Satu Minggu lebih sudah Geovani menginjakan kakinya di Bali. Segala macam kuliner sudah ia cicip bersama Drea. Kini, tibalah saat mereka harus kembali ke kota asal.
"Eh!!? Geo, Geo, Geo!!! Sini, deh!" Geovani yang sangat sibuk mengurusi kopernya tidak terlalu fokus dengan suara Drea. Hingga akhirnya Drea mengulurkan layar ponselnya tepat ke depan wajah Geovani.
"Apa ini?"
"Ini Gumelar lagi nunggu kita di pantai, mau ucapin salam perpisahan kali. Yuk, ke sana!"
"Ih, lebay banget, sih. Kamu saja sana, saya sibuk."
"Gak mau! Pokoknya lo anterin gue, Geo, anterin gueeeeee!" Percakapan itu pun berulang-ulang sampai Drea merasa jengah dan membuka kartunya sendiri.
"Gue jadian sama Gumelar!" Sontak, Geovani langsung menoleh menatapnya. Melihat Drea yang berwajah merah, sudah dipastikan ia tidak sedang berbohong.
"Sejak kapan?"
"Setelah kita makan malam pertama kali." Geovani menutup mulutnya, berekspresi sangat dramatis. "Makanya, lo anterin gue! Gue bakalan LDR, nih, ah!"
Geovani merasa tidak tega mendengar rengekan sahabatnya. Kalau sudah begini, mau tidak mau ia menuruti Drea.
"Ya sudah. Jangan lama-lama, ya." Senang bukan main Drea, gadis itu langsung menarik lengan sahabatnya ke luar kamar.
***
"Di mana, sih, Dre? Jangan-jangan dia berbohong," ujar Geovani tanpa merasa berdosa.
"Gak lah, orang tadi dia kirim foto, kok." Drea menyipitkan matanya seraya melihat sekeliling. "Nah! Itu! Yuk."
"Eh, tunggu!"
"Apaaaa?"
"Kok ada dua orang?"
"Paling Giovano, siapa lagi?" Geovani terbelalak. Ia spontan menarik lengannya dari tangan Drea, membuat Drea heran.
"Gak! Sa-saya antar sampai sini aja! Bubye!" Secepat mungkin Geovani berlari meninggalkan Drea.
"Loh, loh ... Geo!!! Ck! Pokoknya lo punya utang cerita sama gue!"
Drea merapikan sebentar pakaiannya, juga rambutnya, lalu mulai berjalan santai menuju Gumelar yang tidak jauh dari tempatnya.
"Hai!" Gumelar berbalik badan, mendapati gadisnya yang cantik bersemu-semu.
"Hai, Drea." Gumelar tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Drea, sangat takjub seperti melihat peri.
Kemudian, seseorang di samping Gumelar ikut menoleh.
"Ah, aku kira Giovano," tukas Drea sambil menunjuk orang itu.
"Bukan, dia Pal, kenang-kenangan dariku untukmu. Kalau Giovano tadi ada, tapi dari waktu dia mau beli minum, belum balik lagi."
Area sekitar Drea menjadi ramai setelah Pal memanggil beberapa temannya. Musik dinyalakan, dan gerombolan Pal melakukan dancing mengelilingi Drea dan Gumelar.
Drea, gadis itu tidak bisa menutupi semburat merah pada wajahnya, terutama ketika Gumelar memasangkan cincin di jari manisnya. Bahkan, alunan musik tidak lagi Drea dengar saking gaduhnya detak jantungnya.
***
Alih-alih menemani Drea, Geovani malah meninggalkan sahabatnya. Ingin kembali ke hotel pun ia ragu, takut Tante Rachel menanyakan keberadaan Drea, sedangkan gadis itu baru membocorkan hubungannya ke Geovani saja.
"Kalau dari situ kemungkinan bisa melihat Drea jika kembali," gumamnya seraya berpikir. Ia meminjam bangku yang berada di depan ruko tutup. Kepada siapa ia meminjam? Alam. Ya, ia hanya berbisik pada udara sebelum menduduki bangku tersebut, seperti: Bangku siapa di sini? Saya pinjam, ya. Sesama makhluk Tuhan harus saling membantu.
