Share

Hypact Lover
Hypact Lover
Author: Rallien Delmara

“Satu: Tangkai Mawar”

Hiruk-pikuk ramainya suasana sudah mendominasi sekolah. Pasukan putih abu-abu yang biasanya berbaur memenuhi koridor, kini berbalut busana kelulusan. Lapangan yang biasa menjadi tempat perkumpulan pun dipenuhi warna-warni kebaya bertoga bagi para siswi, dan jas hitam bagi siswa.

Beberapa sanak saudara dari murid ikut meramaikan agenda ini. Hingga tiba acara penghargaan untuk murid dengan nilai tertinggi, keadaan hening sejenak. 

Kepala sekolah menaiki mimbar, lalu memberikan sedikit sambutan sebelum memulai membacakan nama-nama murid berprestasi tersebut.

"Siswi dengan skor akhir tiga puluh lima koma kosong lima, yaitu Ananda Diva Olivia!" Suara tepukan tangan mengantar siswi bernama Diva Olivia menaiki mimbar.

"Siswa dengan skor akhir tiga puluh enam koma kosong kosong, yaitu Ananda Kevin!" Lagi-lagi hal yang sama dilakukan sampai siswa bernama Kevin itu berjabat tangan dengan kepala sekolah.

"Siswa dengan skor akhir tiga puluh delapan koma sembilan delapan, yaitu ...." Kepala sekolah sengaja menggantung ucapannya, berniat membuat semua orang penasaran, tetapi sebenarnya mereka sudah tahu sosok itu.

"Ananda Erlangga Daniel!" 

Laki-laki pemilik nama itu tidak menunjukan wajah yang berseri-seri seperti yang lainnya, ia berjalan seolah tidak ada suara tepukan tangan yang mengiringinya, atau bahkan seakan-akan tidak ada acara tersebut.

***

"Geovani, tunggu!"

Geovani menghiraukan Drea, sahabat dekatnya yang mengejarnya sejak tadi. Ya, saat ini acara bebas, mereka bebas melakukan apa pun dalam lingkup sekolah. Ada yang foto bersama keluarga dan teman, makan di kantin sekolah, juga yang anti mainstream, yaitu menembak orang yang disukai, seperti rencana Geovani sekarang.

"Geo, stop!" Drea berhasil menarik pergelangan tangan Geovani, menahannya sebelum melangkah semakin jauh.

"Drea, lepasin! Coba lihat," ujar Geovani sambil menunjuk seseorang yang duduk di atas motor hitam beberapa langkah di depan mereka. "Daniel sudah mau pulang, nanti keburu terlambat."

Memang acara bebas ini disatukan dengan penutupan, sehingga mereka dipersilakan jika ingin pulang.

"Kamu tahu kan, gimana geregetannya saya selama ini?! Mengagumi cowok yang cuek setengah nolep itu beneran gemesin. Facebook gak punya, Instagram gak ada, terus WhatsApp juga gak pakai?! Gila kali dia!" celoteh Geovani mendeskripsikan sosok Daniel di matanya. Drea melongo mendengar Geovani berucap demikian. Pasalnya, Geovani adalah tipe orang yang hampir tidak pernah berkata kasar, apalagi memaki orang lain. Gadis itu justru lebih sering berbahasa formal layaknya KBBI berjalan.

Geovani ingin mengacak-acak rambutnya, tetapi tidak jadi karena tudung toganya menjadi tameng kepala. Gadis itu geram mengingat kejadian selama enam tahun ini, di mana dirinya menyukai Daniel yang pribadinya sangat tertutup, ditambah sikapnya yang dingin. Entah apa yang membuat hatinya terpikat, yang jelas selama ini sudah berbagai cara ia lakukan untuk mendekati Daniel, mulai dari mengejar prestasi, menjadi sok dewasa, mengikuti ekstrakurikuler yang sama, dan lainnya. Namun, satu cara pun tidak ada yang berhasil. Jangankan mengajaknya bicara, Geovani ketahuan sedang menatapnya saja langsung ditinggalkan.

"Ah! Lepas!" Drea terlonjak kaget, rupanya sahabat dekatnya itu memiliki tenaga yang kuat, padahal ia sudah menggenggamnya erat. 

"Tunggu dulu, Ge–" ucapannya terputus ketika lengannya ditarik seseorang dari belakang.

"Drea! Lo ke mana aja, sih?! Sini kumpul mau foto bareng." Itu Adel, ketua grup ekstrakulikulernya, Fotografi. Walau seangkatan, tetapi Adel sangat amanah dengan tanggung jawab itu.

