Home / Romansa / Hutang Barang Mantan / Bab 3. Nikah? Seriously?

Share

Bab 3. Nikah? Seriously?

Author: Fiska Aimma
last update Last Updated: 2022-05-18 15:53:27

Percayalah kalau ada voting buat mantan ter-kurang ajar kukira si Vio ini akan menjadi mantan paling wahid yang akan aku pilih dalam voting.

Kukira setelah Pak Ravi memberikan atm, hutangku akan selesai tapi ternyata dia lagi-lagi menggangguku.

Baru saja aku turun dari ojek sepulang dari ngobrol sama Pak Ravi, si Vio dengan pongahnya lagi bersandar ke tembok kontrakanku seakan dia sudah menunggu sejak lama. Untungnya, Pak Ravi nggak jadi mengantarku coba kalau jadi bisa perang dunia ketiga lagi karena dua jantan ini kembali bertemu.

Aku tak mengerti dosa apa yang aku lakukan sebelumnya? Hingga bukannya aku dapat mantan yang baik malah dapat mantan yang ... entah. Apa mungkin aku kurang sedekah?

"Mau apa lagi kamu ke sini? Bukannya hutang udah saya bayar lunas?" tanyaku langsung pada inti permasalahan.

Rasanya ingin garuk tembok lalu mencakar mukanya.

Belum kering luka batin, dia sepertinya mau menambah luka lagi. Lima tahun kebersamaan kami tampaknya tak berarti, ibarat panas bertahun lamanya dihapus hujan sehari.

Kacau.

"Saya? Sejak kapan panggilan 'aku' jadi 'saya?" tanya Vio dengan wajah kesal.

"Sejak lebaran monyet. Dahlah, kamu mau ngapain ke sini? Saya gak ada waktu ngobrol sama calon suami orang," jawabku tegas.

Bagiku tak ada lagi panggilan 'aku-kamu' seperti dulu. Ogah!

Vio menyeringai, rambut di dagunya yang lebih mirip bulu ketek dibanding janggut itu ikut melebar.

"Ngokeh, kalau kamu mau kita lebih resmi. Baik Sara Elvira Wijayanto saya mau nanya barang saya yang lain."

"Barang kamu yang lain? Barang yang mana?"

Aku melotot karena pertanyaannya sangat mengada-ngada. Perasaan apa yang dia berikan sudah kuserahkan semua bahkan hingga k*tang, aku balikin takutnya dipelet.

"Kamu lupa waktu dulu, saat orang tua kamu kecelakaan kamu pernah minjem jam tangan almarhum bapak saya untuk dijual demi mengeluarkan jasad orang tua kamu kan dari rumah sakit. Kamu ingat?" tanya Vio yang langsung membuat lututku lemas tak bertenaga.

Oh ya Allah! Dia mau menagih yang itu juga? Apa dia sudah gila?

"Iya saya ingat. Tapi kan, waktu itu kamu yang nawarin diri Vio. Kata kamu pakai aja dulu, soalnya kamu kasian liat saya, Kok, sekarang kamu tagih lagi? Please-lah Vio, ini namanya pemerasan!"

"Pemerasan? Kamu yang tanda tangan kok, kamu gak ingat pas saya minta kamu tanda tangan surat perjanjian?"

"Hah kapan? Perasaan kamu cuman bilang butuh ttd saya buat registrasi apa gitu."

"Makanya kalau ada yang ngasih surat perjanjian itu dibaca! Itu sebenarnya surat perjanjian di mana kamu akan mengembalikan jam tangan almarhum bapak saya, b*do kok dipiara?" hina Vio penuh kemenangan.

"Dasar buntut kasiran! SIIIIAAAAL!" teriakku kencang dengan emosi.

Sumpah ya, aku tak peduli jika akhirnya beberapa orang warga melihat ke arahku. Namanya juga hidup di gang, pertengkaran sekecil apa pun akan terdengar.

