“Kau bercanda.” Sia memasangkan sendiri cincin itu ke jari manis kirinya dengan santai, berusaha santai.
“Lepas, jika menurutmu itu candaan.” Rigel membalas dengan setengah bercanda, setengahnya serius.
“Wah, kau tampak tidak berniat melamarku.”
“Ini ... sedikit memalukan bagiku,” aku Rigel, menatap ke lantai, “aku tidak ingat bagaimana aku mencintaimu di masa sebelumnya.”
“Bohong!” Kedua mata Sia menyipit sedikit melirik, bibirnya menyungging senyum tipis.
Rigel membalas senyum yang sama tipisnya. Dia bergumam lagi. “Kupikir kau tidak akan menerima lamaranku.”
“Memang tidak.” Sia menjawab cepat. “Tentu saja tidak, karena aku akan menikah dengan Vanth.” Melepas cincin itu dengan gerak yang sama cepatnya, mengembalikannya ke tempat semula.
“Apa?” Samar suara Rigel terasa bagai gaung di telinganya sendiri.
&ldqu
Perlahan, Rigel melepas cengkeraman tangannya dari leher Sia. Dia berbalik dengan perasaan yang tidak akan mudah diungkapkan. Tidak menghiraukan panggilan Minerva beserta dengan ucapannya.“Rigel, terima kasih. Sampai kapan pun, kau bukanlah seorang pembunuh. Ingat itu.”Suara samar itu tenggelam saat Rigel membuka pintu, saat hujan masih deras di luar, dan saat air mata Rigel mengalir deras di kedua belah pipinya seolah tak tampak karena hujan yang juga membasahi wajahnya.Rigel sadar pada apa yang dilakukannya. Dia tahu risikonya. Semua hanya akan jadi rasa sakit untuknya.Di kamar, Minerva menutup mata dan bicara pada Sia. “Bangun, dan jangan lemah. Kau tidak boleh mencintai keduanya, di saat aku juga hanya memilih satu di antara mereka, kau tidak berhak melakukan lebih dariku.”Ucapan Minerva membuat Sia tersentak. Seperti terbangun dari mimpi, dia terbatuk dan memegangi lehernya. Tidak lagi ada rasa sakit. Terburu dia t
Vanth menyungging senyum sedih. “Ternyata begitu. Terima kasih, Disi.” Sekali saja. Vanth berjanji ini kali pertama dan terakhirnya dia mengecup puncak kepala Disi.Disi kembali menangis. Dia merosot cepat turun dari meja, berbalik, meraih wajah Vanth yang dingin dan terlihat sedih.Kini mereka saling berhadapan, bertatapan.Mempertemukan kening, Disi merasakan dahi pucat Vanth sangat kontras dengan miliknya. Dia tertawa pelan. “Kau pria tertampan yang pernah kulihat.”Vanth mengusap air mata Disi. “Kau akan bertemu bukan hanya satu, bahkan banyak pria tampan di tempat lain,” ungkap Vanth, begitu lembut, begitu dingin.Disi mengangguk. Berusaha tidak menangis lagi karena Vanth sudah mengusap tangisnya, tapi tetap saja bulir-bulir air matanya berjatuhan lagi. “Kau benar. Akan ada Malaikat tampan yang menungguku di surga.”Vanth bukan manusia. Dia tidak akan pernah tahu rasa kehilangan mereka, wa
“Aku tahu.” Rigel berdiri. Melihat Vanth dalam pandangannya yang seperti terbakar. “Aku sadar sejak awal, bahwa aku hanya dimanfaatkan olehmu.” “Jangan bicara omong kosong. Aku tidak bisa memanfaatkanmu meski aku ingin!” Vanth melangkah cepat, menghampiri Rigel dan mencengkeram kerah kemeja hitamnya. “Dengar, aku tidak pernah memanipulasi perasaanmu sejak awal. Aku tidak tahu kenapa Galexia berubah. Bisa saja karena perang di dalam diri mereka. Antara wanitamu dan wanitaku.” “Itu konyol!” Rigel menepis tangan Vanth. “Mereka satu. Minerva adalah Galexia, begitu juga sebaliknya. Sejak awal aku memang tidak menyadarinya, tapi di saat aku sudah yakin itu memang Minerva, aku masih terus menyangkalmu, tidak terima akan kebenarannya. Tapi aku tahu saat dia berubah, tidak menginginkanku, menyalahi takdir kami bersama. Dari situ aku paham, dia sudah tahu siapa yang harus dipilihnya. Bukan aku, tapi kau!” Rigel menuding Vanth dengan ujung telunjuknya di dada pria itu.
“Ah, Pangeran tampanmu sudah kembali.” Yemima tertawa nyaring. “Itu artinya aku sudah harus pergi.”“Kau mau ke mana?” Vanth melangkah masuk ke kamar, membungkuk untuk mengecup puncak kepala Sia.“Pulang, tentu saja.” Yemima sudah akan pergi.“Memangnya ada yang bersedia menjemputmu tengah malam begini?”Yemima akan mengatakan sesuatu, tapi dia ragu. Karena memang benar, tidak ada utusan yang akan menjemputnya malam ini. Mereka baru bersedia besok atau lusa.“Menginaplah di sini,” kata Sia. Akhirnya dia bicara. Menatap Vanth seolah meminta persetujuan.“Ya, menginaplah di sini. Aku akan sekamar dengan Sia malam ini.”Yemima berdeham. Bergumam sendirian, “Bukannya mereka selalu tidur sekamar?”“Apa katamu?” Vanth berkacak pinggang. Seakan tahu apa yang digumamkan Yemima.“Aku tanya, di mana kamarnya?”
