dari ujung kaki sampai ujung kepala seakan mengukur seberapa pantas aku hadir di sini. Dodolnya, bagai orang b*go aku hanya bisa menunduk malu sampai dia bersuara lagi."Oke style kamu boleh juga. Oh iya, betewe terima kasih ya sudah membebani Vio selama ini. Cowok mana lagi yang kamu goda buat kamu tumpangi hidup, Ra? Semoga kamu mendapat yang lebih baik ya," sindir Bu Hana telak menusuk jantung dan itu menyakitkan.Ingin rasanya membela diri tapi seseorang sudah menyela lebih dulu."Anda jangan khawatir Bu, dia sudah mendapat yang lebih baik kok. Dia akan menikah dengan saya, kenalkan saya Ravi Mahendra Sasongko."Seketika semua terdiam ketika Pak Ravi memperkenalkan diri, terutama Bu Hana. Dia menatap Pak Ravi seolah terkejut.Wanita kaya itu berucap gugup dengan wajah yang pucat."Ravi Mahendra Sasongko? Benar itu namamu? Jadi kamu anaknya ....""Iya saya anaknya Pak Sasongko dan ini calon istri saya Sara Elvira. Kenapa? Anda kaget karena telah menghina calon istri partner Anda?" seringai Pak Ravi membuat kedua mempelai sontak membungkam mulutnya rapat-rapat.Speechless.(***)"Huwaaaaa! Tega! Kenapa orang kaya tega semua? Kalau gitu mending jangan jadi orang kaya.""Bener? Emang kamu gak mau makan nasi padang tiap hari?" sahut Pak Ravi kalem."Mau tapi ... huwaaaa!"Entah berapa kali aku menjerit dan menangis di dalam mobil Pak Ravi yang ada di parkiran hotel. Sementara lelaki itu memilih menunggu di luar karena dia tak ingin mengganggu. Alhasil, kita hanya berkomunikasi via jendela.Menyakitkan.Aku benar-benar kecewa sama Vio dan Bu Hana. Kedua orang itu nggak punya hati, mereka telah dibutakan oleh harta hingga tega menindasku. Beruntung Pak Ravi segera menyela kalau enggak gitu aku bisa jadi bulan-bulanan para manusia sombong yang ada di dalam sana.Aku pasti nggak kuat."Ra! Sara Elvira!" panggil Pak Ravi saat aku masih disibukan dengan tangisan dan ingus yang keluar."Apa?" sahutku kesal.Heran. Ganggu aja orang lagi berduka juga."Udah belum nangisnya? Banyak nyamuk nih di sini. Pulang yuk?"Huwaaaa!Setelah bertemu dengan Vio dan Pak Ravi ada dua hal yang menjadi prinsip dalam hidupku, prinsip kesatu jangan mudah percaya sama mulut lelaki dan prinsip kedua jangan muda menerima pemberian apa pun dari orang lain. Kenapa? Karena akan sangat menyusahkan dan merepotkan. Jika tak ingat kalau aku masih punya iman, aku mungkin sudah bunuh diri. Untunglah, aku pernah dengar kajian kalau orang yang berhutang itu entar di akhiratnya bakal susah. Jadi, dari pada susah mending nikah sama Pak Ravi aja. Sama-sama susah, kan? Maka, dengan segenap hati dan seberat body akhirnya aku sampai juga di hari ini.Tepat seminggu sesudah resepsi Vio akhirnya giliran aku yang menggelar akad dan resepsi yang melelahkan. Meski kata Bu Gea masih sangat sederhana karena hanya mengundang kolega penting dan keluarga terdekat, tapi tetap saja badanku berasa remuk semua. "Hoaaaaam!" Aku kembali menguap ketika tubuh ini berhasil kurebahkan di atas tempat tidur. Mataku mulai menerawang menembus langit-langit kam
