“Apakah ada yang ingin kau katakan, sayang?” tanya wanita itu pada anak perempuan yang sejak tadi duduk berhadapan dengannya. Anak itu sejak awal sama sekali tidak bisa berhenti memperhatikannya.
“Ternyata dokter juga memiliki benang di jari dokter.”
“Benang?” Wanita itu mengerutkan kening, tak lama dia melirik pada perempuan berambut cokelat yang duduk di sampingnya.
“Ini sering terjadi, dok. Sejak saat itu, dia jadi sering mengatakan hal yang tidak-tidak. Dia bilang kalau dia melihat benang di jari setiap orang yang dilihatnya,” jelas wanita yang menjadi ibunya. Wanita berjas dokter itu menganggukkan kepalanya menyimak kalimat si Ibu.
“Jadi kau melihat benang pada jari dokter?” tanyanya lagi. Anak perempuan itu menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu, bisakah kau jelaskan lebih detail mengenai benang yang ada di jari dokter ini? Coba kau sebutkan ciri-ciri benangnya seperti apa.”
“Benangnya pendek, warnanya ada dua, bagian bawah benangnya berwarna hitam, sedangkan bagian atasnya berwarna merah, dan ujung bagian bawahnya putus,” jelasnya yang seketika membuat wanita itu terdiam. Dia tidak mengerti dengan maksud dari perkataannya. “Ini. Di bagian jari manisnya berwarna merah, sedangkan bagian bawah dimana benang itu putus berwarna hitam. Warna merahnya sama seperti yang mama dan papa miliki. Tapi teksturnya berbeda…” anak perempuan itu menunjuk jari tangan ibunya.
“Jadi mama juga memiliki benang yang sama? Tapi apa perbedaan antara benang milik mama dengan milik dokter?” tanya wanita itu lagi.
“Mama dan papa juga punya benang yang sama. Bahkan semua orang punya. Benangnya berwarna merah. Ada yang terhubung, dan ada juga yang terputus seperti milik dokter. Benang milik mama dan papa terhubung dengan sangat kuat, dan sulit untuk putus. Sedangkan benang milik dokter, benangnya terlihat rapuh dan bagian ujungnya terputus dengan tidak rapi.”
“Apakah kau tahu arti dari benang itu dan alasan kenapa dokter memiliki benang yang berbeda dari mamamu?”
“Aku tidak tahu.” Anak itu menggelengkan kepalanya pelan.
“Baiklah, tidak apa-apa. Sekarang dokter ingin tanya lagi. Kau bilang bahwa semua orang memiliki benang di jarinya, kan—“
“Iya. Tapi, aku tidak punya. Aku tidak punya benang yang sama seperti semua orang,” ucap anak itu dengan wajah murung. Dia menundukkan kepalanya sambil memandang jari tangannya.
“Kenapa kau tidak punya, sayang?”
“Aku tidak tahu…” balasnya.
“Dokter, apakah anda tahu apa yang sebenarnya terjadi pada putri saya?” Wanita berambut cokelat itu bertanya. Sudah cukup lama dia diam dan menyimak tapi sama sekali tidak mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya.
“Dari gejala yang ditunjukkan, sepertinya ini adalah salah satu gejala dari kondisi PTSD yang dialami oleh putri anda. Karena PTSD juga berpotensi membuat pengidapnya mengalami halusinasi. Tapi jujur ini adalah pertama kali saya mendengar mengenai kasus pengidap PTSD yang berhalusinasi seperti yang putri anda alami. Putri anda terlihat tenang ketika membahas mengenai benang yang dilihatnya. Dan ada keganjilan yang saya tidak mengerti di sini. Seharusnya halusinasi yang ditimbulkan berupa kilas balik mengenai apa yang telah dialaminya.”
“Kilas balik?”
“Ya, dimana pengidapnya mengalami halusinasi seolah kembali ke tempat itu secara berulang, dan biasanya ketika kondisi ini muncul, pengidapnya akan merasa tidak aman. Bahkan memicu kepanikan berlebih.”
“Maksud anda kondisinya seperti ketika dia panik dan ketakutan saat melihat lelaki dewasa.”
“Benar.”
“Lalu, apakah putri saya ada kemungkinan untuk sembuh dan kembali seperti normal, dok?”
“Tentu saja putri anda akan bisa pulih kalau ditangani dengan cara yang tepat. Dan saya pasti akan berusaha untuk membantu putri anda.”