Begitulah izinnya. Geovani mengeluarkan ponselnya untuk mengusir bosan. Rupanya hari ini grup kelasnya ramai.
Audrey: "Hoy! Ada hotnews!"
Bela: "Apa tuh?"
Cecilia: "Wah! Grupnya aktif lagi setelah hiatus berminggu-minggu."
Dika: "knp ni rm2? Gngg w lg gmng aj."
Eva: "Hah? Apaan, sih, Dik?"
Faris: "Ada apaan ini? Jangan dinodai lagi grup yang udah suci dengan gibahan, woy!"
Galang: "@Audrey Mau kasih tau apaan?"
Hasan: "@Eva Kenapa ini rame-rame? Ganggu gue lagi gaming aja."
Eva: "Oalah. Wkwk, kemampuan translating lo makin berkembang, ya. Dulu bahasa Inggris, Arab, sama Jepang, sekarang bahasa Alien."
Cecilia: "@Eva Dia kalau makan dicampur baking soda, makanya ngembang gitu kemampuannya."
Galang: "@Audrey Lo mau kasih tau apa, sih?!"
Eva: "Pantes. Tapi, kok lo tau, Cil? Jangan-jangan lo yang kasih contoh?"
Hasan: "Yah, kan, ditinggal bentar langsung gibahin cogan."
Cecilia: "Iya, cogan = Cowo Gampangan, wkwk."
Galang left
Faris: "Mamp*s! @Audrey si Galang baper kan dikacangin."
Bela: "Menyimak dengan elegan."
Audrey: "Demi Alek, Guys! Sorry, gue habis ke warung ಥ‿ಥ"
Eva: "Ya udah, lo mau kasih tau apa tadi?"
Audrey: "Most wanted Daksa Jingga udah punya Inst*gram!"
Bela: "Serius, lo?! Dari mana?"
Audrey: "Tadi gue iseng aja cari akun doi, eh malah ketemu. Jadi gue jadiin sedekah aja bagi-bagi ke kalian."
Eva: "Namanya apaaaaa?!"
Audrey: "@danerl04"
Cecilia: "Auto buka Inst*gram."
Hasan: "Dasar cewek-_ @Geovani tumben gak nimbrung, biasanya dia yang paling semangat."
Faris: "Dia lagi liburan sama si @Drea ke Bali, an*ayani."
Eva: "@Geovani beruntung banget, lo!!! Sna*gram Daniel kampus lo nanti masa!!!"
Bela: "Rasa ingin pindah kampus 📈."
Geovani terbelalak membaca obrolan di grup kelasnya. Dua kabar bagus ini pasti datang sebagai bayaran atas kebaikan hatinya. Seperti teman-teman lainnya, ia lekas mencari akun Daniel, walaupun teringat kejadian memalukan itu.
"Wah! Saya satu kampus sama Daniel? Ya Tuhan," gumamnya di depan layar ponsel yang memperlihatkan snap Daniel.
"Jadi cuma angkut yang itu?" Tiba-tiba, suara serak itu mengusik ketenangannya. Suara yang tidak asing, sebab suara itu termasuk sejarah hidupnya yang tidak akan pernah terlupakan.
Geovani mendongak, melihat seseorang yang tidak jauh dari tempatnya. Benar, itu Giovano.
Sebenarnya, ia masih di antara yakin dan tidak yakin jika laki-laki itu adalah sosok yang sempat ia nyatakan suka di hari kelulusan. Namun, dari suara, lebar bahu, dan matanya mirip sekali dengan orang itu. Ditambah fakta dari Gumelar kalau Giovano adalah siswa Daksa Biru juga, opininya semakin kuat.
Sekarang Geovani penasaran dengan Giovano, apa yang dilakukan laki-laki itu? Terlebih di Bali. Ia bangun dan mengikuti langkah Giovano diam-diam. Ternyata Giovano bekerja sebagai kuli angkut. Akan tetapi, hanya satu kali angkut, kemudian pulang? Duh, semakin penasaran! Geovani mengikutinya memasuki suatu gang yang terhitung sepi. Ia memberi jarak sepuluh langkah dari Giovano.
