Share

Bab 3. Nikah? Seriously?

Percayalah kalau ada voting buat mantan ter-kurang ajar kukira si Vio ini akan menjadi mantan paling wahid yang akan aku pilih dalam voting.

Kukira setelah Pak Ravi memberikan atm, hutangku akan selesai tapi ternyata dia lagi-lagi menggangguku.

Baru saja aku turun dari ojek sepulang dari ngobrol sama Pak Ravi, si Vio dengan pongahnya lagi bersandar ke tembok kontrakanku seakan dia sudah menunggu sejak lama. Untungnya, Pak Ravi nggak jadi mengantarku coba kalau jadi bisa perang dunia ketiga lagi karena dua jantan ini kembali bertemu.

Aku tak mengerti dosa apa yang aku lakukan sebelumnya? Hingga bukannya aku dapat mantan yang baik malah dapat mantan yang ... entah. Apa mungkin aku kurang sedekah?

"Mau apa lagi kamu ke sini? Bukannya hutang udah saya bayar lunas?" tanyaku langsung pada inti permasalahan.

Rasanya ingin garuk tembok lalu mencakar mukanya.

Belum kering luka batin, dia sepertinya mau menambah luka lagi. Lima tahun kebersamaan kami tampaknya tak berarti, ibarat panas bertahun lamanya dihapus hujan sehari.

Kacau.

"Saya? Sejak kapan panggilan 'aku' jadi 'saya?" tanya Vio dengan wajah kesal.

"Sejak lebaran monyet. Dahlah, kamu mau ngapain ke sini? Saya gak ada waktu ngobrol sama calon suami orang," jawabku tegas.

Bagiku tak ada lagi panggilan 'aku-kamu' seperti dulu. Ogah!

Vio menyeringai, rambut di dagunya yang lebih mirip bulu ketek dibanding janggut itu ikut melebar.

"Ngokeh, kalau kamu mau kita lebih resmi. Baik Sara Elvira Wijayanto saya mau nanya barang saya yang lain."

"Barang kamu yang lain? Barang yang mana?"

Aku melotot karena pertanyaannya sangat mengada-ngada. Perasaan apa yang dia berikan sudah kuserahkan semua bahkan hingga k*tang, aku balikin takutnya dipelet.

"Kamu lupa waktu dulu, saat orang tua kamu kecelakaan kamu pernah minjem jam tangan almarhum bapak saya untuk dijual demi mengeluarkan jasad orang tua kamu kan dari rumah sakit. Kamu ingat?" tanya Vio yang langsung membuat lututku lemas tak bertenaga.

Oh ya Allah! Dia mau menagih yang itu juga? Apa dia sudah gila?

"Iya saya ingat. Tapi kan, waktu itu kamu yang nawarin diri Vio. Kata kamu pakai aja dulu, soalnya kamu kasian liat saya, Kok, sekarang kamu tagih lagi? Please-lah Vio, ini namanya pemerasan!"

"Pemerasan? Kamu yang tanda tangan kok, kamu gak ingat pas saya minta kamu tanda tangan surat perjanjian?"

"Hah kapan? Perasaan kamu cuman bilang butuh ttd saya buat registrasi apa gitu."

"Makanya kalau ada yang ngasih surat perjanjian itu dibaca! Itu sebenarnya surat perjanjian di mana kamu akan mengembalikan jam tangan almarhum bapak saya, b*do kok dipiara?" hina Vio penuh kemenangan.

"Dasar buntut kasiran! SIIIIAAAAL!" teriakku kencang dengan emosi.

Sumpah ya, aku tak peduli jika akhirnya beberapa orang warga melihat ke arahku. Namanya juga hidup di gang, pertengkaran sekecil apa pun akan terdengar.

"Hahahaha ... iya aku emang buntut kasiran, kamu mau apa?" ledeknya songong sambil menunjukan deretan giginya yang berbehel mahal.

Pamer.