Elina membuka kedua matanya secara spontan dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Dia bangkit dari posisinya, terduduk sambil berusaha mengatur napasnya yang tak beraturan. Setelah merasa sedikit tenang, Elina mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencoba mencari tahu dimana dia berada. Sekarang aku ada di rumah sakit? Bagaimana bisa? Siapa yang membawaku ke sini?
“Arghh…” Elina memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit ketika adegan di kepalanya kembali muncul. “Kepalaku sakit…, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku bisa memimpikan anak perempuan itu lagi? Siapa sebenarnya dia? Dan kenapa dia terus muncul dalam mimpiku?”
Elina dihampiri berbagai pertanyaan. Sampai saat ini, dia masih tidak mengerti kenapa dia bisa mengalami mimpi tentang anak perempuan yang wajahnya bahkan sama sekali tidak bisa dia ingat. Terlebih Elina selalu bangun dengan perasaan yang sama setiap kali habis memimpikan anak itu.
“Kau sudah bangun?” Perhatian Elina beralih saat dia mendengar suara seorang wanita menghampiri ruangannya. Begitu menoleh, dia mendapati wanita berambut merah jagung yang sempat ditabraknya di depan restoran.
“Kau…” Elina cukup terkejut melihat kemunculannya.
“Apakah kau baik-baik saja? Bagaimana perasaanmu?” Wanita itu menghampiri Elina dan duduk di kursi yang ada.
“Aku tidak apa-apa. Apakah kau yang sudah menolongku?”
“Iya. Tadi saat ada kekacauan akibat kecelakaan, sepertinya kau mengalami syok dan pingsan. Tapi untungnya aku berhasil mencoba menahanmu dan meminta bantuan. Jadi aku membawamu ke sini. Oh! Haruskah aku memanggilkan dokter?”
“Tidak perlu. Kondisiku sudah membaik. Terima kasih karena sudah menolongku.”
“Bukan masalah.”
Kecelakaan, ya? Kalau aku ingat-ingat lagi, kepalaku tiba-tiba terasa sakit begitu aku melihat kecelakaan itu. Lalu berbagai adegan muncul di kepalaku hingga membuat kepalaku rasanya mau meledak. Kenapa tubuhku bereaksi begitu, ya? Dan kenapa aku merasa dejavu seolah aku pernah mengalami hal serupa… Elina termangu. Dia baru ingat kalau beberapa saat yang lalu, dia baru saja menyaksikan kecelakaan yang menyebabkan si pelayan yang dilihatnya meninggal, dan setelah kejadian itu, dia tidak sadarkan diri.
“Omong-omong siapa namamu?”
“Elina.”
“Namaku Barbara.” Wanita itu tersenyum sambil berjabat tangan dengan Elina.
“Salam kenal.” Elina memperhatikan tangan Barbara, ternyata benang takdir milik Barbara sama sekali tidak terhubung dengan benang takdir miliknya. Itu artinya ini adalah pertama kali mereka bertemu. Namun walaupun demikian, entah kenapa Elina masih merasa bahwa wajah Barbara mirip dengan seseorang yang begitu familiar dengannya. “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Karena entah kenapa aku merasa begitu familiar denganmu.”
Barbara mendadak diam begitu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Elina. Entah kenapa tapi ucapannya membuat Barbara cukup terkejut. “E-entahlah. Aku tidak yakin.”
“Ah! Lupakan saja, mungkin hanya perasaanku,” ucap Elina. Walaupun hatinya merasa yakin bahwa mereka pernah bertemu, tapi Elina lebih memilih yakin pada ingatannya.
“Mungkin mimpi,” ujar Barbara. Elina hanya terkekeh mendengar lelucon Barbara barusan.
“Kau benar, mungkin aku bermimpi pernah bertemu denganmu. Atau mungkin aku mengigau karena aku baru sadar, haha…”
“I-iya, haha…” Barbara tertawa hambar menanggapi kalimatnya.
Ketika sedang asyik mengobrol, secara tiba-tiba, atensi Elina beralih saat suara ponselnya berbunyi. Dia segera mengambil ponselnya yang ada di dalam tas. Benda itu tergeletak di atas meja kecil di dekat ranjangnya. Begitu mengecek ponselnya, Elina menerima panggilan dari Alvin yang sepertinya sejak tadi tidak berhenti mencarinya karena tidak kunjung kembali.
“Maaf, aku baru ingat akan sesuatu. Sepertinya aku harus pergi.” Elina beringsut turun dari ranjang.