"HUWAAA!" Apa Giovano sengaja menjebaknya? Laki-laki itu berdiri menyandarkan tubuh di tembok tepat satu langkah setelah cengkokan jalan.
Okay. Itu bukan hal penting. Sekarang bagaimana Geovani menjelaskan kepada Giovano tentang aksinya?
Seperti biasa, Giovano menatap nyalang Geovani dengan wajah yang tertutup masker separuh.
"Sa–saya salah jalan. Maaf," lirihnya sambil membungkuk. Dalam hati, Geovani merutuki mulutnya yang mengucap 'maaf', membuat dirinya refleks membungkuk.
"Gue peringatkan, ini yang terakhir. Jangan ganggu gue lagi!" ucapnya ketus, lalu melenggang pergi entah ke mana.
'Jangan ganggu gue lagi!'
Geovani menengguk ludahnya kasar. Sepertinya opini gadis itu benar bahwa Giovano adalah orang yang ia nyatakan suka di hari kelulusan lalu.
Ia mengertakan giginya, berpikir kalau Giovano mengira dirinya suka. Seharusnya tadi ia jelaskan terang-terangan tentang kesalahpahaman kemarin. Namun, mengingat mereka sudah tidak satu gedung belajar lagi, sebaiknya Geovani lupakan saja. Toh, menurutnya tidak akan ada pertemuan lagi.
Atau justru pertemuan hari ini sebagai sambutan dari pertemuan-pertemuan di hari esok?
***
"Cieeee! Yang makin hari makin deket!"Drea merangkul Geovani dari belakang. Hampir saja Geovani dibuat jantungan, pasalnya ia berjalan seorang diri sebelumnya."Drea! Saya kaget tahu!""Cie, Geo, ciee," ledek Drea seraya mencubit pelan pipi Geovani."Apaan, sih?""Kayaknya sebentar lagi ada yang bakal jadian, nih." Geovani bergidik ngeri menanggapi ucapan Drea. Namun, sahabatnya itu terus saja meledeknya."Sok tahu banget, sih. Siapa juga yang dekat?!""Ituloh, kemarin tiba-tiba jadi pasangan pesta. Udah gitu di tengah acara malah meninggalkan aula lagi berduaan. Ke mana lo kemarin?""Loh, kok kamu tahu?""Ya, jelas dong. Gue sama Gumelar merhatiin kalian. Mau negur dan nanya, tapi enggak jadi, ah. Males, lagian gue sama dia lagi seru kemarin. Hahahaha." Drea tertawa seraya menepuk-nepuk pahanya sendiri. Ia tahu bahwa Geovani memiliki luka di punggungnya, makanya ia menepuk pahanya sendiri, padahal biasanya pundak Geovani
Giovano menutup pintunya. Perasaan dan pikirannya menjadi lebih lega setelah memberi saran kepada Babeh Seno tadi. Namun, ketika mengingat-ingat ucapan Babeh Seno, jantungnya berdegup kencang lantaran menyadari bahwa ia menyukai Geovani, gadis yang sudah menyatakan perasaannya lebih dulu.Ia belum pernah menyukai seseorang yang bukan bagian dari keluarga ataupun sahabatnya. Geovani, kali pertamanya."Kalau gue ajakin dia, pasti ditolak karena udah janjian sama Dave Dave itu duluan," gumam Giovano memikirkan cara agar dirinya bisa menghadiri pesta ulang tahun Drea sebagai pasangan Geovani."Aduh! Gue juga belum nyiapin baju! Anjir, mana punya gue baju-baju bagus. Gimana, ya?"Giovano mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Gumelar. Ia menelepon sahabatnya."Halo, Van?" tanya dari seberang."Lo udah di sini? (Daerah Giovano)""Udah, Van, baru aja sampe. Lagi istirahat heula. Kunaon, Van?""Hm ... gue kayaknya gak ikut pesta Dre