Rasanya ingin kulayangkan sumpah serapah sekarang pada Vio setelah mendengar penghinaan si kutu busuk ini.

Aku benar-benar menyesal telah ceroboh main asal tanda tangan.

Namun, apa daya dia benar sekarang? Aku ingat sekarang, dulu dua tahun lalu waktu aku sedang sedih-sedihnya di depan pusara ibuku, si Vio datang dengan membawa satu lembar kertas yang katanya itu bagian kelengkapan dari rumah sakit, karena aku sedang kalut bodohnya aku tak membaca keseluruhan apa isi kertas itu karena percaya pada Vio dan sekarang aku kena batunya.

Ya Allah!

Kalau seandainya bunuh orang enggak dosa, mungkin sekarang aku sudah menyiramkan bensin pada wajah Vio dan membakarnya hidup-hidup.

"Gimana? Saya benar, kan? Jadi, jangan merasa menang dengan kamu mau menikah dengan Pak Ravi, karena saya lebih tahu kamu dari pada dia! Selamanya kamu gak akan lepas dari saya karena surat ini akan mengikatmu!"

"Maksud kamu apa?" tantangku mendadak mendapat firasat buruk. Terutama ketika dia mengeluarkan selembar kertas yang ia acungkan tepat di depan hidungku.

"Cih! Masih nanya lagi? Dengar, perjanjian ini akan saya jadikan senjata karena kamu belum membayar hutang barang pemberian saya satu lagi dan asal kamu tahu saya ingin jam tangan itu kembali utuh bukan dengan bentuk uang dan sebagainya, ingat jam tangan yang sama dengan model yang sama.

Kamu tidak mau mengecewakan Ibuku yang sudah menganggapmu anak bukan? Bayangkan jika dia tahu jam peninggalan suaminya kamu jual, pasti dia akan membencimu."

"B*rengs*k!" Aku mengepal geram mendengar ucapan Vio yang bergulir bagai peluru yang terus menerus menembus jantung.

Tak kusangka kecerobohanku dia jadikan alat untuk memeras. Tapi, kali ini aku tak akan tinggal diam. Dia sungguh berbeda dengan Bu Eva yang baik, Vio sungguh produk gagal dari keturunannya.

"Oke, saya akan mencarinya tapi sebelum itu boleh saya pinjam suratnya?" tanyaku dengan nada yang mencoba biasa. "Kali aja kan kamu mau nipu saya?"

"Boleh kok, nih silahkan cek!"

"OKE."

Aku langsung merebut kertas yang ia sodorkan dan tanpa melihat gegas kusobek kertas itu sampai hancur berkeping-keping dengan amarah yang udah sampai ke ubun-ubun.

Srek! Srek!

"Sara! Mau apa kamu?" bentak Vio membuat semua orang yang sudah menonton kami semakin heboh.

Mau bagaimana lagi bertengkar di depan kontrakan ya pasti jadi konsumsi umum dong. Tetapi, aku tak peduli karena fokusku hanya ingin melenyapkan surat perjanjian terkutuk ini.

Aku tertawa puas setelah surat perjanjian itu aku sobek dan kulemparkan ke mukanya. "Makan tuh surat perjanjian! Sekarang, perjanjian kita gak ada lagi! Pergi kau mantan nggak ada akhlak!" ocehku dengan dada membusung marah.

Sekejap Vio terlihat marah tapi tiba-tiba dia tersenyum sinis. "Dasar bodoh! Kamu pikir aku sebod*h kamu? Saya kan punya salinannya."

Hah? Fix dia sakit jiwa.

(***)

Pernah nggak sih, merasa bahwa hidupmu hancur dan merasa tak penting lagi hidup? Kukira aku sedang merasakannya sekarang.

Jam tangan! Jam tangan! Jam tangan! Ah ... harus ke mana aku mencarinya?

Aku ingat dulu pernah menjualnya pada seorang kolektor bahan antik via online tapi tadi pas aku cek ternyata nomorku sudah diblokir sama orang itu, akun medsos si kolektor pun raib entah ke mana.