“Apakah kau sungguh baik-baik saja? Kau baru sadar. Lebih baik kau diperiksa dulu oleh dokter.”
“Aku sungguh tidak apa-apa. Terima kasih atas bantuanmu karena sudah membawaku ke sini. Mengenai biaya rumah sakitnya biar aku yang bayar sendiri.”
“Apa? Tapi—“
“Jika lain kali kita bertemu lagi, maka aku akan membalas kebaikan hatimu, Barbara. Sampai jumpa!” Elina berlalu meninggalkan Barbara seorang diri di sana. Wanita itu hanya diam sambil menatap Elina yang kini terus berjalan menghampiri pintu keluar sampai akhirnya menghilang di pintu keluar.
Sepeninggalan Elina, Barbara masih diam sambil memikirkan mengenai pertanyaan Elina beberapa saat yang lalu.
Elina, apakah jangan-jangan dia ingat mengenai pertemuan kita waktu itu? Tapi rasanya tidak mungkin. Elina tidak mungkin ingat mengenai pertemuan kita saat itu… lagipula aku sama sekali tidak memiliki bukti, jadi rasanya tidak mungkin kalau Elina ingat mengenai pertemuan kita. Entah kenapa tapi adegannya sungguh mirip, dan jika benar, seharusnya Dariel juga ada di rumah sakit ini.
*
Ceklek!
Pintu kamarnya terbuka. Alvin menoleh ke arah datangnya suara dan mendapati Elina yang baru saja melangkah masuk. Begitu melihat Elina datang, ekspresi wajah Alvin seketika berubah. “Akhirnya kau kembali juga. Darimana saja kau? Aku sudah menunggumu sejak tadi.”
Alih-alih menjawab, Elina justru hanya diam sambil melangkah menghampiri sofa yang ada. Wanita itu duduk terhenyak di sana dengan tubuh lemas tak bertenaga. Alvin kini menatapnya dengan wajah bingung. Dia tidak mengerti kenapa Elina mendadak terlihat tidak bertenaga seperti ini, terlebih wajahnya kelihatan agak pucat.
“Maaf aku membuatmu menunggu, tadi ada kecelakaan di depan, dan kondisinya jadi agak kacau,” kata Elina yang akhirnya menjawab pertanyaannya.
“Kecelakaan? Siapa yang kecelakaan? Apakah kau mengalami kecelakaan?” Alvin kini berubah cemas, apalagi melihat kondisi Elina yang tak bertenaga seperti ini.
“Bukan. Orang lain yang mengalami kecelakaan.”
“Syukurlah, aku lega mendengarnya. Tapi kenapa kau terlihat lemas, apakah kau melihat kejadiannya secara langsung? Kau pasti sangat syok kan?”
“Hanya sedikit, tapi aku tidak apa-apa.”
“Apanya yang tidak apa-apa? Kau terlihat pucat begitu. Lebih baik kau beristirahat dan berhenti memikirkan kejadian yang kau lihat. Aku tidak ingin kau sampai sakit hanya karena terus memikirkan kejadian itu.”
“Huh?” Elina agak kaget begitu mendengar bahwa Alvin cemas dan tidak ingin kalau sampai dia sakit.
“Maksudku, kalau kau sakit, siapa yang akan merawatku? Kau masih harus bertanggung jawab merawatku hingga sembuh, kan?”
“Oh, kau benar! Maaf karena membuatmu cemas,” ujar Elina dengan agak sedikit kesal. Ternyata itu tujuan dari Alvin begitu mencemaskannya. Dia hanya tidak ingin Elina lepas dari tanggung jawabnya.
“Kenapa kau kelihatan kecewa begitu?”
“Tidak. Aku hanya kesal karena kau begitu menyebalkan. Sudahlah, jangan membahas ini lagi. Sebenarnya aku kemari karena ada yang ingin aku sampaikan padamu.” Elina mengalihkan topik pembicaraan.
“Apa yang ingin kau sampaikan? Apakah kau ingin menyampaikan perasaan cintamu padaku dan ingin memintaku menjadi pacarmu? Apakah kau begitu tergila-gila padaku, huh?” Alvin menyeringai menggodanya.
“Mimpimu terlalu tinggi, Al! Aku hanya ingin bilang kalau aku mau pulang.”
“Pulang? Apa maksudmu dengan pulang? Kau tidak boleh pulang. Kau harus tetap di sini dan menemaniku.”