Drea menatap punggung sahabatnya nanar, berharap ada secercah cahaya untuk Geovani yang semakin mendekati sosok tadi. Satu detik kemudian, dirinya pasrah mengikuti Adel.

***

Degup jantung yang tak berirama pun kian menyelimuti langkah Geovani, tetapi itu bukan penghalang baginya.

"Paling tidak, jika saya ditolak ... saya bisa memberikan ucapan selamat, terus foto bersama, dan bertukar salam perpisahan," gumamnya dalam hati. Ia menghela napas sambil mengumpulkan keberanian lagi.

Sepanjang koridor, banyak sekali gerombolan siswi yang berencana mengajak Daniel foto bersama. Jelas saja, bukan hanya prestasi, tetapi wajahnya pun mendukung laki-laki itu menjadi bintang sekolah. Hal ini semakin menambah semangat Geovani.

Bruggg!!!

Geovani memukul jok motor lumayan keras, sampai tidak sedikit orang lain menoleh ke arahnya. Ia telah sampai di belakang motor Daniel.

Jaket hitam, helm full face, dan tentunya punggung yang pelukable itu semakin mengacaukan irama jantungnya. Ia menghela napas sembari mengumpul sejumlah keberanian.

"Saya suka sama kamu. Suka sekali sejak lama."

Sejurus kemudian, bisik-bisik dari sekeliling Geovani mulai berdentuman menusuk telinganya. Namun, ia tidak peduli, mereka hanya iri karena tidak seberani dirinya, begitu pikir gadis itu.

Sekian detik berlalu tanpa balasan dari orang di hadapannya. Rasa geram dan malu sudah memeluk Geovani. Lalu, motor itu perlahan mundur, membuat dirinya bergeser ke samping.

Sampai ketika ia sejajar dengan sang Penunggang Kuda Mesin, orang itu menaikan sedikit helm-nya.

"Berisik!" Geovani terbelalak.

"Eh!?" Ia berbalik badan melihat barisan parkiran di depan barisannya saat ini, di mana orang yang ia tuju sebenarnya baru saja menjalankan motornya.

Geovani mendadak lemas. Tidak berani berbalik badan kembali menghadap orang yang ia kira adalah Daniel. Rasanya, seperti ada duri dari tangkai mawar yang menancap di urat malunya, ia ingin di telan bumi saat itu juga. 

***

Detik demi detik berlalu. Senja pun sudah hampir pudar. Geovani duduk di meja belajarnya sambil menatap kosong langit jingga kebiruan lewat jendela kamar.

Kacau. Pikirannya masih terpaku dengan kejadian tadi siang. Alih-alih menutup masa putih abu-abu dengan indah, yang ada sangat memuakan. Harapan foto bersama pun sirna. Di samping itu, walaupun sudah terpaut enam tahun, Geovani masih tidak mengetahui rumah Daniel. Sering sekali Geovani mengikutinya diam-diam ketika pulang sekolah, tetapi selalu saja kehilangan jejak di tengah jalan, dan berujung tersesat.

Geovani juga merutuki kesalahannya hari ini karena tidak menuruti ucapan Drea. Gadis itu mengusap kasar wajahnya. Tiba-tiba, klakson mobil nyaring memasuki pendengarannya. Ia melongok ke arah bawah dari jendela kamarnya yang terletak di lantai dua. 

"Papa!" Geovani bergegas mengambil kebayanya tadi siang yang masih tergantung di balik pintu, toga beserta piagamnya, dan tidak lupa ijazah kelulusan. Setelah itu, ia langsung beranjak menemui papanya.

Senyuman hangat gadis itu terukir melihat papanya membuka pintu. Geovani mencium tangan Papa.

"Pa, boleh tidak saya foto bersama Papa? Sebentar saja, hanya satu kali dan saya tidak akan berdandan lama," ujar Geovani penuh harap.

Papa melirik semua benda di tangan anaknya itu. Ia baru ingat agenda kelulusan Geovani hari ini. Sayang sekali rapat bersama petinggi perusahaan tidak bisa ditunda, sehingga ia harus membiarkan anaknya merayakan kelulusan tanpa wali.

"Geo ...."

"Iya, Pa?"

"Bagaimana kalau kita makan malam bersama saja? Saya lapar," ujar Papa, kemudian berlalu pergi ke kamar mandi.

Geovani masih membatu di tempat. Matanya berkaca-kaca membendung hujan yang akan jatuh dengan deras. Ia bertanya kepada kesunyian, "apakah permintaan saya terlalu berat? Untuk apa saya menabung membeli bingkai foto jika saya tahu tidak akan pernah terisi kenangan di dalamnya, selain dalam angan."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status