"Hahahaha ... iya aku emang buntut kasiran, kamu mau apa?" ledeknya songong sambil menunjukan deretan giginya yang berbehel mahal.

Pamer.

Rasanya ingin kulayangkan sumpah serapah sekarang pada Vio setelah mendengar penghinaan si kutu busuk ini.

Aku benar-benar menyesal telah ceroboh main asal tanda tangan.

Namun, apa daya dia benar sekarang? Aku ingat sekarang, dulu dua tahun lalu waktu aku sedang sedih-sedihnya di depan pusara ibuku, si Vio datang dengan membawa satu lembar kertas yang katanya itu bagian kelengkapan dari rumah sakit, karena aku sedang kalut bodohnya aku tak membaca keseluruhan apa isi kertas itu karena percaya pada Vio dan sekarang aku kena batunya.

Ya Allah!

Kalau seandainya bunuh orang enggak dosa, mungkin sekarang aku sudah menyiramkan bensin pada wajah Vio dan membakarnya hidup-hidup.

"Gimana? Saya benar, kan? Jadi, jangan merasa menang dengan kamu mau menikah dengan Pak Ravi, karena saya lebih tahu kamu dari pada dia! Selamanya kamu gak akan lepas dari saya karena surat ini akan mengikatmu!"

"Maksud kamu apa?" tantangku mendadak mendapat firasat buruk. Terutama ketika dia mengeluarkan selembar kertas yang ia acungkan tepat di depan hidungku.

"Cih! Masih nanya lagi? Dengar, perjanjian ini akan saya jadikan senjata karena kamu belum membayar hutang barang pemberian saya satu lagi dan asal kamu tahu saya ingin jam tangan itu kembali utuh bukan dengan bentuk uang dan sebagainya, ingat jam tangan yang sama dengan model yang sama.

Kamu tidak mau mengecewakan Ibuku yang sudah menganggapmu anak bukan? Bayangkan jika dia tahu jam peninggalan suaminya kamu jual, pasti dia akan membencimu."

"B*rengs*k!" Aku mengepal geram mendengar ucapan Vio yang bergulir bagai peluru yang terus menerus menembus jantung.

Tak kusangka kecerobohanku dia jadikan alat untuk memeras. Tapi, kali ini aku tak akan tinggal diam. Dia sungguh berbeda dengan Bu Eva yang baik, Vio sungguh produk gagal dari keturunannya.

"Oke, saya akan mencarinya tapi sebelum itu boleh saya pinjam suratnya?" tanyaku dengan nada yang mencoba biasa. "Kali aja kan kamu mau nipu saya?"

"Boleh kok, nih silahkan cek!"

"OKE."

Aku langsung merebut kertas yang ia sodorkan dan tanpa melihat gegas kusobek kertas itu sampai hancur berkeping-keping dengan amarah yang udah sampai ke ubun-ubun.

Srek! Srek!

"Sara! Mau apa kamu?" bentak Vio membuat semua orang yang sudah menonton kami semakin heboh.

Mau bagaimana lagi bertengkar di depan kontrakan ya pasti jadi konsumsi umum dong. Tetapi, aku tak peduli karena fokusku hanya ingin melenyapkan surat perjanjian terkutuk ini.

Aku tertawa puas setelah surat perjanjian itu aku sobek dan kulemparkan ke mukanya. "Makan tuh surat perjanjian! Sekarang, perjanjian kita gak ada lagi! Pergi kau mantan nggak ada akhlak!" ocehku dengan dada membusung marah.

Sekejap Vio terlihat marah tapi tiba-tiba dia tersenyum sinis. "Dasar bodoh! Kamu pikir aku sebod*h kamu? Saya kan punya salinannya."

Hah? Fix dia sakit jiwa.

(***)

Pernah nggak sih, merasa bahwa hidupmu hancur dan merasa tak penting lagi hidup? Kukira aku sedang merasakannya sekarang.

Jam tangan! Jam tangan! Jam tangan! Ah ... harus ke mana aku mencarinya?