Kericuhan di halaman depan rumah—istana—Drea dapat disalah artikan menjadi acara pembukaan bagi Giovano. Pasalnya, laki-laki itu secara tiba-tiba mengatakan bahwa Geovani adalah pasangannya di pesta malam ini. Sedangkan, Geovani sendiri datang bersama Dave.Teman-teman yang sudah lengkap dengan pasangannya menghiraukan dan langsung masuk, tetapi ada beberapa yang malah mengambil video cam di antara tiga orang itu. Selain itu, selebihnya ada yang sengaja berdiam di depan karena menunggu Geovani masuk."Pak! Saya tidak bohong, dia pasangan saya. Iya, kan, Van?" tanya Dave dengan nada tinggi.Geovani mendadak kikuk di tengah keramaian itu. Entah karena apa, ia merasa tidak enak jika mengatakan bukan pasangan Giovano. Apakah karena dress code mereka mirip?"Vani, jawab! Lo pasangan gue kan?" Ia mengulang kembali."Udahlah ... jelas-jelas dia cuma mau bareng lo aja. Minggir!" cetus Giovano seraya berjalan mendekat.Dengan sigap, Dave
"Hei! Kenapa kamu balik lagi?" tanya kepala bagian waiter itu setelah melihat Giovano yang kembali ke ruangan persajian dengan nampan yang masih penuh.Ditambah lagi, wajah Giovano yang kebingungan mengundang emosi kepala waiter."Saya salah meja, Pak. Pesanan ini untuk nomor berapa, ya?"Kepala waiter menatap tajam Giovano itu. Bahkan, ada aura menerkam yang ia pancarkan. Terlihat sekali bahwa kepala waiter geregetan."Kamu ini!! Sudah tiga kali seperti ini. Kalau kamu sedang sakit, tidak perlu memaksakan masuk!" Yup, benar sekali. Ini sudah yang ketiga kalinya Giovano seperti ini dalam satu hari.Laki-laki itu mengusap tengkuknya merasa semakin kurang profesional tingkahnya di hadapan waiter lainnya. Apa lagi, perihal ia yang menjadi bagian dari waiter tanpa interview dan segalanya sudah menyebar sejak kemarin. Bahkan, di sana pun Giovano tidak memiliki teman untuk sekadar mengobrol. Terkadang ada yang mengajaknya bicara, hanya bertanya ten
03:00 a.m.Giovano terbangun dari tidurnya. Walau matanya terasa berat, tetapi ia merasa ada yang janggal. Atap. Benar sekali, ia yakin yang ia lihat itu bukanlah atap rumahnya. Lalu? Sedang di mana ia?Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Matanya membulat sempurna melihat Geovani terbaring nyenyak di sebelahnya dengan mata yang membengkak. Giovano langsung teringat tentang semalam, di mana Geovani menceritakan sedikit kisah hidupnya.Ia tidak menyangka, di hidupnya yang ia rasa paling suram, rupanya ada yang lebih kelam lagi. Selain itu, Geovani seorang perempuan, Giovano kagum dengan ketangguhan gadis itu. Ia mengelus puncak kepala Geovani."Kalau lo aja masih bisa semangat jalani hidup, kenapa gue enggak? Makasih, ya, Geo."Tiba-tiba, Geovani membuka matanya. Membuat Giovano sigap menarik tangannya dari kepala Geovani."Lo kok bangun?"Geovani menguap."Jam berapa sekarang? Saya terlambat, ya?" tanyanya masih dengan mata
Redup lampu malam menemani Papa berceramah panjang lebar kepada dua remaja itu di ruang tamu. Tidak, dari pada menceramahi, Papa lebih menyindir Geovani dan mengaitkan kelakuannya dengan kehidupan mamanya, sebelum sempat Geovani menjelaskan detail kejadiannya."Memang benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ibunya murahan, sudah pasti anaknya murahan," gumam Papa dengan nada sinisme.Geovani yang sudah berkeringat dingin hanya bisa menunduk, menyembunyikan lukanya serta terlalu malu dengan Giovano di sebelahnya."Geovani, kalau sampai ada rumor tentangmu yang menjatuhkan harga diri saya, benar-benar tidak akan saya maafkan. Sudah cukup ibumu saja yang hampir menghancurkan hidup saya." Papa berganti menatap Giovano yang sama sekali tidak memasang raut wajah takut. Lalu, kembali berceloteh, "Kamu juga, apa orang tuamu tidak mendidikmu? Ini sudah malam, tidak bagus seorang lelaki mengunjungi rumah perempuan. Coba dengari kata-kata ibu ayahmu, jika mereka orang bai