“Memangnya kau pikir aku tidak memiliki pekerjaan lain yang harus aku urus? Lagipula aku juga harus membawa baju ganti untukmu, kan? Malam ini kau akan menginap di sini, dan tidak mungkin kau menggunakan pakaian itu.”
Alvin tersenyum lebar begitu mendengar ucapan Elina. Entah kenapa alasan Elina jadi membuat wanita itu terdengar seperti istri sungguhannya. “Jadi kau ingin membawakan baju ganti untuk suamimu yang tampan ini, huh? Kau memang istri yang sangat perhatian, ya? Aku sangat beruntung karena memilikimu.”
“A-apa? Jaga ucapanmu! Aku bukan istrimu, dan aku melakukan ini hanya sebagai bentuk dari tanggung jawabku padamu. Satu hal lagi! Karena kau mengatakan ini, aku jadi teringat dengan pertanyaan yang sebelumnya ingin aku tanyakan padamu. Kenapa kau mengatakan kalau aku adalah istrimu pada dokter? Apakah kau sengaja agar aku tidak bisa kabur darimu?”
“Gadis pintar! Aku memang sengaja melakukannya, dan alasannya memang seperti yang kau katakan.”
“Jadi kau pikir aku akan melarikan diri dari tanggung jawab?”
“Bukankah tadi kau sendiri yang bilang? ‘Agar aku tidak bisa kabur darimu’.” Alvin meniru ucapan Elina sambil tersenyum mengejek. Kalimatnya membuat Elina jadi sama sekali tidak bisa berkata-kata. “Kau memang berencana kabur sebelumnya, kan? Tapi sangat disayangkan karena aku terlalu pintar, sayang. Jadi aku melakukan ini untuk mencegah semua itu terjadi.”
“Menyebalkan!” gerutu Elina dengan wajah kesal. Elina hanya kesal karena Alvin seenaknya mengaku sebagai suaminya. Jangankan suami, hubungan mereka saja bahkan sebenarnya tidak lebih dari sekedar tetangga yang tinggal di satu gedung apartemen yang sama. “Sudahlah. Aku mau pulang! Jangan menerorku lagi seperti sebelumnya!”
Elina bangun dari tempat duduknya. “Aku tidak akan melakukannya kalau kau menjawab teleponku, dan tidak mengabaikanku. Jadi kalau tidak ingin aku menerormu, maka kau harus menjawab telepon dariku.”
“Pokoknya apapun alasannya jangan telepon aku!” Elina melangkah menghampiri pintu keluar, tapi belum sempat dia membuka pintu, seorang perawat muncul dengan membawa makanan untuk Alvin. Perawat itu tersenyum begitu mereka saling bertatapan satu sama lain, dia juga meminta izin untuk masuk, dan membawakan makanan untuk Alvin. Elina segera mempersilahkannya masuk, membiarkan wanita itu membawakan makanan untuk Alvin.
“Tunggu. Ada sesuatu yang kau lupakan!” Alvin tiba-tiba menahan Elina sebelum wanita itu benar-benar sempat meninggalkan kamar rawatnya. Elina menoleh dengan wajah bingung, dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Alvin.
“Aku tidak melupakan apapun.”
“Tentu saja ada yang kau lupakan, ‘istriku’.” Alvin menyeringai sambil menunjuk pipinya. Dia lalu melirik pada perawat yang langsung mengerti dengan maksud dari perkataannya, wajah perawat itu langsung memerah begitu mendengar kalimat barusan.
Elina awalnya masih tidak mengerti, sampai kemudian Alvin menggerakan bibirnya, memberikan sebuah isyarat. Elina membelalakan mata begitu sadar maksud dari perkataannya barusan. Bukan hanya itu, wajah Elina bahkan sampai ikut memerah saat menyadarinya.
Dia pasti sudah gila! Bagaimana bisa dia mengambil kesempatan di momen seperti ini?!