Aku ingat dulu pernah menjualnya pada seorang kolektor bahan antik via online tapi tadi pas aku cek ternyata nomorku sudah diblokir sama orang itu, akun medsos si kolektor pun raib entah ke mana.

Ya ampun! Kenapa aku bisa seceroboh ini, sih? Mana aku lupa merek jamnya. Yang kuingat hanya bentuknya saja, itu memang jam tua tapi katanya sangat bernilai historis jadi si kolektor mau membeli jam itu berapa pun biayanya.

"Agggghhhhh!" Aku kembali berteriak seperti orang gila di kursi rotan yang ada di kamar kontrakan.

Sungguh aku bingung harus minta tolong siapa lagi.

Ke Pak Ravi? Ah, enggaklah. Dia pasti marah setelah aku tolak permintaannya untuk bertemu keluargaku.

Habisnya gila aja, dia minta nikah tiga hari.

Emang aku ini anak ayam yang tinggal kawinin terus kelar? Nggak semudah itu Fernando Jose.

Terlebih, di kota ini aku hanya hidup sebatang kara.

Hanya Wak Omen yang bisa kuandalkan sebagai keluarga itu pun dia sudah tua dan dia tinggal di kampung.

Aku tak mau merepotkannya.

Banyak yang bilang dulu orang tuaku itu kawin lari jadi banyak yang tak setuju tentang hubungan orang tuaku. Beruntung, aku dibesarkan dengan baik sampai bisa kuliah hingga musibah terjadi, dua tahun lalu kecelakaan nahas akhirnya merenggut orang tuaku dan saat itu aku kuakui hanya Vio yang ada di sampingku.

Menilai latar belakangku ini.

Sepertinya aku harus memikirkan tentang kesepakatan kami.

Apa aku gagalkan saja kesepakatan ini? Tapi bagaimana caranya mengembalikan uang dosen muda itu?

Kasian juga dia, setahuku dia dulu juga pengamen cilik di lampu merah sampai diangkat anak oleh Pak Sasongko--seorang pengusaha dari Surabaya yang sedang berkunjung ke Bandung.

Tok. Tok. Tok.

Di tengah kegalauan level akut kudengar pintu rumah kontrakan diketuk seseorang.

"Siapa?" tanyaku sambil beringsut dari kursi yang ada di kamar menuju pintu untuk membukanya.

Cklek. Bersamaan dengan pintu yang terbuka, muncullah seorang lelaki tampan dengan menggunakan jas.

Wajahnya bersinar cerah walau di bawah lampu teras yang hampir padam.

"Pak Ravi? Ngapain ke sini?" tanyaku dengan mata membulat sempurna.

Terlebih saat kulihat ada Pak Sasongko dan seorang wanita setengah baya menyertainya, kutebak itu istri Pak Sasongko.

Pak Ravi tersenyum sumringah, begitu pun kedua orang tua di belakangnya.

Belum sadar sepenuhnya karena masih syok, Pak Ravi tetiba membisik di telingaku.

"Halo, Sar? Saya ke sini bawa ibu-ayah angkat saya untuk melamarmu, jadi boleh saya masuk? Oh iya, saya juga udah hubungin W* Omen uwa-mu dari kampung. Jadi, kamu gak punya alasan lagi buat nolak kan?"

"Eh, W* Omen? Bapak jemput dia?"

Gila ya, lelaki satu ini terniat. Iya niat banget balas dendam sama ibunya.

Jangan-jangan dia menguntitku selama ini?

"Iya, jadi kita bisa nikah dulu secara agama jika kamu mau. Kamu gak lupa kan, maharnya sudah kamu terima lebih dulu."

"Ma-mahar?"

"Iya, uang empat puluh juta yang saya gunakan untuk membayar hutangmu. Hutang barang mantan. Kamu tahu kan, di muka bumi ini tak ada yang gratis?"

Dan seketika pegangan tanganku di gagang pintu pun terlepas. Mendengar ucapan Pak Ravi, aku tak bisa berkata apa-apa lagi.

