Rigel mendapatkan amplop hitam keduanya di atas meja kerja tanpa siapapun yang menyadarinya.
Membuka dan menarik isinya keluar, seperti sebelumnya, semua tertulis dengan jelas di secarik kertas putih.
Menghela napas, Rigel meletakkan begitu saja amplop itu kembali di atas mejanya. Tidak akan ada mata manusia yang bisa melihat benda itu.
Rigel menghindari Yoan ketika dia melihat pria itu keluar dari elevator.
Tugasnya tiba lebih cepat. Dia tidak harus mendengar omong kosong sangat tidak berguna Yoan hari ini.
Yang isinya selalu tentang Greet dan Greet!
Rigel tiba di tempat tujuan lima menit lebih cepat. Sepuluh meter dibelakang rumahnya. Suasana berdarah, mencekam, terlihat suram.
Rita Adeline.
Padang alang-alang.
Jam enam kurang sebelas menit.
Diperkosa, disiksa, dan dipukul menggunakan batu.
Dua dari sahabat Disi Melani Truder di masa sebelumnya sudah mati lebih dulu. Dan Rita Adeline saat ini.<
Irene keluar dari rumah yang tampak sederhana dari luar, namun luar biasa pada bagian dalam itu sembari tersenyum sinis. Nyonya rumah ternyata sudah memiliki keberaniannya sendiri. Tenang, dia tidak akan menyerah! Masuk ke mobil tua yang dipinjamnya dari pemilik bar, saat sudah menutup pintu dan duduk sempurna dibalik kemudi, jendela kaca mobilnya diketuk dari luar. Menoleh, Austin Cadee ada di sini. Si wajah rupawan yang bersinar setiap saat walau dalam ekspresi marah sekalipun. “Waktu yang sempurna untuk mengancam seorang wanita lemah. Aku benar?” Austin bertanya sembari melirik melalui kaca spion bagian dalam. Dia yang memaksa untuk mengemudikan mobil tua butut yang bahkan hampir mempertemukan puncak kepalanya dengan langit-langit mobil. “Aku tidak mengancam. Hanya berusaha membuatnya sepakat.” “Dia menerima kesepakatanmu?” “Sayangnya tidak.” Irene mengeluh. Merasa tidak nyaman karena bertemu langsung dengan Austin C
Disi memegangi daun pintu dengan sekuat tenaga hanya untuk memastikan bahwa benar, Austin membawa pulang seorang wanita dan bayi melewati pintu yang dibukanya.Kedua matanya memicing tiada henti hingga menyebabkan kepalanya sakit.Austin menggendong Irene, dan seorang perawat mengantarkan bayi itu ke kamar.“Disi, ayo ke sini, kita lihat bayinya.” Austin membawa Disi ke kamar bayi yang memang sudah Disi siapkan semenjak dia menginginkan bayi untuk mereka.Austin sudah membaringkan tubuh Irene dan meninggalkannya tanpa berucap apapun.Dan sekarang, Irene berbaring di ranjang kamar tamu yang luar biasa nyaman. Masuk ke rumah ini, menjadi bagian dari Austin sudah berhasil dilakukannya.“Aku hanya perlu membuatnya melihatku, sekali saja.” Irene bicara dalam hati.Sementara di kamar bayi, Austin membantu Disi untuk bisa menggendong bayi mungil Irene.“Siapa namanya?” Dengan sangat hati-hati Disi b
Sia cemberut ketika sudah sepenuhnya diabaikan oleh Rigel. Mulai menggoda dengan menyusup di antara kaki pria itu.“Hentikan, Sia. Aku sedang tidak ingin bermain.” Rigel menggigit roti dengan pandangan lurus ke depan, ke televisi yang menayangkan film genre action fantasy di pagi hari.Kesal, sungguh tidak ingin diabaikan. Sia merebut remote televisi, melemparkannya ke dinding hingga rusak, hancur karena kekuatan lemparan Sia yang tidak main-main.“Hei, kau sungguh-sungguh ingin menggangguku, ya?” Rigel menatap Sia yang tiba-tiba menangis. Sadar dengan cepat bahwa Sia di masa ini tidak bisa diabaikan, karena dia wanita yang nekat, keras kepala, dan nakal.“Waktu kita tidak lama lagi!” Sia berteriak dengan frustrasi. “Kau bahkan meninggalkanku semalam. Apa mungkin kau menghabiskan malam dengan istrimu? Kau pulang ke sana? Kenapa penjaga tidak menangkapmu? Apa yang—”“Galexia, cukup!”