Kesan hari pertama jadi istri yang dinikahi akibat hutang itu rasanya seperti kamu jadi Captain America yang kesasar di negeri Alakadabra alias 'OLENG'.Seharusnya kurutuki Pak Ravi yang seenak udelnya tak membangunkanku dan berangkat lebih dulu. Sebagai asisten dosen tentu saja ini bencana bagiku, apa pendapat para mahasiswa kalau dosen lebih dulu datang dibanding asdos-nya? Bisa di-bully habis-habisan aku sama mahasiswa yang lagi praktikum. Mereka kan tengil dan pastinya aku akan jadi bulan-bulanan. Duh Gusti! Heran deh, segitu kejamnya punya laki enggak ada manis-manisnya. Kalau aku kesiangan, bangunkan kek atau elus kek pipinya biar sadar. Ini bukannya empati tapi malah sengaja biar aku terlena.Alhasil, dengan langkah terburu-buru aku pamit sama mertua dan memesan ojek untuk sampai di tempat perkuliahan secepat mungkin. Lalu, berakhirlah aku di sini. Di depan lab Material-1 di mana Pak Ravi sedang berdiri dengan tatapan dingin seraya mengabsen mahasiswa satu-persatu. Biasan
Kata Mbah G**gle, biar hubungan kita sama pasangan itu aman, tentram dan loh jinawi, jangan pernah membahas dan membawa masalah mantan baik dalam kondisi apa pun kecuali kepepet. Tetapi kayaknya hal itu tidak berlaku bagi aku dan Pak Ravi, wong tujuan misi kita adalah membalas dendam pada istri mantanku beserta Vio kok. Eh, bentar ... emang Pak Ravi mau memberi pelajaran sama si mantan 'enggak ada akhlak juga' gitu? Ah, itu kayaknya aku aja kali dia enggak. Pak Ravi itu lelaki paling egois yang pernah aku temui, mana mungkin dia berpikiran tentang bagaimana perasaanku jika untuk memarahi seorang Sara di depan mahasiswanya saja dia bisa. Bayangkan, hanya karena perkara cincin ketinggalan di kamar mandi, tuh laki repotnya udah sampai ke ubun-ubun. Sampai membuat satu kelas horor hanya karena tingkahnya. Gimana kalau aku ketinggalan dalaman?"Saraaa! B*ha dan CD kamu nih, kok ada di wastafel?" Astaga! Kejadian. Serius? Mendengar teriakan yang tiba-tiba dari arah kamar mandi, aku la
Banyak yang bilang cara menaklukan orang sombong bin tukang pamer itu hanya dengan dua cara. Satu mengabaikannya karena kamu nggak peduli dan dua bertindaklah lebih dari 'si sombong' agar dia tahu di atas langit masih ada langit.So, menimbang dan melihat kelakuan suamiku akhirnya aku bisa menyimpulkan. Kurasa langkah kedua itulah yang sedang Pak Ravi jalankan bagi Bu Hana, disebabkan Bu Hana itu emang suka merendahkan orang lain. Hanya karena lingerie dia tega membawa-bawa hutang masa laluku pada suaminya.Beruntung, Pak Ravi itu selain pintar ngomel dia juga pintar melaksanakan misi sehingga harga diriku tadi bisa terselamatkan dan menurutku itu langkah yang cerdas.Walau ... harus kuakui itu berlebihan. Apalagi kalau sampai meluk-meluk pinggang kan kasian hati perawan kayak aku ini, berasa dikasih harapan gitu."Kamu mau sampai kapan bengong gitu? Ini malam hari ya, saya gak mau kamu kesurupan karena nggak kemasukan aja kamu udah ngerepotin saya. Lebih baik kamu bersiap karena seb
Disclaimer:Jika ada yang bertanya apakah aku senang tinggal di perumahan elit? Jawabannya adalah TIDAK.Kenapa? Karena baru seminggu aku tinggal di perumahan rasanya beratku turun beberapa ons.Penyebabnya tak lain dan tak bukan, karena aku kekurangan bahan asupan jajanan kesukaanku seperti bakso, cendol, siomay sampai kue putu. Tragis!Kukira tinggal di perumahan elit itu menyenangkan karena fasilitas lengkap tersedia tanpa memikirkan esok makan apa, tapi setelah aku jalani rasanya gaya hidup seperti ini tak cocok denganku.Jujur, aku belum terbiasa dengan kondisi sepi dan angkuh seperti ini.Di mana para tetangga bersifat individual tanpa mempedulikan satu sama lain. Pantas saja, jika ada kejadian pembunuhan mereka tak akan tahu karena bagiku masing-masing rumah memiliki barier tersendiri bagi pihak asing.Termasuk rumah Bu Hana dan Vio, sepemantauanku akibat pagar yang tinggi, aku jadi tidak tahu aktivitas mereka padahal aku harus tahu demi kelancaran misi. Sudah kuduga membalas d