***
“Bagaimana kondisinya?” tanya lelaki itu pada temannya yang sejak tadi menunggu di sana dengan sabar. Pria yang diajaknya bicara seketika menoleh ke arah datangnya suara. “Dia baik-baik saja. Dokter bilang kondisinya sudah membaik, tapi dia masih harus di rawat inap selama beberapa hari.” “Syukurlah. Lega mendengarnya karena dia baik-baik saja. Omong-omong aku membawakan buah untuknya.” Dariel memberikan sekeranjang buah yang dibelinya saat diperjalanan menuju ke sana. Lewis menaruh keranjang buah itu ke atas meja kecil di samping tempat tidur yang ditempati Lila. “Sejak kapan dia tidur?” “Sejak dokter memeriksa kondisinya. Tadinya dia menunggumu, tapi kau terlalu lama datang ke sini sampai dia ketiduran.” “Saat di perjalanan kemari tiba-tiba saja terjadi kasus pencurian. Mau tidak mau aku harus menanganinya lebih dulu.” “Pantas saja kau terlambat.” “Oh! Apakah kau sudah makan siang? Karena buru-buru datang ke sini aku jadi sama sekali tidak sempat makan siang. Kalau kau belum ma
“Na, ini dokter Sven. Selanjutnya, kita akan lebih sering bertemu dengannya.” Wanita berambut cokelat itu tersenyum sambil memperkenalkan lelaki yang berdiri di hadapannya dengan mengenakan jas putih. Pria itu tersenyum sambil membungkuk, tangannya terulur mengusap puncak kepala anak perempuan yang sejak tadi menatapnya. “Hai manis, salam kenal,” sapanya. Tapi belum sempat tangan Sven menyentuh anak itu, dia tiba-tiba saja berteriak histeris sambil berjalan mundur hingga terjatuh di lantai. “Ti-tidak… jangan mendekat. Aku mohon… jangan mendekat… biarkan aku pergi… aku ingin keluar dari sini…” Anak itu berteriak kencang sambil menangis, membuat ibunya yang melihat itu seketika panik dan berusaha untuk menenangkannya. Wanita yang menjadi ibunya itu berjongkok di sampingnya. “A-aku mohon… jangan sakiti aku… aku ingin pulang…” “Na, hey! Sayang, tenanglah. Sayang, dengar, ini mama. Sadarlah. Ini dokter Sven, bukan ‘dia’. Kau tidak perlu takut, dokter Sven tidak akan menyakitimu. Dia aka
Elina membuka kedua matanya perlahan. Hal pertama yang dilihatnya ketika membuka mata adalah langit-langit kamar tempat Alvin dirawat. Elina terdiam untuk sesaat sambil berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. Tak lama, dia mengalihkan perhatiannya pada hal lain, mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja kemudian mengecek jam yang muncul di sana. “Ternyata sudah pagi, padahal rasanya aku baru saja memejamkan kedua mataku.” Elina bangkit dan bersandar pada sofa. Lagi-lagi dia terdiam sambil menatap ke sekeliling kamar yang masih dalam keadaan gelap. Sejak semalam, hanya ada lampu tidur dengan cahaya remang-remang yang menerangi kamar mereka. Di tengah berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya, Elina tiba-tiba teringat akan mimpi yang baru saja dia alami. Aku jadi kepikiran tentang mimpi yang aku alami. Ini adalah pertama kalinya aku tidak bermimpi buruk tentang anak perempuan dan pria dewasa itu. Tidak, tunggu… mungkin ini yang kedua kalinya? Kalau diingat-ingat lagi, kemarin
“Ka-kau sudah bangun?” “Memangnya ucapanku kurang jelas? Aku sudah membuka mata, lihat? Atau kau berharap aku masih tidur? Kalau begitu, kau harus menemaniku tidur seperti malam itu.” Alvin tersenyum sambil mengeratkan pelukannya hingga membuat Elina semakin sesak akibat pelukan kuat dari tangan berototnya. Sementara itu, kedua matanya mulai terpejam. Elina yang sadar akan hal itu semakin panik, dia segera memberontak dan meminta Alvin untuk melepaskan tubuhnya. “Al, lepaskan aku. Aku tidak memintamu untuk tidur lagi.” “Aku tidak mau. Tidur sambil memelukmu begini lebih nyaman. Coba saja kalau semalam kau menuruti ucapanku untuk tidur bersamaku, aku kan bisa memelukmu, jadi aku bisa tidur lebih nyenyak,” gumam Alvin. Lelaki itu sengaja mengeratkan pelukannya agar Elina tidak bisa memberontak. “Kau benar-benar pria mesum. Lepaskan aku! Biarkan aku pergi.” Elina mulai kesal. Terlebih ketika dia mulai sadar bahwa jantungnya berdebar kencang. Sial. Dia benar-benar selalu mengambil kes