Sia tidak menjawab pertanyaan Buckley karena merasa tidak perlu. Sepanjang jalan menuju ke rumah Teratai, Sia mengubah aliran musik klasik menjadi lebih berisik.“Sia, kecilkan volume-nya. Gendang telingaku bisa rusak!”Sekeras apa Buckley melarang dan memperingati, segigih itu pula Sia tidak peduli.Mereka tiba dua puluh tujuh menit setelah perdebatan sengit mengenai musik yang tidak selesai dibahas, karena Limora Catty yang sudah menunggu di halaman.Basa-basi serta pelukan sudah selesai, Sia kembali ke kamarnya dengan seribu satu macam pemikiran tentang Rigel Auberon.“Sudah? Hanya seperti ini saja kami berpisah?” Sia merasa masih sangat tidak percaya pada apa yang baru dialaminya. Segalanya begitu cepat. Bagai mimpi.“Greet ... bisa buka pintunya sebentar?”Sia belum juga berganti pakaian, apalagi beristirahat. Apa dia harus melayani tamu sekarang? Suasana hatinya seketika itu menjadi tidak nyam
Sia menatap Vanth tidak berkedip. Rigel? Ah, mereka pasti saling mengenal. Dia baru menyadari bahwa mereka pasti manusia-manusia yang ‘bukan’ manusia.“Aku tidak tahu,” geleng Sia ragu. Antara mengatakan ‘cinta’ dan ‘tidak’ itu sulit. Keduanya memberi dampak tidak menguntungkan untuknya.Vanth mengusap kulit Sia yang terbuka di depannya, mengelus dari atas pundak, turun ke lengan.“Kau boleh terus bersamanya sampai batas akhirmu di dunia manusia. Dia mencintai Sia. Sejak awal kau dibuang oleh Ayahmu ke bumi, Rigel sudah menyelamatkanmu agar tidak musnah. Jika kau musnah, maka selamanya kau tidak akan bisa kembali bersamaku ke negeri atas awan.Dia melanggar perintahku dengan tidak mencabut nyawamu bukan demi dirinya, tapi demi Andromeda, Ibunya Sia. Siapa sangka kalian saling jatuh cinta. Terus seperti itu di antara mati, hidup kembali, mati lagi dan seterusnya. Kalian tidak terpisahkan.” Vanth b
“Aku ....” Sia menatap Vanth. Sulit melanjutkan ucapan karena baginya, hubungan antara dirinya dan Rigel itu rumit. “Kau khawatir akan mencintai dan menginginkannya?” Vanth tahu itu yang dicemaskan Sia. Dia menggenggam tangan Sia dan menenangkannya. “Di bumi, takdir kalian memang seperti itu. Meski terkadang aku sulit menerima hal ini, tapi setelah kupikir lagi, jika tanpa pengorbanan Rigel, kau pasti sudah musnah bertahun-tahun yang lalu.” Sia ingin menangis karena ucapan Vanth seperti sesuatu yang menyedihkan, sayangnya, air matanya tidak ingin menetes di situasi ini. Mereka berpelukan. Vanth menciumi wajah Sia dengan penuh kasih sayang. Berbagi Sia dengan Rigel bukanlah ide bagus. Selama ini, meski dia bukan manusia, dia bisa memiliki rasa cemburu layaknya para penghuni bumi. Itu memang aneh, tapi Ares Vanth Dier mengalaminya. ***** Rigel menangkap tubuh Disi yang tidak dia ketahui, bahwa daya p
Suara Rigel yang melengking membuat Yoan terbangun dalam posisi hampir terjungkal. Walau ingin mengumpat, dia terpaksa menahannya karena raut wajah Rigel sedikit mengerikan saat ini.Disi diam. Menutup matanya dan membiarkan Rigel memarahinya habis-habisan. Padahal selama ini dia berusaha dengan sekuat tenaga untuk menutupi hal ini, tapi akhirnya dia sendiri yang membukanya.“Minta Austin ke sini, sekarang.” Rigel menghampiri Disi di ranjangnya. Melotot marah pada wajah yang tampak hanya bersisa tulang dan kulit.“Aku tidak membawa ponselku, Rigel.” Pandangan Disi beralih menatap Yoan. Dia tahu sebenarnya pria itu benci padanya, tapi melihat Yoan justru ada di sini, Disi tahu banyak orang yang masih peduli padanya.“Lalu sekarang aku harus mencari dan menyeretnya ke sini?”“Tidak, jangan.” Disi menggeleng. Air matanya sudah tidak terbendung.“Lalu kau lebih senang mati perlahan dengan sen
Buckley pucat pasi. Dia bergetar masih dengan senjata api di tangan. Seluruh tubuhnya terasa dingin.Lubang di kening? Tidak, itu buruk! Juga bukan ancaman candaan.Vanth berjalan menghampiri Buckley, tidak mengatakan apapun, tapi dia memiliki perasaan ingin melenyapkan apa saja yang ada dihadapannya sekarang, jika mengikuti kata hatinya.“Mau ke mana kau? Tetap di tempat!” Buckley mengarahkan pistolnya tepat ke wajah Vanth sementara pria itu sudah berjalan melewatinya.“Jangan buat aku benar-benar melubangi keningmu. Kau urus saja wanita itu.”Santai, memutar gagang pintu, membuka dan menutup kembali dengan bunyi keras, Buckley mengucap rasa beruntungnya sambil bergumam dengan suasana hati yang mencekam.“Pria cantik sialan!” umpat Buckley. Segera berlutut didekat tubuh Limora Catty yang terbaring pingsan.“Bernapaslah, kumohon.” Buckley terus mengulangi kalimat itu.Sia terbangu