“Siapa Ayahnya?” Rigel bertanya, melihat bayi Cassie yang bergerak aktif seolah meminta untuk diangkat dari kereta bayinya.Perawat paruh baya itu terdiam. Tidak berani berkata apa pun kecuali, “Ibunya Nyonya Irene Wilson, Tuan.”Rigel tersenyum lebar untuk membuat bayi Cassie tertawa. Tidak peduli pada jawabannya, padahal dia yang bertanya. “Boleh aku menggendongnya?”Perawat paruh baya tidak merasa bahwa Rigel pria berbahaya. Walau auranya gelap dan sedikit mencekam, tapi perawat paruh baya yang paham banyak tentang kerasnya hidup, memahami hal itu sebagai bentuk dari rasa kesepian Rigel.“Silakan, Tuan.”Rigel segera mengangkat si tubuh mungil yang sehat, putih kemerahan dengan pipi yang membulat sedikit turun itu sembari tertawa-tawa.Umur bayi Cassie sudah memasuki usia hampir delapan minggu. Tapi dia tumbuh terlalu cepat, tubuhnya sehat, dan tampak kuat.“Siapa yang memberi n
Rigel menjalani harinya seolah semua datar, tanpa tanjakan berarti. Hanya bila sedang mendapatkan tugas penjemputan, dia merasa adrenalinnya lebih terpacu. Jiwanya seakan hidup. “Kau semakin mengerikan dengan tampang dan rambut merah anehmu itu,” kata Yoan. Muncul tiba-tiba ke meja kerja Rigel adalah kebiasaannya. Rigel mengusap rambut auburn miliknya. Seolah selama ini dia lupa memiliki warna semencolok itu sebagai Malaikat pencabut nyawa. Tidak berlebihan memang, rambut Rigel kini mulai berubah semakin gelap dan kusam. Tidak ada lagi pirang merah antara warna merah dan cokelat. Jahe gelap yang menawan bahkan tidak hinggap lagi di rambutnya. “Memangnya tampak seperti apa?” Kali ini Rigel tertarik, dan Yoan tertawa. “Apa kau peduli?” “Jika tidak, untuk apa aku bertanya.” Rigel memperhatikan warna rambutnya dibalik layar ponsel yang mati. “Kurasa kau sudah mulai waras.” Yoan tertawa lagi. “Jadi apa jawabannya?” Kedua mat
Rigel memperhatikan perubahan pada warna rambutnya, dan itu bagus. Dia menyukainya. Ini benar-benar berubah dari warna asli rambutnya menjadi brunette.Lana berdiri dibelakang Rigel dengan posisi ragu-ragu, seolah dia melakukan kesalahan. “Apa Anda menyukainya, Tuan?”“Aku suka. Kerja bagus, Nona.” Rigel memberinya seulas senyum singkat. “Di mana Yoan?”Lana tersentak. “Oh, dia ada di dapur, menemui Betty.” Segera dia mundur beberapa langkah saat Rigel keluar dari kursinya. Tadi dia sempat mengalami kejut jantung sesaat, ketika Rigel mengucapkan bahwa pria itu menyukai hasil kerjanya.Itu artinya, usahanya berhasil untuk mengubah auburn menjadi cokelat klasik yang sesuai bagi seseorang seperti Rigel dengan kulit tidak begitu pucat, tapi juga tidak terlalu putih. Kulitnya cenderung seperti kuning langsat. Sulit bagi Lana, karena Rigel terasa tidak memiliki ketetapan untuk semua yang tampak dalam dirinya.
“Aku menolak, ketika Rigel Auberon melamarku tempo hari.” Sia akhirnya mengatakan hal itu saat Vanth mengantarnya ke bandara.Vanth tidak terkejut, tidak juga memperlihatkannya. Dia bersikap biasa dengan bahasa tubuh yang wajar. Sudah lebih dulu tahu dari Rigel cukup menguntungkan baginya. “Lalu? Kau ingin menceritakan hal itu dan ketinggalan pesawatmu?”“Kau benar. Aku harus pergi,” kata Sia. Dia siap merentangkan kedua tangannya, tapi Vanth lebih dulu memeluknya dengan erat.“Walau hanya dua hari, jangan coba melirik pria lain. Jangan ambil kesempata sekecil apa pun untuk itu, karena aku selalu mengawasimu, Galexia Pandora.” Setelah mengatakan hal itu, pelukan terlepas, dan ciuman bibir yang dalam itu mengejutkan Sia, tapi dia tetap membalasnya.Ciuman singkat yang bermakna, selesai. Sia menyeret koper, melambai dengan wajah dipenuhi senyum walau tidak sampai menghilangkan kedua matanya.Vanth memba