Aku mati kutu. On the way kejang-kejang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hutang Barang Mantan   Bab 30. Hutang Barang Mantan (Ending)

    Aku sungguh tak menginginkan acara penyambutan yang kaku dan menyedihkan seperti ini ketika kembali ke kediaman keluarga Sasongko.Namun, apa yang aku bisa harapkan? Jika kehadiran kami saja membuat semua orang kecewa karena Bang Ravi menyampaikan kabar tentang kehamilanku pada keluarga yang jelas-jelas tak menginginkannya."Sudah berapa bulan?" tanya Bu Gea dengan nada berat sehingga terdengar seperti gumaman.Saat ini kami sekeluarga berkumpul di ruang tamu dengan formasi lengkap. Bu Gea, Wita dan Pak Songko ketiganya seketika diliputi atmosfer gelap terutama Wita. Gadis itu sampai menundukan kepala menahan tangis yang hendak keluar.Aku paham kondisi ini pasti sangat sulit bagi semua. Sebagai wanita, Wita pasti sangat sakit hati ketika tahu lelaki yang ia cintai selama ini ternyata telah memiliki anak dari perempuan yang ia benci. Apalagi pernikahannya pun harus gagal karena Bang Ravi lebih memilih aku."Kata Dokter baru lima minggu Bu, minta doanya," kata Bang Ravi. Kurasakan geng

  • Hutang Barang Mantan   Bab 29. Penghutang Barang Mantan

    Aku memainkan sendok yang kupegang dengan perasaan malas. Sudah setengah jam berlalu tapi aku masih saja tak bisa menghabiskannya. Rendang, nasi, parkedel dan lalaban yang ada di hadapanku benar-benar tak dapat menggugah selera.Hari ini tepat dua minggu berselang dari hari di mana aku diminta pergi dengan paksa dan berakhir di villa persembunyian Bu Hana yang berada di kaki gunung Pangrango. Bu Hana? Bu Hana ibu kandung Bang Ravi? Iya dia. Siapa sangka, di saat aku merasa ingin pingsan di pinggir jalan karena merasa kehilangan tujuan, dialah yang membawaku ke sini. Sungguh kebetulan, aku yang hendak melarikan diri setelah dihina dan diusir bertemu dengan seorang perempuan yang kukira musuh. Beruntung, saat itu tak ada Vio di sana sehingga dengan amannya aku bisa menyembunyikan diri. Entah, ini karena kasian atau dia berpikir sebaiknya merawatku demi rasa bersalahnya kepada seorang Ravi, jujur aku tak peduli. Aku tidak tahu ada modus apa di balik kebaikan Bu Hana yang tiba-tiba ini

  • Hutang Barang Mantan   Bab 28. Unboxing? (POV RAVI)

    Langkah ini begitu gontai saat keluar dari ruang perawatan Pak Sasongko. Pikiranku berkecamuk tak tentu arah karena memikirkan permintaan Ayah angkat yang tetap mau menikahkanku dengan Wita. Kata beliau hanya aku harapan dia untuk menjaga anak bungsunya.Sejujurnya, sampai saat ini aku masih belum bisa memberi jawaban. Sekali pun Ibu mendesak dan Wita tentu saja berharap, aku memilih bersikeras menunda keputusan. Aku tak ingin emosi dan mengambil jalan yang salah. Terutama, aku tak ingin menyakiti Sara.Aku mencintainya. Itu pasti. Hanya saja aku belum menemukan cara agar membuat Sara tetap di sisiku tanpa menjadikannya objek kemarahan keluarga Sasongko. Sebagai lelaki aku tak boleh gegabah bertindak."Ravi tunggu!" Suara tegas milik Ibu menahan langkahku yang hendak menuju ke arah pintu keluar. "Ibu ingin bicara."Aku berbalik dan memaksakan senyum. "Iya Bu. Ada apa lagi?" tanyaku menahan rasa enggan.Otakku benar-benar penat dan butuh istirahat."Kamu bisa jagain Wita malam ini?""L