“Memangnya kau tidak memiliki niat untuk memberikan ciuman selamat pagi atau ciuman perpisahan pada suamimu ini?” Alvin tersenyum menggodanya. “Kau sungguh banyak maunya, ya?” komentar Elina sambil memutar matanya; kesal. “Haha…, aku hanya bercanda. Jangan marah seperti itu. Pokoknya jangan sampai lupa membuatkan makanan kesukaanku.” Alvin melepaskan genggaman tangannya dan membiarkan Elina pergi. Wanita itu lantas beranjak meninggalkan Alvin sendirian di dalam kamarnya. Sepeninggalan Elina, Alvin terdiam sambil memandang ke arah pintu keluar. Senyuman terukir di wajah tampannya. Dia sungguh senang karena Elina mau membuatkan makanan kesukaannya. “Pasti hasil masakannya akan sangat enak.” Alvin bergumam pelan. Dia bisa membayangkan bagaimana hasil masakan Elina nanti. Pasti nanti masakannya akan terasa sangat enak, bahkan Alvin merasa hasil masakan Elina semalam lebih enak daripada hasil masakan koki pribadi di rumah keluarganya. Walau sangat senang, Alvin tetap merasa penasaran d
Elina duduk sendirian di sudut kafetaria, menatap layar ponselnya sambil menunggu Ivana. Ketika pintu terbuka, Elina mengangkat kepala dan melihat Ivana memasuki ruangan dengan wajah muram dan mata yang bengkak. "Hey, Ivana," sapa Elina sambil berdiri. Wanita itu berjalan menghampirinya dengan langkah gontai. "Ada apa? Kenapa kau terlihat begitu sedih?" Ivana tertunduk sambil menggelengkan kepala, mencoba menahan air mata yang ingin tumpah. Elina meraih kursi untuknya, "Duduklah. Ceritakan apa yang terjadi." Ivana terdiam cukup lama, dan Elina dengan sabar menantinya untuk bicara. “Dengar, ceritakan apa yang terjadi padamu. Agar aku bisa membantumu. Kalau kau memiliki masalah, setidaknya kau tidak menanggung semuanya sendiri. Aku ini adalah sahabatmu Ana, jadi aku akan membantu semampuku. Tapi jika kau belum bersedia untuk bicara, aku akan menunggu dengan sabar sampai kau siap bercerita mengenai masalah—“ Elina belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Ucapannya terpotong saat Ivana s
Elina memandang Ivana dengan tekad di matanya, "Jangan khawatir, Ivana. Aku akan bicara dengan Andy dan memberinya pelajaran yang pantas. Aku tidak akan membiarkan lelaki brengsek seperti dia merusak hidup sahabatku." “Sekali lagi, terima kasih, Elina. Aku benar-benar beruntung memiliki teman seperti kamu." Ivana tersenyum lemah. Setelah memberi dukungan pada Ivana, Elina lantas mengajaknya untuk makan siang bersama. Mereka menghabiskan waktu makan siang bersama di kafetaria sambil Elina sesekali bercanda untuk menghibur sahabatnya agar tidak sedih lagi. Setelah selesai makan siang, Elina mengajak Ivana untuk keluar kantor sebentar guna menghirup udara luar. Masih ada waktu sebelum jam makan siang berakhir. "Mari kita fokus pada dirimu sendiri sekarang. Berhenti memikirkan Andy, dan mari nikmati hidup yang berharga ini." Ivana mengangguk setuju, mencoba melepaskan beban yang ada di benaknya. "Kalau di pikir-pikir, ucapanmu ada benarnya juga. Rasanya sudah lama aku tidak berfokus pad
Seperti yang sudah di janjikan, sepulang kerja Elina dan Ivana akhirnya pergi berkunjung ke salah satu kedai es krim kesukaan mereka. Mereka menikmati suasana di sana setelah seharian bekerja. Di meja dekat jendela, mereka menyeruput es krim yang telah dipesan, sesekali tertawa dan bercanda. Ketika sedang asyik mengobrol, dan bercanda ringan. Elina, sambil menyantap es krim cokelatnya, tiba-tiba teringat kejadian ketika mereka baru saja kembali ke kantor setelah jam makan siang. Elina jadi teringat akan benang takdir milik Ivana yang terhubung dengan George. Karena merasa ini adalah momen yang tepat untuk bertanya pada Ivana, Elina lantas memberanikan diri mengubah topik pembicaraan ke arah lain. Elina berdehem sebelum akhirnya berkata, "Ivana, bagaimana menurutmu tentang George?" "George?” Ivana mengerutkan kening begitu pertanyaan itu terlontar dari mulut sahabatnya. Sambil menyendok es krim dan melahapnya, dia menjawab, “Dia pria yang baik, ramah, perhatian, dan sangat pengertian.