Yakinlah sifat dasar manusia itu tidak mungkin langsung berubah dalam satu waktu dan sekarang aku menyesal karena terlalu berharap.Pak Ravi tetaplah dosen menyebalkan yang suka memerintah dan galak. Buktinya, meski semalam dia sudah membelaku di hadapan nenek sihir--Bu Hana, esok harinya dia kembali menjadi manusia paling enggak peka sedunia. Sudah kuduga, baginya aku tak lebih dari sebuah sandiwara.Aku saja yang bodoh membawanya baper sampai ke sumsum tulang. Padahal untuk Pak Ravi, mungkin aku tak lebih dari remahan ranginang di kaleng monde, rasanya ada tapi bukan fokus utama.Luka tapi tak berdarah.Arrh! Apa mungkin dia sebenarnya malu karena ulahku yang memakai barang kawe di pesta kemarin? Sehingga dia kesal kalau aku sudah mempergunakan uangnya untuk hal yang tak berguna.Tuk. Tuk."Sara! Sar! Kamu bisa jaga mereka lebih dekat? Karena mereka mulai berisik," perintah Pak Ravi disertai ketukan di meja berhasil menghancurkan lamunanku.Aku tersentak kaget menatap Pak Ravi yang
"Jangan dekati lelaki mana pun, tanpa seijin saya. Kalau nggak, mungkin saya tidak bisa menahan diri lagi!"Aaaa!Aku meremas rambut sendiri lalu membasuh muka berkali-kali.Nggak! Aku yakin Pak Ravi nggak cemburu! Dia mengatakan itu karena gak mau misinya gagal. Sadar, Ra! Sadar!JANGAN BERHARAP LEBIH!Kembali aku menahan napas, memejamkan mata sejenak lalu menghembuskannya lagi perlahan sampai dadaku tenang, aku mencoba mengembalikan rona wajahku yang memerah sambil menatap wastafel. Aku tidak mau siapa pun tahu kalau diri ini sedang kegeeran karena dosen jutek yang ngomong aja pakai muter-muter kayak kipas angin.Sumpah ya, kata-kata Pak Ravi itu emang menyebalkan. Sekalinya bertitah hatiku dibikin gegana (gelisah, galau dan merana) tiada dua. Mana buat nulis kata 'cemburu' aja dia mah pakai TTS, berasa banget aku nikah sama dosen kalau begini.Namun, kali ini aku tidak akan terpancing dan membodohi diri sendiri. Cukup! Aku tak mau lagi ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Asem."F
Semenjak menikah dengan Pak Ravi ada satu hal yang paling aku takutkan yaitu melihatnya marah. Entahlah, kukira itu hal yang wajar mengingat Pak Ravi itu tipe lelaki yang jarang ngomong tapi sekalinya ngomong membuat orang ingin bakar rumah.Nyelekit banget, sumpah. Pantas jika Bu Gea--mertuaku bilang, harus sabar jadi istri seorang Ravi Mahendra karena dari kecil dia memang sudah hidup penuh dengan kekerasan.Menjadi sebatang kara sebelum akhirnya ditemukan Pak Sasongko membuat Pak Ravi menjadi pribadi yang tak pandai mengekspresikan rasa. Saking dinginnya, dia sampai tak bisa berdekatan dengan perempuan, kecuali Bu Gea dan Wita. Tapi, untungnya semua itu tidak lantas menjadikannya seorang gay karena kalau sampai dia belok, alamat kiamat memang sudah sangat dekat."Eheum!" Aku berdehem. Memberi kode gugup pada Pak Ravi yang sejak tadi menatap tajam ke arahku.Sudah setengah jam kami duduk berhadapan di ruang tamu dan dia hanya memandangku lurus tak berkedip, seolah mau marah tapi ...