  • Hutang Barang Mantan   Bab 27. Penjelasan Hati

    Patah hati adalah sebuah kejadian yang pasti dialami oleh hampir seluruh manusia yang mengaku pernah jatuh cinta. Kisah patah hati pun nggak sama, semua orang punya kisah berbeda. Tapi, berkali-kali patah hati karena suami tak membuat hatiku menyerah. Entah mungkin karena sudah terbiasa.Bang Ravi, pria itu terlalu nyata untuk aku lupakan. Kenangan dan segala sesuatu tentangnya membuatku tak bisa beralih pikiran. Lalu, aku harus apa? Ketika aliran sesak ini semakin tak tahu diri.Menangis? Ah, aku lelah! Bahkan rasanya aku seperti menjilat ludahku sendiri.Dulu, aku mengatakan, menangis untuk Bang Ravi sama saja dengan menangisi kebodohan tapi fakta membuktikan kalau aku malah tenggelam dalam kebodohanku sendiri.Baru seminggu saja aku bersembunyi, ternyata diri ini sudah sangat merindu seorang Ravi.Aku rindu wanginya.Aku rindu suaranya.Aku rindu tatapannya, tawanya, ciumannya, dekapannya dan semua tentangnya.Aku hampir merasa gila tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak kusangka

  • Hutang Barang Mantan   Bab 26. Sebuah Pilihan

    Apa yang kamu harapkan Sara? Ngimpi!Sejak awal pernikahanku memang sudah salah. Tak seharusnya mempermainkan pernikahan dan kutahu Bang Ravi hanya ingin memperalatku sebagai objek balas dendam.Tak lebih! Sepantasnya aku sadar itu hingga tak terlalu menyuapi angan dengan harapan. Namun, aku saja yang bodoh masih merasa semua akan baik-baik saja.Padahal setelah ini selesai, dia tetap milik keluarganya dan aku tetap kembali ke titik semula seorang gadis yang berhutang barang pada mantannya.Bruk!Aku menutup pintu dengan keras. Entahlah, ubun-ubunku terasa mendidih melihat Bang Ravi memeluk Wita.Apakah arti dari pelukan itu adalah mereka akan menikah? Dan lelaki itu akan menuruti perintah orang tua angkatnya?"Sialan!" Spontan aku membanting bantal ke lantai. Mulai dari sekarang, aku tak akan percaya mulut lelaki satu pun.Aku tak akan mendengarkan Bang Ravi sama sekali. Aku akan bertindak sesukaku, kami hanya suami-istri di atas kertas. Untuk apa aku setia? Jika pada akhirnya akulah

  • Hutang Barang Mantan   Bab 25. Sakit Tak Berdarah

    "Sebelum dia menjadi suami kamu. Ravi adalah anak angkat kami. Jadi, saya harap kamu sadar kedudukanmu Sara."Kata-kata Pak Sasongko terus saja terngiang di kepalaku. Bagaikan sebuah kaset yang terus diputar di kepala dan membuat gelisah.Emang seharusnya aku tak perlu sekhawatir ini karena Bang Ravi sudah berjanji mau menjagaku. Namun, tetap saja rasa keberatan itu timbul karena bukan Bu Gea yang berbicara tapi Pak Sasongko.Ayah angkat Bang Ravi yang terbiasa diam itu sekarang seolah bersebrangan denganku. Sebagai menantu aku jadi merasa serba salah dan juga tak yakin akan hubungan ini. Lambat-laun belang dari keluarga ini terlihat, sekali pun mereka baik jika berkenaan dengan anak kesayangan pasti apa pun dikorbankan termasuk perasaan orang lain.Karena Wita. Rasa cinta Wita pada Bang Ravi-lah yang menjadi alasan aku menjadi ragu dan sekarang adik iparku itu kecelakaan tepat di mana aku sedang berbulan madu.Haruskah aku curiga? Mungkinkah ini disengaja?Memikirkan ini semua membua

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status