Ya ampun! Kenapa aku bisa seceroboh ini, sih? Mana aku lupa merek jamnya. Yang kuingat hanya bentuknya saja, itu memang jam tua tapi katanya sangat bernilai historis jadi si kolektor mau membeli jam itu berapa pun biayanya.

"Agggghhhhh!" Aku kembali berteriak seperti orang gila di kursi rotan yang ada di kamar kontrakan.

Sungguh aku bingung harus minta tolong siapa lagi.

Ke Pak Ravi? Ah, enggaklah. Dia pasti marah setelah aku tolak permintaannya untuk bertemu keluargaku.

Habisnya gila aja, dia minta nikah tiga hari.

Emang aku ini anak ayam yang tinggal kawinin terus kelar? Nggak semudah itu Fernando Jose.

Terlebih, di kota ini aku hanya hidup sebatang kara.

Hanya Wak Omen yang bisa kuandalkan sebagai keluarga itu pun dia sudah tua dan dia tinggal di kampung.

Aku tak mau merepotkannya.

Banyak yang bilang dulu orang tuaku itu kawin lari jadi banyak yang tak setuju tentang hubungan orang tuaku. Beruntung, aku dibesarkan dengan baik sampai bisa kuliah hingga musibah terjadi, dua tahun lalu kecelakaan nahas akhirnya merenggut orang tuaku dan saat itu aku kuakui hanya Vio yang ada di sampingku.

Menilai latar belakangku ini.

Sepertinya aku harus memikirkan tentang kesepakatan kami.

Apa aku gagalkan saja kesepakatan ini? Tapi bagaimana caranya mengembalikan uang dosen muda itu?

Kasian juga dia, setahuku dia dulu juga pengamen cilik di lampu merah sampai diangkat anak oleh Pak Sasongko--seorang pengusaha dari Surabaya yang sedang berkunjung ke Bandung.

Tok. Tok. Tok.

Di tengah kegalauan level akut kudengar pintu rumah kontrakan diketuk seseorang.

"Siapa?" tanyaku sambil beringsut dari kursi yang ada di kamar menuju pintu untuk membukanya.

Cklek. Bersamaan dengan pintu yang terbuka, muncullah seorang lelaki tampan dengan menggunakan jas.

Wajahnya bersinar cerah walau di bawah lampu teras yang hampir padam.

"Pak Ravi? Ngapain ke sini?" tanyaku dengan mata membulat sempurna.

Terlebih saat kulihat ada Pak Sasongko dan seorang wanita setengah baya menyertainya, kutebak itu istri Pak Sasongko.

Pak Ravi tersenyum sumringah, begitu pun kedua orang tua di belakangnya.

Belum sadar sepenuhnya karena masih syok, Pak Ravi tetiba membisik di telingaku.

"Halo, Sar? Saya ke sini bawa ibu-ayah angkat saya untuk melamarmu, jadi boleh saya masuk? Oh iya, saya juga udah hubungin W* Omen uwa-mu dari kampung. Jadi, kamu gak punya alasan lagi buat nolak kan?"

"Eh, W* Omen? Bapak jemput dia?"

Gila ya, lelaki satu ini terniat. Iya niat banget balas dendam sama ibunya.

Jangan-jangan dia menguntitku selama ini?

"Iya, jadi kita bisa nikah dulu secara agama jika kamu mau. Kamu gak lupa kan, maharnya sudah kamu terima lebih dulu."

"Ma-mahar?"

"Iya, uang empat puluh juta yang saya gunakan untuk membayar hutangmu. Hutang barang mantan. Kamu tahu kan, di muka bumi ini tak ada yang gratis?"

Dan seketika pegangan tanganku di gagang pintu pun terlepas. Mendengar ucapan Pak Ravi, aku tak bisa berkata apa-apa lagi.

Aku mati kutu. On the way kejang-kejang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status